• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOGRAFI IBNU MISKAWAIH

A. Sejarah Hidup Ibnu Miskawaih

BAB II

that of Ibn Sina, what we know of it today provides evidence of same very interesting contributions to the development of pholoshophical thought. Within philoshophy itself Miskawayh’s main claim for attentions lies in his well constructed system of ethics, with which we shall largely be concerned here.2

Minimnya informasi tentang biografi Ibn Miskawaih juga diungkapkan oleh Philip K. Hitti dalam buku yang berjudul “History of The Arabs: From The Earliest Times To The Present”. Dalam buku ini informasi tentang Ibn Miskawaih dikaji dalam satu tema besar tentang Sundry Dinasties In The East yang pada intinya dijelaskan bahwa Ibnu Miskawaih hidup pada masa Dinasti Buwayhid.3 Dinasti Buwaih adalah dinasti yang berkuasa di wilayah Persia dan Irak.

Dinasti ini muncul dari latar belakang situasi militer pada masa khilafah Abbasiyah. Kegagalan khilafah Abbasiyah untuk merekrut dan membayar militer selama paruh pertama abad ke-4 H/10M, menyebabkan terjadinya kekosongan pusat politik. Kekosongan ini diisi oleh sekelompok penduduk yang cinta perang dari wilayah pegunungan, yang kebanyakan baru saja masuk Islam. Salah satu di antaranya adalah suku Dailamy. Suku ini kemudian melahirkan keluarga yang terkenal yakni Dinasti Buwaihi.4

Nama lengkap Ibnu Miskawaih Abu Ali al-Kasim Ahmad (Muhammad) bin Yaqub bin Miskawaih.5 Miskawaih lahir di Ray (Teheran sekarang), terkait tahun lahirnya para peneliti memberikan

2 Seyyed Husain Nashr and Oliver Leaman (ed), History of Islamic Philosoph, (New York: Routledge, 1996), h. 252.

3 Philip K. Hitti, History of The Arab..., h. 472.

4 Taufiq Andullah (dkk), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Khilafah,(Jakarta:

Ichtiar Baru Van Hoeve, tt), h. 124.

5 Sebutan namanya yang lebih mashur adalah Miskawaih, Ibnu Miskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang sebelum menjadi muslim merupakan penganut agama Majusi (Persi). Gelarnya adalah Abu

‘Ali, yang dilekatkan pada nama sahabat Nabi yaitu Saidina Ali. Bagi kaum Syiah Syaidina Ali dipandang sebagai penganti Rasulullah ketika Nabi saw wafat. Merujuk pada gelar ini maka banyak orang mengklaim bahwa Miskawaih adalah penganut alairan Syi’ah. Gelar lain yang disandangkan pada Miskawaih adalah al-Khazin, yang berarti bendaharawan. Gelar ini diberikan karena Miskawaih pernah menjabat sebagai bendaharawan pada masa pemerintahan Bani Buwaih. Lebih lanjut lihat M. Lutfi Jum’ah, Tarikh Falasifat al-Islam (Mesir: 1927), h. 304-5.

angka yang berbeda, M.M Syarif menyebutkan Ibnu Miskawaih lahir pada 320 H/932 M.6 Saat dirinya tumbuh besar, Miskawaih memulai pendidikan dan pemantapan ilmu pengetahuannya di kota Baghdad, serta wafat di Isfahan pada 9 Shafar 421 H bertepatan dengan 16 Februari 1030 M. Makamnya hingga kini masih terpelihara.7

Teka-teki tentang Miskawaih sendiri masih menyisakan misteri, sebenarnya yang disebut sebagai Miskawaih itu dirinya sendiri atau putranya (ibnu) Miskawaih. Beberapa orang seperti Margoliouth dan Bergstrasser menerima alternatif pertama; sedangkan lainnya, seperti Brockelmann, menerima alternatif kedua. Yaqut berkata bahwa Miskawaih mula-mula beragama Majusi, kemudian memeluk Islam. Kemungkinan besar pernyataan ini ada benarnya, karena Miskawaih sendiri, sebagaimana tercermin pada namanya adalah putra seorang muslim, yang bernama Muhammad.8

Miskawaih adalah seorang ilmuan hebat yang dikenal sebagai filsuf, penyair, pendidik dan sejarawan. Miskawaih hidup pada era kejayaan kekhalifahan Abbasiyyah tepatnya pada masa pemerintahan Bani Abbas, yang mendapat pengaruh dari Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Persi.9 Miskawaih adalah seorang keturunan Persia, yang konon dirinya dan keluarganya beragama Majusi, kemudian pindah ke agama Islam. Konsep pemikiran Miskawaih berbeda dengan al-Kindi (801- 873M) dan al-Farabi yang lebih menekankan pada aspek metafisik, sedangkan Miskawaih pada tataran filsafat etika seperti al-Ghazali.10

Ibnu Miskawaih dikenal sebagai seorang filsuf moralis, karena hampir semua kajian filsafat Ibnu Miskawaih berhubungan erat

6 Margoliouth menetapkan tahun berbeda untuk kelahiran Miskawaih yaitu pada 330 H/932 M, sedangkan Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H.

Selanjutnya lihat A.A.Izzat, Ibnu Miskawaih, (Mesir, 1946), h. 79-80.

7 Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mullah Shadra, (Jakarta:

al-Huda, 2005), h. 111.

8 M.M. Syarif dalam Dedi Supriyadi, Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 110-111.

9 M.M. Syarif dalam Dedi Supriyadi, Filsafat Islam: Konsep, Filsuf..., h. 111.

10 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1996), h. 134.

dengan akhlak yang disandarkan pada ajaran Islam (al-Quran dan Hadis), yang dikombinasikan dengan pemikiran lain sebagai pelengkap seperti filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. Ibnu Makawaih konsisten untuk menentapkan pemikirannya berdasarkan ajaran Islam ketika diberhadapan dengan pemikiran lain di luar Islam, maka saat ada pertentangan Ibnu Miskawaih memilih ajaran Islam dibandingkan dengan pemikiran lain.11

Di dalam buku Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam juga dikatakan bahwa Miskawaih adalah ahli sejarah yang pemikirannya sangat cemerlang. Miskawaih merupakan ilmuwan Islam yang paling terkenal dan yang pertama kali menulis filsafat akhlak, maka setiap orang yang mengkaji sejarah al-Thabari dan membandingkannya dengan sejarah Miskawaih yang terkenal dengan nama Tajarruhnal-Umam, akan memahami bahwa Miskawaih berada pada peringkat kedua dalam penulisan sejarah setelah peringkat yang diduduki oleh para pendahulunya, karena Miskawaih bekerja cukup lama di pemerintahan dan kantor negara, Miskawaih memiliki banyak keistimewaan.12

Pengetahuannya tentang orang-orang yang terkenal pada zamannya sangat luas, Miskawaih mampu memperoleh informasi dari sumber aslinya. Miskawaih juga sangat memahami model administrasi dan strategi peperangan sehingga Miskawaih mudah menuliskan berbagai peristiwa secara jelas. Miskawaih juga mengusai berbagai manuver politik dengan baik. Al-Thabari jarang menyebutkan tentang ekonomi negara, berbeda dengan Miskawaih.

Miskawaih sering menyebutkan tentang perekonomian negara dengan sangat akurat, bahkan Miskawaih menuliskannya menjadi sejarah politik yang sangat hidup.13

Miskawaih tergolong pejabat dan intelektual yang memperoleh kemajuan pesat di bawah perlindungan Buwaihiyah, dan memberikan kontribusi yang besar terhadap kehidupan intelektual dan kultural

11 Muhammad Amin, Ẓuhr al Islām, juz II, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Araby, 1969), h. 177.

12 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 154

13 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh..., h. 154.

yang kaya dalam periode ini. Miskawaih memulai harinya dengan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan kesusastraan yang membentuk elemen-elemen utama kultur di masanya. Sampai akhir hayatnya Miskawaih merupakan seorang pakar dan penulis yang tekun. Pada masa mudanya, Miskawaih mengabdikan hidupnya kepada al-Muhallabi, wazirnya pangeran Buwaihiyah yang bernama Mu’izz al-Dawlah di Bahdad, sampai wazir tersebut wafat. Setelah Mu’izz wafat, Miskawaih diterima oleh saudara Mu’izz yang bernama Ibn al-‘Amin, dan bekerja sebagai pustakawan selama tujuh tahun.

Setelah Ibn al-‘Amid wafat pada 360 H/970 M, Miskawaih tetap mengabdikan dirinya kepada putra al-‘Amid, yang bernama Abu al-Fath. 14

Miskawaih tetap menduduki jabatan sebagai pustakawan sampai Abu al-Fath dipenjarakan dan wafat pada 366 H/976 M, dan Abu al-Fath digantikan oleh musuh sengitnya, wazir terkemuka dan ahli sastra, al-Shahib ibn ‘Abbad. Suasana yang tidak kondusif itu membuat Miskawaih meninggalkan Ray dan menuju Baghdad dan mengabdi kepada pangeran Buwaihiyah ‘Adhud al-Dawlah.

Miskawaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai bendaharawan dan memegang jabatan-jabatan lainnya. Setelah pangeran ini wafat pada 372 H/983 M, Miskawaih tetap mengabdi kepada pengganti pangeran ini yaitu Shamsham al-Dawlah pada 388 H/998 M.

Sampai pada priode Baha’al-Dawlah 403 H/1012 M. Dalam periode ini Miskawaih mencurahkan tahun-tahun terakhir dari hidupnya untuk studi dan menulis hingga akhir hayatnya.15 Menurut sebuah sumber, Miskawaih meninggal kira-kira tahun 320 H/932 M, asumsi ini didasarkan dengan berpijak pada fakta bahwa al-Mahallabi, yang menjabat sebagai wazir pada 339 H/ 950 M, orang terdekat dengan Miskawaih, meninggal pada 352 H/963 M, pada saat itu, paling tidak, Miskawaih telah berusia sembilan belas tahun.16

14 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam..., h. 154.

15 C.K.Zurayk, Dalam Pengantar Penulis Buku Tahzibul Akhlak, Terj. Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Jakarta: Beirut, 1968), h. 18.

16 M.M. Syarif dan Abdul Aziz Dahlan dalam Dedi Supriyadi, Filsafat Islam:

Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia 2009), h. 111.

Setelah menjelajahi banyak cabang ilmu pengetahuan dan filsafat, Miskawaih akhirnya lebih memusatkan perhatian pada sejarah dan akhlak. Gurunya dalam bidang sejarah adalah Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadi, sedangkan dalam bidang filsafat adalah Ibnu al-Khamar. Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub, yang nama keluarganya Miskawaih, disebut pula Abu Ali al-Khazim.17

Ketika Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendeharawan pada masa kekuasaan ‘Adhud Ad-Daulah, dalam masa ini pula Miskawaih muncul sebagai seorang filsuf, tabib, ilmuan dan pujangga. Keberhasilan politik yang telah dicapai oleh ‘Adhud ad-Daulah tidak diikuti oleh implementasi nilai-nilai akhlak dalam kehidupan bermasyarakat, hal inilah yang kemudian menimbulkan kegundahan hati Miskawaih, ketika menyaksikan kemerosotan moral di sekitarnya. Sepertinya hal inilah yang mendorong Miskawaih untuk menitik beratkan tulisannya pada masalah akhlak.18

Terkait dengan perjalanan pendidikan yang ditempuh oleh Miskawaih, tidak ditemukan informasi yang jelas, karena Miskawaih tidak menulis otobiografinya, dan para penulis riwayat hidupnya pun tidak memberikan gambaran konkret mengenai hal ini. Namun demikian dapat diduga bahwa Miskawaih tidak berbeda dengan kebiasaan seseorang yang menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan pada anak-anak zaman

‘Abbasiyah, bahwa pada umumnya anak-anak memulai pendidikan dengan belajar membaca, menulis, mempelajari al-Quran, dasar- dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (Nahwu) dan ‘Arudh (ilmu

17 M. Lutfi Jam’ah dalam Dedi Supriyadi, Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 110.

18 ‘Adhud ad-Daulah merupakan salah satu penguasa dari Bani Buwaih yang memegang kekuasaan pada rentang waktu 367 hingga 372 M. ‘Adhud ad-Daulah adalah penguasa Islam yang pertama sekali menggunakan gelar yang biasa digunakan oleh raja-raja Persi Kuno. Masa kekuasaan ‘Adhud ad-Daulah ditandai prestasi di bidang politik dengan menyatukan kembali negara-negara kecil yang memisahkan diri dari pemerintahan pusat, hingga kembali menjadi imperium besar sebagaimana yang pernah diraih oleh Harun ar-Rasyid. ‘Adhud ad-Daulah memiliki perhatian yang besar pada ilmu pengetahuan dan kesusteraan. Selengkapnya lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj, Arab oleh Edward Jurji, dkk, (Beiruth: Dar al-Kasyasyaf, 1952), h. 566.

membaca dan membuat syair). Mata pelajaran dasar tersebut diberikan di surau-surau, khusus bagi orang tua yang memiliki kemampuan akan mengundang guru ke rumahnya untuk mengajar anaknya secara privat. Setelah ilmu-ilmu dasar tersebut diselesaikan, kemudian anak-anak diberi pelajaran ilmu fiqih, hadis, sejarah (khususnya sejarah Arab, Persi, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti musik, main catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).19

Diduga Miskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan, Miskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran- pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Miskawaih mendapatkan ilmu pengetahuan dengan jalan membaca banyak buku saat Miskawaih dipercaya menjadi pengawas buku di perpustakaan Ibnu al-‘Amid, salah seorang menteri di masa kepemimpinan ‘Adhud Ad-Daulah.

Karir politik Miskawaih melesat cepat ketika pemerintahan ‘Adhudad- Daulah menobatkan Miskawaih sebagai bendaharawan istana.20 Dari hasil pembelajarannya yang panjang, Miskawaih memiliki berbagai ilmu pengetahuan dihampir semua bidang keilmuan, namun pengetahuan yang sangat menonjol adalah tentang sejarah, filsafat dan sastra. Kepiawaiannya dalam bidang sejarah telah mengantarkan Miskawaih menjadi pemikir yang memiliki keahlian sebagai sejarawan dan filsuf. Miskawaih belajar sejarah terutama Tārīkh Al-habarī, kepada Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (350 H/960 M). Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Miskawaih mengkaji al- kimia bersama Abu Ath-Thayyib Ar-Razi, seorang ahli al-kimia.21 Dari beberapa pernyataan Ibnu Sina dan At-Tauhidi tampak bahwa mereka berpendapat bahwa Miskawaih tidak mampu berfilsafat,

19 Ahmad Amin, Ḍuḥā al-Islam, (Cairo: Pustaka Pelajar, 1956), h. 66.

20 Abdul Aziz Izzat, Ibn Miskawaih, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1946), h. 90.

21 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2001), h. 5.

sedangkan Iqbal berpendapat bahwa Miskawaih sebagai salah seorang pemikir teistis, moralis, dan sejarawan.

Miskawaih adalah salah seorang anggota kelompok pemikir terkemuka yang berkarir politik dan beraktivitas filsafat. Sebagai bendahara penguasa Dinasti Buwaihiyyah ‘Adhud Ad-Daulah, Miskawaih banyak terlibat dalam segi praktis masyarakatnya, sementara sebagai anggota kelompok intelektual termasuk At- Tauhidi dan As-Sijistam, Miskawaih banyak memberikan andil bagi perdebatan teoritis pada masa itu. Meskipun banyak orang sezamannya meremehkan karya-karyanya, belum lagi orangnya, Miskawaih adalah seorang pemikir yang mampu menarik perhatian orang dengan gaya berpikirnya yang unik. Miskawaih menulis sejumlah topik yang luas, seperti dilakukan oleh banyak orang sezamannya, meskipun pasti muncul pertanyaan mengapa karyanya kurang terkenal dibandingkan dengan karya-karya Ibnu Sina.

Padahal setelah dilakukan penelusuran terhadap karya-karyanya, terbukti bahwa Miskawaih telah memberikan kontribusi yang besar untuk pemikiran filsafat. Bagaimanapun patut diberikan apresiasi yang tinggi bahwa dalam bidang filsafat Miskawaih telah meletakkan dasar dan susunan yang kuat dalam bidang etika.22

Fondasi berpikir filosofis yang matang dan komprehensif terbangun kuat dalam diri Miskawaih terutama dalam diskursus tentang etika, sehingga Miskawaih ditempatkan sebagai filsuf Islam yang mendapatkan gelar sebagai bapak etika Islam. Miskawaih adalah filsuf pertama Islam yang mengembangkan secara lengkap teori tentang etika dan menulis buku khusus tentang etika. 23

Sejarah dan filsafat merupakan dua bidang yang sangat disenanginya. Pada usia muda, Miskawaih dengan tekun mempelajari sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi pustakawan Ibnu al-

‘Abid, tempat dirinya menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya. Tidak hanya itu, Ibnu Miskawaih juga

22 Oliver Leaman dalam Dedi Supriyadi, Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 111-112.

23 Oliver Leaman dalam Dedi Supriyadi, Filsafat Islam..., h. 111-112.

merupakan seorang yang aktif dalam dunia politik di era kekuasaan Dinasti Buwaih, di Baghdad. Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi di istana Pangeran Buwaih sebagai bendaharawan, sekretaris, dan beberapa jabatan lainnya. Miskawaih selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan Abu Hayya at-Tauhidi, Yahya Ibnu ‘Adi dan ibnu Sina, selain itu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya.

Miskawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa, keahlian Miskawaih dalam berbagai bidang tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.24

Miskawaih mengkombinasikan karier politik dengan peraturan filsafat yang penting. Tidak hanya di kantor Buwaiah di Baghdad, Miskawaih juga mengabdi di Isfahan dan Rayy. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis. Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah.

Miskawaih dikenal sebagai bapak etika Islam. Penyebutan ini tentu tidak diberikan begitu saja, indikasi terhadap klaim ini didasarkan pada karya Miskawaih tentang dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahzīb al-Akhlāq wa Tahīr al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlaq). Referensi filsafat etika Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, syariat Islam, dan pengalaman pribadi. 25 B. Karya-Karya Ibnu Miskawaih

Miskawaih, sebagaimana al-Tauhidi dan al-Sijistani masuk dalam kategori para sastrawan dan ahli ilmu pasti (polymath) pada masanya. Pengetahuan Miskawaih berkisar dari sejarah, psikologi dan etika. Karya-karya monumentalnya telah membawa pengaruh yang signifikan bagi sejarah dunia, seperti Tajāribal-Umam; sebuah koleksi pribahasa Yunani-Persia-Arab. Buku risalah etika Tahzībal- Akhlāk, brosur Psikologi yang terdiri dari petikan-petikan dari brosur-

24 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., hlm. 5-6.

25 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh ..., h. 5-6.

brosur tentang Kesenangan, Alam (Tabiat), Esensi Jiwa, Akal dan tentang Jiwa yang termaktub dalam manuskrip-manuskrip Istambul. 26

Dari hasil penelusuran Abdul Azis Dahlan dengan berpegang pada para penulis masa lalu, sedikitnya terdapat 18 buah judul karya tulis Miskawaih yang sudah dipublikasikan dan dikonsumsi oleh masyarakat akademis khususnya. Karya-karyanya yang sudah dikenalkebanyakan berbicara tentang jiwa dan ahklak (etika). Adapun versi Yaqut menuliskan bahwa Miskawaih sudah memperkenalkan sedikitnya 13 buah karya tulisnya. 27

Dalam banyak bidang ilmu pengetahuan, Miskawaih adalah seorang pakar yang aktif dalam menulis, hal itu dibuktikan dengan tulisannya yang menjadi saksi zaman bahwa Miskawaih memiliki keluasan ilmu pengetahuan dan kebesaran kultur di masa hidupnya.

Jumlah karya tulisnya menurut catatan beberapa peneliti mencapai 18 judul yang kebanyakan berbicara tentang sejarah, jiwa dan etika, tetapi hanya sedikit karya tulisnya yang masih dikaji sampai saat ini.

Hal senada diungkapkan oleh Muhammad Baqir ibn Zain Al-Abidin al-Hawashari yang dikutip Fuad Al-Ahwani, mengatakan bahwa Miskawaih juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Parsi,28 Sementara menurut Ahmad Amin jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Miskawaih 41 buah, namun semua karya Miskawaih tersebut tidak luput dari kepentingan filsafat akhlak.29

Dalam salah satu karya utamanya di bidang metafisika, al- Fauzal-Ashghar,Miskawaih memberikan sebuah penjelasan singkat tentang Neoplatonisme, yang mendahului karya Ibnu Sina seperti al-Najāt. Ada perbedaan yang cukup kentara dalam metode dan materi pokok kedua karya tersebut. Sistematika ilmu-ilmu filsafat dikemukakan Miskawaih sebagai matematika, logika, fisika, dan metafisika. Neo Platonik Arab seperti yang disajikan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina logika biasanya dipandang sebagai persiapan

26 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh..., h. 6.

27 Ensiklopedia Islam di Indonesia..., h. 398.

28 Raudhat al-Jannah, (Teheran: Pustaka Pelajar: 1992), h. 70.

29 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh..., h. 6.

bagi studi ilmu-ilmu filosofis yang lain. Miskawaih menegaskan eksistensi Tuhan dan keesaannya secara universal dijunjung tinggi oleh semua filosof terdahulu yang pemikirannya atas masalah ini sepenuhnya sesuai dengan ajaran para nabi. Argumen favoritnya tentang eksistensi Tuhan, tidak seperti kebanyakan para filosof Islam adalah argumentasi Aristoteles tentang gerak dianggap tepat untuk membuktikan eksistensi Sang Pencipta. Penggerak atau Pencipta yang Tidak Bergerak ini tidak berubah-rubah dan sama sekali berbeda dengan entitas apa pun yang lainnya, karena ketidakmungkinan memberikan-Nya secara rasional dalam istilah apa pun, kecuali istilah-istilah negatif. Tetapi karena keharusan untuk menganggap kesempurnaan-kesempurnaan tertinggi berasal dari-Nya, maka manusia harus dibimbing dalam masalah ini oleh keputusan-keputusan kitab Suci dan konsensus umat.30

Dalam bidang sejarah, Miskawaih menulis sebuah karya penting, Tajaribal-Umam (Pengalaman Bangsa-Bangsa), sebuah sejarah universal sampai tahun 369 Hijriah (979-80 Masehi), yang diarahkan khusus pada periode setelah al-Thabari, di mana menurut editor dan penerjemahnya, D.S.Margoliouth, Miskawaih memperlihatkan bahwa dirinya jelas lebih unggul dibandingkan para sejarawan terkemuka sebelumnya.31

Dalam bidang etika, karyanya yang paling penting dan berpengaruh adalah TahzībulAkhlāk dan KitabTartībAs-Sa’ādah. Kedua kitab ini membicarakan kehidupan rohani dan etika. Tartib As-Sa’adah pembahasannya lebih kepada etika politik terutama hubungannya dengan pemerintahan Bani ‘Abbas dan Bani Buwaih.

Bukunya Tahzībul Akhlāk yang membuat Miskawaih populer, secara garis besar membahas tentang kebaikan, kebahagiaan dan kematian, yang menjadi hal paling ditakutkan manusia. Menurut Ibn Miskawaih, orang takut mati karena tidak tahu apakah hakikat mati dan apa yang akan ditempuhnya sesudah mati atau manusia

30 Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1983), h. 266.

31 Margoliouth, The Eclipse of the ‘Abbasid Caliphate, (ed.)H.F.Amedroz dan D.S. Margoliouth, 7 volume,(Kairo dan Oxford, 1914-1921), h. i-xi.

menyangka bahwa mati melebihi dari segala sakit sewaktu hidup, mungkin juga takut mati karena berat bercerai dengan harta benda,anak, istri, dan keluarga. 32

Di samping dua karya monumental itu, Miskawaih juga menulis risalah lain seperti Fi’l lazzul walalam, yang membahas masalah yang berhubungan dengan perasaan yang dapat membahagiakan dan menyengsarakan jiwa manusia. Risalah Fi’il haba’iyah, yang membahas ilmu yang berhubungan dengan alam semesta. Risalah Fi’il al-Jauhar al-Nafs, yang membahas masalah yang berhubungan dengan ilmu jiwa. Kitab Jawazan Khard, membahas masalah yang berhubungan dengan pemerintahan dan hukum terutama menyangkut empat negara yaitu Persia, Arab, India dan Roma.

Kitab Adawiyah Mufridah, buku ini berisikan obat-obatan. Tarkibulal Bijahminal-Ath’imah, membahas hal-hal yang berhubungan dengan kimia dan kedokteran.33

Karya lain Miskawaih dalam bentuk antologi-antologi etika atau puisi adalah Uns al-Farīd, risalah ini berisikan kumpulan anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata mutiara. Al-Mustawfi, berisikan syair-syair pilihan, dan al-Siyar mengandung tentang aturan hidup. Al-Fauz al- Akbar, ini adalah kitab yang di dalamnya menjelaskan tentang etika dan keberhasilan besar.Ajwībahwaal-As ‘ilah fi an-Nafswaal-‘Aql, isinya tentang tanya jawab tentang jiwa. Al-Jawabfial-Masa’ilas-Salas, risalah ini mengandung jawaban tentang tiga masalah. Taharatan- Nafs berisikan kesucian jiwa. Al-Jami’, kitab ini menjelaskan tentang ketabiban. Kitab al-Adwiyah membicarakan tentang obat-obatan, kitab al-Asyribah, menjelaskan tentang minuman.

Maqalatfian-Nafsiwa al-‘Aqli, membicarakan tentang jiwa dan akal.34 Para peneliti Miskawaih sebelumnya mencatat bahwa Tahzib al-Akhlak menempati tempat terkemuka dalam cabang literatur etika muslim. Literatur ini sangat lengkap dan beraneka ragam, sebagiannya dari tradisi hukum dan didasarkan pada al-Quran dan

32 Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy..., h. 266.

33 Margoliouth, The Eclipse of the ‘Abbasid Caliphate..., h. i-xi.

34 A.A. Izzat, Ibn Miskawaih, (Mesir: al-Kautsar, 1946), h. 79-80.

Dokumen terkait