• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pura Kawitan

Dalam dokumen SURAT PENCATATAN (Halaman 139-144)

6. Yadnya Bhiksu 7. Yoga

4.3 Bangunan Suci dan Pengelompokkannya

4.3.4 Pura Kawitan

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan Wit atau asal leluhur berdasarkan garis kelahiran (geneologis). Suatu keluarga inti (Ayah, ibu dan anak- anak) dalam istilah antropologi disebut keluarga batin mempunyai tempat pemujaan yang disebut Sanggah atau Pemerajan. Selanjutnya keluarga inti itu berkembang, keluarga inti itu telah bertambah banyak jumlahnya dan sudah ada yang keluar termasuk sudah kawin dari rumah asal atau rumah inti, maka tempat pemujaan keluarga inti tersebut disebut Sanggah Gede atau Pamrajan Agung. Selanjutnya pada tingkat yang lebih luas yaitu pada tingkat klen mempunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia, Pura Paibon, sehingga mereka sering disebut ikatan tunggal sembah atau klen atau tunggal dadia. Apabila klen itu membesar lagi sehingga mencakup Jagat, maka mereka mempunyai tempat pemujaan yang disebut Padharman, biasanya terdapat di Pura Besakih, seperti Padharman Dalem, Padharman Arya dauh, Padharman Arya Kepakisan dan yang lain-lainnya. Pada Pura

132 Kawitan ini adalah berfungsi untuk memuja roh leluhur yang sudah dipandang suci atau roh para Rsi yang dianggap telah menjadi Dewa-Dewa atau Bhatara-Bhatari. Pura Kawitan ini sering juga disebut “Pura Sangkaning Dadi” yang artinya Pura mula penjelmaan.

Disamping Pura Kahyangan Tiga yang ada pada tiap-tiap satu desa, maka setiap pekarangan rumah umat Hindu diharapkan mendirikan satu bangunan suci yang disebut Sanggah yang berarti tempat suci, karena perubahan huruf h dan r. Secara etimologi adalah berasal dan kata sa dan angga (sa berarti satu dan angga berarti badan). Jadi bearti sam badan atau penunggalan suksama sarira dengan sthula sarira atau penunggalan rohani dan jasmani untuk dapat memusatkan pikiran kehadapan Ida Sanghyang Widhi, melalui roh suci leluhur, sedangkan kata pamrajan berasal dan kata ja dan jati yang berarti lahir. Jadi arti dari pamrajan adalah tempat mendekatkan diri pada asal kelahiran (Sangkan paran dumadi). Agaknya hal ini juga tidak menyimpang dan bangunan suci inti yang ada di Sanggah adalah Kamulan, yang juga fungsinya untuk memuja roh suci leluhur. Secara etimologi Kamulan berasal dari kata mula yang berarti asal, tempat, sehingga tempat asal yaitu leluhur.

Pengelompokkan Pura seperti itu disamping untuk menjabarkan pemujaan Tuhan dengan segala manifestasinya dan pemujaan leluhur, adalah juga memiliki nilai dan makna sosial budaya yang luhur. Pengelompokkan tempat pemujaan Hindu itu bukan merupakan perwujudan dan suatu kepercayaan Polytheisme. Hindu tetap monotheisme.

Pengelompokkan ini hanya untuk lebih meningkatkan penghayatan umat terhadap kepercayaan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Kemahakuasaan dan kesucian Ida Sanghyang Widhi Wasa benar-benar dijabarkan ke dalam kehidupan bersama sehingga langsung dapat menyentuh semua lapisan kehidupan manusia.

Adanya berbagai karakter Pura khususnya di Bali bermakna pula untuk menyatukan umat sesuai dengan pengelompokkan sosiabiya. Pura Kawitan merukunkan dan menyatukan umat menurut keluarganya. Kamulan Taksu menyatukan keluarga dalam satu pekarangan tempat tinggal dan sampada pada pura Padharman sebagai lambang persatuan sam keluarga besar yang berasal dan satu klen. Pura Kahyangan Desa menyatukan umat dalam satu desa adat atau desa pakraman. Dengan adanya pura Kahyangan Desa umat menjadi rukun dan damai dalam satu wilayah Desa Pakraman. Pura Swagina (fungsional) bermakna pula menyatukan umat yang memiliki kesamaan profesi. Seperti misal Pura Subak, untuk para petani sawah, Pura Alas arum untuk petani kebun, Pura Melanting untuk para Pedagang, Pura Kahyangan Jagat disamping fungsi utamanya, untuk memuja berbagai

133 manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, juga menyatukan umat secara universal dengan tidak memandang asal keluarga, asal desanya maupun asal kekaryaannya (profesinya).

Pengelompokkan tempat pemujaan berdasarkan karakternya itu dapat disimpulkan bermakna ganda yaitu sebagai tempat memuja manifestasi Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dan leluhur serta tempat mempertemukan umat dalam satu lingkungan keluarga atau klen (clan), satu lingkungan Desa Pakraman, sam profesi dan menyatakan umat secara universal, dalam aktivitas sosial budaya.

134 BAB V

PANCA YADNYA

Agama terdiri berbagai macam yajña, tetapi secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi lima macam, yaitu Dewa, Yajña, Resi Yajña, Manusa Yajña dan Bhuta Yajña.

Memperhatikan beberapa pelaksanaan upacara Yajña yang berlangsung secara keseharian (yang dilaksanakan oleh umat Hindu setiap hari) yang dikenal dengan nitya karma, maupun yang dilaksanakan secara berkala atau sewaktu-waktu yang dikenal dengan sebutan naimitika karma, maka dalam pelaksanaannya dari berbagai upacara yajña senantiasa tetap mengandung makna filosofis maupun makna religius yang sangat mendalam guna dapat terwujudnya suatu harapan yang utama sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam hakikat dan tujuan agama Hindu yakni tiada lain dapat terwujudnya suatu ketentraman, kesejahteraan, keselamatan, kebahagiaan, dan keharmonisan hidup dan kehidupan di alam raya ini maupun di alam akhirat kelak. Sejalan dengan harapan di atas, maka dalam hal ini dapat ditegaskan dengan sloka yang berbunyi : “Moksartham jagadhita ya ca iti dharma “. Yang maksudnya yaitu mewujudkan adanya tingkat kehidupan yang seimbang antara tuntutan jasmaniah, maupun rohaniah atau dengan perkataan lain yakni tercapainya kebahagiaan secara nyata dengan terpenuhinya kebutuhan material serta tercapainya ketentraman dan kesejahteraan spiritual yang tangguh, utuh, serta berbudi pekerti yang luhur.

Menjalani kehidupan ini manusia yang berbudi pekerti luhur wajib mewujudkan kesejahteraan antara sesama manusia atau sesama umatnya saja, baik antara umat manusia maupun intern umatnya, selanjutnya perlu diwujudkan keseimbangan dan keselarasan dengan Tuhan sebagai penciptanya, terwujud pula keharmonisan dengan makhluk-makhluk bawahan seperti halnya hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan, yang juga merupakan ciptaan-Nya.

Selanjutnya kalau kita perhatikan suatu konsep yang tidak terpisahkan atau yang saling kait mengait yaitu Tiga Kerangka Agama Hindu, yaitu tiga komponen yang mendasar dalam upaya memahami, menghayati, serta pengamalan ajaran Agama Hindu, seperti berikut ini:

a. Tattwa Darsana yaitu landasan berpijak dalam meningkatkan tingkat keimanan yang tangguh (sraddha) terhadap makna-makna yang hakiki yang terkandung dalam ajaran agama Hindu, terutama sekali yang mengandung nilai filosofisnya (filsafat).

135 b. Sila Sesana (Susila) yaitu sebagai suatu landasan berpijak atau berperilaku bagi sesama, guna terwujudnya suatu tata pergaulan yang memiliki sopan santun (etika) yang nantinya mengacu pada pembinaan dan pendidikan budi pekerti yang tangguh sesuai dengan landasan dharma (susila).

c. Upacara Yajña yaitu suatu landasan yang mengacu pada unsur kegiatan-kegiatan atau pelaksanaan upacara yajña (ritualnya).

Dari ketiga kerangka di atas maka Tattwa Darsana dan Sila Sesana merupakan unsur yang terpenting dan bersifat kekal serta universal. Sedangkan upacara Yajña merupakan wujud pelaksanaan lahir upacara keagamaan Hindu yang menampakkan bentuk (wujud) yang berbeda-beda serta bervariasi sesuai dengan kemampuan imajinasi dan budaya umat setempat dalam mempersiapkan dan mengamalkan ajaran suci Weda yang mereka yakini. Disamping itu perbedaan bentuk tata upacara juga dipengaruhi oleh dresta (adat-istiadat) masyarakat penganutnya. Perbedaan-perbedaan ini terutama tampak dalam bentuk tata cara pelaksanaan upacara keagamaan (yajña), walaupun hakikat sraddha (keimanannya) yang dimilikinya tetap abadi (sanatana) dan sama (universal).

Hal ini disebabkan Agama Hindu mengakui dan memberi tempat yang layak bagi pertumbuhan kebudayaan dan tradisi-tradisi (acara) setempat yang telah berlaku, sepanjang tradisi dan kebudayaan itu tidak bertentangan dengan dharma agama (ajaran Hindu).

Dalam bahasan ini khusus akan membicarakan tentang bagaimana hakikat Yajña dalam pelaksanaannya baik dalam pelaksanaan sehari-hari maupun dalam waktu tertentu yang menyangkut tentang materi Dewa Yajña dan Rsi Yajña.

136 5.1 DEWA YAJÑA

Dalam dokumen SURAT PENCATATAN (Halaman 139-144)