• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rukun dan Syarat Perikatan Islam

BAB II PENYELESAIAN GUGATAN GANTI RUGI

C. Rukun dan Syarat Perikatan Islam

yang melakukan akad, sehingga akad itu harus dibuat secara tertulis (kitabah). Asas kitabah ini terutama dianjurkan untuk transaksi dalam bentuk tidak tunai (kredit). Di samping juga diperlukan adanya saksi-saksi (syahadah), rahn (gadai, untuk kasus tertentu), prinsip tanggung jawab individu.

sujud dalam shalat, maka shalat itu batal, tidak sah. Syarat shalat salah satunya adalah wudhu. Wudhu merupakan bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak sah.

Pendapat mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam beraneka ragam di kalangan para ahli fiqih. Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad hanya sighat al-'aqd, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-'aqidain (subjek akad) dan mahallul’aqd (objek akad).

Alasannya adalah al-'aqidain dan mahallul’aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berada di luar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi'i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-' aqidain dan mahallul’aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.75

Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al- 'aqidain, mahallul’aqd, dan sighat al-'aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-Zarqa menambah maudhu'ul'aqd (tujuan akad).

Ia tidak menyebut keempat hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat’aqd (unsur-unsur penegak akad).76 Sedangkan menurut T.

M. Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan komponen- komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad.77

1. Subjek Perikatan (Al-’Aqidain)

Al-'aqidain adalah para pihak yang melakukan akad.

Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dari sudut

75 Mas'adi. Op.cit., hlm. 79.

76 Ibid..hlm 81. Lihat juga Djamil.Op.cit., hlm. 252-258.

77 Ash-Shidieqy.Op.cit. hlm. 23.

hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Berikut penjelasan mengenai manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan dalam hukum Islam.

a. Manusia

Manusia sebagai subjek Hukum Perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Kata "Mukallaf" berasal dari bahasa Arab yang berarti "yang dibebani hukum", yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT baik yang terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-Nya.78

Pada kehidupan seseorang, ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan-tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capacity). Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqh telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 5 (lima) tahap Subjek Hukum (Stages of Legal Capacity):79

78 Ade Armando. dkk. Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, (Jakarta: PT lchtiar Baru van Hoeve. Tanpa tahun). hlm.77

79 Abdurrahman Raden Aji Haqqi, The Philosophy of Islamic Law of Transactions, (Kuala Lumpur: Univision Press, 1999), hlm. 94-96.

1) Marhalah al-Janin (Embryonic Stage)

Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup. Sebagai subjek hukum, janin disebut "Ahliyyah Al-Wujub Al-Naqisah". Dalam tahap ini, janin dapat memperoleh hak, namun tidak mengemban kewajiban hukum. Misalnya janin dapat hak waris pada saat orang tuanya meninggal dunia, dapat menerima hibah, dan sebagainya.

2) Marhalah al-Saba (Childhood Stage)

Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia berusia 7 (tujuh) tahun. Pada tahap ini seseorang disebut "Al-Sabiy Ghayr Al-Mumayyiz". Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya dilaksanakan melalui walinya (guardian). Misalnya mengenai pengelolaan harta tersebut dan pembayaran zakatnya.

3) Marhalah al-Tamyiz (Discernment Stage)

Tahapan ini dimulai sejak seorang berusia 7 (tujuh) tahun hingga masa pubertas (Aqil-Baligh). Pada tahap ini seseorang disebut "Al-Sabiy Al-Mumayyiz" (telah bisa membedakan yang baik dan buruk). Seseorang yang mencapai tahap ini dapat, memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subjek hukum (tanpa izin dari walinya). Segala aktivitas/transaksi penerimaan hak yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz ini adalah sah (valid), misalnya menerima hibah atau sedekah.

Transaksi yang mungkin merugikan/mengurangi haknya, misalnya menghibahkan atau berwasiat, adalah "non-valid"

kecuali mendapat izin atau pengesahan dari walinya. Tindakan hukum atau transaksi yang dilakukan oleh seorang anak yang

mumayyiz ini dapat dianggap sah selama tidak dibatalkan oleh walinya.

4) Marhalah al-Bulugh (Stage of Puberty)

Pada tahap ini seseorang telah mencapai Aqil-Baligh dan dalam keadaan normal ia dianggap telah menjadi Mukallaf.

Kapan seseorang dianggap telah baligh ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Mayoritas ulama menyebutkan usia 15 tahun, sedangkan sebagian kecil ulama mazhab Maliki menyebutkan 18 tahun. Namun, ada yang memudahkan perkiraan baligh ini dengan melihat tanda-tanda fisik, yaitu ketika seorang perempuan telah datang bulan (haid) dan laki- laki telah mengalami perubahan-perubahan suara dan fisiknya.

Seseorang yang sudah pada tahap ini disebut "Ahliyyah Al-Ada Al-Kamilah". Orang tersebut telah memperoleh kapasitas penuh sebagai subjek hukum. Intelektualitasnya telah matang dan dianggap cakap, kecuali terbukti sebaliknya.

5) Daur al-Rushd (Stage of Prudence)

Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subjek hukum, dikarenakan telah mampu bersikap tindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan usaha/bisnisnya dengan bijaksana. Pada dasarnya kebijaksanaan (rushd/prudence) seseorang dapat dicapai secara bersamaan, sebelum atau sesudah baligh, bila telah memiliki sifat-sifat kecakapan berdasarkan pendidikan atau persiapan tertentu untuk kepentingan bisnis, usaha atau transaksi yang akan dilakukannya tersebut. Orang yang telah mencapai tahapan Daur ar-Rushd ini disebut orang yang

Rasyid. Diperkirakan tahapan ini dapat diperoleh setelah seseorang mencapai usia 19, 20, atau 21 tahun.80

Jadi, dari segi kecakapan untuk melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga bentuk:81

a) Manusia yang tidak dapat melakukan akad apapun, seperti manusia yang cacat jiwa, cacat mental, anak kecil yang belum mumayyiz.

b) Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, seperti anak yang sudah mumayyiz, tetapi belum mencapai baligh.

c) Manusia yang dapat melakukan seluruh akad, yaitu untuk yang telah memenuhi syarat-syarat mukallaf.

Pada prinsipnya tindakan hukum seseorang akan dianggap sah, kecuali ada halangan-halangan yang dapat dibuktikan. Tindakan hukum seseorang yang telah baligh dapat dinyatakan tidak sah atau dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan adanya halangan-halangan (impediments) sebagai berikut:

a) Minors (masih di bawah umur) atau safih;

b) Insanity/Junun (kehilangan kesadaran atau gila);

c) Idiocy/Atah (idiot);

d) Prodigality/Safah (royal, boros);

e) Unconsciousness/Ighma (kehilangan kesadaran);

f) Sleep/Naum (tertidur dalam keadaan tidur gelap);

g) Error/Khata dan Forgetfulness/Nisyan (kesalahan dan terlupa); dan

h) Acquired Defects/Awarid Muktasabah (memiliki kekurangan, kerusakan (akal) atau kehilangan). Kerusakan

80 Lihat: Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2 000), hlm. 32.

81 Mas'adi, Op.cit., hlm. 82.

atau terganggunya akal seseorang dapat dikarenakan oleh intoxication/sukr (mabuk, keracunan obat, dan sebagainya) atau karena ignorance/jahl (ketidaktahuan atau kelalaian).

Oleh karena itu, selain dilihat dari tahapan kedewasaan seseorang, dalam suatu akad, kondisi psikologis seseorang perlu juga diperhatikan untuk mencapai sahnya suatu akad.

Hamzah Yacub, mengemukakan syarat-syarat subjek akad adalah sebagai berikut:82

a) Aqil (berakal)

Orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila, terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih di bawah umur, sehingga dapat mempertanggung jawabkan transaksi yang dibuatnya.

b) Tamyiz (dapat membedakan)

Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pertanda kesadarannya sewaktu bertransaksi.

c) Mukhtar (bebas dari paksaan)

Syarat ini didasarkan oleh ketentuan QS. an-Nisaa (4):

29 dan Hadits Nabi SAW yang mengemukakan prinsip an- taradhin (rela sama rela). Hal ini berarti para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan, dan tekanan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa syarat- syarat yang harus dipenuhi sebagai mukallaf adalah sebagai berikut:

82 Hamzah Ya'cub.Kode Etik Dagang Menurut Islam Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi, (Bandung: CV Diponegoro, 1984), hlm. 79.

a) Baligh

Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi (ihtilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi perempuan. Baligh juga dapat diukur dari usia seseorang, seperti yang tercantum dalam Hadits dari Ibnu Umar yaitu 15 tahun. Dalam Hadits tersebut diceritakan, bahwa Ibnu Umar tidak diizinkan Nabi Muhammad SAW, untuk ikut berperang (Perang Uhud) ketika usianya 14 tahun. Ketika usianya mencapai 15 tahun, ia diizinkan untuk turut berperang (Perang Khandaq).83 Terhadap orang yang sudah baligh sudah dapat dibebani hukum taklif atau sudah dapat bertindak hukum karena, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,84 ia sudah berakal dan memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al- adri' al-krimilah).

b) Berakal Sehat

Seseorang yang melakukan perikatan harus memiliki akal yang sehat. Dengan akal sehat, ia akan memahami segala perbuatan hukum yang dilakukan dan akibat hukum terhadap dirinya maupun orang lain. Seseorang yang gila, sedang marah, sedang sakit, atau sedang tidur, tidak dapat menjadi subjek hukum yang sempurna. Nabi Muhammad SAW bersabda;

"Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga jenis orang: orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh" (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at- Tirmizi, an-Nasa'i, Ibnu Majah, dan ad-Daruqutni dari Aisyah binti Abu Bakar dan Ali bin Abi Talib).85

83 Dahian, Op.cit., hlm. 83.

84 Ibid., hlm. 1226.

85 Ibid., hlm. 1219.

Selain hal tersebut di atas, dalam kaitannya dengan al- 'aqidain terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu ahliyah (kecakapan), wilayah (kewenangan), dan wakalah (perwakilan).86

a) Ahliyah (kecakapan), yaitu kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan dikenai kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasharruf. Ahliyah terbagi atas dua macam:

1) Ahliyah wujub adalah kecakapan untuk memiliki suatu hak kebendaan. Manusia dapat memiliki hak sejak dalam kandungan untuk hak tertentu, yaitu hak wads. Hak ini akan selalu ada selama manusia hidup.

2) Ahliyah ada' adalah kecakapan memiliki tasharruf dan dikenai tanggung jawab atau kewajiban, baik berupa hak Allah SWT atau hak manusia. Ahliyah ada' terbagi lagi atas dua macam berikut ini:

a. Ahliyah ada' al naqishah, yaitu kecakapan bertindak yang tidak sempurna yang terdapat pada mumayyiz dan berakal sehat. Ia dapat ber-tasharruf tetapi tidak cakap melakukan akad.

b. Ahliyah ada’ al kamilah, yaitu kecakapan bertindak yang sempurna yang terdapat pada aqil baligh dan berakal sehat. Ia dapat ber-tasharruf dan cakap untuk melakukan akad.

b) Wilayah (kewenangan), yaitu kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat ber-tasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan. Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah akad adalah orang yang cakap bertasharruf secara sempurna. Sedangkan orang

86 Mas' adi, Op. cit., hlm. 82-86.

yang kecakapan bertindaknya tidak sempurna tidak memiliki wilayah, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain untuk melakukan tasharruf.87

c) Wakalah (perwakilan), yaitu pengalihan kewenangan perihal harta dan perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindakan tertentu dalam hidupnya. Dalam wakalah ini, wakil, dan muwakil (yang diwakili) harus memiliki kecakapan bertasharruf yang sempurna dan dilaksanakan dalam bentuk akad berupa ijab dan kabul. Dengan demikian, harus jelas objek dan tujuan akad tersebut. Biasanya, wakil memiliki hak untuk mendapatkan upah (ketentuan wakalah ini dapat dilihat lebih lanjut pada bab tentang bentuk-bentuk akad).

b. Badan Hukum

Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.88 Badan hukum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan tersendiri. Badan hukum menurut R.

Wirjono Prodjodikoro89 adalah dapat berupa negara, daerah otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan, atau yayasan.

Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus.

Beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan

87 Lihat juga Djamil, Op.cit., hlm. 256 -257.

88 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Cet. 8, (Bandung:

Sumur Bandung, 1981), hlm. 23.

89 Ibid.

menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam QS. an-Nisaa (4): 12, QS. Shaad (38): 24, dan Hadits Qudsi.

Pada QS. an-Nisaa (4): 12, disebutkan "Tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.... "90

Pada QS. Shaad (38): 24, bahwa "Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain,' kecuali orang-orang yang beriman.... "91 Pada Hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda; "Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya."92 (huruf tebal dari penulis).

Adanya kerja sama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingan-kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubungannya dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek hukum yang disebut dengan badan hukum. TM Hasbi Ash Shiddieqy,93 menyatakan bahwa badan hukum berbeda dengan manusia sebagai subjek hukum dalam hal-hal sebagai berikut:

1) Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak yang dimiliki manusia, seperti hak berkeluarga, hak pusaka, dan lain-lain.

90 Departemen Agama, Op.cit., hlm. 117.

91 Ibid., hlm. 735,

92 Mas'adi, Op.cit. hlm. 192.

93 Ash Shiddieqy, Op.cit., hlm. 204-205.

2) Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum. Badan hukum akan hilang apabila syarat- syaratnya tidak terpenuhi lagi.

3) Badan hukum diperlukan adanya pengakuan hukum.

4) Ruang gerak badan hukum dalam bertindak hukum dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang tertentu.

5) Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh badan hukum adalah tetap, tidak berkembang.

6) Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, tetapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata.

Kedudukan negara, menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy, dapat menjadi subjek hukum pula, disebut dengan istilah syakh-94 shisyah daulah. Dalam hal negara sebagai badan hukum, kepala negara atau pegawai-pegawai pemerintah dapat melakukan tindakan hukum atas nama negara sesuai dengan peraturan yang sudah ditentukan.

2. Objek Perikatan (Mahallul’Aqd)

Mahallul’aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tidak berwujud, seperti manfaat. Syarat- syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul’aqd adalah sebagai berikut:

94 Mas'a di, Op.cit.hlm. 86- 89.dan Djamil, Op.cit., hlm. 255-256.

a) Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan

Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti, menjual anak hewan yang masih di dalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum tumbuh. Alasannya, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada. Terdapat pengecualian terhadap bentuk akad- akad tertentu, seperti salam, istishna, dan musyaqah (bentuk akad ini diuraikan pada bab tentang bentuk-bentuk akad) yang objek akadnya diperkirakan akan ada di masa yang akan datang.

Pengecualian ini didasarkan pada istishsan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat.

b) Objek perikatan dibenarkan oleh syariah

Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya tidak suci, seperti bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidak memiliki nilai dan tidak memiliki manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak mensyaratkan adanya kesucian objek akad.

Dengan demikian, jual beli kulit bangkai dibolehkan sepanjang memiliki manfaat. Kecuali benda-benda yang secara jelas dinyatakan dalam nash, seperti, khamar, daging babi, bangkai, dan darah. Selain itu, jika objek perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhan,95 adalah tidak dapat dibenarkan pula, batal. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa, benda yang

95 Barlinti, Op.cit., hlm. 68.

bukan milik seseorang pun tidak boleh dijadikan objek perikatan.

Hal ini tidak dibenarkan dalam syariah 96 c) Objek akad harus jelas dan dikenali

Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh ’aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi, dan keadaannya. Jika terdapat cacat pada benda tersebut pun harus diberitahukan. Jika objek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memiliki keahlian sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan kepandaiannya dalam bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum atau kurang ahli, terampil, mampu, maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar masing-masing pihak memahaminya. Dalam Hadits riwayat Imam Lima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW melarang jual beli gharar (penipuan) dan jual beli hassah (jual beli dengan syarat tertentu, seperti penjual akan menjual bajunya apabila lemparan batu dari penjual mengenai baju itu).97

d) Objek dapat diserahterimakan

Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati.

Disarankan bahwa objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah untuk menyerahkannya kepada pihak kedua.

Burung di udara, ikan di laut, tidaklah dapat diserahkan karena tidak ada dalam kekuasaannya. Untuk objek perikatan yang

96 Basyir.Op.cit., hlm. 80.

97 Mas' adi.Op.ci t., hlm. 88.

berupa manfaat, maka pihak pertama harus melaksanakan tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan.

3. Tujuan Perikatan (Maudhu’ul’Aqd)

Maudhu'ul’aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadits. Menurut ulama fiqih, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syariah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.98 Sebagai contoh, A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukan pembunuhan atau perampokan, maka perikatan tersebut haram hukumnya. Apabila para pihak melakukan perikatan dengan tujuan yang berbeda, namun salah satu pihak memiliki tujuan yang bertentangan dengan Hukum Islam dengan diketahui pihak lainnya, maka perikatan itu pun haram hukumnya.

Sebagai contoh, A menjual anggur kepada B. A mengetahui, bahwa tujuan B membeli anggur tersebut untuk diolah menjadi minuman keras dan dijual untuk dikonsumsi. Jual beli tersebut tidak boleh dilakukan, karena minuman keras adalah haram untuk dikonsumsi manusia. Apabila A tetap menjual anggur tersebut kepada B berarti A turut andil dalam membuat barang haram tersebut. Dengan demikian, jual beli tersebut haram hukumnya.

Sesuai dengan dasar hukum yang terdapat dalam QS. al-Maidah (5): 2, bahwa "dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.99 Namun, apabila A benar-benar tidak

98 Djamil, Op.cit. hlm. 2.57-258.

99 Departemen Agama, Op.cit., hlm. 1.57.

mengetahui tujuan B membeli anggur tersebut, maka perikatan tersebut tidak haram, tetapi dapat dibatalkan.100

Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut:101

1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan;

2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad dan

3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’.

4. Ijab dan Kabul (Sighat al-'Aqd)

Sighat al-'aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut:102

a) Jala'ul ma'na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki;

b) Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul; dan c) Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan

kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.

100 Barlinti, Op.cit. hlm. 72-73.

101 Basyir.Op.cit., hlm. 99-100.

102 Djamil, Op. cit., hlm. 253.