• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel Perbandingan Antara Persamaan dan Perbedaan

Dalam dokumen upah dalam pengurusan jenazah perspektif (Halaman 36-107)

BAB V PENUTUP

B. Saran-saran

2.1 Tabel Perbandingan Antara Persamaan dan Perbedaan

No Nama Judul Persamaan Perbedaan

1 Dian Hasanah

Pandangan Nahdlatul Ulama Dan Muhammadiyah Terhadap Tradisi Upah Pelayat (Studi Kasus Di Desa Haur Gajrung, Kec Cipanas, Kab Lebak Banten).

Sama-sama membahas mengenai upah mengupah dalam pengurusan jenazah.

Dalam penelitian Dian Hasanah peneliti fokus membahas mengenai perbedaan pendapat antara Nadhlatul Ulama dengan

Muhammadiyah secara rinci.

Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti ialah membahas

tentang upah bagi para warga yag ikut membantu dalam proses pengurusan jenazah dalam hukum Islam.

2 Imam Kurniadi

Hukum Mengambil Upah Mengurus Jenazah

Menurut Imam Al-Qalyubi Dan Imam Ibnu

„Abidin (Studi Kasus di Kecamatan Pulau Rakyat Kabupaten Asahan)

Sama-sama membahas mengenai pengupahan dalam pengurusan jenazah

Dalam penelitian Imam Kurniadi peneliti fokus meneliti mengenai perbedaan perdapat mengenai pemberian upah dalam pengurusan jenazah menurut pandangan Imam Al-Qalyubi dan imam Ibnu

„Abidin.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu tentang

pemberian upah dalam pengurusan jenazah dalam hukum Islam.

3 Noor Muhammad

Persepsi Ulama Tentang Ijarah Jamaah Shalat Jenazah di Kecamtan Tamban Catur KM. 20 Kabupaten Kapuas

Sama-sama membahas mengenai upah mengupah (ijarah) dalam proses

pengurusan jenazah

Dalam penelitian Noor Muhammad peneliti fokus membahas mengenai aturan hukum dan perbedaan pendapat para ulama setempat.

Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti ialah fokus membahas mengenai

pemberian upah dalam proses pengurusan jenazah ditinjau dari hukum Islam.

4 Reskia Zahara Lubis

Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama Dan Tokoh

Muhammadiyah Terhadap

Tradisi Memberi Uang Kepada Pelayat (Studi Kasus Di Kecamatan Teluk Nibung Kota Tanjung Balai)

Sama-sama membahas mengenai pemberian upah dalam pengurusan jenazah

Penelitian Rezkia Zahara Lubis fokus membahas mengenai

perbedaan pendapat tokoh Nahdlatul Ulama dan tokoh

Muhammadiyah mengenai pemberian upah pada pelayat, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti ialah fokus terhadap pemberian upah terhadap proses pengurusan jenazah perspektif hukum Islam.

23

B. KAJIAN TEORI 1. Upah

a. Pengertian Upah

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan pengertian upah secara umum yakni sebagai uang yang diberikan diperuntukkan balas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang telah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.33

Dalam Islam upah termasuk dalam golongan Ijarah. Kata ijarah berawalan dari ajr bermakna imbalan. Bentuk imbalan yang diterima atas hasil suatu pekerjaan yang diberikan dalam Islam disebut Ujrah dan juga bersifat orientasi dunia dan akhirat.

Orientasi akhirat atas diterimanya dalam bentuk upah secara penuh adalah hak mutlak dari Allah SWT yang memberikan dengan sebutan pahala (ajrun).34

Dalam syariat, pengertian ijarah merupakan akad untuk memperoleh manfaat sebagai imbalan.35 MA. Tihami berpendapat bahwa, kata al-Ijarah atau sewa-menyewa merupakan akad atau perjanjian dengan memiliki implikasi terhadap terambilnya atau dimilikinya suatu manfaat, dengan hal demikian menjadi objek akad yang diambil manfaatnya akan menjadi halal hukumnya,

33 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1787.

34 Isnaini Harahap, dkk, Hadis-Hadis Ekonomi, Cet. Ke 1 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 80.

35 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 5 (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), 258.

yakni melalui melakukan pelunasan bayar atau sewa.36 Dr.

Muhammad Syafi‟i Antono juga berpendapat bahwa ijarah merupakan pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam akad, melalui dibayarkannya upah sewa, dengan tidak mengikut sertakan kepemilikan yang berpindah (ownership/ milkiyah) objek barang tersebut.37

Dalam kaidah sewa-menyewa, upah menjadi bagian di dalamnya dengan terlibatnya mu‟jir dan musta‟jir. Mu‟jir disebut sebagai yang menyewakan manfaat (memberikan upah).

Sedangkan musta‟jir merupakan penerima sewa (penyewa atau penerima upah). Akad yang bertujuan tentang pengambilan manfaat dikenal sebagai Ma‟jur (sewaan), sedangkan pemberian jasa untuk bayar jasa atas perolehan manfaat disebut Ajran atau Ujrah (upah atau imbalan). Pemberian imbalan terhadap orang yang telah sepakat untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu serta kesepakatan pemberian imbalan sesuai dengan perjanjian disebut sebagai upah.38

Ijarah dan Ujrah adalah dua persoalan yang saling memiliki keterkaitan. Namun, menjadi pembeda antara dua hal tersebut yaitu, Ijarah secara sederhana dapat dipahami sebagai perjanjian (akad) dalam pengambilan manfaat benda atau jasa.

36 Sohari Sahrani dan Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 167.

37 Mardani, Fiqh Ekonomi, 247.

38 A. Khumedi Ja‟far, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Bandar Lampung: Permatanet Publishing, 2016), 141.

25

Sedangkan ujrah (upah) diartikan sebagai imbalan atau balasan dari manfaat yang telah diperoleh.

Para ulama dalam mengartikan kata ijarah dalam istilah memiliki perbedaan pendapat, diantaranya:

I. Ijarah menurut Hanafiyah, yaitu:

لاَمَوُى ٍضَوِعِب ِةَعَفْ نَمْلا ىَلَعٌدَقَعُةَراَجْلإَا

“Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa uang.”39

II. Ijarah menurut Malikiyah, yaitu:

ٍضَوِعِبًةَمْوُلْعَمًةَّدُم ٍحاَبُمٍءْيَش ِعِفاَنَم َكْيِلَْتَُدْيِفُيٌدْقَع...ُةَراَجِلإَا ِةَعَفْ نَمْلا ِنَعٍءيِشاَنِْيَْغ

“Ijarah… adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.”40

III. Ijarah menurut Asy-Syafi‟iyah, yaitu:

ِلْدَبْلِلٍةَلِباَقٍةَمْوُلْعَمٍةَدُصْقَمٍةَعَفْ نَم ىَلَعٌدْقَع : ِةَراَجِلإْادْقَعٌّدَحَو ْوُلْعَم ٍضَوِعِبِةَحاَبِلإْاَو ٍم

“Definisi akad ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.”41

IV. Ijarah menurut Hanabillah, yaitu:

ِظْفَلِبُدِقَعْ نَ ت ِعِفاَنَمْلا ىَلَعٌدْقَع َيِىَو اَُهُاَنْعَم ِْفِاَمَوِءاَرَكْلاَوِةَراَجِلإا

“Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara‟ dan semacamnya.”42

39 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2017), 316.

40 Ahmad, Fiqh, 316.

41 Ahmad, Fiqh, 317.

42 Ahmad, Fiqh, 317.

V. Ijarah menurut Sayyid Sabiq merupakan satu macam akad dengan tujuan pengambilan manfaat melalui jalan penggantian.43

VI. Ijarah menurut Hasbi Ash-Shiddiqie, yaitu:

“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat”.44

Berdasarkan pemaparan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa upah dalam Islam termasuk dalam golongan Ijarah a‟mal atau asykhas yaitu memberikan upah kepada orang yang telah memberikan jasanya untuk melakukan pekerjaan.45 Konsep ujrah atau upah diartikan sebagai hak atas perjanjian dalam pekerjaan dan menajadi kewajiban penerima manfaat dalam membayar upah sesuai yang telah diperjanjikan.

b. Dasar Hukum Upah I. Al Qur‟an

Dasar-dasar hukum upah (ijarah) dalam alquran beberapa diantaranya:

i. QS. At Talaq: 6

َّنُىَرْوُجُا َّنُىْوُ تٰاَف ْمُكَل َنْعَضْرَا ْنِاَف

43 Sohari dan Ru‟fah, Fikih, 168.

44 Sohari dan Ru‟fah, Fikih, 168.

45 Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keuangan dan Bisnis Kontemporer (Jakarta Timur: Prenadanmedia Group, 2019), 117.

27

Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak- anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.”(QS. Al Talaq:6).46

Ayat di atas menjelaskan bahwa, apabila seseorang telah memberikan jasa, hendaknya mereka memberinya upah sesuai dengan apa yang telah dia berikan kepada mereka.

ii. QS. Al Baqarah: 233



































































































































Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak- anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya,dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan

46 Depag RI, Al Quran dan Terjemahan, 559.

permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS.Al Baqarah:

233).47

iii. QS. Al Qashash: 26-27

















































































Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:

"Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhrrya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya Berkatalah dari (Syu'aib):" Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insyaAllah akan mendapatiku termasuk orang orang yang baik.” (QS. Al Qashash: 26-27).48

Ayat di atas menerangkan mengenai kisah Nabi Musa A.S yang membantu 2 anak gadis mengambil air yang tak disangka dua gadis tersebut anak nabi Syu‟aib. Dari peristiwa tersebut salah satu anak nabi

47 Depag RI, Al Quran dan Terjemahan, 37.

48 Depag RI, Al Quran dan Terjemahan, 388.

29

Syu‟aib meminta kepada ayahnya untuk memperkerjakan Nabi Musa AS untuk mengembalakan kambing yang ia miliki.

II. Hadist

Adapun beberapa hadist yang menysariatkan tentang upah (ijarah) beberapa diantaranya:

i. Hadits Aisyah

ِِبَّنلا َجْوَزاَمُهْ نَع ُوَّللا َيِضَر َةَشِئاَع َّنَأِْيَْ بُّزلا ِنْبَةَوْرُع ْنَع َّللا ىَّلَص ِوْيَلَع ُوَّللا ُلْوُسَرَرَجْأَتْساَو :ْتَلَ ق َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُو

َوُىَواًتْ يِرِخاًيِداَى ِلْيَّدلا ِنَِب ْنِم ًلُجَرٍرْكَبْوُ بَأَو َمَّلَسَو ٍرْوَ ثَراَغُىاَدَعَوَواَمِهْيَ تَلِحار ِوْيَلِإاَعَ فَدَف ٍشْيَرُ قِراَّفُك ِنْيِدىَلَع ٍلاَيَل ِث َلََثَدْعَ ب ٍثَلَ ثَحْبُصاَمِهْيَ تَلِحاَرِب

Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra.

istri Nabi SAW berkata: “Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku Bani Ad- Dayl, petunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Tsur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa.” (HR. Al-Bukhari)49

ii. Hadits Ibnu Abbas

ٍساَّبَع ِنْباِنَع ُِّبَّنلااَمَجَتْحا :َلاَقاَمُهْ نَع ُوَّللا َيِضَر

.ُهَرْجَأ َماَّجُْلْا ىَطْعَأَو مَّلَسو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص

Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Nabi SAW berbekam dan beliau memberikan kepada tukang bekam itu upahnya”.

(HR. Al-Bukhari)50

49Ahmad, Fiqh Muamalat, 319.

50 Ahmad, Fiqh Muamalat, 319.

iii. Hadits Ibnu Umar

ِوَّللا ُلْوُسَر َلاَق :َلاَقاَمُهْ نَع ُوَّللا َيِضَرَرَمُع ِنْبا ِنَع َو َّفَِيَ ْنَأ َلْبَ ق ُهَرْجَأَرْ يِجَلأْاْوُطْعَا :َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص .ُةَقَرَع

Dari Ibnu Umar ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

Berikanlah kepada tenaga kerja itu upahnya sebelum keringatnyaWealth does produce happiness, but perfect happiness is produced without wealth and only togetherness kering”. (HR. Ibnu Majah)51

iv. Imam Bukhari menyatakan bahwasanya Rasullah SAW.

Pernah memberi upah kepada seseorang laki-laki dari Bani Dil yang bernama Abdullah bin Ubaidah. Dia merupakan seseorang pemandu jalan yang berpengalaman.52

Menurut paparan penjelasan yang telah dikemukakan diatas bahwasanya para ulama menyetujui dengan sewa- menyewa dan upah dan tak ada seorang ulama satupun yang memprotes dengan kesepakatan atau ijma‟

tersebut.53 c. Rukun dan Syarat Upah

Adapun rukun upah (ijarah) menurut ulama Hanafiyah hanya ada 2 yaitu ijab dan qabul, dengan memakai kalimat al ijarah, al isti‟jar, al iktira, al ikra. Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada 4, diantaranya:

51 Ahmad, Fiqh Muamalat, 320.

52 Sayyid, Fiqih Sunnah, 260.

53 Sohari dan Ru‟fah, Fikih, 169.

31

a) Orang yang berakad Aqid, yakni mu‟jir atau musta‟jir yaitu orang yang menyewakan atau pemberi upah dan musta‟jir yaitu orang penerima upah.

b) Sighah, yakni ijab qabul antara mu‟jir dan musta‟jir.

c) Ujrah yaitu upah atau imbalan.

d) Manfaah atau Ma‟qud alaih yaitu manfaat atau barang yang disewakan/ sesuatu yang dikerjakan.54

Syarat-syarat upah (ijarah) yang patut diperhatikan diantarnya sebagai berikut:

a) Orang yang melakukan akad harus saling ridha.

b) Manfaat dari sesuatu yang diakad harus diketahui jelas agar tidak menimbulkan percekcokan.

c) Sesuatu yang diakadkan dapat diambil manfaatnya yang sesuai dengan hukum.

d) Barang yang disewa dapat diserahkan berbarengan dengan manfaat yang terdapat di dalamnya.

e) Manfaat yang tengah diakadkan hukumnya mubah, tidak haram dan tak pula wajib.55

Seseorang yang akan melakukan akad ijarah juga harus memenuhi syarat yaitu keduanya harus berakal dan mumayyiz.

Namun jika satu dari dua orang tersebut gila atau belum mumayyiz, maka akadnya tidak sah. Ulama Mazhab Syafi‟idan Mazhab

54 Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), 159.

55 Sayyid, Fiqih, 261-62.

Hambali bersepakat syarat orang yang berakad yaitu baligh.

Menurut kedua Mazhab tersebut, anak kecil yang sedang melakukan akad meskipun anak tersebut mumayyiz maka akadnya tetap tidak sah.56

d. Macam-macam Upah

Ijarah atau upah lazimnya dibagi dengan memerhatikan objek dari ijarah atau upah. Menurut ulama fiqih akad ijarah atau upahjika ditinjau dari objeknya dibagi dua macam, diantaranya:

1) Ijarah atas manfaat

Sewa-menyewa merupakan suatu praktik ijarah dengan fokus terhadap pengalihan fungsi atas barang. Barang yang disewakan merupakan barang yang diizinkan menurut agama (mubah) seperti SAWah yang diambil manfaatnya untuk ditanami, mobil yang diambil manfaat untuk berkendara, rumah yang diambil manfaatnya untuk ditempati. Dalam hal ini, penyewa memiliki hak atas barang untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan keinginan, bahkan dapat disewakan kembali kepada pihak lain.57

2) Ijarah atas pekerjaan

Ijarah atas pekerjaan yaitu pemberian pekerjaan kepada seseorang guna melakukan suatu pekerjaan. Contoh dari ijarah ini yang diperbolehkan seperti kuli bangunan, penjahit, tukang

56 Sayyid, Fiqih, 261.

57 Muhamad Nadzir, Fiqh Muamalah Klasik (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), 64.

33

sepatu dan lain-lain, yaitu ijarah yang bersifat kelompok. Ijarah yang bersifat pribadi juga dapat dibenarkan seperti pemberian gaji kepada pembantu rumah tangga, tukang kebun dan satpam.58

e. Batal dan Berakhirnya Upah

Ada beberapa hal yang menyebabkan batal dan berakhirnya upah mengupah, yaitu:

1) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan.

2) Berakhirnya masa yang telah ditentukan.

3) Selesainya pekerjaan.

4) Pembatalan akad.59 2. Upah Pengurusan Jenazah

Upah dalam proses pemakaman jenazah dapat dikategorikan kedalam upah dalam hal perbuatan ibadah. Ulama Fikih berbeda pendapat tentang upah yang dikatagorikan kedalam upah atas perbuatan ibadah.Madzhab hanafiyah berpendapat bahwa ijarah atas perbuatan ibadah atau dalam bentuk ketaatan kepada Allah Swt seperti mengupah seorang mengajar Al-Qur‟an, mengupah imam shalat fardhu dan sebagainya haram hukumnya.60 Ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, atau puasa, atau mengerjakan haji, atau membaca Al-Qur‟an yang pahalanya dihadiahkan kepadanya

58 M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah) (Jakrta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 236.

59 Sayyid, Fiqih, 29.

60 Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 280.

(yang menyewa), atau untuk azan, atau untuk menjadi imam manusia atau hal-hal yang serupa itu, tidak dibolehkan dan hukumnya haram mengambil upah tersebut. Upah atas ketaatan haram berdasarkan hadis Rasulullah Saw. diantaranya:

نآرقلاو ءرقا ملس و هيلع للها ىلص للهاوسر لاق بش نب نمحرلا دبع نع هيف اولغت لاو هنع اوفجت لاو هب اورثكتست لاو هب اولكأتلاو

Dari Abdurrahman bin Syibl berkata: Rasulullah Saw.

bersabda: “Bacalah olehmu Al-Qur‟an dan jangalah kamu (cari) makan dengan jalan itu, janganlah kalian memperbanyak harta dengannya, janganlah kalian menjauh darinya dan janganlah kalian berkhianat padanya.”(HR. Ahmad).61

Dengan demikian jelas bahwa perbuatan yang termasuk ke dalam ibadah, maka pahalanya jatuh kepada pelakunya, oleh karena itu tidak boleh mengambil upah dari orang lain untuk pekerjaan itu.

Menuru mazhab Hambali tidak diperbolehkan membayar upah atas azan, iqamat, mengajarkan Al-Qur‟an, fikih, hadis, badal haji, dan qadha. Perbuatan-perbuatan ini tidak bisa, kecuali menjadi perbuatan taqarrub (bagi si pelakunya). Diharamkan mengambil bayaran atau upah untuk perbuatan tersebut. Namun mereka mengatakan boleh mengambil rezekinya dari baitul mal. Karena itu bukanlah kompensasi melainkan rezeki untuk membantunya dalam melaksanakan ketaatan, hal itu tidak mengeluarkannya dari mendekatkan diri kepada Allah dan tidak akan menodai keikhlasannya.

61 Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Al Imam Ahmad bin Hanbal, Cet ke. 1 (Muassatur Risalah, 2001),444.

35

Sedangkan Mazhab Maliki, Asy Syafi‟i membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur‟an dan ilmu, karena ini termasuk jenis imblan dari perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula. Sedangkan dalam kitab al-Mahalli, Ibnu Hazm menceritakan bahwa Ammar bin Yasir pernah memberikan sesuatu kepada orang-orang yang membaca Al-Qur‟an pada bulan Ramadhan, kemudian berita itu terdengar oleh Umar, maka dia sangat membencinya. Sa‟ad bin Abi Waqqas pernah berkata: “Barang siapa yang membaca Al-Qur‟an, maka akan mendapatkan dua ribu (kebaikan). “Umar berkata: “Apakah kamu akan memberi harga terhadap Kitab Allah?.”62

Ibnu Hazm mengatakan “Pemberian imbalan untuk mengajarkan Al-Qur‟an dan pengajaran ilmu dibolehkan, baik secara bulanan maupun sekaligus. Semua itu boleh. Untuk pengobatan, menulis Al-Qur‟an dan menulis buku-buku pengetahuan juga diperbolehkan, karena nash pelarangannya tidak ada, bahkan yang ada membolehlannya.” Pendapat mazhab Maliki, Asy-Syafi‟i dan Ibn Hazm diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Abbas ra tentang upah dalam meruqyah.

Menurut mazhab Syafi‟i pemberian imbalan kepada yang memandikan mayit dan mentalqin mayit diperbolehkan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah tidak boleh menerima imbalan untuk

62 Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khatab ra (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1999), 180.

memandikan mayit, akan tetapi untuk menggali dan membawa jenazah, diperbolehkan.

Menurut ulama kontemporer seperti Sayyid Sabiq, bahwa upah yang diambil dalam perbuatan ketaatan haram diambil, tetapi para fuqoha mutakhir mengecualikan dari asal ini mengajarkan Al-Qur‟an dan ilmu agama (syariah), mereka menfatwakan boleh mengambil upah berdasarkan istihsan, setelah terputusnya pemberian yang diberikan kepada pengajar, pada masa awal dari orang kaya dan baitul mal. Agar mereka tidak tertimpa kesusahan dan sesulitan. Mereka membutuhkan sesuatu yang bisa menegakkan kehidupan mereka dan keluarganya. Kesibukan mereka dalam dunia, seperti bertani, berdagang dan industry akan menyia-nyiakan Al-Qur‟an dan ilmu agama (kesyariahan) dengan musnahnya yang membawanya. Maka boleh memberi kepada mereka upah karena mengajarkan sesuatu.63

Sedangkan menurut Wahbah az Zuhaili, tidak sah Ijarah atas takarrub dan perbuatan ketaatan seperti shalat, puasa, haji, mengimami shalat, azan, mengajarkan Al-Qur‟an dan ilmu Al-Qur‟an karena dapat menyebabkan orang pergi atau meninggalkan shalat bejamaah dan mempelajari Al-Qur‟an dan ilmu Al-Qur‟an. Dan diperbolehkan berdasarkan kesepakatan Ijarah untuk mengajarkan bahasa Arab, sastra, hisab, fikih, hadis dan ilmu lainnya.

63 Al Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Beirut: Dar Al Kitab Al Arabi, 19971), 148.

37

Alasan para ulama kontemporer membolehkan mengambil upah atas perbuatan taat sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar al-Jazair bahwa fatwa para ulama kontemporer diperbolehkannya mengambil upah atas sebagian perbuatan taat adalah karena darurat, dikhawatirkan akan terabaikannya atau terlantarnya ketaatan, maka dari itu para ulama kontemporer membolehkan mengambil upah atas mengajarkan Al-Qur‟an dan yang lainnya. Para ulama kontemporer sepakat bahwa tidak boleh mengambil upah dari membaca Al-Qur‟an karena itu bukanlah sesuatu yang dapat dikatakan darurat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid Sabiq telah terputusnya pemberian dari baitulmal dan orang kaya dan takut disia siakannya agama dan ilmu- ilmu agama dan adanya kebutuhan.64

3. Pengurusan Jenazah a. Pengertian Jenazah

Jenazah berasal dari kata bahasa Arab (انج ةز) dengan arti tubuh mayat dan جانز yang berarti menutupi. Oleh karena itu, pengertian umum kata jenazah mengandung makna tubuh mayat yang tertutup. Dengan diberikannya nama jenazah karena keharusan untuk menutupi tubuh mayit.65 Dalam ensiklopedia

64 Abdul Hayi, Fikih Kontemporer (Jakarta: Grafika Jaya, 2004), 102-106.

65 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 214.

Islam, arti jenazah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penguburan dan proses pengkafanan orang yang meninggal.66

Secara terminologi jenazah merupakan orang yang telah meninggal dunia dan terpisahnya ruh dari tubuhnya. Menurut Hasan Sadiliy jenazah berarti “orang yang telah meninggal dunia dan telah terputus dari dunia dan kehidupan di bumi.67 Menurut Hasby Ash-Shiddiqie kata jenazah biasa digunakan dalam bahasa arab, yang memiliki arti kata jenazah digunakan tidak hanya untuk orang yang telah meninggal, tetapi juga untuk hewan yang sudah mati. Lain halnya dalam bahasa Indonesia, dimana kata jenazah hanya digunakan untuk orang yang telah meninggal.68

Referensi lain yang termaktub pada kamus besar Al- Munawwir mengartikan jenazah sebagai manusia yang sudah meninggal dunia dan diletakkan dalam keranda.69

b. Pengurusan Jenazah

Menurut hukum, pengurusan jenazah adalah fardhu kifayah70 atau kewajiban sebagian bukan seluruhnya, dengan kata lain apabila dalam pengurusan jenazah tersebut telah ada seorang muslim yang ikut serta didalamnya maka muslim lainnya

66 Cepil Glasse, Ensiklopedia Islam: Ringkas (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 192.

67 Hasan Sadiliy, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1982), 36.

68 Hasby Ash Shiddiqie, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 245.

69 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 215.

70 Othman Mukim Hassan, Khulasah Kifayah Himpunan 600 Masalah Jenazah (Malaysia: Pustaka Ilmi, 1995), 2.

39

diperbolehkan untuk tidak ikut serta dalam proes pengurusan jenazah tersebut.

Adapun hal-hal yang berkenaan dalam proses pengurusan jenazah, diantaranya sebagai berikut:

a) Memandikan jenazah

Hukum memandikan mayat atau jenazah ialah fardu kifayah hal tersebut ditegaskan secara umum oleh para ulama.71

Dalam memandikan jenazah perlu diperhatikan terkait siapa saja orang yang berhak untuk ikut andil dalam proses tersebut.

Ahli fiqh dalam pendapatnya bersepakat bahwa, hak dalam mengurus memandikan mayat laki-laki yaitu laki-laki dan mayat perempuan yang berhak untuk memandikannya yaitu perempuan (sesuai jenis gender).

Ketidaksepakatan muncul ketika hukum ditetapkan bagi seorang suami memandikan jenazah istrinya begitu pula sebaliknya, istri memandikan jenazah suami. Menurut pendapat ahli fiqh kalangan hanabilah mengatakan bahwa seorang mahrom laki-laki tidak dibolehkan memandikan mayat istrinya, karena pernikahannya telah berakhir karena kematian istrinya, apabila dalam kondisi tersebut tidak ada yang bisa memandikannya selain suami maka disini peran suami boleh memandikannya dengan cara bertayammum dan tidak boleh

71 Sayyid, Fiqih, 349.

Dalam dokumen upah dalam pengurusan jenazah perspektif (Halaman 36-107)

Dokumen terkait