• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Sistem Imun Terhadap infeksi HIV

BAB II SARI PUSTAKA

2.4 Respon Sistem Imun Terhadap infeksi HIV

Patogenesis setelah virus masuk, terjadi inisiasi respon imun terhadap infeksi HIV yang muncul pada jaringan mukosa lymphoid, dimana plasmacytoid dendritic cell mensekresi berbagai sitokin yang menstimulasi aktivasi CD4. CD4 yang teraktivasi terhadap respon antigen HIV menjadi indikator dan penilaian infeksi. CD4 teraktivasi berdiferensiasi menjadi 3 fenotip (Th1, Th2, Th17). Imun respon Th1 memiliki karakteristik potensi clearing terhadap infeksi HIV melalui NK cell dan CD8 T sel. Th2 merespon dengan produksi B cell terhadap antibodi spesifik HIV. Hal ini dapat menurunkan viral load pada pasien dengan infeksi kronis namun tidak secara sistem mengontrol virus.32

Pada penelitian terbaru, CD4 mensekresikan IL7 yang merupakan hasil dari Th17, hal ini penting pada kontrol bakteri patogen ekstraseluler dan determinan patogenesis infeksi HIV selama infeksi dini. Lebih menarik lagi, empat studi terpisah pada HIV menunjukkan hilangnya Th17 yang mungkin disebabkan karena kontrasepsi hormonal melakukan modifikasi respon sitokin sel yang pada selanjutnya menjadi kontrol terhadap progresi penyakit HIV. CD4 pada jaringan lymphoid sebagai regulator selanjutnya Plasmacytoid dendritic cell mensekresi indolamine 2,3- deoksigenase. Reseptor estrogen dan progesteron ditemukan pada sel imun respon seperti pada CD4 dan CD8 T sel, limfosit B, monosit dan neutrofil sehingga

memungkinkan terjadinya modulasi hormon pada sistem imun tubuh terhadap infeksi HIV.32 Berikut gambar bagaimana mekanisme kontrasepsi hormonal dalam mempengaruhi respon sistem imun tubuh :

Gambar 2.3 : Mekanisme Seluler Kontrasepsi Hormonal pada infeksi HIV.32

2.5 Mekanisme Kontrasepsi Hormonal Terhadap Perubahan Respon Imun Mekanisme kontrasepsi hormonal memiliki myriad of effects, termasuk perubahan struktural pada traktus genital, perubahan respon sistem imun, flora vagina, dan peningkatan risiko infeksi menular seksual.

1. Perubahan struktur vagina dan serviks

Kontrasepsi hormonal berhubungan dengan dua perubahan besar pada traktus genital. Pertama, serviks mengalami ektopi atau ekstensi pada epitel kolumnar endoserviks ke eksoservik. Selanjutnya ektopi servik berhubungan dengan kecurigaan peningkatan HIV-1. Pada studi selanjutnya mengenai ektopi servikal berhubungan dengan peningkatan cakupan CD4 + CCR5 + HIV target cell dan atau marker inflamasi lain di vagina. Kedua, penipisan lapisan epitel vagina. Pada penelitian progesteron menyebabkan penipisan lapisan sel epitel vagina sehingga memudahkan invasi dan meningkatkan risiko infeksi.

2. Perubahan lokal sistem imunitas.

Kontrasepsi hormonal berhubungan dengan peningkatan inflamasi pada traktus genitalia, termasuk peningkatan jumlah CCR5 expressing T cells.

Inflamasi dan potensi cakupan HIV-1 target cell ini dapat meningkatkan risiko transmisi infeksi HIV.

3. Peningkatan risiko infeksi menular seksual dan perubahan flora normal.

Peningkatan risiko penularan infeksi dan inflamasi seperti Chlamydia, cervicitis dan jamur menyebabkan penurunan jumlah H202 yang bersifat

protektif hasil produksi lactobacillus sehingga memudahkan terjadi infeksi HIV. DMPA menekan ovulasi, dimana komponen aktif DMPA, medroxyprogesterone terikat pada reseptor glukokortikoid dan memiliki efek imunosupresif yang lebih kuat dibanding progesteron.30 Gambar berikut menunjukkan mekanisme kontrasepsi hormonal mempengaruhi perubahan struktur, respon imun dan perubahan flora normal :

Gambar 2.4 : Mekanisme Kontrasepsi Hormonal pada Peningkatan Transmisi HIV-1.30

Kontrasepsi hormonal bekerja dengan mekanisme mencegah ovulasi dengan mempengaruhi poros hipotalamus-hipofisis-adrenal. Progestin menekan ovulasi, pengentalan lendir serviks, dan mencegah implantasi karena terjadi penebalan lapisan

endometrium uterus.Trunova dkk, pada studi observasional analitik DMPA terhadap CXCR4-simian-HIV dan CCR5-simian-HIV grup kasus menunjukkan puncak akut viral load pada 1-4 minggu setelah injeksi. Selain itu, peningkatan perubahan reseptor CCR5 menjadi CXCR4-simian-HIV akan menunjukkan progesivitas penyakit. Respon imun seluler menjadi lebih lemah pada kasus pemberian DMPA dengan marker INF-γ berjalan lebih lambat 1 minggu setelah injeksi DMPA.31,32

Penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap infeksi menular seksual secara signifikan menggambarkan regulasi inflamasi dan imunitas zona transformasi serviks berkaitan dengan penggunaan progestin. Mediator inflamasi yang terlibat : sitokin Interleukin IL-1β, IL-6, kemokin XCL8 (IL-8), Macrofag Inflammatory Protein (MIP-3α), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), protein Secretory Leucocyte Protease Inhibitor (SLPI).31

Mombasa pada penelitian kohort wanita dengan kontrasepsi DMPA yang status HIV positif memiliki viral load dua kali lebih tinggi dibanding wanita tanpa kontrasepsi. Titik viral load biasanya tinggi pada 16 minggu setelah infeksi sebagai nilai prediktif progres penyakit HIV. Lavreys dkk, pada studi kohort yang berbeda menambahkan wanita dengan kontrasepsi hormonal DMPA atau oral pil kombinasi memiliki 2 kali lebih banyak virus multipel yang terdeteksi setelah infeksi dimana selanjutnya meningkatkan titik tertinggi viral load dan CD4 yang lebih rendah 2-24 bulan setelah infeksi dan lebih cepat terjadi penurunan CD4. Aktivasi marker lain

seperti CD38, CD69 yang ada pada CD4 dan CD8 . Sitokin Th2 meningkatkan sistem humoral.32

2.6 Mekanisme Seluler Efek Progesteron

Hughes dkk mendemonstrasikan inhibisi sekresi INF-α dari sel dendritik.

Mickropeptida dihambat oleh progesteron seperti INF-α dan indolamine 2,3- deoksigenase. Progesteron juga menyebabkan pergeseran respon sitokin Th2 dengan supresi terhadap INF-γ, IL-12, IL-1β, dan IL-6. Dengan pergeseran Th2 sistem humoral dari Th1 sistem mediasi sel, terjadi kelemahan mekanisme clearance CD4 sel yang terinfeksi HIV. Studi lain mengungkapkan progesteron menyebabkan penurunan regulasi aktivitas CD8 sitotoksik sel melalui hambatan faktor yang diinduksi progesteron sehingga terjadi penekanan perforin (agen sitotoksik).32

Penekanan aktivitas CD8 sitotoksik sel secara teori menurunkan clearance CD4 sel yang terinfeksi HIV, yang mungkin seolah-olah memperlambat progress penyakit. Padahal penurunan CD8 sitotoksik sel juga menyebabkan replikasi virus yang tidak terkontrol dan berpotensi memacu agresifnya progres penyakit. Perlu diingat progesteron menurunkan ekspresi marker aktivasi CD69 pada CD8 sel yang berpotensi mempengaruhi kemampuan mengeliminasi CD4 sel terinfeksi HIV. Tetapi interaksi CD25 dan CD38 dengan progesteron belum dipelajari lebih lanjut. DMPA juga mempengaruhi barrier flora normal alamiah vagina seperti spesies Lactobacillus, yang mempengaruhi risiko terjadi infeksi menular seksual dan berpotensi terhadap multipel strain infeksi HIV.32

Tabel 2.3 : Efek Hormon Estrogen dan Progesteron Terhadap Progresivitas HIV.31

2.7 Mekanisme Seluler Efek Estrogen

Seperti Progesteron, Estrogen juga memiliki efek terhadap sistem imun.

Ketika konsentrasi estradiol rendah, T sel akan menginduksi repon Th1 dan pada konsentrasi tinggi akan menginduksi respon Th2. Enomoto dkk mengungkapkan konsentrasi ini didapatkan dari pemberian hormon eksternal, estrogen menekan respon level dari INF-γ, IL-2, IL-6 yang berdampak pada CD4 dan ekspresi marker aktivasi CD69 pada CD8, efek terhadap CD38 tidak pernah dilaporkan. Pernah

dilaporkan estrogen secara langsung menstimulasi replikasi HIV-1 pada T sel melalui reseptor estrogen. Ini mungkin dapat menjelaskan beberapa hasil klinis menunjukkan tingginya shedding viral serviks pada pengguna kontrasepsi DMPA.31

Estrogen menunjukkan inhibisi migrasi T sel pada jaringan terinfeksi HIV.

Pada penggunaan kontrasepsi oral pil kombinasi terjadi peningkatan jumlah T sel pada ekspresi CCR5 dan densitas reseptor CCR5 pada setiap T sel. Karena CCR5 merupakan ko-reseptor pada masuknya virus, ini berpengaruh terhadap waktu terjadinya infeksi ketika terjadi penurunan CD4 T sel yang signifikan.31

BAB III RINGKASAN

United Nation Acquired Immunodeficiency Syndrome memperkirakan bahwa pada tahun 2010 prevalensi infeksi HIV pada ibu hamil adalah 4%. Transmisi infeksi HIV dari populasi berisiko tinggi kepada pasangan terus bertambah. Pada akhir tahun 2015 diperkirakan terjadi penularan HIV kumulatif pada lebih dari 38.500 bayi yang dilahirkan dari ibu yang sudah terinfeksi (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional).

Kontrasepsi hormonal digunakan lebih dari 150 juta wanita diantaranya 100 juta menggunakan pil kontrasepsi oral kombinasi dan 50 juta lainnya menggunakan injeksi hormonal.

Pada Tahun 2012 WHO yang terdiri dari 75 ahli membahas telaah secara biologi, epidemiologi, data dan rekomendasi menyarankan untuk tidak membatasi metode kontrasepsi hormonal, secara epidemiologi dan beberapa studi laboratorium menyatakan bahwa kontrasepsi hormonal dapat mempengaruhi transmisi HIV.

Tampaknya kontrasepsi hormonal tidak bersifat protektif terhadap transmisi infeksi HIV sehingga proteksi ganda dengan menggunakan kondom sebaiknya dilakukan pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal.

Kontrasepsi hormonal berhubungan dengan dua perubahan besar pada traktus genital. Pertama, serviks mengalami ektopi atau ekstensi pada epitel kolumnar endoserviks ke eksoservik. Selanjutnya ektopi servik berhubungan dengan kecurigaan peningkatan HIV-1. Pada studi selanjutnya mengenai ektopi servikal berhubungan

dengan peningkatan cakupan CD4 + CCR5 + HIV target cell dan atau marker inflamasi lain di vagina. Kedua, penipisan lapisan epitel vagina. Pada penelitian progesteron menyebabkan penipisan lapisan sel epitel vagina sehingga memudahkan invasi dan meningkatkan risiko infeksi.

Kontrasepsi hormonal berhubungan dengan peningkatan inflamasi pada traktus genitalia, termasuk peningkatan jumlah CCR5 expressing T cells. Inflamasi dan potensi cakupan HIV-1 target cell ini dapat meningkatkan risiko transmisi infeksi HIV. Peningkatan risiko penularan infeksi dan inflamasi seperti Chlamydia, cervicitis dan jamur menyebabkan penurunan jumlah H202 yang bersifat protektif hasil produksi lactobacillus sehingga memudahkan terjadi infeksi HIV. DMPA menekan ovulasi, dimana komponen aktif DMPA, medroxyprogesterone terikat pada reseptor glukokortikoid dan memiliki efek imunosupresif.

Pada kelayakan medis penggunaan metode kontrasepsi edisi kelima tahun 2015, keamanan metode kontrasepsi dipengaruhi berbagai pertimbangan, kondisi dan karakteristik kesehatan. Aspek pertama, metode kontrasepsi tertentu dapat menimbulkan risiko pada status kesakitan atau memperberat kondisi medis tertentu.

Aspek kedua, kondisi medis penyakit terkait penggunaan metode kontrasepsi tertentu dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi. Kesimpulan dari dua puluh dua studi prospektif observasional mengenai kontrasepsi oral kombinasi terhadap risiko penularan HIV Didapatkan delapan studi menilai penggunaan kontrasepsi hormonal dianggap "informatif tetapi dengan keterbatasan penting".

DAFTAR PUSTAKA

1. Basia Zaba, Clara Calvert, et al. Effect of HIV Infection on Pregnancy Related Mortality in Sub-Saharan Africa : Secondary Analyses of Pooled Community Based Data from The Network for Analysing Longitudinal Population-based HIV/AIDS Data on Africa (ALPHA). Lancet. London, UK. 2013;381:1763-71.

2. Charles S. Morrison, Stephanie Skoler, et al. Hormonal Contraception and The Risk of HIV Acquisition Among Women in South Africa. Lippincott Williams & Wilkins. Durham, USA. AIDS 2012;26:497-504.

3. HS Mitchell, E Stephens. Contraception Choice for HIV Positive Women.

London, UK. 2016;80:167-173.

4. Pamela M Murname, Rene Heffron, et al. Pre-exposure Prophylaxis for HIV- 1 Prevention Does Not Diminish The Pregnancy Prevention Effectiveness of Hormonal Contraception. American College of Obstetricians and Gynecologist. Lippincott Williams & Wilkins. Washington, USA.

2014;28:1825-1830

5. Monica Gandhi, Rajesh T. Gandhi. Single-Pill Combination Regimens for Treatment of HIV-1 Infection. The New England Journal of Medicine.

Massachusetts Medical Society. 2014;371:248-59.

6. Chelsea B. Polis, Daniel Westreich, et al. Assessing the Effect of Hormonal Contraception on HIV Acquisition in Observational data : Challenges and

Recommended Analytic Approaches. NIH. Seattle, WA, USA.

2014;27(01):S35-S43.

7. Jared M. Baeten, Ludo Lavreys, et al. The Influence of Hormonal Contraceptive Use on HIV-1 Transmission and Disease Progression. Seattle, WA, USA. Clinical Infectious Diseases 2007;45:360-9.

8. Cocohoba Jennifer. Hormonal Contraception for HIV Positive Women.

California, San Fransisco, USA. Women and HIV 2010;Beta:36-40.

9. Heather M Marlow, Suzanne Maman, et al. HIV Status and Postpartum Contraceptive Use in an Antenatal Population in Durban, South Africa.

Elsevier. NICH, North Caroline, USA. Contraception 2015;91:39-43.

10.Polis CB, Philips SJ, Curtis KM, Westreich DJ, Steyn PS, Raymond E, Hannaford P, Turner AN. Hormonal Contraceptive Methods and Risk of HIV Acquisition in Women : A Systematic Review of Epidemiological Evidence.

Elsevier. USAID. Washington, DC, USA. Contraception 2014;90:360-390.

11.Homfrey GJ, Singata M, et al. Hormonal Contraception for Women Exposed to HIV Infection. Cochrane Database of Systematic Reeviews. London, United Kingdom. 2014;5:1-15.

12.Sharon J. Philips, Chelsea B Polis, et al. The Safety of Hormonal Contraceptive for Women Living with HIV and Their Sexual Partners.

Elsevier. Baltimore, USA. Contraception 2015;10:002.

13.Naw H. Khu, Bellington Vwalika, et al. Fertility Goal based Counseling Increases Contraceptive Implant and IUD Use in HIV-discordant Couples in Rwanda and Zambia. Elsevier Atlanta, USA. Contraception 2013;88:74-82.

14.Lauren Bull, Abdul W Khan, et al. Management of HIV Infection in Pregnancy. Obstetric, Gynecology and Reproductive Medicine. London, UK.

2015;07:004.

15.Sarah MT, Joris H. Management and Outcomes of Pregnancies among Women with HIV in Oxford, UK in 2008-2012. International Journal of Gynecology and Obstetrics. UK. 2015;130:59-63.

16.Chrystelle O O Wedi, Shona Kirtley, et al. Perinatal Outcomes Associated with Maternal HIV Infection a Systematic Review and Meta-analysis. Lancet, UK. 2016;3:33-48.

17.Camille Stora, Sylvie Epelboin, et al. Women Infected With Human Immunodeficiency Virus Type 1 Have Poorer Assisted Reproduction Outcomes : a Case Control Study. American Society for Reproductive Medicine. Elsevier. 2016;12:015-282.

18.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2013.

Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Jakarta, Indonesia.

2013;2:12-43.

19.Robert Stewart D, Edward Wells, et al. Benefit of Interpregnancy HIV Viral Load Suppression on Subsequent maternal and Infant Outcomes. American Journal Obstetric and Gynecology. USA. 2014;210:1e3-6.

20.Mengyang Sun, Jeffrey F. Peipert, et al. Trends in Contraceptive Use Among Women with Human Immunodeficiency Virus. American College of Obstetricians and Gynecologist. Lippincott Williams & Wilkins. Washington, USA. 2012;120:783-90.

21.Clea C Sarnquist, Precious Moyo, et al. Integrating Family Planning and Prevention of Mother to Child HIV Transmission in Zimbabwe. Elsevier, CA, USA. Contraception 2014;89:209-214.

22.Lisa Rahangdale, Jordan Gates, et al. Integrase Inhibitors in Late Pregnancy and Rapid HIV Viral Load Reduction. American Journal of Obstetric and Gynecology. Elsevier. 2016;214:385e1.7.

23.Carlos Mejia V, Maria Eygenia L, et al. Highly Active Antiretroviral Treatment (HAART) for The Prevention of HIV Mother to Child Transmission (PMTCT) at Roosevelt Hospital’s Infectious Diseases Clinic in Guatemala : The Role of (LPV/r) Standard Dose. Chicago, USA. 2012;2:259-264.

24.Martelina L Badell, Michael Lindsay. Pregnancies in Females Perinatally Infected with Human Immunodeficiency Virus-1. Hindawi Corp. AIDS Research and Treatment. Atlanta, USA. 2012;6:1-6.

25.Iskandar Azwa, Su Yen Kong. Human Immunodeficiency Virus (HIV) in Pregnancy : A Review of the Guidelines for Preventing Mother-to-Child Transmission in Malaysia. And Acad Med, Singapore 2012;41:587-94.

Dokumen terkait