• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT

D. Sistem Pembagian Waris Adat Batak Toba

Di Indonesia mengenal tiga sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai berikut:41

1. Sistem Kewarisan Individual

Berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak. Kelebihan dari sistem pewarisan individual ini adalah ahli waris dapat dengan bebas menggunakan haknya menguasai dan memiliki bagiannya tanpa ada campur tangan anggota keluarga yang lain. Kelemahan dari sistem pewarisan individual ini adalah munculnya sifat individualisme karena pecahnya harta warisan dan menimbulkan keregangan antar anggota keluarga (memunculkan perselisihan);

2. Sistem kewarisan Kolektif

Sistem pewarisan kolektif ini mennyatakan bahwa setiap anggota keluarga berhak untuk menguasai, menggunakan ataupun menikmati hasil dari harta warisan. Sistem kolektif ini, dapat dijumpai pada masyarakat Minangkabau. Di Minangkabau sendiri, sistem ini berlaku untuk harta warisan pusaka berupa tanah yang diurus bersama-sama dibawah

41Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm.170.

kepemimpinan kepala waris dan anggota keluarga lainnya hanya memiliki hak pakai. Dalam prakteknya, sistem pewarisan kolektif dapat juga berubah menjadi sistem pewarisan individual. Hal ini terjadi dikarenakan harta tersebut tidak lagi digunakan oleh dan untuk bersama. Faktor lainnya, perubahan sistem waris tersebut dikarenakan lemahnya fungsi pemimpin pengurus harta waris. Kelebihan dari sistem kolektif ini adalah harta warisan digunakan untuk kelangsungan hidup keluarga besar dan seterusnya. Sehingga dalam keluarga terjalin hubungan tolong-menolong yang kuat sesama anggota. Kelemahan dari sistem kolektif ini adalah para anggota keluarga menjadi tertutup terhadap orang diluar keluarga dan sangat beresiko hubungan keluarga meregang jika pemimpin keluarga tidak dapat diandalkan;

3. Sistem Kewarisan Mayoritas

Yaitu sistem kewarisan di mana harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak tertua. Sistem pewarisan mayorat ini, sebenarnya hampir sama dengan sistem pewarisan kolektif yaitu harta warisan digunakan untuk keberlangsungan hidup seluruh anggota keluarga.

Sistem mayorat ini dapat dibagi atas 2 bagian, yaitu:

a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung (keturunan laki- laki) yang merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris.

b. Mayorat perempuan, apabila anak perempuan tertua yang merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris.

Ketiga sistem kewarisan ini masing-masing tidak langsung menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu di mana sistem kewarisan itu berlaku, sebab suatu sistem tersebut di atas dapat diketemukan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam bentuk suatu susunan masyarakat dapat pula dijumpai lebih dari satu sistem kewarisan dimaksud di atas.

Hukum adat juga mengatur bagaimana cara meneruskan harta peninggalan. Cara meneruskan harta waris ini, terbagi menjadi dua yaitu:

1. Sebelum Pewaris meninggal dunia a. Cara penerusan/Peralihan

Pada saat pewaris hidup, terkadang pewaris telah melakukan pewarisan atau peralihan kedudukan atau jabatan adat, hak dan kewajiban dan harta kekayaan kepada ahli warisnya. Cara penerusan harta waris dari pewaris ke ahli waris biasanya diatur menurut hukum adat setempat, terutama terhadap penerusan kedudukan/jabatan adat, hak dan kewajiban hartakekayaan yang tidak bisa dibagi, seperti kepada anak laki-laki tertua atau termuda. Contohnya seperti di suku adat batak, penerusan yang diberikan atas harta warisan tertentu sebagai dasar kebendaan untuk kelanjutan hidup kepada anak-anak yang akan kawin dan mendirikan rumah tangga yang baru. Biasanya, untuk anak laki-laki diberikan harta berupa rumah atau tanah, sedang anak perempuan diberikan harta berupa perhiasan;

b. Cara Penunjukan

Ketika pewaris masih hidup, pewaris menunjuk ke ahli waris tentang hak dan kewajiban atas harta warisan tertentu. Dalam hal ini, penerusan penguasaan dan pemilikan yang baru berlaku sepenuhnya kepada ahli waris pada saat pewaris telah meninggal dunia. Cara penunjukkan oleh pewaris kepada ahli waris mengenai harta warisan sebelum meninggal, tidaklah diharuskan dilakukan secara terang dihadapan tetua adat, tetapi cukup dikemukakan dan dilasanakan dihadapan para ahli waris dan anggota keluarga atau tetangga terdekat;

c. Cara meninggalkan pesan atau wasiat

Pesan atau wasiat yang ditinggalkan pewaris kepada ahli warisnya ketika masih hidup dapat dilakukan dengan cara diucapkan atau dituliskan dengan terang dan disaksikan oleh para ahli waris, kerabat, tetangga dan tetua adat. Biasanya, pewaris meninggalkan pesan atau wasiat ketika sakit ataupun akan pergi dari kampung halamannya.

Pesan atau wasiat berlaku apabila pewaris meninggal dunia ataupun tidak kembali lagi. Dan jika ternyata pewaris masih hidup atau kembali ke kampung halamannya, pewaris berhak merubah atau mencabut pesan tersebut.

2. Pewaris sudah meninggal

Ketika pewaris meninggal, maka akan menimbulkan masalah tentang harta peninggalan itu akan diwariskan kepada ahli waris atau tidak.

a. Penguasaan Warisan

Penguasaan warisan berlaku jika harta warisan tidak dibagi-bagi, karena harta tersebut milik bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama sesama anggota keluarga pewaris, atau bisa karena pembagiannya ditangguhkan, oleh permasalahan utang piutang pewaris ketika hidup. Bentuk-bentuk Penguasaan, yaitu:

1. Penguasaan janda

Pada umumnya, jika pewaris meninggal dunia dan meninggalkan istri dan anak-anak, maka harta warisan, terutama harta bersama suami istri yang didapat selama perkawinan, dapat dikuasai oleh janda almarhum pewaris untuk kelangsungan hidup anak-anak dan janda yang ditinggalkan;

2. Penguasaan Anak

Jika janda dari pewaris sudah tua dan anak-anak sudah dewasa dan sudah berumah tangga, maka harta warisan yang tidak terbagi-bagi tersebut dikuasai oleh anak yang berfungsi dan berperan dalam permasalahan ini, karena dianggap cakap untuk meneruskan harta waris;

3. Penguasaan Anggota Keluarga

Harta yang ditinggalkan pewaris akan jatuh kepada anggota keluarganya jika meninggalkan anak-anak yang masih kecil dan tidak ada janda yang bertanggung jawab untuk mengurus. Kerabat

yang dimaksud adalah orangtua atau saudara pewaris yang terdekat menurut sistem keturunan;

4. Penguasaan Tetua Adat

Harta yang dimaksud berupa harta pusaka tinggi, misalnya, Perlengkapan adat, batu jimat, tanah kerabat, seluruh harta yang dikuasai pewaris karena jabatan adatnya, maka sebenarnya harta pusaka tinggi tersebut berada dibawah penguasaan tetua adat yang berguna untuk kepentingan masyarakat.

b. Pembagian Warisan

Jika harta yang ditinggalkan dalam keadaan terbagi, dalam hukum adat tidak menentuan kapan harta tersebut akan dibagikan. Namun, pembagian harta warisan biasanya setelah upacara selamatan kepada pewaris yang meninggal, dimana seluruh ahli waris berkumpul. Juru bagi yang berhak membagikan harta pada saat pembagian adalah menurut keluarga atau kerabat terdekat, yaitu:

1. Orang tua yang masih hidup;

2. Janda atau duda pewaris;

3. Anak tertua pewaris;

4. Anggota keluarga yang tertua dan dipercaya untuk membagikan;

5. Pemuka adat atau yang dipilih oleh ahli waris.

Pembagian harta waris dalam adat Batak Toba, masing-masing ahli waris mempunyai status yang sama dan mendapat perlakuan yang sama. Menurut Vergouwen ada tiga bagian pokok hukum waris Batak Toba yang harus dibedakan dengan jelas satu sama lain, yaitu:

a. Hak menggantikan (suksesi) menurut keturunan langsung dalam alur laki-laki;

b. Pertumbuhan atau percabangan hak ke alur laki-laki yang sejajar;

c. Pembagian untuk anak perempuan (kolateral atau diturunkan dari leluhur yang sama, tetapi dalam alur yang berlain-lainan, tidak menurut garis tegak lurus).42

Menurut kebiasaan Adat Batak Toba, ada berbagai faktor yang mempengaruhi pembagian harta peninggalan. Warisan tidak dianggap sebagai bulatan utuh yang dapat dibelah-belah ke dalam sejumlah bagian yang persis sama. Dalam pelaksanaannya, pembagian warisan seperti ini tidak mungkin dilaksanakan karena bagian-bagian waris tidak pernah dinilai menurut jumlah uang dan juga tidak pernah diuangkan. Sebagai contoh, rumah tempat tinggal pewaris bersama sopo (lumbung padi) dan terkadang sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah induk, selalu merupakan bagian terpisah dari harta peninggalan, dan terhadap masing-masing itu berlaku peraturan tersendiri.

Apapun yang diperoleh bapak melalui keringatnya (dipungka) tidak boleh hanya jatuh ke tangan satu anak saja, walaupun anak tersebut bersedia memikul sendiri pembayaran semua hutang bapaknya. Harta tersebut harus dibagi-bagi di antara semua anak lelaki, atau sebaliknya, tidak dibagikan sama sekali.43

Orang tua yang meninggal dunia sebelum sempat menggariskan pemberian dari hartanya, maka keturunan orang tua itu mengadakan sidang keluarga lengkap dengan unsur dalihan na tolu. Pimpinan sidang adalah anak

42Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hlm.75.

43J.C. Vergouwen, Op.Cit, hlm. 380.

sulung anak laki-laki. Peserta sidang adalah dongan tubu, boru, dan hula- hula.44 Pembagian waris secara adat Batak Toba dapat diuraikan menjadi:

1. Laki-laki dan perempuan

Pewaris adalah yang mewariskan harta benda, sedang ahli waris adalah yang menerima harta warisan. Dalam adat budaya Batak Toba anak laki- laki yang disebut sebagai ahli waris. Hal ini dikarenakan anak laki-laki diberi tanggung jawab sebagai penerus silsilah dan penegak hukum adat.

Walaupun, anak laki-laki yang menjadi ahli waris bukan berarti anak perempuan tidak mendapat harta waris. Sebagai dasar anak perempuan tetap mendapat masyarakat Batak Toba memiliki prinsip “Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru”. Yaitu, terhadap anak laki-laki dan anak perempuan mendapat perlakuan dan kasih sayang yang sama.45 2. Panjaean dan Pauseang

Panjaean diberikan kepada anak laki-laki ketika menikah sebagai modal awal berumah tangga dalam bentuk tanah. Sedangkan pauseang (biasa disebut ulos so ra buru) diberikan kepada anak perempuan yang menikah dalam bentuk sawah. Masa sekarang bentuk panjaean dan pauseang digantikan dengan rumah, mobil, ataupun uang modal usaha. Selain berbentuk harta benda, menyekolahkan anak setinggi-tinginya juga dapat dianggap sebagai panjaean dan pauseang.

44D.J. Gultom, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, CV Amanda, Medan, 2015, hlm.

510.

45H.R.Panggabean, Hukum Adat Dalihan Na Tolu Tentang Hak Waris, Dian Utama, Jakarta, 2010, hlm. 97.

3. Indahan Arian ni Pahompu dan Batu ni Ansimun

Ketika keluarga baru mempunyai anak, dalam kebiasan adat Batak Toba seluruh pihak keluarga mengadakan acara paebathon anak buha baju.

Makna dari acara paebathon anak buha baju ini adalah meminta doa restu ompung untuk cucunya. Indahan arian ni pahompu berupa petak sawah dan batu ni asimun berupa kerbau.

Dokumen terkait