• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Filosof Yunani Tentang Kebahagiaan

KEBAHAGIAAN DALAM PERSPEKTIF FILOSOF

A. Persepsi Filosof Yunani Tentang Kebahagiaan

Berbicara tentang kebahagiaan dalam perspektif Yunani terkait dengan pembahasan tentang nilai baik dan buruk. Kebahagiaan akan dicapai saat seseorang mampu mengumpulkan perbuatan baik dalam kehidupannya dan melepaskan diri dari semua perbuatan buruk yang mendorongnya pada kehancuran. Dalalm aliran idealisme, berbuat baik bukan didasarkan atas kehendak mencapai tujuan di luar kebaikan itu, melainkan karena tindakan seseorang dipandang sudah baik. Jadi melakukan suatu keutamaan itu karena keutamaannya, bukan karena didorong oleh keinginan memperoleh manfaat atau mudharatnya. 1

Penentuan nilai baik dan buruk dalam perspektif aliran idealisme identik dengan ungkapkan Plato, manusia memiliki kemampuan dasar yang terdiri dari kemampuan berpikir yang terletak di kepala, kemampuan berkehendak yang terletak di dada, dan kemampuan bernafsu (keinginan) yang terletak di perut. Pikiran (idea), kehendak (kemauan) dan nafsu (keinginan) terikat dalam kehidupan jasmani manusia. Titik pijak pandangan idealisme Plato, sebagai murid Socrates (469-399SM) menekankan pada aspek idea (serba cita), termasuk penilaian baik dan buruk harus dapat diukur dengan kemampuan cita, tidak dapat diukur dengan kemampuan panca indera. 2

Dalam filsafat moral selalu digambarkan keterkaitan kebahagiaan dengan kebaikan/kesusilaan (nilai moral). Di dalamnya dibicarakan tentang tindakan yang baik yang dilakukan manusia, serta ”keharusan” manusia untuk selalu berbuat kebaikan. Hal itu disebabkan kebaikan yang dilakukan manusia pada akhirnya pasti

1 Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 365.

2 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 39.

akan menghasilkan kebahagiaan. Manusia harus menjadi baik, karena hanya dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia.

Orang baik adalah orang yang sehat mentalnya,dan orang yang sehat mentalnya akan dapat merasakan kebahagiaan-kebahagiaan ruhani.

Sebaliknya apabila jiwa tidak sehat, misalnya karena ada penyakit dengki, maka manusia tidak akan dapat merasakan kebahagiaan.

Bahkan ia akan merasa tidak berbahagia manakala ada orang lain yang merasakan kebahagiaan.3 Dengan demikian, perilaku yang baik atau terpuji (akhlâk al-karîmah) akan menjamin seseorang mencapai kebahagiaan yang merupakan tujuan dalam kehidupan.

Aristoteles menyebutkan bahwa hidup manusia semakin bermutu apabila mampu mencapai tujuan hidupnya, karena dengan mencapai tujuan hidupnya, manusia telah mencapai dirinya secara penuh. Adapun yang menjadi tujuan hidup manusia dan akhir pencarian manusia menurut Aristoteles adalah eudaimonia (kebahagiaan).4 Ketika seseorang mencapai kebahagiaan maka saat itu seseorang tidak memerlukan yang lain lagi.

Dalam buku “The Way to Happiness” yang ditulis berdasarkan karya Nasser al-Omar, “Happiness Between Illusion and Reality”, dan karya Sheikh Abdur-Rahmanal-Sa’adi, Causes of Happiness”, dijelaskan bahwa ada beberapa hal yang seringkali digambarkan sebagai kebahagiaan, yaitu sebagai berikut.

There are several trends that describe the reality of happiness and the way leading to its attainment by man. The major trends can be summed up as follows: first, Spiritualistic School, in which philosophers and theosophists believe that real happiness consists essentially in spiritual life. Second,Materialistic School or theory, which upholds that real happiness lies in materialism. Third, Rationalistic School, in which rationalists believe that happiness can be attained only by reason and logic. Fourth, Islamic Trend, which states that three types of life: the spiritual, the material and

3 Mustaim, “Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim tentang Kebahagiaan”, dalam Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 17, No. 1, (2013), h. 196.

4 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Cet. Ke-25, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), h. 193.

the rational are together essential elements of happy life if they ruled by the Islamic belief, practice and values. That is because man is s combination of those very three ingredients: the body, the mind, and spirit.5

Manusia merupakan kombinasi dari 3 elemen, yaitu fisik, akal budi, dan jiwa. Seringkali ketiga unsur ini disalah artikan sebagai bagian yang terpisah dari yang lainnya dalam pencarian kebahagiaan.

Mereka melupakan bahwa tiga unsur ini yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lainnya.

Banyak dari manusia yang memaknai kebahagiaan sebatas materi saja. Mereka terus mencari kebahagiaan pada kekayaan materi dan berbagai ragam pemenuhan kebutuhan inderanya. Sesungguhnya kebahagiaan hidup dalam pandangan Islam tidak berkutat pada sisi materi saja. Walaupun Islam mengakui kalau materi menjadi bagian dari unsur kebahagiaan itu sendiri. Di mana dalam pandangan Islam, masalah materi hanya sebagai sarana saja, bukan tujuan. Oleh karenanya, Islam memberikan perhatian sangat besar pada unsur ma’nawi seperti memiliki iman (spirit) dan budi pekerti (mind) yang luhur sebagai cara mendapatkan kebahagiaan hidup. 6

Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa ukuran kebahagiaan menurutnya tidak terletak pada jumlah kekayaan yang dimiliki seseorang, meskipun ada sebagian orang beranggapan bahwa kekayaan merupakan sumber utama untuk mencapai kebahagiaan.

Menurut Aristoteles kekayaan bukan tujuan utama memperoleh kebahagiaan tetapi hanya sebuah sarana untuk mencapai tujuan- tujuan yang lebih jauh, maka jelaslah bahwa kekayaan tidak dapat menjamin kebahagiaan seseorang. Pandangan kaum pragmatis yang senantiasa menempatkan kebahagiaan pada nilai kenikmatan tidak membuat Aristoteles menyetujui hal ini, karena bagi Aristoteles untuk mencapai kebahagiaan diperlukan sikap pengembangan diri kemampuan merealisasikan kekuatan-kekuatan yang hakiki.

5 Ghalib Ahmad Masri dan Nathif Jama Adam, The Way to Happiness, (t.tt, 2000), h. 12-13.

6 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 31.

Manusia memiliki karakteristik khas yang membedakan dirinya dengan binatang yaitu pada akal budinya dan kerohaniannya.7

Baik dan buruk dalam pandangan aliran Hedonisme sebagaimana yang dikembangkan oleh filosof Yunani pasca Aristoteles, Epicurus, nilai baik adalah sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dan kelezatan nafsu biologis. Sebaliknya yang dikatakan nilai buruk adalah sesuatu yang tidak bermanfaat untuk memuaskan nafsu. Oleh karena itu Epicurus menyebutkan bahwa kebahagiaan terletak pada kepuasaan biologis, dan itulah yang merupakan tujuan hidup manusia menurut pandangannya. Orientasi kebahagiaan dalam perspektif Epicurus mengarah pada kesenangan syahwati (tubuh kasar) dan bukan pada aspek spritual (immateri). Apabila dalam diri manusia terdapat dua dimensi yaitu jiwa dan raga, maka kebahagiaan sejatinya dirasakan oleh kedua unsur tesebut. Jadi bahagia bukan milik biologis saja, namun harus dinikmati oleh unsur kejiwaan. Jika seseorang bahagia menikmati sepiring nasi yang lezat, maka jiwanya pun harus damai saat nasi itu dimakan karena diperoleh dari jalan yang halal. 8

Aliran Hedonisme menganggap tujuan terakhir kehidupan manusia ialah kesenangan. Kesenangan yang dimaksud adalah kebahagiaan tanpa derita dan kebahagiaan terbesar atau tertinggi.

Ada beberapa hambatan yang menyebabkan kebahagiaan ala hedonisme kebahagiaan tanpa derita sangat sulit dicapai dalam dataran praktis, yaitu:

1. Apa yang disebut kebahagiaan belum mempunyai ukuran yang pasti dan tetap. Kebahagiaan itu ternyata tidak diukur oleh kebahagiaan itu sendiri, tetapi oleh manusianya sehingga lebih bersifat subjektif.

2. Setiap manusia memiliki pikiran dan perasaannya sendiri-sendiri.

Kebahagiaan yang mereka rasakan dan pikirkan akan berbeda pula. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, kepentingan mereka berlainan pula dan kemungkinan bertentangan.

7 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman..., h. 31.

8 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf..., h. 41.

Akibatnya, sangat sulit bila tidak dapat dikatakan mustahil untuk menentukan garis kebahagiaan yang berlaku umum.

3. Apabila berpangkal hanya pada demi kebhagiaan yang dicita- citakan, segala cara akan ditempuh dan hal itu dapat dipastikan akan mendapat perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan.

Akhirnya, apa yang dimaksud semula dengan kebahagiaan tanpa derita tidak mungkin terwujud.9

Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah kebaikan yang tinggi nilainya, yang berlaku secara universal sehingga mencakup semua bidang kehidupan manusia.10 Lalu al- Ghazali (1058-1111M) mengatakan, kebahagiaan universal yang dimaksudkan oleh Aristoteles, pada garis besarnya meliputi empat macam kebahagiaan: Pertama, kebahagiaan yang dirasakan setelah puas memperoleh ilmu yang didapatkan, kebijakan, sikap menjaga diri, keberanian moral dan keadilan yang telah dilakukannya. Kedua, Kebahagiaan yang dirasakan setelah mendapatkan kelebihan internal dirinya, misalnya tetap sehat, enerjik, gagah dan panjang umur. Ketiga, Kebahagiaan yang dirasakan setelah mendapatkan kelebihan eksternal; misalnya ada dukungan harta kekayaan yang dimiliki, ada dukungan keluarga, ada dukungan kharisma dan dukungan keharuman nama baiknya. Keempat, kebahagiaan yang dirasakan setelah menerima taufik dari Allah swt. berupa petunjuk lahir dan batin, pengarahan dan pengawasan-Nya.11

Kebahagiaan yang dimaksud oleh Aristoteles sangat berkaitan dengan kebahagiaan duniawi yang sifatnya tidak kekal. Kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan yang dirasakan di akhirat nanti sebagai balasan bagi orang-orang beramal saleh ketika hidup di dunia.

Kebahagiaan akan dicapai saat seseorang mampu berbuat baik dan melakukannya sesuai dorongan oleh suara hatinya. Bagi seseorang

9 Ayi Sofyan, Kapita Selekta... h. 363.

10 Murthada Mutahhari, Filsafat Akhlak, Terj. Faruq bin Diya’, (Bandung: Pustaka Hidayat, 1995), h. 103.

11 Murthada Mutahhari, Filsafat ...., h.103.

yang percaya bahwa kehidupan bukan hanya di dunia, maka kebahagiaan akan diarahkan pada dua sisi kehidupan, dunia dan akhirat.

Aristoteles sangat menekankan bahwa manusia mencapai kebahagiaan bukan dengan cara mengejar nikmat dan menghindari rasa sakit (sebagaimana pendapat kaum hedonis), atau dengan mengharapkan pemenuhan segala keinginan, melainkan melalui tindakan yang mengaktualisasikan atau merealisasikan potensi- potensi yang ada dalam diri manusia yang dalam bahasa meodern disebut dengan kemampuan mengembangkan diri. Hal ini merupakan tanggung jawab manusia dan faktor penentu hidupnya berhasil sekaligus menjadi orang yang paling bahagia.12

Aristoteles berkata: tingkatan kebaikan yang pertama yang dinamakan kebahagiaan adalah tingkatan dimana manusia mengarahkan kehendak dan upayanya menuju kemaslahatan dirinya di dunia inderawi ini termasuk perkara-perkara jiwa, tubuh, maupun keadaan jiwa yang berkaitan erat dengannya. Dalam kasus ini, perilaku manusia dalam keadaan-keadaan inderawi tidak berlebihan tapi sesuai dengan keadaan ini. Ini merupakan satu kondisi dimana manusia kiranya dipengaruhi hawa nafsu, tetapi dalam batas yang wajar, tidak berlebihan. Pada posisinya yang wajar seperti ini, dia lebih mungkin melakukan perbuatan yang benar atau tidak menyimpang dari penilaian nalar, dalam kehidupan sehari- harinya yang banyak bergelut dengan perkara-perkara inderawi.13 Setelah itu tingkatan kedua, pada tingkatan ini manusia mengarahkan kehendak dan upayanya untuk berbuat baik terhadap jiwa dan tubuhnya tanpa terpengaruh dengan hawa nafsu dan memperhatikan harta benda kecuali bila terpaksa. Setelah itu, tingkatan manusia dalam kebajikan ini terus meningkat, karena derajat dan tingkatan dalam kebajikan seperti itu banyak jumlahnya.

Sebagian lebih tinggi dari pada sebagian lainnya. Hal itu disebabkan karena manusia itu berbeda-beda; pertama dalam tabiat, kedua dalam kebiasaan, ketiga dalam peringkat, ilmu pengetahuan, dan

12 Frans Magnis Soseno, 13 Tokoh..., h. 42.

13 Ibn Miskawaih, TahzibulAkhlak, h. 96.

pemahaman, keempat dalam cita-cita dan terakhir dalam keinginan dan perhatian dan ada juga yang berpendapat dalam nasib baik.14

Kemudian pada akhir dari tingkatan kebajikan ini, orang melangkah menuju kebajikan Ilahi murni, dalam tingkatan ini orang tidak merindukan sesuatu yang akan datang, tidak melihat ke sesuatu yang telah berlalu, tidak mengharapkan yang jauh, tidak terpaku pada yang dekat, tidak takut pada keadaan tertentu, tidak mengharapkan nasib baik dan keberuntungan jiwa, bahkan kebutuhan tubuhnya, fakultas fisiknya, fakultas jiwanya, (dalam tingkatan ini) sisi akal (manusia) berupaya menumpahkan seluruh kemampuan dirinya untuk mencapai tingkatan kebajikan yang paling tinggi, yaitu menghabiskan seluruh waktunya untuk persoalan- persoalan Ilahi, menekuni dan mendalami tanpa menuntut balasan apa pun. Tegasnya upaya inisiatif serta ketekunan yang dilakukannya untuk mendalami persoalan-persoalan Ilahi itu hanya untuk esensi persoalan-persoalan itu sendiri, tingkatan ini terus meningkat pada diri manusia, sesuai dengan motivasi, kecenderungan, upaya dan tekadnya dan tergantung pada kesiapan orang yang telah mencapai tingkatan kebajikan itu, dengan kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya.15

B. Kebahagiaan dalam Konsepsi Epicurisme dan Stoisme Menurut Epicuros kebahagiaan akan diperoleh ketika manusia terbebas dari ancaman tahyul dan agama serta rasa takut terhadap kematian. Akan tetapi inti pemikiran Epicuros kebahagiaan terdapat dalam kenikmatan, dalam arti yang baik adalah sesuatu yang menghasilkan kenikmatan, dan sesuatu yang buruk adalah apa yang menghasilkan perasaan tidak enak. Nikmat yang yang dimaksudkan oleh Epikuros tidaklah semata bersifat materi seperti makanan yang enak, tetapi hakikat nikmat terdapat dalam ketentraman jiwa yang tenang dan bebas dari perasaan risau atau terkejut. Seharusnya manusia dapat hidup secara baik, sehingga tubuhnya tetap sehat

14 Ibn Miskawaih, TahzibulAkhlak, h. 97.

15 Ibn Miskawaih, TahzibulAkhlak, h. 97.

dan jiwa dalam keadaan tenang. Oleh karena itu manusia harus menghindari apapun yang menyakiti dirinya, dan pengalaman- pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga hidup menjadi bahagia.16

Model berpikir Epicuros yang menafikan pemahaman agama tentang kematian dan rasa takut, menjadi hal yang abstrak, karena rasa takut dan kematian adalah dua hal pasti yang dialami oleh manusia. Jika lari dari dua masalah ini, manusia justru akan mengalami depresi, yang berujung pada bunuh diri atau mengalihkan pemikiran pada hal memabukkan. Justru untuk menghadapi dua hal ini, para filosof Islam terutama Miskawaih menawarkan obat penawar untuk rasa takut dan keberanian menghadapi kematian.17

Perspektif Stoa tentang kebahagiaan berbeda dengan Epikuros, karena kebahagiaan menurut Stoa terdapat dalam keberhasilan hidup manusia, bukan pada perasaan tenang dan nikmat sebagaimana yang diimpikan oleh Epikuros. Dalam kehidupannya manusia harus bersikap keras terhadap dirinya sendiri. Manusia harus mampu menaklukkan hawa nafsu dan kecendrungan pada pada sesuatu yang rendah. Ketika sesorang telah mengalahkan hawa nafsu dan dorongan irrasional, maka orang tersebut akan merasakan kebahagiaan, karena telah mengetahui dirinya berada dalam keselarasan sempurna dengan hukum Tuhan yang mewarnai seluruh alam semesta. Saat segalanya telah berjalan harmoni maka tidak ada lagi penderitaan, sebab hawa nafsu telah dimatikan dan ketenangan jiwa tercapai sudah. Ketenangan ini tidak dapat digoyahkan oleh apapun, maka pada suatu ketika saat terjadi hal-hal yang bertentangan dengan keselarasan dan manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak dapat diterima, maka pilihan ektrem yang ditawarkan oleh Stoa adalah bunuh diri, dari pada mengambil sikap yang tidak sesuai dengan keseimbangan batin.18

16 Frans Magniz Suseno, 13 Tokoh..., h. 49.

17 Frans Magniz Suseno, 13 Tokoh..., h. 49.

18 Frans Magniz Suseno, 13 Tokoh..., h. 50.

Konsep kebahagiaan yang ditawarkan oleh Stoa tetap memiliki konsekwensi pada bunuh diri, yang sejatinya tidak dilakukan manusia. Sebab hidup pastinya tidak selalu menyenangkan, ada banyak persoalan yang harus dihadapi dengan sikap yang bijaksana.

Oleh karena itu tawaran ideal bukan mengakhiri hidup tapi mencari solusi menyelesaikan masalah. Islam memberikan tuntunan yang menenangkan bagaimana menyikapi hidup agar tetap bahagia.

Kaum Stonik dan kelompok naturalis berkeyakinan bahwa tubuh merupakan bagian dari diri manusia. Stoa dan pengikutnya tidak menganggap bahwa tubuh sebagai alat. Oleh karena itu Stoa menempatkan kebahagiaan jiwa tidak sempurna kalau belum ada kebahagiaan tubuh dan sesuatu di luar tubuh seperti hal-hal yang berkaitan dengan nasib baik dan keberuntungan.19

C. Kebahagiaan Versi Filsuf Moderen dan Kontemporer Immanuel mewakili filsuf Barat zaman modern (tepatnya zaman fajar budi) mengurai teori kebahagiaan yang juga sangat spesifik.

Kebahagiaan dalam perspektif Kant hampir sama dengan konsep para pemikir Barat sebelumnya yang menekankan pada kebahagiaan material bukan kebahagiaan ruhani. Kant tidak mempertimbangkan akal teoritis dan tidak berpegang pada apa yang disebut dengan filsafat teologis, lagi pula Kant menjadikan intuisi akhlak sebagai bahasan dan pijakan filsafatnya. Kant percaya bahwa kunci dari seluruh persoalan terselubung ada di tangan intuisi akhlak tersebut, sebagai lawan dari persoalan agama, kebebasan memilih, keabadian jiwa, hari akhir dan pembuktian wujud Allah Swt.20

Kesempurnaan dan kebahagiaan memiliki hubungan yang erat meskipun keduanya berbeda. Para filosof membahas ini dengan detil, dengan berbagai argumentasi, kelompok pertama yang diungkapkan oleh Immanuel Kant bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan adalah kualitas yang berbeda, intuisi mengajak manusia kepada kesempurnaan bukan kepada kebahagiaan. Menurutnya,

19 Frans Magniz Suseno, 13 Tokoh..., h. 51.

20 Murtahda Mutahhari, Filsafat..., h. 68.

satu-satunya kebaikan di dunia ini adalah kehendak baik yang secara mutlak taat pada intuisi. Inilah kesempurnaan yang diharapkan, apakah kesempurnaan ini membawa kebahagiaan atau kedukaan, karena penting bukanlah kebahagiaan melainkan kewajiban menjalankan perintah intuisi. Tanpa mempedulikan hasil dari berbagai tindakan, maka bagaimanapun perintahnya harus dilaksanakan.21

Erich Fromm seorang pemikir era kontemporer menyebutkan seseorang bahagia bukan karena memiliki sesuatu (having), melainkan karena keberadaan (being), karena dengan kesadaran akan keberadaan dirinya, akan menumbuhkan kesadaran akan pengembangan diri serta kemampuan mengaktualisasikan diri dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Statemen Erich Fromm menyiratkan bahwa kekayaan tidak menjamin seseorang mendapatkan kebahagiaan, karena kebahagiaan terletak pada kemampuan orang mengaktualisasikan potensi diri yang dimilikinya.

Seseorang yang memiliki keahlian menulis, tentu akan sangat bahagia ketika menuliskan semua pemikirannya. Orang yang memiliki bakat membantu orang lain, tentu akan sangat senang saat diminta membantu orang lain. 22

Tetapi ada juga filosof yang mengesampingkan nasib baik dan tiap sesuatu yang diperoleh melalui nasib baik. Para filsuf ini tidak memasukkan hal-hal tersebut dalam konteks kebahagiaan, karena kebahagiaan dipandang sebagai sesuatu yang tetap, tidak sirna, dan tidak berubah-ubah. Kebahagiaan adalah sesuatu yang paling mulia, paling terhormat dan paling tinggi, sedangkan hal-hal yang terindah dengan ciri-ciri mengalami perubahan, tidak tetap, tidak dapat diwujudkan melalui pemikiran serta bukan hasil dari nalar atau kebajikan, maka semua hal tersebut bukanlah bagian dari kebahagiaan.23

Makna kebahagiaan yang ditekankan oleh para filsuf pada zaman kontemporer, sudah mengarah pada kepuasaan batin ketika

21 Murtadha Muthahhari, Falsafat..., h. 66.

22 Erich Fromm, To Have or To Be, (New York: Harper&Row, 1976), Dikutip Kembali oleh Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh..., h. 42.

23 Ibnu Miskwaih, TahzibulAkhlak, h. 93.

dapat hidup sesuai dengan kecenderungan alamiahnya. Manusia akan merasakan kebahagiaan saat dirinya hidup sesuai fitrah yang dimilikinya. Kekayaan yang diklaim sebagai wahana memperoleh kebahagiaan, ternyata tidak menjadi daya tarik khusus bagi filosof zaman kontemporer. Kemampuan dan kekuatan mewujudkan potensi dan aktualisasi diri adalah spirit kebahagiaan. Ini merupakan bentuk kebahagiaan yang tidak dapat diungkap secara kata-kata dan ditimbang dengan ukuran berat materi. Tetapi kebahagiaan yang dirasakan oleh jiwa karena mampu mewujudkan keinginan batiniah. Meskipun para filsuf ini tidak mengaitkan dengan dimensi Ilahiyah ketika ingin mendapatkan kebahagiaan.

BAB IV

Dokumen terkait