• Tidak ada hasil yang ditemukan

Special Event on Intergovernmental Science-Policy Platform on Bio-diversity

Dalam dokumen Jakarta, Juli 2019 (Halaman 45-61)

V. AGENDA NON PERSIDANGAN

5.4.1 Special Event on Intergovernmental Science-Policy Platform on Bio-diversity

Penyelenggaraan special event SBSTA dan The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) berkenaan dengan laporan hasil kajian global “biodiversity dan ecosystem services”. Hasil kajian menyebutkan bahwa perubahan iklim merupakan direct driver yang menyebabkan dampak terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Peningkatan suhu sekitar 1 0C di tahun 2017 relatif terhadap tingkat pra-industri dengan rata-rata peningkatan suhu 0,2 0C/decade, dan kenaikan muka laut 16-21 cm sejak tahun 1900 dengan laju kenaikan 3 mm/tahun selama 2 dekade terakhir berkontribusi terhadap terjadinya dampak terhadap berbagai aspek biodiversity, termasuk distribusi spesies, phenology, dinamikan populasi, struktur komunitas dan fungsi ekosistem.

Kesimpulan hasil kajian yang disampaikan dalam pertemuan, antara lain menyebutkan bahwa disepakati secara luas biodiversity akan terus menurun akibat terjadinya perubahan iklim dan tata guna lahan pada seluruh skenario yang diuji. Ekosistem lahan dapat memberikan kontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim. Peningkatan pengurangan temperatur rata-rata global akan memberikan manfaat besar untuk biodiversity darat, laut dan air tawar. Pencapaian mitigasi perubahan ilkim yang kuat melalui upaya di sektor lahan akan berpengaruh terhadap target SDGs.

Tindak lanjut:

Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara yang memilki keanekaragaman hayati tinggi, maka hasil kajian IPBES tersebut perlu ditindaklanjuti dengan melaksanakan kajian pada tingkat nasional dan lokal, berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait untuk menyusun langkah strategi pengamanan biodiversity dalam kaitannya dengan perubahan iklim.

5.4.2 Additional activities related to the implementation of all three function of LCIP at the session, in line with the increamental approach for the operationalization of the LCIP, include: informal open dialoque between representatives of constitus bodies on the three functions of LCIP, 18 Juni 2019

Pertemuan bertujuan mendapatkan masukan dari Constituted Bodies of LCIPP mengenai pelaporan perkembangan kerjasama dan penguatan komitmen bersama untuk pelaksanaan proposal 2 years Work Plan agenda yang telah disepakati dalam FWG of LCIPP.

5.4.3 Partnership-building dialogue on LCIPP-relevant work outside of the Convention, 22 Juni 2019

Pertemuan I Partnership-building dialogue on LCIPP - relevant work outside of the convention menginisiasi pembahasan kerjasama dengan local community and indigenous people diluar UNFCC khususnya yang telah memiliki local wisdom dan traditional knowledge yang dapat dipertimbangkan dalam kaitan perubahan iklim. Peserta menanggapi positif dan menyampaikan pemikiran berbagi pengalaman dan menawarkan kerjasama seperti antara lain dengan komunitas scientist/academia. Kerjasama ini memerlukan suatu “common ground” untuk bisa efektif. Delegasi Indonesia menawarkan kerjasama dengan local community Indonesia yang telah memiliki kapasitas yang sama dan menyarankan perlunya suatu mekanisme guna memfasilitasi kerjasama tersebut.

Dalam pertemuan konsultasi Local Community and Indigenous People Platform (LCIPP) menyangkut kerjasama LSM tentang local wisdom dan traditional knowledge terkait perubahan iklim yang dihadiri bersama Alternate Ketua Delri Duta Besar Kartini Syahrir dan Duta Besar Yusra Khan telah menyampaikan pentingnya kerjasama dilakukan LCIPP bersama ilmuwan. Untuk keperluan itu, penting dibangun suatu mekanisme guna memfasilitasi kerjasama dimaksud. Pihak SBI meminta agar Indonesia dapat menyampaikan daftar “local community” yang dinominasikan untuk kerjasama dimaksud.

5.4.4 Public Registry under the Paris Agreement, 21 Juni 2019

Sudah dibangun prototipe pengggabungan Registry untuk NDC dan adaptation communication yang dibuat berdasarkan hasil elemen-elemen yang telah disepakati dalam dokumen Article 7, paragraph 12 yang di tuangkan dalam tabular format yang meliputi Nama Party, Judul Dokumen, Bahasa, Versi, Tanggal submisi, status, Tipe dokumen.

Dari demonstrasi prototipe public registry masih sangat sederhana hanya sebatas pembangunan website yang berfungsisebagai database dokumen yang telah di submisi oleh party. Tidak ada fungsi analisis seperti nilai agregat target reduksi emisi yang telah disampaikan dalam dokumen NDC.

5.4.5 Workshop on Consultative Group of Experts (CGE): Responding to Needs to Implement the Transparancy Framework

Pada pertemuan ini disampaikan beberapa pembelajaran yang telah dilakukan oleh beberapa Negara yakni Jamaica, Banglades, Afrika Selatan terkait tantangan dan Pengalaman dalam pelaksanaan MRV Framework dan Persiapan untuk Enhanced Tranparency Framework. Ketiga negara memaparkan tentang pengalaman pelaporan Natcom dan BUR dan tantangan dalam MRV serta dikaitkan dengan rencana pendanaan untuk CBIT untuk Transparency framework. Fokus pelaporan dari Afrika Selatan dan Bangladesh dari perspektif laporan nasional dan Jamaica pada level Lokasi dan masing- masing telah menggunakan IPCC Guideline 2006.

5.4.6 UNFCCC Event on Long-Term Strategies in the International Political Context, 20 Juni 2019

Tujuan pertemuan untuk sharing pengalaman proses penyusunan dokumen Long-term Strategy (LTS) di beberapa Negara. Narasumber yang menyampaikan paparan: UNFCCC, Perancis, Costa Rica, Chile. Catatan presentasi: pentingnya visi dan komitmen dari Pemerintah untuk melakukan transformasi dalam pembangunan:

Delegasi RI pada Partnership Buildig Dialogue on LCIPP – Relevant Work Outside of the Convention, 21 Juni 2019

SIDE EVENTS

5.5.1 Result Based Payments for REDD +: Experience and Way Forward, 25 Juni 2019

Sejauh ini, 39 negara telah menyerahkan reference levels (RLs) ke UNFCCC. Forum ini mendiskusikan pengalaman dalam menetapkan RL dan mengajukan permohonan untuk Result Based (RB), dan dengan performance-based finance, untuk memenuhi tujuan perubahan iklim. Dalam diskusi ini disampaikan juga terkait tantangan utama, dan peluang untuk perbaikan dengan para penyaji paparan antara lain Prof. Arild Angelsen, NMBU; Prof.

Daniel Mudiyarso CIFOR; Lalisa Duguma, ICRAF, dan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK / Ketua Delegasi RI.

5.5.2 Ocean and Coastal Zones toward COP25: Addressing the IPCC Findings Relevant to the Ocean and Climate Nexus, 25 Juni 2019

Dalam kesempatan ini, Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman, Arif Havas Oegroseno menjadi salah satu panelis dengan menyampaikan materi The Two IPCC Reports: Implication for Archipelagic Nations.

Isu ocean diharapkan akan menjadi tema utama pertemuan COP 25 di Chile dengan sebutan Blue COP. Untuk itu,

pada kegiatan ini diusulkan untuk membuat beberapa agenda item dibawah SBSTA dan SBI dalam rangka membangun pendekatan yang terkoordinir dan sistematis.

IPCC AR5, IPCC SR1.50C, dan IPCC ocean and cryosphere report dapat menjadi basis untuk menguatkan pentingnya peran utama ocean dalam perubahan iklim. Saat ini ocean telah banyak dibahas pada berbagai forum.

Pada UNFCCC, isu ocean dapat dimasukkan melalui berbagai pendekatan diantaranya dengan memaukkan unsur ocean

Dr. Ruandha Sugardiman sebagai narasumber pada Result Based Payments for REDD +: Experience and Way Forward, 25 Juni 2019

Dubes Indonesia untuk Jerman berbicara pada Ocean and Coastal Zones toward COP25: Addressing the IPCC Findings Relevant to the

Ocean and Climate Nexus, 25 Juni 2019

pada NDC, NAPs, dan BTR serta melalui diskusi di bawah Means of Implementation (transfer teknologi, peningkatan kapasitas, dan pendanaan). Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan yang mempunyai ancaman tinggi sekaligus potensi di ocean, mendukung inisiatif ini dan mempertimbangkan untuk memasukkan isu ocean pada strategi penurunan emisi.

5.5.3 How can Koronivia Joint Work on Agriculture best support countries to enhance climate action?”, 19 Juni 2019

Side event ini diselenggarakan oleh FAO.

Dalam acara ini, Delegasi Indonesia, Prof.

Dr. Fahmuddin Agus, Kementerian Pertanian sebagai panelis menyampaikan eratnya korelasi antara misi Koronivia dengan rencana strategis pembangunan pertanian di Indonesia.

Berkaitan dengan masalah peningkatan karbon tanah, kesehatan tanah dan kesuburan tanah, disampaikan bahwa aspek-aspek ini adalah kunci untuk peningkatan produktivitas pertanian serta juga merupakan kunci untuk meningkatkan ketahanan sistem produksi tanaman dan ternak terhadap efek dari perubahan iklim.

Namun peningkatan karbon organik tanah bukan satu-satunya indikator penting. Manfaat tambahan dari penggunaan karbon tanah justru bisa lebih penting dibandingkan manfaat dalam bentuk peningkatan karbon tanah.

Indonesia telah mengembangkan sistem manajemen untuk meningkatkan karbon tanah, kesehatan tanah, dan kesuburan tanah. Contoh pendekatan tersebut meliputi: i) daur ulang sisa tanaman, ii) penggunaan mulsa, kompos, biochar, dan pupuk kandang, iii) Penggunaan tanaman penutup tanah, iv) Sistem wanatani, vi) Pengendalian erosi, vii) Penggunaan bio-decomposer, viii) Pengolahan tanah minimum, ix) Rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk pemupukan berimbang, x ) sistem irigasi berselang (intermitent) di lahan sawah, dan pembangunan embung untuk pertanian. Beberapa pendekatan telah diadopsi oleh petani lokal, tetapi beberapa yang lain kurang dalam hal implementasi. Masalahnya mungkin termasuk kurangnya sosialisasi kepada petani, kurangnya modal untuk berinvestasi, kurangnya tenaga kerja, dan prospek keuntungan finansial yang rendah.

Oleh karena itu, yang diperlukan di masa depan adalah sistem diseminasi yang lebih baik dan lebih efektif untuk mengatasi dampak perubahan iklim, termasuk membangun kapasitas penyuluhan yang dapat memfasilitasi rencana adaptasi secara partisipatif yang menjawab kebutuhan petani dan menjawab masalah kerentanan pertanian terhadap perubahan iklim.

Kepada penyandang dana, disampaikan bahwa Indonesia mendorong untuk memfasilitasi pendirian proyek percontohan yang dapat ditiru. Proyek tersebut harus bersifat partisipatif sehingga dapat memenuhi kebutuhan petani.

Prof. Fahmudin Agus sebagai narasumber pada “How can Koronivia Joint Work on Agriculture best support

countries to enhance climate action?”, 19 Juni 2019

5.5.4 Enhancing NDC ambition through soil organic carbon sequestration, 26 Juni 2019

Side event ini diselenggarakan oleh Research Program on Climate Change, Food, Agriculture and Food Security (CCAFS) bekerja sama dengan Consortium of International Agricultural Research Centers (CGIAR). Delegasi Indonesia, Prof. (R) Dr. Fahmuddin Agus dari Kementerian Pertanian yang menjadi salah seorang panelis pada event ini menyampaikan bahwa Indonesia belum memasukkan karbon organik tanah mineral (SOC) dalam NDC, tetapi sudah banyak dilakukan pengelolaan SOC dengan menggunakan pupuk kandang, kompos, tanaman penutup tanah, dan sisa tanaman. Di beberapa daerah, seperti area produksi sayuran, penggunaan pupuk kandang sangat tinggi, berkisar antara 10 hingga 30 ton / ha. Petani melihat praktik ini dari sudut pandang produksi. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa praktik seperti itu juga mampu meningkatkan karbon tanah, kesehatan tanah, kesuburan tanah, serta ketahanan terhadap dampak buruk perubahan iklim.

Walaupun pengelolaan SOC sudah banyak dilakukan, namun inventarisasi cadangan karbon tanah masih sulit dilakukan karena tingginya variasi ukuran lahan, praktik petani, dan sifat-sifat tanah, yang menyebabkan tingginya variasi cadangan karbon tanah. Variasi spasial dari cadangan karbon bisa jauh lebih tinggi daripada perubahan kandungan karbon sehingga monitoring akan sulit dilakukan. Jika digunakan faktor emisi Tier 1 berdasarkan IPCC (2006) pengumpulan data aktivitas tetap saja sulit dilakukan.

Untuk lahan gambut, SOC sudah termasuk dalam NDC. Langkah-langkah mitigasi utama termasuk menghindari deforestasi, dan meningkatkan muka air pada lahan yang sudah didrainase. Data aktivitas adalah tutupan dan perubahan tutupan lahan (LULUCF) Inventarisasi emisi GRK telah dilakukan dengan menggunakan area tutupan lahan dan perubahan tutupan lahan. Namun, tantangan muncul ketika menyangkut perhitungan pengurangan emisi, misalnya terkait peningkatan muka air tanah: (a) Berapa cm kenaikan muka air tanah, dan (b) berapa luas lahan yang muka air tanahnya ditingkatkan tersebut

Sesuai dengan perjanjian Koronivia, tujuan NDC dalam pertanian harus diarahkan pada adaptasi, manfaat tambahan adaptasi, dan ketahanan pertanian. Oleh karena itu, pelaporan pertanian di NDC harus diarahkan untuk adaptasi. Untuk tanah mineral, peningkatan SOC adalah hal yang baik, tetapi tampaknya tidak berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan atau penurunan emisi tingkat nasional.

5.5.5 The Ocean Pathway Partnership Meeting: Update and Introduction to Issues for Negotiators

Merupakan pertemuan awal Ocean Pathway Partnership dalam kesempatan Bonn Climate Change Conference 2019, dengan tujuan mengangkat isu Ocean (meliputi Blue Carbon, MPA, Fisheries, dan lainnya) dan memasukannya kedalam proses Negosiasi UNFCCC.

Hasil yang dapat dicatat: (a) Indonesia bersama Chile, Fiji dan Australia diminta untuk berperan lebih di dalam proses diseminasi IPCC Special Report on Ocean menghadapi Blue COP 25, (b) Mendorong isu Ocean masuk kedalam persiapan update Nationally Determined Contributions (NDC) untuk mitigasi dan adaptasi serta long-term goal pencapaian NDC di perubahan iklim global.

5.5.6 Friends of the Ocean and Climate (The Ocean Pathway Partnership): Strategy Discussion on Establishing the Role of the Ocean in the UNFCCC, 26 Juni 2019

Workshop diselenggarakan oleh Fiji, Swedia, Norway dan Chile, dengan dipimpin oleh H.E.

Ms. Helen Agreen, Ambasador for the Ocean, Ministry of Foreign Affairs Swedia.

Terdapat 4 pemapar, yaitu:

a) Presentasi 1: Sue Biniaz, Senior Fellow, Climate Adviser, mengenai How to advance ocean issues in the context of the UNFCCC;

b) Presentasi 2: Julio Cordano, Head of Department of Climate Change, Chile tentang Options for the COP Presidency

c) Presentasi 3: Georg Borsting, Policy Director, Ministry of Foreign Affairs, Norway tentang Option of Coalition

d) Presentasi 4: Taholo Kami, Special Representative to the Ocean Pathway Partnership Fiji, tentang Option of Consensus.

Dari ketiga agenda tersebut diatas kesepakatannya adalah:

a) Platform COP 25 untuk Parties dan Stakeholders untuk melakukan Showcase masing- masing terkait dengan Ocean Climate action pada Ocean and Coastal Action Day yg akan dilakukan 7 sampai 10 Desember 2019. Dilanjutkan dengan Deklarasi Ocean Climate Nexus.

Indonesia mendukung tahapan ini dengan berbagai potensi baik di aksi mitigasi, adaptasi dan juga di pencapaian long term goal NDC dari ocean (maritime, blue carbon terkait wetland)

b) Option dari COP Presidency: melalui bentuk koalisi untuk menurunkan dan mencegah emisi CO2 dari Ocean acidification, peningkatan mitigasi dari sektor Ocean, melindungi dan meningkatkan penyerapan karbon dari Ocean. Indonesia mendukung akan dibentuknya Koalisi dan memberikan pandangan bahwa koalisi nantinya juga dapat membantu tentang peningkatan kapasitas, dan juga pendataan yang saat ini masih menjadi permasalahan. Koalisi diusulkan dengan nama: Santiago Climate and Ocean Partnership.

c) Ocean Climate Action sebagian besar menghendaki dimulai dari aspek scientific untuk methodology oleh IPCC dan memberikan mandat kepada SBSTA untuk membangun program Ocean Climate Nexus. Indonesia memberikan pandangan pentingnya dimulai dari aspek teknis seperti mendorong Parties untuk GHG Inventory dari Supplement Guideline 2013 baru memberikan mandat ke SBSTA untuk membangun program climate action nexus.

d) Taholo Kami dari Fiji: menawarkan ke Parties untuk take lead di Pre COP 25 terkait Blue COP 25. Terkait apakah Indonesia akan take lead, untuk dikoordinasikan dengan Kementerian Luar Negeri.

e) Indonesia akan take lead untuk Pre COP, dan juga new form of mitigation and adaptation in related to capacity and also to support coalition, dengan tetap melakukan upaya mitigasi di sektor LULUCF yang penting bagi negara rain forest.

Delegasi Indonesia pada Friends of the Ocean and Climate (The Ocean Pathway Partnership): Strategy Discussion on Establishing the

Role of the Ocean in the UNFCCC, 26 Juni 2019

5.5.7 Global Landscape Forum (GLF), 22-23 Juni 2019

Konferensi GLF Bonn 2019 diselenggarakan di Hotel Maritim Bonn, Jerman selama 2 hari dari tanggal 22 hingga 23 Juni 2019. Delegasi Indonesia yang hadir pada acara ini dari KLHK dan Kementerian Luar Negeri.

GLF Bonn 2019 bertujuan untuk:

a) Memperkuat peran transformasional hak dalam identifikasi dan implementasi solusi keberlanjutan;

b) Memajukan penerapan pendekatan berbasis hak untuk keberlanjutan, termasuk peluncuran kemitraan kolaboratif baru untuk menetapkan gold standar pada pendekatan ini;

c) Menciptakan narasi global baru yang mengakui masyarakat adat (indigenous people) dan komunitas lokal (local community) sebagai pembawa hak dan solusi.

Beberapa hasil utama (key outcomes) dalam Konferensi GLF Bonn 2019 adalah:

a) Terdapat kebutuhan mendesak bagi komunitas internasional untuk mengambil tindakan dalam menghentikan ancaman kekerasan dan kriminalisasi yang semakin meningkat terhadap masyarakat adat dan pembela hak-hak lingkungan;

b) Perlunya bergerak cepat dan bersama-sama untuk mengamankan hak atas kehidupan yang sehat dan layak bagi generasi sekarang dan yang akan dating;

c) Keadilan gender harus ditempatkan sebagai inti dari pendekatan berbasis hak untuk pengelolaan lansekap dan tata kelola secara berkelanjutan;

d) Terdapat kebutuhan untuk mengintegrasikan dan mengarusutamakan pengetahuan tradisional beserta prakteknya dalam pengelolaan lansekap secara berkelanjutan;

e) Restorasi ekosistem sebagai solusi berbasis alam, sangat penting dalam memerangi krisis iklim dan untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs).

GLF Bonn 2019 bukanlah akhir dari pembicaraan/diskusi mengenai hak, melainkan permulaan bagi pembicaraan/diskusi selanjutnya. Pada akhir tahun 2019, the Indigenous Peoples Major Group for Sustainable Development (IPMG) dan the Rights and Resources Initiative bermaksud untuk menetapkan gold standard tentang hak, yang dibentuk melalui konsultasi pada konferensi GLF yang akan datang dengan dasar pemikiran dan pengetahuan masyarakat adat, organisasi, dan komunitas global GLF lainnya yang terus berkembang.

Konferensi GLF berikutnya akan berlangsung di kota New York pada tanggal 28 September 2019, dimana akan dibingkai dalam UN Decade on Ecosystem Restoration. GLF New York City 2019 akan berlangsung segera setelah UN Secretary-General’s Climate Action Summit dan back-to-back dengan pembukaan the 74th UN General Assembly. Dalam konferensi tersebut akan dikonsultasikan mengenai UN Decade on Ecosystem Restoration dengan negara-negara dan stakeholders yang berkepentingan terkait hal tersebut. Selain itu akan digali lebih mendalam mengenai kebutuhan kunci restorasi ekosistem global, meliputi:

hutan/pertanian, lahan basah/lahan gambut, pegunungan, lahan kering/padang rumput, dan samudera/pesisir.

Tindak lanjut yang diperlukan:

a) Hasil utama (key outcomes) sebagai hasil diskusi pada konferensi GLF Bonn 2019 di tingkat global/internasional perlu untuk diimplementasikan di tingkat nasional, terutama terkait dengan isu hak (rights) dan masyarakat adat/masyarakat lokal (indigenous people/local community) dalam kaitannya dengan perubahan iklim;

b) Perlu dibangun jejaring (networking) diantara negara-negara dan stakeholders dalam pengelolaan lansekap secara berkelanjutan;

c) Indonesia sebagai bagian dari komunitas global/internasional perlu berperan aktif dalam seri pertemuan GLF, dimana pertemuan GLF berikutnya akan berlangsung di kota New York pada tanggal 28 September 2019 dengan tema restorasi ekosistem;

d) Kehadiran pada pertemuan GLF New York City 2019 dengan tema restorasi ekosistem sangat diperlukan bagi Indonesia, karena sejalan dengan program yang tengah dilakukan Indonesia dalam memulihkan ekosistem hutan melalui restorasi ekosistem yang dapat berkontribusi menurunkan emisi GRK/meningkatkan serapan GRK dalam mencapai target NDC di tahun 2030.

BILATERAL MEETING DAN PERTEMUAN LAINNYA

Pertemuan Bilateral yang dilaksanakan adalah baik yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK selaku Ketua Delegasi RI / Head of Delegation (HOD), Alternate Ketua Delegasi Indonesia, Dubes RI untuk Jerman, maupun para Direktur, dengan pihak lain selama Bonn Climate Change Conference 2019. Pertemuan- pertemuan tersebut sebagai berikut:

5.6.1 Pertemuan Ketua Delegasi Indonesia dengan Ketua Delegasi Australia, H.E.

Mr. Patrick Suckling, 22 Juni 2019 Pokok-pokok bahasan pertemuan bilateral:

a) membahas beberapa isu krusial terkait perkembangan negosiasi:

• Pandangan kedua belah pihak terkait isu Artikel 6 PA dimana Australia memandang bahwa kemajuan negosiasi tidak terlalu menguntungkan bagi negara maju seperti Australia. Disisi lain Australia juga berharap untuk mendapatkan titik temu dengan market yang diperkirakan akan menjadi main isu di dekade kedepan.

Australia menganggap bahwa pembahasan Artikel 6PA dilakukan secara paralel dengan market yang diharapkan tercapai dalam satu dua tahun kedepan.

Beberapa concern terkait artikel 6PA adalah khususnya artikel 6.2, 6.4 dan corresponding adjustment yang selalu diamati progresnya oleh Australia dan negara maju lainnya. Menurut Australia apabila pembahasan Artikel 6PA tidak dapat diselesaikan sesuai target waktu sebelum COP25, maka Market akan menentukan jalannya sendiri. Oleh karena tidak ada acara lain bahwa artikel 6 diusahakan diselesaikan sesuai target waktu yang ditetapkan.

Dalam hal ini, posisi Indonesia juga memiliki kesepahaman pandang untuk beberapa hal dengan Australia.

• Hal lain yang dibahas terkait dengan perkembangan negosiasi BCCC 2019 yaitu UNFCCC Secretariat Budget for the Biennium 2020-2021 dimana saat ini kondisi Core Budget dan Supplementary Budget memiliki ketidakseimbangan dan kecepatan pertumbuhan yang berbeda dan menjadi tarik ulur negara maju dan negara berkembang.

• Australia juga menyoroti isu Loss and Damage dan menanyakan posisi Indonesia terkait Loss and Damage dan proposi strategi Mitigasi dan adaptasi Indonesia ke depan. Secara prinsip Indonesia saat ini sedang menata keseimbangan pendekatan Strategi Program yang berimbang baik secara policy maupun tataran Implementasi.

b) Blue Carbon dan peatland

Isu lainnya adalah Blue Carbon dimana dinyatakan oleh Ketua Delegasi Indonesia bahwa saat ini Indonesia sedang mem- persiapkan strategi yang lebih baik terhadap kontribusi Blue Carbon terhadap pencapaian NDC Indonesia mengingat Indonesia merupakan Negara Kepulauan dan tingginya potensi Blue Carbon dari Mangrove, Seagrass dan sumber daya kelautan lainnya.

c) Kemungkinan pengembangan kerjasama bidang environment yang lebih luas, dimana Indonesia dan Australia akan melihat kembali di pihak masing-masing untuk menjadi modalitas bagi kerjasama bilateral kedua negara dalam pengendalian perubahan Iklim kedepan. Mengingat Presiden Joko Widodo duduk kembali dalam pemerintahan dan Perdana Menteri Australia adalah baru, Ketua Delegasi Australia akan mengusulkan adanya MoU Umbrella dalam bidang environment, yang mencakup perubahan iklim di dalamnya, sebagai salah satu inisiatif kerjasama pada Pertemuan Bilateral Kedua Kepala Negara pada saat kunjungan PM Australia ke Indonesia.

Tindak Lanjut:

Australia dan Indonesia sepakat untuk merencanakan pembentukan MoU Umbrella berbagai tematik yang selama ini ada dan dikembangkan dengan tematik isu yang lebih luas dan komprehensif. Pertemuan bilateral diharapkan dapat ditindak lanjuti dengan pertemuan bilateral bersifat teknis untuk mutual benefit kedua pihak.

5.6.2 Pertemuan Ketua Delegasi Indonesia dengan Director of Negotiation Department of the Environment and Energy, Australia, 22 Juni 2019

Pertemuan terpisah pada hari yang sama di 22 Juni 2019 juga dilakukan oleh Ketua Delegasi Indonesia dengan CIFOR dan Direktur Negotiation, Department of the Environment and Energy Australia terkait kerjasama bidang Blue Carbon dan Peatland.

Pertemuan tersebut dilakukan untuk merancang tindak lanjut implementasi kerjasama tiga pihak antara KLHK, CIFOR dan Department of the Environment and Energy, Australia.

5.6.3 Pertemuan Ketua Delegasi Indonesia dengan Mr. Tim Clairs (Principle Policy and Technical Advisor UNDP Global), 22 Juni 2019

Pertemuan Bilateral antara Ketua Delegasi Indonesia dan Mr. Tim Clairs, Principle Policy and Technical Advisor UNDP, yang didampingi oleh Expert UN-REDD Bangkok Office Ms.

Celina (Kin Yii) Yong.

Pertemuan bilateral dilakukan untuk tindak lanjut kerjasama terkait UN-REDD Result- Based Payment (RBP) yang akan dilakukan di Indonesia, yang merupakan penajaman Program REDD RBP yang sudah berlangsung di Indonesia di wilayah Kalimantan Timur dan Propinsi Jambi. Kerjasama ini merupakan langkah dan bukti nyata kepercayaan Internasional atas komitmen Indonesia dalam Penurunan dan pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca melalui Mekanisme Pembayaran Berbasis Kinerja (Result Based Payment).

Ketua Delegasi Indonesia dan Tim dengan Ketua Delegasi Australia dan Tim, 22 Juni 2019

Dalam dokumen Jakarta, Juli 2019 (Halaman 45-61)

Dokumen terkait