BAB V PENUTUP
B. Saran
Adapun saran penulis dalam penelitian pustaka ini adalah :
1. Seorang peneliti sastra harus membekali dirinya dengan pemahaman yang baik terhadap dasar-dasar sastra agar kajian sastra yang dihasilkan lebih bermutu.
2. Hendaknya penelitian terhadap karya-karya sastra khususnya dalam penggunaan gaya bahasa lebih ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
3. Kiranya para pemerhati sastra dan masyarakat penikmat sastra dapat meluangkan waktunya untuk pembaca novel-novel lebih khusus kepada penikmat sebagai wujud apresiasi terhadap karya sastra khususnya sastra yang lahir dalam daerahnya.
Daftar Pustaka
Ahmad Badrun. 1983. Pengantar Ilmu Sastra (teori sastra). Surabaya: Usaha Nasional.
Arisyahria Mihdar. 2014. Analisis Penggunaan Majas Personifikasi Pada Tayangan Opera Van Java Di Trans 7. Skripsi. Makassar:
Universitas Muhammadiyah Makassar.
Azis, Sitti Aida. 2011. Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi. Surabaya: Bintang.
Bahar, Dedi Fadli. 2012. Analisis Nilai Agama Dalam Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka.Skripsi. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Bagian-bagian Ironi di websiteHttps: //Sites. Google. Com/ Site/Elisabethpristiwi/
Ironi
Desy Anwar. ... Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.Surabaya: Amelia Surabaya.
Ernawatti Waridah. 2009. EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta:
kawan Pustaka.
Gorys Keraf. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama.
Hamka. 1984. Tenggelamnya Kapal Vander Wijck. Jakarta: P.T. Bulan Bintang.
Hasman Pribadi. 2011. Analisis Gaya Bahasa Dalam Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi. Skripsi. Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder. 2009. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mustofa Sadikin. 2011. Kumpulan Sastra Indonesia. Jakarta: gudang Ilmu.
Rimang, Sitti Suwadah. 2011. Kajian Sastra Teori dan Praktis. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa
48
Korpus Data
Gaya bahasa Ironi
Adapun kutipannya sebagai berikut:
1. “muka manis”, Artinya seseorang yang berpura-pura baik.(hal 14 : 4).
2. kulit dan isi. Artinya seseorang yang memiliki perbedaan baik materil maupun non materil. (hal 26 : 2).
3. Apalagi engkau anak pisang kami”. Artinya anak satu-satunya dalam keluarga. (hal 36 : 5).
4. Ganjil benar keadaan di kampung kami sekarang. Artinya ada seseorang yang telah hadir di kampungnya. (hal 38 : 4).
5. pikiranku kusut. Artinya ada seseorang yang menghantui pikirannya serta merasa senang dengan apa yang dia pikirkan. (hal 39 : 2).
6. Tetapi tak lama engkau dapat menahan hati mendengarkan rayuan angin yang masuk dari celah tingkap rumahmu. Artinya ada seseorang yang ingin merusak kehidupan rumah tangganya. (hal 94 : 3).
7. Hayati, berulang saya menanggung perasaan begini, seorang pun tidak ada tempat saya mengadu. Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka ketawa, bersenda gurau, tetapi bilamana kuhening kupikirkan, emas tidak juga dapat dicampurkan dengan loyang, sutera tersisih dari benang. Saya telah mengerti segera bahasa Minangkabau meskipun dekat mereka saya seakan-akan tak faham. Dari isyarat dan susun kata, dapat juga diketahui, bahwa derajatku kurang adanya. Bakoku sendiri tidak mengaku say anak pisangnya, sebab rupanya ayahku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh wang, sekali lagi hayati, oleh wang!.(hal 41: 3).
8. Memang berbeda sekali perasaan jiwa laki-laki dengan perempuan, sebagaimana berlainnya kejadian tubuh kasarnya. Laki-laki dan perempuan sama-sama mencukupkan kehidupan dengan percintaan. Tetapi filsafat kedua belah pihak dalam perkara cinta amat berbeda, laksana perbedaan siang dengan malam, tegasnya perbadaan Adam dengan Hawa. (hal 85:1)
9. Bertutur yang lemak manis dia pandai sekali, mula-mula malu dan enggan, bahkan takut hayati berdekat dengan dia, maklumlah gadis kampung. Tetapi
“memikat” adalah kepandaian Aziz yang tersendiri. Sehingga keseganan dan keberatan itu lama-lama hilang. Dia suka kepada Aziz sebab dia saudara
49
Khadijah, dan senantiasa bila melihat orang lain itu, perasaan belas kasihan kepada Zainuddin bertambah-tambah juga. Belas kasihan! (hal 93:2).
10. “Bagaimana kalau dia makan hati berulang jantung sebab maksudnya tidak sampai. Berapa banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak bertemudengan yang dicintainya, atau dia mati merana saja?” kata Limah.
(hal 112:5)
11. Tetapi kalau cinta telah mendalam, walaupun bagaimana tebalnya perasaan sebagai laki-laki, badan meremuk juga laksana ayam kena penyakit menular.
(hal 139:3).
12. Tak enak makan suamiku kelihatan lantaran girangnya, dia tersenyum- senyum saja. Baru sebentar ini dia pergi menguruskan perlelangan barang- barang kami. Dan heran sekali Khadijah ! Debar jantungku kian keras,menyalahi kebiasaan orang yang akan didatangi suatu kegirangan. (hal 162:1).
13. Zainuddin, memang bukan Zainuddin yang dahulu lagi. Cahaya mukanya yang sekarang dalah lebih jernih, pakaian yang dipakainya lebih mahal dan gagah dari dahulu. Meskipun mukanya tidak cantik, tetapi cahaya ilmu, pengalaman, penanggungan, cahaya seni, semuanya telah memberinya bentuk yang baru...(hal 169:7).
14. “Hai upik, baru kemaren kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit- belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan-angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencahariannya, tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas. (hal 61 : 4).
15. “Tidak, khadijah!” jawab Hayati, “pendapatmu tak betul, cinta tak bergantung kepada wang. Kalau dua orang yang bercinta dapat bertemu, kesenangan dan ketenteraman pikirannya, itulah wang, itulah dia kekayaan, lebih dari gelang mas, dukuh-berlian, pakaian cukup. Itulah kesenangan yang tak lekang dipanas, tak lapuk dihujan”. (hal 94 : 3).
16. Hidup di zaman sekarang berkehendak wang, Hayati, walaupun saleh dan bagaimana tekur kita, keadaan yang sekeliling kita tidak dapat melepaskan kita dari pada kungkungan, sedang Zainuddin tiadakan sanggup
menyelenggarakan hidupmu. Kalau lantaran keras seruan dunia itu, Zainuddin tersesat memilih kehidupan dari pada jalan yang tiada halal, siapa yang berdosa? Tidakkah engaku sendiri?. (hal 102 : 1).
17. Alangkah gelapnya dunia ini kupandang. Alam telah lengang dan sunyi, tidak ada gerak yang membangunkan semangatku lagi, malam seakan-akan terus- menerus saja, tidak sedikit juga berganti dengan siang. Kadang-kadang saya rasai badan saya sebagai seorang yang terpencil jauh di tengah padang yang tandus, tidak ada manusia yang lalu lintas di sana, tidak ada kali yang mengalir, tidak ada daun yang digerakkan angin. Seakan-akan saya sudah terbuang mencari jalan dan ikhtiar untuk keluar dari tempat itu, tetapi jalan tidak kelihatan. Saya tunggu kelepasan dengan sabar, tetapihanya maut yang melayang-layang. (hal 132 : 6).
18. Pada perkata-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih sayangku, bahwa cintaku telah kau terima. Bahwa pengharapan yang telah putus, kau hubungkan kembali. Tetapi Hayati, ada yang perlu kuterangkan padamu, supaya jangan engkau menyesal kemudian, orang sukai seorang pemuda, karena sesuatu yang diharapkannya dari pada pemuda itu, misalnya dia cantik dan gagah. Aku sendiri, sebagai yang kau lihat, begitulah keadaanku, rupaku yang jelek tak pantas menjadi jodohmu, dan aku miskin.
Misalnya Allah menyampaikan cita-cita hatiku, dan engkau boleh menjadi suntingku, menjadi istri yang mengobat luka hatiku yang telah bertahun- tahun, agaknya akan malu engau berjalan bersanding dengan daku, karena amat buruk memperdekatkan loyang dengan mas, mempertalikan benang dengan sutera. Bagiku, Hayati, engkau sangat cantik. Kecantikanmu itu kadang-kadang yang menyebabkan daku putus asa, mengingat buruk diriku dan buruk untungku. (hal 49 : 2).
19. Hayati takut akan kena cinta. Takut menghadapi cinta, itulah cinta yang sejati. Dia memberi ponis “tidak cinta” kepada Zainuddin, artinya dia memberikan ponis kematian kepada dirinya sendiri. Setelah agak jauh Zainuddin berjalan, diapun tak tahan pula lagi, dia meniarap ke lantai di dangau itu menahan hatinya, dan hati juga tertahan. (hal 53 : 2).
20. “Apa, hayati?”
“Saya cinta akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan. Dan saya bersedia menempuh segala bahaya yang akan menimpah dan sengsara yang mengancam.
“Hayati .... kau kembalikan jiwaku! Kau izinkan aku hidup. Ulurkan tanganmu, marilah kita berjanji bahwa hidupku bergantung kepada hidupmu, dan hidupmu bergantung kepada hidupku. Yang menceraikan hati kita, meskipun badan tak bertemu, ialah bila nyawa bercerai dengan badan.” (hal 55 : 6).
21. Khadijah memperlihatkan sebentuk cincin berliang yang indah memancarkan cahaya yang gilang gemilang. Katanya: “inilah tanda mata dari tunanganku.
Selama ini belum saya suka membukakan ke engkau bahwa saya telah bertunangan, sebab saya sangka engkau belum ada niatan hendak kawin.
Tetapi setelah saya ketahui bahwa engkau telah mencintai seorang yang bukan jodohmu, saya katakan sekarang, bahwa hatiku tak senang kalau tak saya katakan kepadamu hal yang sebenarnya. (hal 93 : 6).
22. Alangkah lekasnya hari berubah, alankah cepatnya masa berganti!
Apakah dalam masa sebulan dua saja istana kenang-kenangan yang telah kita dirikan berdua, dihancurkan oleh angin puting beliung, sehingga dengan bekas-bekasnya sekalipun tidak akan bertemu lagi? Ingatkah kau Hayati, bahwa istana itu telah kita tegakkan di atas air mata kita, di atas kedukaan dan derita kita? (hal129 : 4).
23. ....kalau kau tahu! Sudah sedari lama keindahan dan kecantikan dunia ini terlepas dari hatiku, laksana rontoknya bunga yang kekurangan air dari jembangan. Sudah sekian lama kehidupan ini saya palsukan, saya hadapi dengan hati remuk. Karena kekuasaan iblis telah merajalelah di atas hati manusia. Cuma satu saja yang kulihat paling suci, ialah kau, kau sendiri!
Pada diri kaulah bertemunya lambang dari kesucian dan kemurnian, yang dipenuhi oleh cinta yang ikhlas. Sebab telah kau sambut tanganku yang lemah: sebab telah kau terima suaraku yang parau, diwaktu orang lain membenciku, lantaran miskinku, papaku dan kurang bangsaku. Hanya kau seorang!. (hal 131 : 3).
24. Asal sengketa dan perselisihan jangan tumbuh, apa katanya diikut oleh Hayati. Barang masnya telah habis, dokohnya, gelangnya, panitinya, semuanya telah masuk rumah gadai. Tetapi yang sangat menyakitkan hati, pernah dia menyesali beristeri perempuan kampung, sial. Perempuan yang tak pandai mengobati hati suaminya. (hal 179:1).
25. Inilah yang mengherankan dalam pertalian budi bahasa dunia ini. Dia sangat cinta, seluruh iramanya, ilham yang menerbitkan semangatnya mengarang, semuanya ialah lantaran ingat akan Hayati. Sekarang Hayati telah ada dalam rumahnya, tetapi tidak diacuhkannya. Itu adalah tersebab dari cinta yang bermukim dalam hatinya bukan cinta kenafsuan, tetapi cinta murni. Cinta yang menyebabkan mulia budi seorang pemuda yang dihinggapinya. (hal 185:2)
Sinopsis
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka
Hasrat Zainuddin untuk melihat kampung halamannya, desa Batipuh di Minangkabau, akhirnya sampai juga setelah Mak Besse orang tua angkatnya di Makassar meluluskan permintaan pemuda yatim piatu itu. Dahulu di desa Batipu, dekat Padang Panjang itulah ayah Zainuddin Pendekar Sutan terpaksa membunuh Datuk Mantari Labih. Datuk Mantari Labih adalah mamaknya yang berusaha mengangkangi harta warisan Pendekar Sutan. Akibatnya, pendekar Sutan dibuang dari tanah leluhurnya hingga terdampar di Makassar dan kawin dengan Daeng Habibah, putri seorang penyebar agama islam keturunan Melayu. Dari perkawinan itu lahirlah Zainuddin, setelah kedua orang tua Zainuddin meninggal, Mak Besse lah yang kemudian mengasuh dan menjadi ibu angkatnya sampai ia beranjak dewasa. Setelah mengarungi lautan yang luas tibalah Zainuddin di Minangkabau. Namun belum lama tinggal disana, Zainuddin merasakan betapa adat Minangkabau telah memponis tidak adil terhadap dirinya. Ia dianggap sebagai orang asing karena lahir dari seorang ibu yang bukan keturunan ninik mamaknya. Ketidak adilan itupun makin terasa sebagai hukuman ketika hubungannya dengan Hayati harus putus, seperti hal yang dialami oleh ayahnya dahulu. Ia diusir dari tanah leluhurnya, pemuda itu terpaksa hijrah ke Padang Panjang. Ketika Zainuddin akan berangkat ke Padang Panjang, ditengah jalan, kira-kira setengah jam meninggalkan Batipuh tiba-tiba dilihatnya Hayati berdiri menunggunya. Saat perpisahan itulah, Hayati membuka semua perasaannya yang sebenar-benarnya, bahkan ia bersumpah “...hari ini saya terangkan dihadapanmu, dihadapan cahaya matahari yang baru naik, dihadapan roh ibu bapak yang sudah sama-sama berkalang tanah saya katakan; bahwa jiwaku telah diisi sepenuh- penuhnya oleh cinta padamu. Cinta kepadamu telah memenuhi hatiku, telah terjadi sebagai nyawa dan badan adanya. Dan selalu saya berkata, biar Tuhan
53
mendengarkan, bahwa kaulah yang menjadi suamiku kelak, jika tidak sampai di dunia, biarlah diakhirat. Dan saya tidak akan hianat pada janjiku, tidak akan berdusta dihadapan Tuhan dan hadapan arwah nenek moyangku”.
Sesungguhnya dia telah diusir dari Batipuh, namun, hubungannya dengan Hayati tetap berlanjut. Surat cinta Batipuh Padang Panjang menjadi bukti kesetian cinta mereka.
Suatu saat, Hayati datang ke Padang Panjang bermaksud melihat pasar malam dan pacuan kuda, karena pasar malam dan pacuan kuda adalah salah satu kebiasaan yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Padang Panjang setiap tahun.
Ia menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Tentu saja diberi tahu perihal maksud hayati itu. Satu peluang untuk melepas rindu terbayang pula diharapkan mereka. Namun, semua itu tinggal harapan ada pihak ketiga yang membuat cerita menjadi lain. Aziz kakak khadijah, ternyata tertarik kepada Hayati pada kecantikan gadis Batipuh itu. Terjadilah persaingan antara Zainuddin dan Aziz dalam memperebutkan Hayati yang kaya dan dianggap sebagai anak negeri.
Namun, ia tak putus harapan, apalagi setelah ada kabar bahwa Mak Besse meninggal dunia bertambah sedihlah anak muda itu. Mak Besse meninggalkan harta warisan yang cukup besar untuk Zainuddin. Maka segeralah pemuda yang pendiam itu menuliskan surat lamaran kepada keluarga Hayati. Sayangnya, Zainuddin tidak menyebutkan bahwa kini ia kaya raya harta warisan yang diterima lebih dari cukup untuk menyelnggarakan pesta perkawinan yang mewah sekalipun. “tak mau juga Zainuddin menerangkan dalam surat itu bahwa telah kaya, telah sanggup menghadapi kehidupan dengan uang petaruh, karena zaman sekarang uang adalah sebagai garansi. Budi pekertinya yang tinggi tidak hendak mengusik kemulian Hayati yang telah begitu lama beristana dalam jantung hatinya, dengan menyebut beberapa banyak uangnya”. “ saat Zainuddin diterima orang Batipuh adalah dua hari setelah utusan Aziz kembali ke Padang Panjang”.
Jadi, sebelum Zainuddin Aziz telah melamar Hayati. Maka, dua lamaran itu menjadi bahan permusyawarahan ninik mamak Hayati. Mengingat keadaan keluarga Aziz dan asal usulnya jelas diputuskan lamaran Aziz yang diterima.
Dengan demikian lamaran Zainuddin ditolak, karena dianggap orang asing yang tak bersuku dan berhindu. Meski ayah Zainuddin adalah orang Minangkabau, namun ibunya berasal dari Makassar jadi, menurut adat Minangkabau, namun ibunya berasal dari Makassar jadi, menurut adat Minangkabau garis keturunan diambil dari ibu. Zainuddin, yang menerima surat penolakan dari keluarga Hayati di Batipuh, tak mampu berbuat apa-apa, kecuali meratapi nasibnya. Dia teringat dirinya yang tak bersuku, tak terhindu, anak yang terbuang, dan dipandang tidak sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati anak orang bangsawan keturunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang terpendang pekuburan, besusup berjerami didalam negeri Batipuh itu. Kadang-kadang disesali perkawinan ayahnya dengan ibunya, kadang-kadang pula menyadari untung malangnya mengapa tak dilahirkan dalam kandungan orang Minangkabau. Tapi bukan itu agaknya yang menutup pintu baginya untuk bertemu dengan Hayati, agaknya lantaran ia tak beruang. Terlebih lagi menurut Muluk, sahabatnya, lelaki yang akan mengawini Hayati tak lebih dari seorang manusia yang bermoral bejat.
Yang suka berjudi, main perempuan, dan suka mengganggu anak bini orang.
Sesungguhnya Hayati pun merasakan getiran yang amat dalam. Ia harus menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya namun, keputusan ninik mamak ibarat tangan besi yang berkuasa menentukan nasibnya. Pada akhirnya, Hayati hanya pasrah menerima derita yang menimpanaya. Setelah Muluk mengabarkan perkawinan antara Hayati dan Aziz. Zainuddin jatuh sakit. Makin lama makin parah bahkan pemuda itu sudah tak punya semangat untuk hidup lagi. Beruntung, ia masih mempunyai seorang sahabat sejati, yakni Muluk, yang mau menerima Zainuddin dengan setia. Kemudian, untuk melupakan masa lalunya yang pahit, Zainuddin bersama Muluk pergi ke Jakarta. Di kota inilah bakat menulisnya mulai tersalurkan. Lambat laun karyanya mulai dikenal dikalangan masyarakat, karena bahasanya halus dan mengandung kasih sayang yang langsung dialaminya.
Dengan bekal itu, Zainuddin dengan diterima Muluk, hijrah ke Surabaya, karena ia merasa Surabaya lebih besar peluang dan lebih dekat dengan Makassar. Dikota buaya itu, Zainuddin dikenal sebagai pengarang, dan namanya diganti menjadi
Tuan Shabir, selain itu ia dikenal sebagai hartawan yang dermawan. Perjalanan waktu telah membawa suami istri Aziz dan Hayati ke Surabaya, suatu hal yang kebetulan karena pekerjaan Aziz pindah ke Surabaya. Namun, hubungan suami istri itu sangat memperihatinkan. “Sejak berapa lama, hubungan kedua suami istri itu, hanya perhubungan akad nikah, bukan perhubungan akad hati lagi. Hati yang perempuan terbang membumbung ke langit hijau, mencari kepuasaan didalam hayal, dan hati yang laki-laki hinggap di wajah dan pangkuan perempuan- perempuan cantik, yang Surabaya memang pasarnya”. Akibat kebiasaan buruk yang tak bisa ditinggalkan Aziz, ia dipecat dari pekerjaannya, diburu karena hutang-hutangnya, dan kemudian lari dari rumah kontraknya. Mereka terpaksa menumpang di rumah Zainuddin yang sebelumnya pernah dikunjungi suami istri itu. Aziz yang kini atas segala kebaikan hati Zainuddin. Ia meninggalkan istrinya dan pergi ke Bayuangi. Selang beberapa hari datang dua pucuk surat Hayati dari Aziz, yang pertama surat cerai untuk Hayati, dan surat yang kedua ditujukan untuk Zainuddin yang berisi permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati Kembali; “saya kembalikan Hayati ke tangan saudara, karena memang saudaralah yang lebih berhak atas dirinya”. Rupanya itu pesan Aziz yang terakhir, sebab kemudian aziz memutuskan hidupnya dengan membunuh dirinya sendiri. Bagi Zainuddin, surat Aziz dan berita kematian ibarat membawa hayati sendiri yang meminta maaf dan bersedia mengabdi kepada Zainuddin. Namun lelaki yang sudah sekian lama menanggung rindu dan derita cinta itu, justru menyuruh pujaan hatinya kembali ke kampung halamannya. Zainuddin menolak Hayati! Suatu keputusan yang lebih banyak didorong oleh dendam kesumat dan sebelumnya justru tak terpikirkan olehnya. Esoknya Hayati berangkat dengan menumpang Kapal Van Der Wijck yang akan berlayar ke Semarang, Tanjung Periok dan terus ke Palembang. Kesadaran Zainuddin justru timbul setelah Hayati pergi. Lelaki itu tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa sesungguhnya ia masih mencintai Hayati. Maka, segera Zainuddin bermaksud menyusul janda malang itu ke Jakarta. Sebelum itu Zainuddin menemukan surat Hayati yang berbunyi “ aku cinta engkau, dan kalau aku mati, adalah kematianku didalam mengenang engkau”. Pada saat Zainuddin mempersiapkan segala sesuatunya,
sebuah berita yang amat mengejutkan tersiar didalam sebuah surat kabar harian yang terbit di Surabaya; “Kapal Van Der Wijck tenggelam”. Setelah membaca lengkap beritanya, Zainuddin seketika itu berangkat ke Tuban bersama sahabatnya, Muluk. Sampai di Tuban masih sempat Zainuddin bertemu dengan hayati yang terbaring di rumah sakit Lamongan. Namun rupanya pertemuan itulah pertemuan, mereka yang terakhir, sebab setelah berpesan, perempuan yang malang itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin. Namun, sebelumnya hayati meninggal, ia sempat berpesan supaya nisannya dibuat dari batu marmer dan ditulis.
Hayati meninggal lantaran kecelakaan Kapal Van Der Wijck pada 20 oktober 1936.
Sejak itu kesehatan Zainuddin mulai menurun. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba tersebar berita pada suatu surat kabar harian Surabaya memberitakan:
“ZAINUDDIN PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT” “Pengarang muda yang terkenal itu, yang sekian lama kita tidak baca lagi karangan-karangannya yang sangat halus dan meresap, kemarin malam telah meninggal dunia di rumahnya di Kaliasin. Dia telah dikuburkan didekat seorang familinya perempuan yang meninggal karena kecelakaan Kapal Van Der Wijck tempo hari. Banyak sahabatnya yang mengantar kekuburan”. Zainuddin menghembuskan nafas terakhirnya dalam akhir sebuah karangan. Diatas meja terletak tulisan yang penghabisan itu: “....dan akan tercapai juga kemulian bangsaku, persatuan tanah airku. Hilang perasaan perbedaan dan kebencian dan tercapai keadilan dan kebahagian”. Oleh Muluk kemudian Zainuddin dikuburkan kesebelahan dengan pusara Hayati. Sebuah kisah cinta yang suci yang didasari oleh keikhlasan namun berakhir dengan sangat tragis.
BIOGRAFI HAMKA
(HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH)
“Dengan Ilmu Hidup Menjadi Mudah”
“Dengan Agama Hidup Menjadi Terarah”
Masa hidup Hamka (Haji Abdul Malik Bin Abdul Karin Amrullah) tahun 1908-1981. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus, filsuf, dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Nama pemberian ayahnya adalah Abdul Malik.
Ibunya dari keluarga Bangsawan. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji Rasul, dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis dalam Gerakan Islah (Tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Sebutan Buya bagi Hamka, panggilan untuk orang Minangkabau, berasal dari kata abi. Abuya (bahasa arab), yang berarti ayahku, atau seorang yang dihormati.
Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil Hamka dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelakasanaan ajaran islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari- hari.
58