• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Berperkara Tingkat Banding

BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN

5. Prosedur Berperkara Tingkat Banding

Jika putusan telah menjatuhkan Pengadilan Agama Tingkat I, yang lalu salah satu pihak dalam perkara ini dirugikan, yang diklaim dapat mengajukan banding Banding ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram melalui Pengadilan Agama Tingkat I tempat mereka berperkara.

Pesta ini tidak perlu langsung ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram, tetapi cukup diajukan ke Pengadilan Agama Tingkat I dalam tenggat waktu 14 hari setelah putusan tersebut dibacakan. Jika pihak tersebut hadir saat putusan dibacakan atau 14 hari setelah yang diterima menerima putusan tersebut dengan prosedur sebagai berikut:

a. Prosedur Berperkara Tingkat Banding

 Permohonan Banding harus dikirim pada 14 hari, putusan pengadilan putusan untuk siapa yang berkepentingan.Dalam surat

gugatan informasikan penggugat, alamat, umur, pekerjaan dan tempat tinggal Penggugat, kemudian posita yaitu fakta peristiwa dan fakta hukum, dan petitum yaitu hal-hal yang dituntut penggugat berdasarkan posita.

 Membayar biaya perkara Banding, dan selanjutnya Panitera melalui juru bicara untuk meminta bantuan banding kepada terbanding.

 Banding dapat meminta memori bandeng, dan termohon bandeng undangan bandeng.

 Selambat-lambatnya 14 hari setelah diundang ke pihak lawan, Panitera beri kesempatan pada pihak kedua untuk melihat surat- surat perkara perkara di Pengadilan Agama (inzage).

 Berkas perkara banding dalam bentuk bundel A dan bundel B dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama selambat-lambatnya dalam waktu 1 bulan sejak diterima perkara banding.

 Salinan putusan banding Pengadilan Tinggi Agama dikirim ke Pengadilan Agama untuk dikirim kepada para pihak.

 Pengadilan Agama menyampaikan putusan Banding kepada para pihak, dan dalam waktu 14 hari setelah disampaikan, pembanding serta terbanding dapat diajukan kasasi.

b. Setelah Putusan Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap

 Untuk perkara cerai talak, Pengadilan Agama akan mengadili pengucapan ikrar talak untuk Pemohon dan Termohon, melalui sidang sidang.

 Akte Cerai diberikan pada hari itu juga sesaat setelah sidangan pengucapan ikrar talak selesai dilaksanakan.

6. Statistik Pengadilan

Jumlah Pegawai: 49 Orang

Komposisi & Penyebaran Pegawai:

Hakim Tinggi: 12 Orang (Termasuk Ketua & Wakil Ketua)

Kepaniteraan: 14 Orang (Termasuk Panitera & Panmud)

Kesekretariatan: 23 Orang (Termasuk Sekretaris, Kasubag, Kabag, dan Staf)

B. Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram Dalam Menetapkan Kadar Mut’ah Dan Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Talak

Pengadilan Tinggi Agama Mataram merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman pada tingkat banding bagi para pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

Dalam perkara cerai talak mengenai permasalahan nafkah iddah dan mut’ah ada dua putusan yang menjadi data, yaitu putusan no 0081/Pdt.G/2018/PTA.Mtr dan Putusan No. 0041/Pdt.G/2018/PTA.Mtr,

yang dimana sesuai hasil wawancara dan yang ada dalam putusan, di dalam putusan No. 0081/Pdt.G/2018/PTA.Mtr, berbunyi sebagi berikut:

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Tinggi Agama Mataram, penulis memperoleh beberapa temuan yakni:

1. Perkara Nomor 0041/Pdt.G/2018/PTA.Mtr

Dalam menangani perkara hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram menetapkan kadar mut’ah dam nafkah iddah dengan cara mengkaji mempelajari isi putusan Pengadilan Agama yang sudah putus lalu dimusyawarahkan dengan para hakim yang lain, dalam menangani perkara ada tiga hakim yaitu hakim ketua dan dua hakim anggota serta dibantu dengan panitra.

Putusan Pengadilan Agama Praya Nomor 0862/Pdt.G/2017/PA.Pra tanggal 22 Februari 2018 Masehi, bertepatan dengan tanggal 07 Jumadil Akhir 1439 Hijriyah dengan mengutip amarnya sebagai berikut :

Dalam Konvensi:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon Konvensi;

2. Memberi izin kepada Pemohon Konvensi (Ahmad Muliadi bin Amaq Murni) untuk menjatuhkan talak satu raj'i terhadap Termohon Konvensi (Baiq Zuhaeda binti H. Zaini) di depan sidang Pengadilan Agama Praya;

Dalam Rekonvensi:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian;

2. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada Penggugat Rekonvensi pada saat pelaksanaan sidang ikrar talak perkara ini berupa:

a. Nafkah Iddah setiap harinya sebesar Rp40.000,00 (empat puluh ribu rupiah) selama 3 (tiga) bulan atau 90 (sembilan

puluh) hari dengan jumlah total Rp3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu rupiah);

b. Muth’ah berjumlah Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);

c. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada Penggugat Rekonvensi nafkah atas 2 (dua) orang anak dari Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi yang bernama : Cilki Anindia Putri, perempuan, umur 10 tahun dan Kenzi Diasta, laki-laki, umur 5 tahun setiap bulannya minimal sebesar Rp1.400.000,00 (satu juta empat ratus ribu rupiah) sampai kedua anak tersebut dewasa (umur 21 tahun) atau menikah dengan kenaikan 10 % (sepuluh persen) setiap tahunnya;

d. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada Penggugat Rekonvensi nafkah lampau (madliyah) yang terhutang selama 12 (dua belas) bulan sebesar Rp4.800.000,00 (empat juta delapan ratus ribu rupiah);

e. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk menyerahkan kepada Penggugat Rekonvensi ½ (seper dua) bagian dari uang hasil penjualan Sepeda Motor Vario sebesar Rp12.500.000,00 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah), yaitu Rp6.250.000,00 (enam juta dua ratus lima puluh ribu rupiah);

f. Menetapkan tanah sawah seluas 10 are dari bagian tanah sawah milik Tergugat Rekonvensi dengan luas keseluruhan lebih kurang 41 are yang terletak di Dusun Batu Bele, Desa Setuta, Kecamatan Janapria, Kabupaten Lombok Tengah, dengan batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah Barat : Jalan Raya;

- Sebelah Timur : Irigasi/Sawah H. Ismail;

- Sebelah Selatan : tanah sawah Jamidin;

- Sebalah Utara : tanah sawah H. Rasidin;

sebagai maskawin (mahar) yang belum dibayar/diserahkan oleh Tergugat Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi;

g. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk menyerahkan kepada Penggugat Rekonvensi maskawin berupa tanah sawah seluas 10 are sebagaimana termuat dalam diktum angka 6 di atas dikurangi dengan nilai ½ (setengah) dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atas uang gadai yang menjadi tanggungan (kewajiban) Penggugat Rekonvensi atau setelah nilai ½ (setengah) uang gadai tersebut dibayar secara tunai oleh Penggugat Rekonvensi kepada Tergugat Rekonvensi;

h. Menolak dan menyatakan tidak dapat diterima gugatan Rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi selain dan selebihnya;

Pada perkara ini bahwa dalam konvensi hakim Pengadilan Agama mengabulkan permohonan pembanding saat ini (suami) untuk melakukan perceraian dengan terbanding (istri) yang sudah tidak ada lagi keharmonisan di dalam rumah tangganya. Dalam rekonvensi mengabulkan permohonan terbanding dan membebani sejumlah nafkah iddah dan mut’ah bagi pembanding, nafkah iddah berjumlah Rp. 3.600.000 selama masa iddah, dan mut’ah Rp.

5.000.000.

Sedangkan pada perkara ini hakim hanya melihat dan mempelajari apa saja yang ada di dalam putusan, diantara point dan menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram yaitu:

“Bahwa Pembanding merasa keberatan atas pembebanan nafkah iddah dan mut’ah dan mohon untuk dipertimbangkan lagi. Dalam hal“ ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram berpendapat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Agama Praya tentunya dalam mempertimbangkan besaran nafkah dan iddah tersebut sudah melihat keadaan/kehidupan dari Pembanding, Terbanding dan kehidupan masyarakat sekitarnya.

Sebagaimana diketahui bahwa Pembanding selama ini bekerja di luar negeri yang tentunya mempunyai penghasilan yang cukup, hanya saja ketika berada di rumah (Lombok Tengah) memang penghasilan Pembanding tidak sebesar ketika berada di luar negeri, apalagi ada rencana setelah perkara ini putus Pembanding akan pergi lagi bekerja ke luar negeri, hal ini menunjukkan bahwa Pembanding termasuk pekerja keras. Sementara itu Terbanding sudah kurang lebih 10 tahun dengan suka duka mendampingi Pembanding dan selama tersebut tidak ada tanda-tanda bahwa Terbanding nusyuz, sampai akhirnya Terbanding diantarkan pulang oleh keluarga Pembanding.

Oleh karena itu apa yang diputuskan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Agama Praya tentang besarnya nafkah iddah dan Mut’ah sudah layak dan oleh karenanya harus dikuatkan. Sedangkan mengenai dictum tentang kewajiban Pembanding untuk membayar nafkah iddah dan mut’ah kepada Terbanding ketika ikrar talak diucapkan, juga tidak salah, karena dictum tersebut selaras dengan Keputusan Pleno Kamar Agama Tahun 2017. Jika Pembanding tetap tidak membayar kewajibannya, maka ikrar talak baru bisa dilaksanakan apabila Terbanding merelakan nafkah iddah dan mut’ah yang dimaksud”

Dapat disimpulkan bahwa pembanding keberatan dengan jumlah nafkah yang dibebankan kepadanya, namun Majelis Hakim Pengadilan Agama Mataram tidak merubah putusan Pengadilan Agama Praya tentang jumlah nafkah yang ditetapkan karna menurut Majelis Hakim Putusan Pengadilan Praya sudah pasti melihat dari keadaan/kehidupan para perkara. Dalam kasus ini pembanding adalah seorang Tenaga Kerja Indonesia di Taiwan namun setelah menikah pembanding seorang pengangguaran.

Sebagaimana juga dikatakan dari hasil wawancara dengan ketua Majelis Hakim Drs. H. Ahmad Shiddiq yang menangani perkara putusan no 0041/Pdt.G/2018/PTA.Mtr, dalam menetapkan kadar mut’ah dan nafkah iddah yaitu, beliau mengatakan:

“Dalam menetapkan jumlah mut’ah dan iddah kami tentunya mempelajari putusan pengadilan agama, apa saja yang menjadi permasalahan di dalam putusan, dalam putusan ini kami sependapat dengan putusan pengadilan agama praya tentang jumlah nafkah iddah dan mut’ah, karna dalam menetapkan jumlah iddah dan mut’ah tentunya Hakim Pengadilan Agama Praya sudah melihat dari keadaan dan kehidupan pembanding/suami. Yang menjadi dasar kami juga dalam menetapkan jumlah iddah dan mut’ah melihat dari lama istri menemani suami,

penghasilan suami dan juga semangat suami dalam mencari rizky (pekerja keras)”.

Sebagaimana hasil wawancara dan keterangan di dalam putusan bahwa ada beberapa point yang bisa diambil diantaranya dalam memutuskan dan menetapkan jumlah nafkah iddah dan mut’ah harus memperhatikan kehidupan terbanding dan pembanding, melihat pekerjaan, penghasilan suami serta melihat apakah istri nusyuz atau tidak.

2. Perkara Nomor 0081/Pdt. G/2018/PTA.Mtr

Sedangkan di dalam putusan Nomor 0081/Pdt.

G/2018/PTA. Mtr, terdapat beberapa point yang menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan kadar mut’ah dan nafkah iddah pada perkara cerai talak, diantaranya berikut ini:

Memperhatikan semua uraian yang termuat dalam putusan Pengadilan Agama Bima Nomor 1376/Pdt.G/2017/PA.BM. tanggal 17 September 2018 Masehi bertepatan dengan tanggal 7 Muharam 1440 Hijriyah, yang amarnya sebagai berikut:

Dalam Konvensi:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon Konvensi;

2. Memberi izin kepada Pemohon Konvensi (Muhammad Amin, S.Ag bin H. Zakariah) untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon Konvensi (NurFauziah, S.Pd binti Usrah) di depan sidang Pengadilan Agama Bima;

Dalam Rekonvensi:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian;

2. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada Penggugat Rekonvensi berupa:

a. Nafkah iddah selama 3 bulan seluruhnya sejumlah Rp.

6.000.000,00 (enam juta rupiah)

b. Mut’ah berupa uang sejumlah Rp. 2.500.000,- ( dua juta lima ratus ribu rupiah);

3. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi selebihnya;

Pada perkara konvensi mengabulkan permohonan pemohon untuk melakukan perceraian karna keduanya sudah tidak bisa lagi bersama dan atas keinginan mereka berdua. Sedangkan dalam rekonvensi mengabulkan permintahan pemohon untuk menghukum pemohon konvensi nafkah iddah dan mut’ah, jumlah nafkah iddah yang di tetapkan pengadilan agama Rp. 6.000.000 selama masa iddah dan mut’ah Rp. 2.500.000.

Di dalam putusan No. 0081/Pdt.G/2018/PTA.Mtr ada beberapa yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram yaitu:

“Bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding sependapat dengan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang memutuskan nafkah Iddah untuk Termohon Konvensi/Penggugat Rekonvensi/Pembanding sebesar Rp. 2.000.000. (dua juta rupiah) setiap bulannya sehingga selama 3 (tiga) bulan sebesar Rp 6.000.000. (enam juta rupiah) hal itu sudah dirasa cukup untuk jaminan nafkah selama 3 (tiga) bulan kedepan setelah bercerai. Mengingat Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi/Terbandin sebagai Pegawai Negeri Sipil yang punya penghasilan gaji pokok sebesar Rp. 4.878.000. (empat juta delapan ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah) setiap bulannya dan ditambah lagi dengan gaji sertifikasi yang diterima oleh Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi/Terbanding sebesar Rp.

12.000.000. (dua belas juta rupiah) setiap 3 bulan sekali.

atau Pemohon Konvensi/Tergudat Rekonvensi/Terbanding sebagai Pegawai Negeri Sipil punya penghasilan gaji sebesar Rp. 8.878.000. (delapan juta delapan ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah), sehingga layak, patut dan adil

apabila dalam perceraian ini Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi/Terbanding dibebani kewajian membayar nafkah iddah kepada Penggugat Rekonpensi/Pembanding selama 3 (tiga) bulan sebesar Rp. 6.000.000. (enam juta rupiah).”

Dalam pertimbangannya hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram sependapat dengan jumlah nafkah iddah yang ditetapkan namun dalam hal jumlah mut’ah hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram tidak sependapat karna melihat bahwa suami seoranng PNS yang memiliki gaji pokok Rp. 4.878.000 setiap bulannya dan penghasilan tambahan Rp. 12.000.000 itu itu hakim berpendapat jumlah mut’ah perlu untuk di tambah menjadi Rp. 6.000.000 dan itu menurut hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram layak sebagai tali asih pemberian terakhir.

Sebagaimana juga dikatakan hakim Drs. H. Syahidi, S.H,.M.S.I., perkara nomor 0081/Pdt.G/2018/PTA.Mtr, dalam wawancara beliau menjelaskan bahwa:

“Dalam memeberikan pertimbangan kami harus berdasarkan kelayakan, kepatutan dan keadilan, mengenai jumlah nafkah iddah dan mut’ah kami memandang putusan Pengadilan Agama Bima sudah benar dan tepat namun jumlah mut’ah perlu ditambah karna melihat dari pekerjaan dan gaji terbanding serta mut’ah merukan pemeberian terakhir untuk menyenangkan istri, yang jumlahnya 2.500.000 kami tambah menjadi 5.000.000 karna itu sudah cukup dengan gaji suami setiap bulannya 8.878.000 serta gaji sertifikat PNS 12.000.000”.

Sebagai hasil wawancara dapat diuraikan bahwa menurut hakim penambahan jumlah mut’ah yang awalnya Rp. 2.500.000

menjadi Rp. 6.000.000 dipandang dapat memberikan keadilan melihat dari pekerjaan dan penghasilan suami, terlebih lagi sebagai pemeberian terakhir untuk menyenangkan hati istri.

Sebagaimana yang terdapat di dalam putusan dan hasil wawancara dengan hakim yang menangani perkara ini bahwa yang menjadi pertimbangan hakim adalah pekerjaan, penghasilan pokok suami/terbanding dan tambahan dan iktikad istri.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram Dalam Menetapkan Kadar Mu’ah Dan Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Talak

Hakim Pengadilan Tinggi Mataram merupakan kekuasan kehakiman tertinggi kedua di bawah Mahkamah Agung yang memiliki wewenang mengadili perkara banding yang diajukan para pihak melalui Pengadilan Agama Pertama, dalam hal pertibangan hakim ditutut harus benar-benar adil sesuai dengan semestinya.

Hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.

Untuk dapat menyelesaikan atau memutuskan suatu perkara atau sengketa, hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara obyektif tentang duduk perkaranya. Peristiwa yang dipertimbangkan terlebih dahulu adalah pembuktian apakah terbukti atau tidaknya peristiwa tersebut. Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa maka hakim harus menentukan peraturan hukum apakah yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Ia harus mengkualifir peristiwa yang telah dianggapnaya terbukti.

Pengadilan Tinggi Agama Mataram merupakan harapan bagi para perkara meminta keadilan setelah putusan pengadilan agama tidak memuaskan mereka, diharapkan untuk melaksanakan tugas sebagai mana yang ada di dalam Undang-undang serta Syari’at Islam.

Berdasarkan paparan data dan temuan yang peneliti peroleh setelah mengadakan penelitian dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan sesuai dengan fokus penelitian yang diangkat, setelah mengadakan pengelolaan data dengan menjadikan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Sebagai tempat lokasi penelitian, maka data-data dan temuan penelitian tersebut akan peneliti bahas di bab ini. Dari hasil analisis dapat mengambarkan pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam menetapkan kadar mut’ah dan nafkah iddah pada perkara cerai talak

1. Perkara Nomor 0081/Pdt.G/2018/PTA.Mtr

Dari hasil kajian putusan serta hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang menangani perkara ini bahwa pertimbangan hakim berdasarkan apa yang ada di dalam putusan pengadilan agama, dengan melihat pekerjaan, penghasilan suami, dan juga pada iktikad istri.

Pertimbanagn hakim dalam menetapkan kadar mut’ah dan nafkah iddah melalui mengkaji dan mempelajari isi dalam putusan Pengadilan Agama, dalam persidangan hanya membacakan hasil musyawarah dengan hakim anggota yang lain dan dibantu oleh panitra, jika para hakim

membutuhkan saksi maupun kejelasan, tentunya para hakim bisa mendatangkan para pihak maupun saksi, namun tapi jika tidak memungkinkan karna lokasi yang jauh hakim bisa menyurati hakim Pengadilan Agama untuk mensidangkan ulang tentang masalah yang dibutuhkan.

Dalam pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Mataram bahwa terdapat perbedaan mengenai jumlah mut’ah yang ditetapkan dari putusan pengadilan agama. Putusan pengadilan agama menetapkan jumlah mut’ah Rp. 2.500.000 namun menurut hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram bahwa jumlah mut’ah masih kurang melihat dari pekerjaan, penghasilan pokok dan tambahan suami, maka mut’ah untuk memberikan rasa keadilan karna mut’ah pemeberian terahir untuk menyenangkan mantan istri maka hakim Pengadilan Tinggi Mataram menetapkan jumlah mut’ah menjadi Rp. 5.000.000.

Dalam menetapkan nafkah iddah dan mut’ah hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram pada pertimbanganya melihat dari KHI, Al- qur’an, AL-hadist dan juga Perma Nomor 03 Tahun 2017, namun yang paling menyelami dalam hal ini hakim mengatakan Al-qur’an dan Al- hadist.

2. Perkara nomor 0041/Pdt.G/2018/PTA.Mtr

Pada perkara ini bahwa hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam pertimbangannya melihat dari hasil putusan pengadilan agama, dan mempelajari hasil putusan Pengadilan Agama. Dapat diuraikan bahwa dari hasil wawancara dan pengamatan dalam putusan yang menjadi pertimbangannya hakim Pengadilan Agama Mataram kehidupan terbanding/pembanding, pekerjaan, penghasilan dan iktikad istri. Dalam pertimbangannya bahwa hakim tidak merubah keputusan Pengadilan Agama masalah nafkah iddah dan mut’ah, dalam pertimbanganya hakim Pengadilan Agama Mataram menyebutkan bahwa dalam memutuskan jumlah nafkah pasti sudah melihat kehidupan terbanding/pembanding, dan jika suami merasa keberatan dan tidak mampu maka dia harus ngutang, jika seriuz ingin menceraikan istrinya maka dia harus siap ngutang.

Dalam menetapkan jumlah nafkah iddah dan mut’ah hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram melihat dari Kompilasi Hukum Islam (KHI), Al-qur’an dan Al-hadist, pada pertimbangannya hakim tidak menggunakan atau melihat Perma, baik Perma Nomor 03 Tahun 2017 maupun Perma yang lainnya.

Dari hasil analisis dua putusan di atas dan wawancara dengan para hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang menangani perkara menurut peneliti, bahwa dalam menetapkan kadar mut’ah dan nafkah iddah pada perkara cerai talak, terdapat perbedaan respons hakim dalam

melihat situasi dan kondisi perkara, dimana putusan No.

0081/Pdt.G/2018/PTA.Mtr, menjelaskan secara rinci alasan penetapan jumlah iddah dan mut’ah dengan menyebutkan secara rinci dari pengasilan, pekerjaan suami dan keadaan kehidupan yang sekarang.

Sedangkan dalam putusan No. 0041/Pdt.G/2018/PTA.Mtr, tidak ada kejelasan mengenai berapa penghasilan suami, baik penghasilan pokok setiap bulannya hanya melihat dari semangat suami dalam mencari rizki dan berpendapat dari pengadilan agama yang merasa sudah pasti benar- benar berpendapat pada keadaan kehidupan terbanding/pembanding.

Dalam pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram tidak berdasarkan keadaan yang sebenarnya dan dalam ucapannya jika tidak mampu dia bisa ngutang dengan dasar jika dia serius menceraikan istrinya.

Bahwa sudah disebutkan suami/pembanding adalah seorang sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Luar Negeri yang memiliki penghasilan yang tidak tetap juga dan pengeluaran yang tidak jelas, dan ketika bercerai sedang tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan, tentunya putusan ini membertakan pembanding.

Pada dua perkara ini terdapat perbedaan melihat situasi para perkara dimana putusan hakim ada yang pertimbangannya memberatkan suami dan menguntungkan perempuan, tentu putusan ini jelas tidaklah memberikan rasa keadilan dengan alasan-alasan yang disampaikan maupun yang ada di dalam putusan.

Mengenai jumlah nafkah iddah dan mut’ah memang tidak ada satupun dalil yang menetapkan berapa jumlah nafkah yang harus dibebankan kepada suami ketika menceraikan istri baik itu di dalam Al- qur’an, Hadits, UUD Pernikahan bahkan KHI tidak ada secara rinci menjelaskan jumlah ukuran nafkah iddah yang harus diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikan.

Menurut imam Syafi’i bahwa yang dijadikan standar ukuran nafkah istri adalah keadaan dan kemampuan ekonomi suami. Pendapat ini juga berlaku dikalangan ulama Imamiyyah yang dijadikan landasan hukum tertera dalam surah At-talaq ayat 7 yang artinya: ”hendaklah orang-orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan hendaklah member nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban seseorang melaikan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.34

Sebagaimana juga mut’ah tidaklah memberatkan, Allah menganjurkan pemberian mut’ah sesuai dengan kadar kemampuannya, Allah tidak akan memberatkan hambanya di luar kemampuannya, sebagaimana di dalam Al-qur’an surat Al-baqarah ayat 236 Allah menyebutkan,“Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemeberian menurut yang

34Munghniyah, Fiqih..., hlm. 425

Dokumen terkait