• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Pengumpulan Data

Dalam dokumen UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR (Halaman 44-51)

BAB III METODE PENELITIAN

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu : 1. Observasi

Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang menggunakan pertolongan indra mata. Observasi juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan panca indera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran rill peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.

2. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah laporan realisasi anggaran Pemerintah Daerah Kota Makassar, laporan realisasi penerimaan retribusi parkir di tepi jalan umum, PDRB Kota Makassar dan BPS Kota Makassar dalam Angka Tahun 2014-2018.

G. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis kuantitatif, yaitu dimana data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk angka dengan format deskriptif bertujuan untuk menjelaskan dan meringkas berbagai kondisi,situasi atau beberapa variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi obyek penelitian ini.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda. Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan bantuan SPSS.23 karena tidak semua data didapat langsung dari sumber terkait, beberapa data dalam penelitian ini didapat dari suatu proses metode pemecahan (interpolasi) dan peramalan data secara statistik.

1. Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik bertujuan untuk memperoleh hasil yang lebih akurat pada analisis regresi berganda. Terdapat beberapa asumsi klasik regresi yang harus terpenuhi dahulu sebelum menggunakan analisis regresi lineer berganda sebagai alat untuk menganalisa pengaruh dari setiap variabel yang diteliti. Ada beberapa uji asumsi klasik yang

29

harus dipenuhi agar kesimpulan dari regresi tersebut tidak biasa, yaitu uji normalitas, uji multikolinieritas, uji autokorelasi, uji heteroskodesitas.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabelnya berdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal dan atau mendekati normal. Uji normalitas menggunakan program eviews normalitas sebuah data dapat diketahui dengan membandingkan nilai Jarque-Bera (JB) dan nilai Chi-square tabel. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut :

Ho : β1 = 0 (data berdistribusi normal) Ho : β2 ≠ 0 (data tidak berdistribusi normal)

Pedoman yang akan digunakan dalam mengambil kesimpulan adalah sebagai berikut :

1) Jika nilai Probability > 0,05 maka distribusi normal 2) Jika nilai Probability < 0,05 maka distribusi tidak normal.

b. Uji Multikolinearitas

Multikoliniearitas merupakan hubungan linear antara variabel dependen di dalam regeresi berganda. Multikolineritas bertujuan untuk menguji ada tidaknya korelasi antara variabel independent (bebas) dan variabel dependent (terikat) dalam suatu model regresi. Multikolineritas akan menyebabkan estimator OLS mempunyai varian yang besar dengan demikian standar error juga besar. Deteksi multikolineritas menggunakan korelasi parsial antar variabel independen di dalam regresi. Hipotesis dalam uji multikolinearitas yaitu H0 : tidak terdapat

masalah multikolineritas dan Ha : terdapat masalah multikolineritas.

Sebagai aturan, jika koefisien korelasi > yaitu 10 maka diduga ada masalah multikolinearitas dalam model berarti H0 ditolak. Sebaliknya jika koefisien korelasi < dari 10 maka diduga tidak ada masalah multikolineritas dalam model berarti Ho diterima.

c. Uji Autokorelasi

Autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linear ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t dengan kesalahan periode t sebelumnya. Jika terjadi kolerasi maka dinamakan ada problem autokorelasi.

Cara yang digunakan untuk melihat ada tidaknya autokorelasi pada penelitian ini yaitu menggunakan uji rubs test. Adapun dasar pengambilan keputusan dalam uji runs test, yaitu :

1) Jika nilai Asymp. Sig (2-tailed) < dari 0,05 maka terdapat gejala autokorelasi.

2) Jika nilai Asymp. Sig (2-tailed) > dari 0,05 maka tidak terdapat gejala autokorelasi.

d. Uji Heterokedastisitas

Uji heterokedastisas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variasi dari satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Model regresi yang baik adalah yang tidak tidak terjadi heterokedasitas. Uji heterokedasitas bertujuan untuk meguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variasi dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2016:134). Jika variasi dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap,

31

maka disebut homoskedasitisitas atau tidak terjadi heterokedasitisitas.

Salah satu cara untuk memprediksi heterokedasitisas dapat dilihat dari pola gambar Scatterplot.

2. Analisis Regresi Linear Berganda

Untuk mengetahui besarnya pengaruh PDRB perkapita, jumlah kendaraan bermotor (KBM), dan pengenaan tarif terhadap penerimaan retribusi pelayanan parkir tepi jalan umum, maka penelitian ini menggunakan model Regresi Linier Berganda/ Ordinar Least Square (OLS) yaitu :

Y = β0 + β1 + β2 + β3 + ɛ Dimana:

Y = Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum β0 = Konstanta

β1, β2, β3 = Koefisien Regresi

= PDRB Perkapita atas dasar harga konstan = Jumlah Kepemilikan Kendaraan Bermotor = Pengenaan Tarif Parkir

ɛ = Eror Term 3. Uji Hipotesis

a. Uji Koefisien Determinasi ( )

Koefisien determinasi ( ) merupakan alat untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol atau satu. uji koefisien determinasi ( ) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi independen, maka

dalam bentuk pengukuran ini perlu diketahui melaui adjusted R square sebagai salah satu metode perhitungan untuk mengetahui nilai yang mendekati satu variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen.

b. Uji Simultan (Uji – F)

Uji F dikenal dengan uji serentak atau uji Anova (Analysis of Variance) yaitu uji yang digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh semua variabel bebas terhadap variabel terikat dan untuk menguji apakah model regresi yang ada signifikan atau tidak signifikan. Dalam

Widarjono (2009) uji F dapat dilakukan dengan membandingkan F-hitung dengan F-tabel.

Hipotesis yang digunakan dalam uji F adalah sebagai berikut:

1) H0 : βi = 0 dengan asumsi menyatakan bahwa,

H0 : Tidak terdapat pengaruh antara semua variabel independen secara bersama terhadap variabel dependen.

2) Ha : βi ≠ 0 dengan asumsi menyatakan bahwa,

Ha : Terdapat pengaruh secara bersama-sama semua variabel independen terhadap variabel dependen.

Kriteria pengambilan kesimpulan sebagai berikut :

a) Jika F-statistik > F-tabel, maka Ho ditolak atau Ha diterima. Ini berarti bahwa variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

33

b) Sebaliknya jika F-statistik < F-tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak. Ini berarti bahwa variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen

c. Uji Parsial (Uji–t)

Uji ini dilakukan dengan cara pengujian variabel-variabel independen secara parsial (individu), digunakan untuk mengetahui signifikan dari pengaruh variabel independen secara individu terhadap variabel dependen. Dalam hal ini ada dua acuan yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan :

1) Berdasarkan nilai signifikasi (Sig.)

a) Jika nilai Signifikasi < Probabilitas 0,05 maka ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat atau hipotesis diterima.

b) Jika nilai signifikasi > probabilitas 0,05 maka tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat atau hipotesis ditolak.

2) Berdasarkan perbandingan nilai t-hitung dengan t-tabel

a) Jika nilai t-hitung > t-tabel maka ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat atau hipotesis diterima.

b) Jika nilai t-hitung < t-tabel maka tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat atau hipotesis ditolak.

34 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kota Makassar

Kota Makassar merupakan salah satu pemerintahan kota dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang terbentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi, sebagaimana yang tercantum dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822.

Kota Makassar menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965, (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 94), dan kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1965 Daerah Tingkat II Kota praja Makassar diubah menjadi Daerah Tingkat II Kotamadya Makassar.

Kota Makassar yang pada tanggal 31 Agustus 1971 berubah nama menjadi Ujung Pandang, wilayahnya dimekarkan dari 21

menjadi 175,77 km2 dengan mengadopsi sebagian wilayah kabupaten lain yaitu Gowa, Maros, dan Pangkajene Kepulauan, hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971 tentang Perubahan batas-batas daerah Kotamadya Makassar dan Kabupaten Gowa, Maros dan Pangkajene dan Kepulauan, lingkup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada perkembangan, nama Kota Makassar dikembalikan lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 tentang Perubahan Nama Kotamadya Ujung Pandang menjadi Kota Makassar, hal ini atas keinginan masyarakat yang didukung DPRD Tk. II Ujung Pandang saat itu,

35

serta masukan dari kalangan budayawan, seniman, sejarawan, pemerhati hukum dan pelaku bisnis.

Makassar adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di bagian Selatan Pulau Sulawesi yang dahulu disebut Ujung Pandang, terletak antara 119º24’17’38” Bujur Timur dan 5º8’6’19” Lintang Selatan yang berbatasan sebelah Utara dengan Kabupaten Maros, sebelah Timur Kabupaten Maros, sebelah selatan Kabupaten Gowa dan sebelah barat adalah Selat Makassar. Kota Makassar memiliki topografi dengan kemiringan lahan 0-2°(datar) dan kemiringan lahan 3-15° (bergelombang). Luas Wilayah Kota Makassar tercatat 175,77 km persegi. Kota Makassar memiliki kondisi iklim sedang hingga tropis memiliki suhu udara rata-rata berkisar antara 26,°C sampai dengan 29°C.

Kota Makassar adalah kota yang terletak dekat dengan pantai yang membentang sepanjang koridor barat dan utara dan juga dikenal sebagai

“Waterfront City” yang didalamnya mengalir beberapa sungai (Sungai Tallo, Sungai Jeneberang, dan Sungai Pampang) yang kesemuanya bermuara ke dalam kota. Kota Makassar merupakan hamparan daratan rendah yang berada pada ketinggian antara 0-25 meter dari permukaan laut. Dari kondisi ini menyebabkan Kota Makassar sering mengalami genangan air pada musim hujan, terutama pada saat turun hujan bersamaan dengan naiknya air pasang.

Secara administrasi Kota Makassar dibagi menjadi 15 kecamatan dengan 153 kelurahan. Di antara 15 kecamatan tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu Kecamatan Tamalate, Kecamatan Mariso, Kecamatan Wajo, Kecamatan Ujung Tanah, Kecamatan Tallo, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Biringkanaya.

Batas-batas administrasi Kota Makassar adalah:

1. Batas Utara: Kabupaten Maros 2. Batas Timur: Kabupaten Maros

3. Batas Selatan: Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar 4. Batas Barat: Selat Makassar

Secara umum topografi Kota Makassar dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu :

a) Bagian Barat ke arah Utara relatif rendah dekat dengan pesisir pantai.

b) Bagian Timur dengan keadaan topografi berbukit seperti di Kelurahan Antang Kecamatan Panakukang.

Perkembangan fisik Kota Makassar cenderung mengarah ke bagian Timur Kota. Hal ini terlihat dengan giatnya pembangunan perumahan di Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea, Mangggala, Panakkukang, dan Rappocini.

Secara administratif Kota Makassar terbagi atas 14 Kecamatan dan 143 Kelurahan. Bagian utara kota terdiri atas Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Tallo, dan Kecamatan Ujung Tanah. Di bagian selatan terdiri atas Kecamatan Tamalate dan Kecamatan Rappocini.

Di bagian Timur terbagi atas Kecamatan Manggala dan Kecamatan Panakkukang. Bagian barat adalah Kecamatan Wajo, Kecamatan Bontoala, Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Makassar, Kecamatan Mamajang, dan Kecamatan Mariso. Rincian luas masing-masing kecamatan, diperbandingkan dengan persentase luas wilayah Kota Makassar sebagai berikut:

37

Tabel 4.1

Luas Wilayah di Kota Makassar

Kode Wil Kecamatan

Luas Area

(

)

Presentase Terhadap Luas Kota Makassar

010 Mariso 1,82 1,04

020 Mamajang 2,25 1,28

030 Tamalate 20,21 11,50

031 Rappocini 9,23 5,25

040 Makassar 2,52 1,43

050 Ujung Pandang 2,63 1,50

060 Wajo 1,99 1,13

070 Bontoala 2,10 1,19

080 Ujung Tanah 5,94 3,38

090 Tallo 5,83 3,32

100 Panakukang 17,05 9,70

101 Manggala 24,14 13,73

110 BiringKanaya 48,22 27,43

111 Tamalanrea 31,84 18,12

7371 Kota Makassar 17.577 100,00

Sumber : RTRW Kota Makassar Tahun 2020.

Berdasarkan pada tabel diatas dapat dilihat bahwa luas area daerah yang paling luas adalah Kecamatan Biringkanaya sebesar 48,22 kebading dengan luas daerah yang paling sedikit adalah kecamatan Mariso sebesar 1,82 . Sedangkan presentase terhadap luas Kota Makassar yang paling luas adalah Kecamatan Biringkanaya sebesar 27,43 sedangkan paling kecil adalah Kecamatan Mariso sebesar 1,04.

B. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Variabel

a. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita Kota Makassar

Menurut Sukirno (2000), bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita merupakan gambaran rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk sebagai hasil dari proses produksi.

Nilai PDRB perkapita dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah walaupun sebenarnya nilai PDRB perkapita ini belum tentu dinikmati oleh masyarakat di daerah tersebut.

Tabel 4.2

Data PDRB Perkapita Kota Makassar

Tahun PDRB Perkapita Harga Konstan Menurut Pengeluaran (Rp)

2014 100,392

2015 114,412

2016 128,045

2017 142,448

2018 160,207

Total 645,504

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020.

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat PDRB perkapita dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dari tahun 2014 PDRB perkapita Kota Makassar sebesar Rp.100,392 dan tahun berikutnya mengalami peningkatan yakni tahun 2015 sebesar Rp.114,412 sehingga terus- menerus mengalami peningkatan sampai tahun 2018 PDRB perkapita mengalami peningkatan yang sangat pesat sebesar Rp. 160,207.

39

b. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Makassar Mobilitas kendaraan roda dua maupun roda empat yang cukup tinggi pada berbagai daerah terutama di Kota Makassar tentu menuntut pelayanan tempat parkir yang memadai, baik tempat yang disiapkan khusus untuk lahan parkir, maupun lokasi parkir yang layak di tepi jalan umum. Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota sudah seharusnya dapat mengelola penyediaan tempat parkir tersebut dengan baik .

Laju pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (SulSel), terbilang amat pesat. Tiap tahun tercatat pertambahan puluhan ribu kendaraan bermotor yang mengaspal di jalan kebanyakan yakni kendaraan roda dua alias sepeda motor.

Tabel 4.3

Data Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Makassar

Tahun Jumlah Kendaraan Bermotor

(Unit)

2014 926,097

2015 1,338,148

2016 1,425,151

2017 1,505,835

2018 1,563,608

Total 6,758,839

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020.

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat jumlah kendaraan bermotor di Kota Makassar dalam kurung waktu 2014 sampai 2018 cenderung meningkat setiap tahunnya. Dimana pada tahun 2014 jumlah kendaraan bermotor tercatat sebesar 926,097 unit, jumlah ini meningkat kembali tahun berikutnya tahun 2015 menjadi 1,338,148 unit. Peningkatan

jumlah kendaraan bermotor mengalami peningkatan terus menerus sampai dengan tahun 2018 yaitu sebesar 1,563,608 unit.

c. Perkembangan Pengenaan Tarif Parkir di Kota Makassar

Pignataro (1993) menjelaskan bahwa tarif parkir adalah meningkatnya pendapatan sangat tergantung pada kebijakan penyesuaian tarif, dalam hal ini untuk tarif retribusi yang ditetapkan tetap (flat) maka dalam penyesuaian tarif retribusi dasar selain harus mempertimbangkan laju inflasi, juga perlu ditinjau hubungan antara biaya pelayanan dan jasa penerimaan pendapatan. Tarif dapat ditentukan atau dapat diadakan perbedaan golongan tarif sesuai dengan prinsip dan sasaran tertentu, prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif parkir berdasarkan besarnya biaya penyediaan jasa dibidang perparkiran.

Tabel 4.4

Data Pengenaan Tarif Parkir di Kota Makassar

Tahun Pengenaan Tarif Parkir

(Rp)

2014 1.000

2015 1.000

2016 2.000

2017 2.000

2018 2.000

Total 8.000

Sumber : PD. Parkir Makassar Raya Tahun 2020.

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa pengenaan tarif parkir selama lima tahun terakhir dari tahun 2014 sampai tahun 2018 memiliki tarif parkir yang berbeda-beda dimana pada tahun 2014 tarif parkir sebesar Rp.1000 hingga pada tahun 2015. Dan pada tahun 2016 sampai tahun 2018 memiliki tarif parkir sebesar Rp.2000. Seiring

41

berjalannya waktu dapat dilihat bahwa dari tahun 2014 sampai tahun 2018 tarif parkir meningkat.

d. Perkembangan Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum di Kota Makassar

Penerimaan Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum yang merupakan salah satu jenis retribusi jasa umum adalah pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat parkir di tepi jalan umum yang ditentukan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang - undangan.

Munawir Muhammad Djafar Saidi 1, 2014: 24 penerimaan retribusi pelayanan parkir tepi jalan umum yang selanjutnya dapat disebut retribusi adalah pembayaran atas pelayanan penyediaan tempat parkir untuk kendaraan angkutan penumpang, bus, dan kendaraan angkutan barang, tempat kegiatan usaha, fasilitas lainnya di lingkungan tepi jalan umum yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

Tabel 4.5

Data Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum di Kota Makassar

Tahun Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum (Rp)

2014 70.287.560

2015 89.563.426

2016 98.954.632

2017 105.327.614

2018 111.363.783

Total 475.497.015

Sumber : PD. Parkir Makassar Raya Tahun 2020.

Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa penerimaan retribusi pelayanan parkir tepi jalan umum di Kota Makassar dalam kurung waktu

2014 sampai 2018 cenderung meningkat setiap tahunnya. Dimana pada tahun 2014 Penerimaan retribusi pelayanan parkir tepi jalan umum sebesar Rp. 70.287,560, jumlah ini meningkat kembali tahun berikutnya tahun 2015 menjadi Rp. 89.563,426. Sehingga peningkatan Penerimaan retribusi pelayanan parkir tepi jalan umum mengalami peningkatan terus menerus sampai dengan tahun 2018 yaitu sebesar Rp. 111.363,783.

2. Hasil Analisis Data

a. Hasil Uji Asumsi Klasik 1) Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabelnya berdistribusi normal atau tidak, model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal dan atau mendekati normal.

Sumber: Output SPSS 23, Tahun 2020.

Gambar 4.1 Uji Normalitas

43

Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa pola berdistribusi normal, dikarenakan data menyebar disekitar garis diagonal sehingga dapat disimpulkan bahwa uji normalitas terpenuhi.

2) Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas bertujuan untuk menguji ada tidaknya korelasi antara variabel independent (bebas) dan variabel dependent (terikat) dalam suatu model regresi. Salah satu cara untuk mengetahuinya jika koefisien korelasi > yaitu 10 maka diduga ada masalah multikolineritas dalam model berarti H0 ditolak. Sebaliknya jika koefisien korelasi < dari 10 maka diduga tidak ada masalah multikolineritas dalam model berarti H0 diterima.

Tabel 4.6

Hasil Uji Multikolinearitas

Coefficientsa Model

Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1 (Constant)

PDRB Perkapita .156 6.393

Jumlah Kendaraan Bermotor .205 4.874

Pengenaan Tarif Parkir

.274 3.646

a. Dependent Variable: Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum

Sumber: Output SPSS 23, Tahun 2020.

Berdasarkan hasil uji multikolinearitas pada Tabel 4.6 dengan hasil perhitungan nilai Tolerance menujukkan bahwa tidak ada variabel independen yang mempunyai nilai tolerance di atas 0,10 dan hasil perhitungan nilai Variance Inflation Factor (VIF) di bawah 10, sehingga dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada gejala multikolinearitas antar variabel independen dalam regresi.

3) Uji Autokorelasi

Autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linear ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t dengan kesalahan periode t sebelumnya. Jika terjadi kolerasi maka dinamakan ada problem autokorelasi. Cara yang digunakan untuk melihat ada tidaknya autokorelasi pada penelitian ini yaitu menggunakan uji rubs test. Adapun dasar pengambilan keputusan dalam uji runs test, yaitu :

a) Jika nilai Asymp. Sig (2-tailed) < dari 0,05 maka terdapat gejala autokorelasi.

b) Jika nilai Asymp. Sig (2-tailed) > dari 0,05 maka tidak terdapat gejala autokorelasi.

Tabel 4.7 Hasil Uji Autokorelasi

Sumber: Output SPSS 23,Tahun 2020.

Berdasarkan tabel 4.7, dapat dilihat bahwa nilai Asymp Sig (2- tailed) dengan nilai sebesar 0,326 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat gejala atau masalah autokorelasi.

Runs Test

Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum

Test Valuea 98954632

Cases < Test Value 2

Cases >= Test Value 3

Total Cases 5

Number of Runs 2

Z -.982

Asymp. Sig. (2-tailed) .326

a. Median

45

4) Uji Heteroskedastisitas

Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variasi dari satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Salah satu cara untuk memprediksi heterokedasitisas dapat dilihat dari pola gambar Scatterplot. Untuk mengetahui ada tidaknya heterokedasitisas pada penelitian ini maka gambar 4.1 menjelaskan sebagai berikut :

Sumber: Output SPSS 23, Tahun 2020.

Gambar 4.2

Hasil Uji Heteroskedastisitas

Dari gambar 4.2 scatterplot dapat diketahui bahwa titik-titik data menyebar dan dibawah angka 0, titik data tidak mengumpul hanya diatas dan dibawah saja, dan penyebaranya tidak membentuk pola, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian regresi linear berganda ini tidak terdapat gejala heterokedasitisas.

b. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda

Penelitian ini terdapat tiga variabel bebas, PDRB Perkapita, Jumlah Kendaraan Bermotor, dan Pengenaan Tarif Parkir serta variabel terikat, yaitu Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum . Untuk menguji ada tidaknya pengaruh tiap variabel bebas terhadap variable terikat maka dilakukan pengujian model regresi dengan variable terikat maka dilakukan pengujian model regresi dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.8

Hasil Uji Regresi Linear Berganda

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardi zed Coefficient

s

T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 9043759.504 215172.903 42.030 .015

PDRB

Perkapita 215.742 3.484 .314 61.931 .010

Jumlah Kendaraan Bermotor

39.453 .281 .621 140.170 .005

Pengenaan

Tarif Parkir 3044.765 112.300 .104 27.113 .023 a. Dependent Variable: Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum

Sumber: Output SPSS 23, Tahun 2020.

Dari Hasil uji regresi diperoleh model persamaan regresi sebagai berikut :

Y = 9.043.759,504 + 215.742 + 39.453 + 3.044,765 + ɛ

47

Berdasarkan pada tabel 4.8 dapat dilihat bahwa koefisen- koefisen pada persamaan regresi linear berganda dapat dipahami sebagai berikut :

1) Berdasarkan persamaan regresi menujukkan bahwa nilai konstanta mempunyai arah koefisien regresi positif yaitu sebesar 9.043.759,504 menujukkan bahwa apabila variabel lain mengalami peningkatan sebesar Rp.1 maka variabel Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umummengalami peningkatan sebesar Rp. 9.043.759,504.

2) Berdasarkan hasil penelitian dan uji regresi PDRB Perkapita sebesar 215.742, artinya nilai konstanta mempunyai arah koefisien regresi positif sehingga menujukkan bahwa apabila mengalami peningkatan sebesar Rp.1 maka variabel Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum mengalami peningkatan sebesar Rp. 215.742.

3) Berdasarkan hasil penelitian dan uji regresi Jumlah Kendaraan Bermotor sebesar 39.453, artinya nilai konstanta mempunyai arah koefisien regresi positif sehingga menujukkan bahwa apabila mengalami peningkatan sebesar Rp.1 maka variabel Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum mengalami peningkatan sebesar Rp. 39.453.

4) Berdasarkan hasil penelitian dan uji regresiPengenaan Tarif Parkir sebesar 3.044,765, artinya nilai konstanta mempunyai arah koefisien regresi positif sehingga menujukkan bahwa apabila mengalami peningkatan sebesar Rp.1 maka variabel Penerimaan Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum mengalami peningkatan sebesar Rp. 3.044,765.

Dalam dokumen UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR (Halaman 44-51)

Dokumen terkait