BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS
B. Penyajian Data dan Analisis
2. Praktik Pengupahan Dalam Proses Pengurusan Jenazah Ditinjau
maka adapun sanksinya ialah tidak menerima semua apa yang telah rukun kematian keluarkan, misal hanya mendapatkankan setengah dari peralatan yang didapatkan, namun untuk konsumsi dapur pihak keluarga dapat menanggungnya sendiri. Jika diketahui warganya tidak membayar iuran selama satu tahun maka resikonya ialah tidak dapat atau meminjam semua perlengkapan yang rukun kematian punya.
Namun dengan adanya ikatan seperti ancaman diatas maka warga sangat antusias untuk membayar iurannya yang penyelenggara buat.
2. Praktik Pengupahan Dalam Proses Pengurusan Jenazah Ditinjau
63
syariat Islam yang berlaku. Bentuk aktivitas dalam bermuamalah adalah upah-mengupah. Praktik upah-mengupah dalam Islamtidak dilarang, bahkan mendapat pengakuan sebagai bentuk simbiosis mutualisme dalam kehidupan sosial, namun tetap mengikuti ketentuan syariat Islam yang berlaku. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah dalam Q.S Al Maidah ayat 2:
ىٰوْقَّ تلاَو ِِّبِْلا ىَلَع اْوُ نَواَعَ تَو ِناَوْدُعْلاَو ِْثِْْلَا ىَلَع اْوُ نَواَعَ ت َلََو ۖ
اوُقَّ تاَو ۖ
َوّٰللا َّنِا ۖ ِباَقِعْلا ُدْيِدَش َوّٰللا
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.103
Dalam fiqih muamalah istilah upah mengupah termasuk dalam istilah ijarah yang pada dasarnya ialah akad sewa. Dalam akad upah mengupah mu‟jir (orang yang bekerja) berhak mendapatkan imbalan jasa atau upah dari musta‟jir (orang pemberi upah) atas jasa yang telah diberikan. Dalam pembahasan skripsi ini akad ijarah yang digunakan adalah akad ijarah a‟mal atau asykhas yang mana berasal dari tenaga manusia yang telah memberikan jasanya dengan harapan mendapatkan suatu imbalan dari pemberi jasa pekerjaan.
Dalam agama Islam upah diklasifikasikan menjadi dua bagian, Pertama, upah yang telah disebutkan (ajrul musamma), merupakan upah yang transaksinya disebutkan diawal, syaratnya ialah ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan (diterima) oleh kedua belah
103 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, 106.
pihak, artinya dalam transaksinya harus saling rela satu sama lain sehingga tidak ada satu pihak yang merasa dirugikan. Kedua, Upah yang sepadan (ajrul mistli) merupakan upah yang sesuai dengan pekerjaan dan kondisi pekerjaan.104 Dengan demikian, pihak musta‟jir tidak boleh dipaksa untuk membayar lebih besar dari apa yang telah disebutkan, sebagaimana pihak mu‟jir juga tidak boleh dipaksa untuk mendapatkan lebih kecil dari apa yang telah disebutkan. Namun pada era sekarang upah mengupah terdapat golongan jenis baru yang salah satunya ialah upah mengupah dalam hal ibadah. Adanya golongan jenis upah mengupah dalam hal ibadah ini membuat beberapa ulama berbeda pendapat terkait kebolehannya.
Salah satu bentuk pemberian upah dalam hal ibadah ialah dalam proses pengurusan jenazah. Seperti yang terjadi di Desa Tarokan Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo pemberian upah tersebut telah lumrah dilakukan oleh masyarakat setempat, pemberian upah tersebut terjadi karena pihak keluarga yang ditinggalkan kurangnya pemahaman terkait dengan proses pengurusan jenazah sehingga pihak keluarga perlu bantuan dari orang lain. Dengan adanya bantuan atau pertolongan dari orang lain tersebut muncullah pemberian upah terhadap orang yang keikut sertaannya dalam proses pengurusan jenazah, upah yang diberikan dari pihak keluarga yang ditinggalkan bisa berupa uang maupun barang kepemilikan jenazah
104 Idwal. B, “Upah dan Tenaga Kerja dalam Islam, Dosen Fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu,” 14 August 2014, https://core.ac.uk/download/pdf/229570052.pdf
65
selama hidup di dunia. Upah dan barang yang diberikan tersebut tidak ada perjanjian di awal melainkan mengikuti kebiasaan yang telah turun menurun hingga menjadi adat di desa Tarokan tersebut. Proses pengurusan jenazah merupakan suatu kewajiban bagi umat muslim yang hukumnya fardu kifayah, dimana jika dilakukan oleh sebagian umat muslim saja maka gugurlah hukum wajib orang Islam lainnya, tetapi jika tidak terdapat satupun orang yang mengerjakannya maka suatu daerah menjadi berdosa karena tidak melaksanakan ibadah tersebut.
Terkait praktik pengupahan yang telah dipaparkan diatas, adanya beberapa perbedaan pendapat kebolehannya untuk mengambil dan tidak boleh mengambilnya menurut para ulama mengenai pemberian upah pengurusan jenazah dalam hal ibadah tersebut.
Pendapat dari Imam Malik dan Imam Syafi‟i dapat dijadikan tumpuan bahwa dibolehkannya mengambil upah dalam hal ibadah seperti pada proses pengurusan jenazah. Bahwasanya Imam Malik dan Syafi‟i berpendapat diperbolehkannya mengambil upah atas bacaan Al-Qur‟an dan mengajarkannya.
ِوَّللا ُباَتِك اًرْجَأ ِوْيَلَع ُْتُْذَخَأ اَم َّقَحَأ َّنِإ
Artinya: “Sesungguhnya, yang paling layak untuk kalian ambil imbalan (ongkos) ialah Kitabullah” (HR Bukhori)
Yang dalam hal ini proses pengurusan jenazah merupakan suatu ketaatan dalam hal ibadah, karena tergolong dalam kategori imbalan yang secara umum orang mengetahui serta mengetahui tenaga
pula. Pendapat demikian juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Qalabah, Abu Tsur, dan Ibnu Mundzir, sebab Rasulullah pernah menikahkan seseorang dengan bacaan Al-Qur‟an yang ia kuasai dan hal tersebut diposisikan sebagai mahar, maka diperbolehkan mengambil upah atas Al-Qur‟an dalam akad Ijarah”.105
ِنآْرُقْلا ْنِم َكَعَم اَِبِ اَهَكُتْجَّوَز ْدَق
Artinya: “Aku telah nikahkah kau dan dia dengan (mahar) apa yang kau hapal dari Qur‟an” (HR Abu Daud)
Pada hadis HR. Bukhari No. 5736 dan Muslim No. 2201, menjelaskan bahwa kebolehan mengenai mengambil atau menerima upah dari perbuatan ibadah seperti ruqyah yang dilakukan oleh salah seorang sahabat Nabi Saw. Hadis tersebut dapat dijadikan landasan akan kebolehan mengambil atau menerima upah dari perbuatan ibadah seperti menerima upah dari pengurusan jenazah seperti memandikan, mengkafani, mensholatkan dan menguburkan jenazah.106
Sayyid sabiq, juga menerangkan didalam kitabnya fikih sunnah, para ulama menfatwakan terkait tidak ada larangan terkait pengambilan upah yang mana dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar Al Quran, guru-guru di sekolah, dan yang lainnya, yang mana dalam hal ini praktiknya dalam pengurusan jenazah maka dibolehkan mengambil suatu imbalan karena disisi lain orang yang
105 M. Ali Zainal Abidin, “Hukum Menerima Upah dari Membaca Al-Qur‟an,” September 11, 2019, https://Islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/hukum-menerima-upah-dari-membaca-al-qur-an- gewJv.
106 Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah Al Bukhari, Al Jami‟ Munsnad Shahih Al Mukhtasira Shahih Bukhari (Riyadh: Daaru Tuuqin Najaati, 1998), 1124.
67
bekerja memerlukan tunjangan untuk dirinya bahkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, dimana orang tersebut telah menyempatkan untuk tidak bekerja seperti berdagang, bertani dan lainnya.
Pendapat lain juga disebutkan bahwasanya pengambilan upah atas imbalan mengajar Al Quran dan pengajaran ilmu itu diperbolehkan karena tidak ada larangan dari nash. Abu hanifah berpendapat bahwasanya, pengambilan upah dari menggali kuburan dan membawa jenazah adalah boleh. Jadi, dalam kehidupan bermasyarakat saat ini, bahwasanya upah dalam hal ibadah tidak dapat dielakkan lagi, karakteristik manusia dalam hidup saat ini semuanya sangat sekali membutuhkan upah sekalipun dalam hal ibadah.107
Namun dalam praktiknya bahwasanya pemberian upah terhadap pengurusan jenazah yang berada di Desa Tarokan Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo, telah memenuhi unsur-unsur pokok yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sebagai berikut:
1) Aqid, adanya pihak mu‟jir (penerima upah/ pekerja) dan musta‟jir (pemberi upah/ juragan). Pada dasarnya seorang musta‟jir wajib memberikan suatu imbalan upah kepada seorang mu‟jir sebagaimana mu‟jir yang telah memberikan jasa pekerjaannya kepada musta‟jir. Maka dari praktik tersebut terlihat bahwa telah
107 Sohari, fikih, 171-72.
memenuhi dalam rukun upah mengupah (ijarah), dimana pelaksanaan akad dilakukan oleh para pihak.
2) Sighat (ijab dan kabul), yakni seluruh faktor yang menampakkan indikasi kesamaan kehendak dari para pihak, baik dari mu‟jir dan musta‟jir. Hal tersebut dapat dilihatdari beberapa narasumber yang peneliti wawancarai bahwasanya tidak ada unsur keterpaksaan, melainkan saling tolong-menolong antar sesama dan upah yang diberikanpun tidak ada batasan tertinggi melainkan dari kebiasaan yang telah turun termurun dari para sesepuh warga setempat. Dan untuk shighat (ijab dan kabul) pada persoalan ini tidak diatur sejak perjanjian awal.
3) Ujrah (upah atau imbalan), ujrah yang dikeluarkan dapat berupa uang maupun barang, yang mana dalam hal ini merupakan rasa bentuk wujud belas kasih atau balas jasa yang telah pekerja berikan kepada pemberi jasa terhadap pekerjaan yang telah diselesaikan.
4) Adanya Kemanfaatan, yakni pekerjaan yang hendak dijadikan suatu objek pekerjaan disini harus jelas akan manfaatnya. Yang dalam hal ini kedua belah pihak dari mu‟jir dan musta‟jir harus sama-sama diuntungkan, yang mana dalam pembahasan ini yang menjadi objek pekerjaannya ialah terkait pengurusan jenazah, dimana hal tersebut dilakukan karena hukumnya fardu kifayah.
Dengan begitu keluarga yang ditinggal harus mengeluarkan sedikit imbalan terhadap para pihak yang membantu dalam proses
69
pengurusan jenazah tersebut. Sedangkan untuk syarat dalam upah mengupah para pihak yang sedang berakad sudah memenuhi syarat diantaranya baligh dan berakal. Seperti yang telah dipaparkan oleh Ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hambali anak kecil yang sedang melakukan akad meskipun anak tersebut telah mumayyiz maka akadnya tetap dikatakan tidak sah.