B. Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD 1945
2. Sistem Peradilan Menurut UUD 1945
tangan dari pihak extra judiciil. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman memiliki kesederajatan dengan lembaga tinggi negara lainnya sebagaimana yang diatur dalam konstitusi (UUD 1945).
Pengertian kekuasaan kehakiman yang bebas/merdeka menimbulkan berbagai penafsiran karena akan berkaitan dengan hak uji materiil (materiele toetsingsrecht) dan sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat di kalangan para ahli hukum di Indonesia.
Penggunaan istilah peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum, sedangkan pengadilan ditujukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan.
Oleh karena itu, peradilan dipahami sebagai segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. 49)
Uraian di atas, menunjukkan bahwa peradilan itu merupakan salah satu kekuasaan yang berdiri sendiri berdampingan dengan kekuasaan lainnya.
Dalam hubungan ini, C.F. Strong mengemukakan bahwa :50)
" the business of the legislature is to make the law, and that of the judiciary to decide upon the application of the existing law in individual cases."
---
49) Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur, Badan Peradilan Adminsitrasi di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1985), hal. 23
Selanjutnya Sjachran Basah menjelaskan (hal. 30) bahwa peradilan itu memiliki unsur-unsur antara lain, (a) adanya aturan hukum yang dapat diterapkan pada suatu persoala; (b) adanya suatu sengketa hukum yang kongkrit; (c) ada sekurang-kurangnya dua pihak; (d) adanya badan peradilan yang berwenang memutuskan sengketa dan (e) adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding).
50)CF. Strong, Op.Cit., hal 278
Jika sistem peradilan dipahami sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri dan berdampingan dengan kekuasaan lainnya, maka dapat ditelusuri pada sistem hukum yang dianut oleh negara-negara dunia yang pada umumnya dikelompokkan pada sistem hukum Anglo-Saxon dan Eropa-kontinental.
Peradilan pada sistem Eropa-kontinental ditandai dengan adanya lembaga kasasi oleh badan pengadilan tertinggi dan semata-mata untuk mengawasi segi penerapan hukumnya dalam setiap putusan badan pengadilan yang berada di bawahnya.
Di samping itu, sistem ini tidak mendasarkan pada prinsip kesamaan di hadapan hukum bagi semua warga negara, sehingga muncul sekelompok warga negara, dalam hal ini pejabat negara memiliki hak istimewa dan disediakan tersendiri badan pengadilannya. Sebaliknya peradilan pada sistem Anglo-Saxon, semua instansi yang lebih tinggi daripada pemeriksaan tingkat pertama adalah banding/ulangan yang pemeriksaannya diulang seluruhnya. Di samping itu, pada sistem ini dianut paham kesamaan hukum bagi semua warga negara dan hakim memiliki kebebasan untuk menggali atau menemukan hukum dalam setiap kasus.51)
---
51) Subekti, Sistem Peradilan Indonesia, Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 5 Tahun XIII, September 1983, FH-UI, hal. 404
Di antara perbedaan yang menonjol, sistem peradilan pada sistem Anglo-Saxon dan Eropa-kontinental adalah pada otoritas hakim dan keterlibatan masyarakat di luar peradilan. Hal ini terlihat bahwa pada sistem peradilan yang dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon dikenal dengan sistem jury tetapi pada sistem peradilan di negara-negara Eropa-kontinental tidak mengenalnya, yang dilakukan sepenuhnya oleh hakim di lingkungan peradilan.
Pembahasan lebih lanjut tentang sistem peradilan pada negara hukum Indonesia didasarkan pada kerangka konsep sistem peradilan Anglo-Saxon dan Eropa-kontinental dengan panduan UUD 1945. Untuk memahami sistem peradilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945, tidak terlepas dari pengalaman penerapan sistem peradilan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sistem peradilan di Indonesia bersifat pluralistik, akibat dari sistem politik pecah belah. Kondisi ini terlihat dari politik hukum yang menggolongkan penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), sehingga lembaga peradilannya disesuaikan dengan golongan penduduk, yakni landraad bagi golongan Bumi Putera dan raad van justitie bagi golongan Eropa atau yang dipersamakan. 52)
---
52)Daniel S. Lev, Op.cit. hal. 34 - 35
Kondisi peradilan pada masa pemerintahan Hindia Belanda tersebut, banyak berpengaruh kepada para tokoh bangsa Indonesia yang mendapat pendidikan Belanda, baik sebagai praktisi hukum maupun politisi yang duduk dalam BPUP, sehingga mereka akrab dengan alam pikiran atau sistem hukum Belanda yang menganut paham Eropa-kontinental. Walaupun pengaruh sistem hukum Belanda cukup kuat dalam perumusan sistem hukum Indonesia termasuk di dalamnya sistem peradilannya, yang secara filosofis terdapat perbedaan prinsip, yaitu prinsip perlindungan hukum terhadap hak individual yang oleh konstitusi (UUD 1945) dikaitkan dengan perlindungan hukum terhadap hak sosial. Hal ini berarti terdapat keseimbangan antara hak individual dan hak-hak masyarakat (sosial). 53)
Perbedaan lainnya yang prinsip adalah adanya pengakuan hukum tidak tertulis, di samping hukum tertulis sebagai hukum dasar sebagaimana yang dinyatakan oleh Penjelasan UUD 1945. Pernyataan ini memberikan gambaran bahwa sistem hukum yang dianut oleh UUD 1945 merupakan kombinasi dari sistem hukum Eropa-kontinental yang menekankan prinsip hukum positif (hukum adalah undang-undang) dan sistem hukum Anglo-Saxon yang menekankan pada hukum tidak tertulis (living law).
---
53)Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Op.Cit, hal. 48
Pernyataan tersebut dapat dilihat pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan berikut :
".... Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis. .... "
" ... Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (Undang-undang Dasar), maupun hukum yang tidak tertulis..."
Penegasan ini memberikan indikasi bahwa sistem hukum yang dianut oleh UUD 1945 merupakan gabungan dari sistem hukum Eropa-kontinental dan sistem hukum Anglo-Saxon. Hal ini juga tergambar dalam undang-undang organik sebagai penjabaran dari Pasal 24 dan 25 UUD 1945, yakni Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diundangkan tanggal 17 Desember 1970 pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74.
Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 menegaskan berikut:
(1) Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-undang.
(2) Peradilan Negara menetapkan dan menegakkan hukum dan peradilan yang berdasar Pancasila.
Pasal 5 UU No. 14 Tahun 1970 juga menegaskan: (1)Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Tetapi penegasan
Pasal 3 dan 5 UU No. 14 Tahun 1970, cenderung terhadap sistem hukum Anglo-Saxon, diikuti dengan penegasan yang cenderung terhadap sistem hukum Eropa-kontinental yakni pada Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan:"
Tiada seorang juapun dapat dihadapkan di depan Pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh Undang-undang "
Pengakuan terhadap hukum tertulis (undang-undang) dan hukum tidak tertulis, baik dalam UUD 1945 maupun UU No. 14 Tahun 1970 memberikan kejelasan bahwa sistem hukum dan sistem peradilannya merupakan gabungan dari sistem hukum dan sistem peradilan pada negara-negara Anglo-Saxon dan Eropa-kontinental.
Namun, dalam penyelenggaraan sistem peradilan, UU No. 14 Tahun 1970 lebih condong kepada sistem peradilan yang dianut oleh negara-negara Eropa kontinental. Hal ini terlihat dari Penjelasan butir 9 UU No. 14 Tahun 1970 yaitu: " Peradilan dilaksanakan oleh majelis yang terdiri dari sekurang- kurangnya tiga orang hakim..."
Penegasan ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan peradilan menurut UU No. 14 Tahun 1970 tidak mengenal jury sebagaimana yang dianut dalam sistem peradilan negara-negara Anglo-Saxon, tetapi lebih cenderung pada Eropa-kontinental. Di samping itu, diperkuat lagi dengan pengaturan pada Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 yang membagi empat lingkungan peradilan,
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan pengakuan terhadap perlindungan kepada hak prerogratif Pejabat Negara sebagaimana yang dianut dalam sistem peradilan pada negara-negara Eropa- kontinental. Dalam hubungan itu, asas-asas atau prinsip-prinsip yang dianut oleh UU No. 14 Tahun 1970 menurut Bagir Manan dan Kuntara Magnar dapat diuraikan sebagai berikut : 54)
1. Semua peradilan adalah peradilan negara. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dengan maksud menegaskan bahwa semua peradilan diselenggarakan oleh atau atas nama negara.
2. Peradilan berfungsi menerapkan hukum, menegakkan hukum, dan menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila. Ketentuan ini yang dijelaskan pada Pasal 3 ayat (2) dengan sengaja menggunakan istilah menerapkan hukum dan menegakkan hukum bukan menerapkan dan menegakkan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti adanya pengakuan yang tegas terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), di samping hukum tertulis (peraturan perundang- undangan). Perlu diperhatikan perbedaan antara menerapkan hukum dan menegakkan hukum. Menerapkan hukum artinya menerapkan kaidah-kaidah hukum pada situasi konkret tertentu, sedangkan menegakkan
---
54) Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tatanegara Indonesia, (Jakarta:
Bina Aksara, 1987), hal. 43
hukum berarti keputusan hakim harus dapat menciptakan kedamaian, ketertiban, kepatuhan, keamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan baik bagi yang berperkara maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.
3. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsekwensi dari negara berdasarkan Pancasila.
4. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1970.
5. Segala bentuk campur tangan dari luar kekuasaan kehakiman dilarang sebagai konsekuensi dianutnya paham kekuasaan kehakiman yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945, Pasal 4 ayat [3] UU No. 14 Tahun 1970).
6. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 ayat [1]). Prinsip ini merupakan salah satu perwujudan dari ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
7. Tiada seorang pun dapat dihadapkan di depan Pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh undang-undang (Pasal 7 ayat [1]). Ketentuan ini mengandung arti dua segi, yaitu pertama diri pribadi orang bersangkutan dan kedua adalah objek sengketa atau perkara.
8. Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara
dengan dalih hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 7 ayat [1]).
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 17 ayat [1]}.
10. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
11. Seorang hakim tidak diperbolehkan memeriksa dan memutus perkara apabila terdapat hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda antara hakim yang memeriksa dan mengadili perkara dengan Ketua, Hakim Anggota, Jaksa, Penasihat Hukum, atau Panitera ( Pasal 28 ayat [2]}.
Asas-asas atau prinsip-prinsip sebagaimana yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa sistem peradilan yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah sistem peradilan yang bebas/merdeka dan mandiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Pasal 24 UUD 1945. Prinsip kebebasan dan kemandirian peradilan dimaksudkan agar peradilan mampu menjalankan fungsi penegakan hukum(law enforcement) maupun fungsi penemuan hukum (rechtsvinding) sebagai mata rantai dari fungsi kontrol terhadap kebijakan Pemerintah dan perbuatan-perbuatan masyarakat yang melawan hukum. Dalam kondisi peradilan yang demikian, diharapkan hukum memiliki kekuatan untuk memaksa setiap warga negara dan penyelenggara negara untuk tunduk kepada hukum (supreme of law), sehingga hukum memiliki kewibawaan dalam setiap
gerak kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, penyelenggaraan sistem peradilan tersebut bergantung pada, pertama, kemauan politik penyelenggara negara yang menunjukkan adanya peradilan yang bebas, kedua; profesionalisme para hakim (kualitas SDM), yakni rekrutmen dan pendidikan para hakim, dan ketiga integritas para hakim, yakni hakim yang memiliki nilai moral/akhlaq yang menjunjung tinggi kehormatan dan martabat sebagai hakim.