BAB III METODE PENELITIAN
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yakni mengumpulkan data melalui sumber-sumber tertulis, terutama novel Surga yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia (kajian nilai-nilai religius) selain itu, buku-buku yang relevan dengan tujuan penelitian ini.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Data primer, yaitu data pokok yang merupakan objek kajian penelitian ini.
Data yang dimaksud adalah data dalam Novel Surga yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia.
2. Data sekunder, data penunjang yang diperoleh dari buku atau tulisan yang bermaanfaat untuk mendapatkan teori maupun hal yang dapat mendukung dan relevan dengan topik penelitian.
E. Teknik Analisis Data
Berdasarkan uraian di atas, maka data dianalisis berdasarkan pendekatan struktual. Nilai-nilai religius dapat digambarkan secara langsung maupun secara tidak langsung. Pendekatan secara struktural, memandang novel sebagai satu kesatuan yang otonom. Setelah data terkumpul peneliti mengolahnya dengan cara:
1. Memahami secara keseluruhan data penelitian.
2. Mengindentifikasi dan mengklasifikasi data tersebut berdasarkan butir-butir masalah dan tujuan penelitian.
3. Mengadakan pemeriksaan keapsahan data berupa nilai religius yang telah diamati sebagai hasil penelitian.
4. Bila hasil penelitian sudah dianggap sesuai, maka hasil tersebut dianggap sebagai hasil akhir
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penyajian yang telah diuraikan sebelumnya bahwa religius adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan aturan-aturan, norma-norma serta ketetapan yang berlaku dalam ajaran islam sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Hadits.
Religius juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang diyakini termasuk didalamnya ketaatan kepada agama yang diyakini, berhubungan dengan Tuhan, seperti perasaantakut terhadap kebesaran Allah.
Adapun nilai religius yang terdapat dalam novel Surga yang Tak Dirindukan, akan diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: aqidah, akhlak, dan ibadah.
1. Akidah
Akidah sering juga diartikan sebagai suatu keyakinan, kepercayaan dan keimanan. Secara khusus akidah diartikan sebagai keyakinan kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir serta takdir atau ketentuan Allah Swt. Sedangkan akidah secara umum dapat diartikan sebagai suatu keyakinan penuh yang dibenarkan oleh hati, diucapkan dengan lidah dan diwujudkan dengan amal perbuatan.
Setiap pribadi memiliki keyakinan atau kepercayaan meskipun dalam bentuk pengharapan yang berbeda-beda. Dengan adanya keyakinan maka akan terbentuk sikap dan ideologi seseorang tentang gambaran sebagai tempat
31
bersandar tempat mengembalikan semua masalah. Adapun nilai akidah yang terkandung dalam novel Surga yang Tak Dirindukan, adalah sebagai berikut:
a. Menyakini Bahwa Allah yang Menentukan Ajal Manusia
“Arini akan menikah dengan Pras, dan Pras akan menikahi Arini.
Sekaligus menikah dengan maut keduanya. Pemikiran yang kemudian mengganggu Arini berhari-hari. Pras, seperti juga dirinya, bisa bertemu kematian kapan saja. Hanya Allah yang tahu. Itu berarti Arini akan menjalani hari-hari sendiri, tanpa pangeran yang sebelumnya melengkapi”.(Nadia, 2014: 45).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Arini yang akan menikah denganPras merasa cemas. Ia takut bagaimana jika nanti mereka dipisahkan oleh maut atau salah satu dari mereka ada yang meninggal.
Namun Arini percaya bahwa kehidupan dan kematian ada di tangan Allah Swt, sedangkan manusia yang merupakan makhluk ciptaan Allah Swt, tidak mempunyai peran dalam hal itu.
Kutipan yang memiliki makna menyakini bahwa Allah Swt yang menentukan ajal manusia:
“Pras, seperti juga dirinya (Arini), bisa bertemu kematian kapan saja.
Hanya Allah yang tahu.”
Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl: 70 Artinya:
“Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu dan di antara ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
b. Tidak Meyakini Keberadaan Allah Swt
“Di mana Dia ketika Ray memerkosaku? Kenapa Dia tidak menggerakkansatu saja tentara-Nya di bumi ini untuk menggagalkan
perbuatan kotor Ray? Embusan angin kencang yang melempar tubuh Ray dariku, atau satpan yang tiba-tiba datang memeriksa lampuyang masih menyala, atau mungkin teman sekantor Ray yang kembali karena ponselnya tertinggal, apa saja”. (Nadia, 2014: 96).
Kutipan di atas menggambarkan tentang Mei Ros yang bertanya, di mana Allah ketika Ray berbuat jahat kepadanya.Mengapa tidak ada seorang pun yang datang menolongnya.
Kutipan yang menunjukkan tidak meyakini keberadaan AllahSwt:
“Di mana Dia ketika Ray memerkosaku?”
Mei Ros tidak meyakini bahwa Allah itu dan menanyakan di mana keberadaannya. Maksudnya, pengawasan Allah selalu ada di mana-mana.
Tetapi bukan berarti kita boleh mengatakan bahwa Allah ada di mana- mana karena Allah Swt berada di atas arasy. Allah Swt mengawasi kita melalui para malaikat-malaikat-Nya, yang kita yakini bahwa di samping kiri dan kanan kita ada malaikat yang mencatat amal baik dan amal buruk.
Sebagaimana di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
Artinya:
“ Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy.” (Al A’raf: 54)
Didalam Al Qur’an ayat ini, yang dimaksud dengan ‘bersemayam”
menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arasy dia atas langit sesuai dengan keagungan Allah. Tidak ada yang dapat mengetahui bagaimana bersemayamnya itu. Dalam riwayat lain juga dinyatakan bahwa sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw telah bersabda:
“Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit.”
“Aku tidak tahu apakah Tuhan itu memang ada.Sebab jika ada, maka tak bisa kubayangkan sekeras apa hati-Nya, atau aku yang naif, menyamakan Dia memiliki hati seperti manusia.” (Nadia, 2014: 95)
Kutipan di atas menggambarkan tentang Mei Ros yang tidak tahu apakah Allah itu ada, bahkan menyamakan hati Allah Swt dengan hati manusia. Kutipan yang memiliki makna tidak meyakini keberadaan Allah Swt: “Aku tidak tahu apakah Tuhan itu memang ada.”
“Sepertinya aku harus berterima kasih kepada Tuhan yang tak pernah benar-benar kukenal karena akhirnya menggerakkan hati Luki Hidayat untuk menyapaku. (Nadia, 2014: 165)
Kutipan ini menggambarkan Mei Ros ingin berterima kasih kepada Allah yang tidak pernah ia kenal karena akhirnya menggerakkan hati Luki Hidayat untuk menyapanya. Kutipan yang memiliki makna tidak meyakini keberadaan Allah Swt: “Sepertinya aku harus berterima kasih kepada Tuhan yang tak pernah benar-benar kukenal”.
c. Meyakini Bahwa Tidak Ada yang Serupa dengan Allah
“Aku tidak tahu apakah Tuhan itu memang ada. Sebab jika ada, maka tak bisa kubayangkan sekeras apa hati-Nya, atau aku yang naif, menyamakan Dia memiliki hati seperti manusia. Barangkali saja Tuhan tahu persis apa yang dilakukan hingga tak perlu memalingkan wajah ketika memberikan takdir buruk kepada makhluk-Nya”. (Nadia, 2014: 95)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa, dia (Mei Ros) masih ragu apakah Allah itu ada atau tidak dan seperti apakah Dia. Bahkan, Mei Ros menyamakan hati Allah dengan hati manusia. Padahal, kita sebagai makhluk harus meyakini bahwa kita ini ada karena ada yang menciptakan,
dan hasil ciptaan tidak akan pernah sama dengan yang menciptakan.
Dialah Allah yang maha menciptakan dan tidak ada yang serupa dengan Dia.Allâh Swt berfirman dalam Qs. Asy-Syuara: 11
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
d. Menerima Syari’at Bahwa Poligami Boleh dalam Islam
“Setelah itu pras tahu bagaimana sikapnya tentang poligami. Tentu saja dia tidak akan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Tapi dalam situasi wajar, poligami jelas bukan merupakan keharusan. Polaku poligami tidak pula menjadi lebih mulia di mata Allah, dibanding para lelaki yang memutuskan cukup dengan satu istri dan setia padanya.”(Nadia, 2014:
268).
Kutipan di atas mengambarkan tentang sikap Pras mengenai poligami, ia tidak akan menolak apa dihalalkan oleh Allah Swt.
Melakukannya pun bukanlah suatu keharusan. Orang yang berpoligami juga tidak lebih mulia dibanding dengan orang yang hanya mencintai dan setia kepada seorang istri saja.
Kutipan yang memiliki makna menerima syari’at bahwa poligami boleh dalam islam:
“Tentu saja dia tidak akan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah.”
Sebagaimana dalam firman-Nya dalam QS. An-Nisa: 3
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An- Nisa: 3).
e. Beriman Terhadap Takdir Allah Swt
“Pras tidak tahu bagaimana semua bermula. Dia hanya tahu, ketika sudah terjadi, dia harus masuk dalam aturan yang ditetapkan Tuhan kepadanya,
agar tidak ada maksiat, agar semua sah setidaknya di mata Allah. Semua berawal dari simpati dan keinginan menolong perempuan malang itu”.
(Nadia, 2014: 246).
Kutipan di atas mengambarkan tentang Pras tidak memiliki kekuatan apapun, ia hanya pasrah dengan apa yang telah terjadi. Ia hanya tahu bahwa itu semua berjalan atas kehendak Allah Swt. Segala sesuatu yang Ia kehendaki terjadi, pasti terjadi. Sebaliknya, apapun yang tidak Dia kehendaki, pasti tidak akan ada tanpa kehendak-Nya.
Kutipan yang memiliki makna beriman kepada takdir Allah adalah:
“Dia hanya tahu, ketika sudah terjadi, dia harus masuk dalam aturan yang ditetapkan Tuhan kepadanya.”Allah Swt berfirman,
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “jadilah!” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin: 82)
f. Bersyukur kepada Allah
“Ingat Rin, anak-anak adalah mata air yang meneduhkan luka setiap perempuan. Tatap mata-mata bening mereka. Rasakan tawa dan kebahagiaan mereka. Maka setiap luka tak akan berarti”. Selama anak- anak sehat. Selama anak-anak tak kurang apa pun. Masalah-masalah lain menjadi kecil. Pemandangan hari itu telah membawanya pada syukur yang tak bermuara”.(Nadia, 2014: 255).
Kutipan di atas menggambarkan tentang rasa syukur Arini kepada Allah Swt atas anugerah-Nya. Anak-anaknya adalah penghibur disaat hatinya terluka. Dengan melihat, merasakan tawa dan kebahagiaan mereka, maka setiap luka Arini akan terhapus dan masalah sebesar apa pun yang dihadapinya akan menjadi kecil. Itulah yang membuat Arini sangat bersyukur kepada Allah Swt.
Kutipan yang memiliki maknabersyukur kepada Allah Swt:
“Pemandangan hari itu telah membawanya pada syukur yang tak bermuara”.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Qs. Al-baqarah: 152
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku”.
2. Akhlak
Secara etimologi (bahasa) akhlak adalah bentuk jamak dari khuluk yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Secara terminologi (istilah) sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.
Adapun nilai akhlak yang terkandung dalam novel Surga yang Tak Dirindukan, adalah sebagai berikut:
a. Menghormati Suami
“Semula Arini ingin melabrak Pras. Mencaci maki, memukul dan menendangnya kalau perlu. Tapi dia seorang istri, dan sejak kecil Arini melihat betapa hormat ibu kepada bapak. Ibu tidak pernah merengut, marah, apalagi berkata kasar”. (Nadia, 2014: 107).
Kutipan di atas menggambarkan tentang Arini yang sangat marah kepada suaminya yang ketahuan menikah lagi. Tetapi dia mengingat ibunya yang selalu hormat kepada bapaknya.Seorang istri, meski gelisah karena sang suami menikah kedua kalinya, tidak boleh sampai diliputi rasa dendam atau ingin mencelakainya, karena seorang istri harus menghormati dan taat kepada suaminya.
Kutipan yang memiliki maknamenghormati suami:
“…tapi dia seorang istri, dan sejak kecil Arini melihat betapa hormat ibu kepada bapak”.
Sebagaimana Rasululla saw telah bersabada:
“Kalau seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang perempuan sujud kepada suaminya, karena betapa besarnya hak suami atasnya…”
b. Larangan Meminta Cerai Kepada Suami
“Cerai. Kata itu bergema lagi.Ya mungkin itu yang terbaik agar Arini bisa keluar dari jeruji kesedihan.Telepon berdering. Bunyinya tiba-tiba menyergap Arini pada kesadaran lain. Cerai hanya akan menjadi keputusan emosional jika dilakukan sebelum mendapatkan kepastian dari mulut Pras”. (Nadia, 2014: 207).
Kutipan di atas menggambarkan, Arini yang ingin memninta cerai kepada Pras agar bisa keluar dari kesedihannya. Padahal, sebagai seorang istri, tidak bolehmeminta ditalak (cerai) tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam:
“Setiap isteri yang meminta cerai kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka diharamkan baginya mencium bau harumya surga.”
Kutipan yang memiliki makna larangan meminta cerai kepada suami: “Cerai hanya akan menjadi keputusan emosional jika dilakukan sebelum mendapatkan kepastian dari mulut Pras”.
Jika seorang suami telah jelas berbuat tidak adil dalam memenuhi hak-hak seorang istri, maka bagi istri ada hak secara syar’i untuk mengadukepada hakim, dan hakim akan meminta suaminya untuk tetap memperistrinya secara baik atau menceraikannya dengan baik pula, sebagaimana firman Allah Swt:
“Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.” (QS.Al-Baqarah: 229)
c. Adil dalam berpoligami
“Poligami. Ya, sekalipun ringan diucapkan, sejak dulu pras tahu ada tanggung jawab besar menunggu dibaliknya. Memang syaratnya hanya satu, berlaku adil”. (Nadia, 2014: 264)
Kutipan di atas menggambarkan tentang Pras yang hendak berpoligami. Sekali pun ringan diucapkan, namun ia tahu ada tanggung jawab besar menunggu dibaliknya dan Pras ragu apakah ia dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya atau tidak.
Kutipan yang memiliki adil dalam berpoligami: “Memang syaratnya hanya satu, berlaku adil”.
Di dalam agama islam, poligami memang tidak dilarang, tetapi dengan syarat harus adil. Bahkan itu adalah sunnah rasul, tetapi orang yang berpoligami saat ini berbeda dengan poligaminya rasulullah. Oleh sebab itu, bagi pelaku poligami harus menjadikan rasulullah sebagai tauladannya. Allah Swt telah berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 21
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi kamu”.
“Tetapi pikiran Pras sulit membayangkan seorang lelaki yang hatinya telah terbagi, sanggup berlaku adil. Harta, mungkin saja, tapi yang lainnya”? (Nadia, 2014: 264)
Kutipan di atas menggambarkan tentang Pras sebagai pelaku poligami takut apakah dia akan sanggup berlaku adil terhadap kedua istrinya atau tidak. Kalau harta mungkin bisa tetapi kasih sayang, perhatian, membagi waktu dan yang lainnya dia tidak yakin.
Allah Swt berfirman dalam QS. An-Nisa:
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa: 3).
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (An-Nisa : 129)
Rasulullah Saw telah memerintahkan berbuat adil kepada para istri serta menjelaskan balasan suami yang tidak menunaikan hak-hak istri- istrinya dengan sabdanya:
“jika seorang suami memeiliki dua istri lalu bersikap tidak adil kepada keduanya, maka akan datang pada hari kiamat sedang bahunya miring.”
d. Selalu Setia kepada Suami
“Semua salah perempuan tidak ada yang mempermasalahkan keadilan yang telah dipermainkan dan diletakkan di bawah nafsu laki-laki.
Semantara perempuan, apakah mereka akan meninggalkan suami atau berpikir mencari pengganti ketika melihat perubahan fisik suaminya?
Tidak. Nyaris perempuan akan memilih setia di sisi suami mereka, bahkan jika lelaki itu sakit dan tidak bisa memenuhi kewajiban suami istri. Tidak seperti laki-laki yang begitu mudah berpaling, bahkan jika perlu mencari- cari kesalahan untuk menutupi hasrat mereka pada perempuan lain.”
(Nadia, 2014: 114-115)
Kutipan di atas menggambarkan tentang seorang istri yang selalu setia kepada suaminya, istri akan menerima suami apa adanya. Bahkan jika suaminya sakit pun, seorang istri akan tetap ada di samping suami dan melayaninya. Tidak sama dengan laki-laki yang begitu mudah berpaling kepada wanita lain.
Kutipan yang memiliki makna selalu setia kepada suami:
“Nyaris perempuan akan memilih setia di sisi suami mereka, bahkan jika lelaki itu sakit dan tidak bisa memenuhi kewajiban suami istri.”
Rasulullah berfirman:
“Kalau seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang perempuan sujud kepada suaminya, karena betapa besarnya hak suami atasnya, dan seorang perempuan tidak akan merasakan manisnya iman hingga menunaikan hak suaminya.”
e. Harus Berpenampilan Menarik di depan Suami
“Yah, ada hal-hal yang hilang setelah menikah bertahun-tahun.Istri pertama misalnya, tidak lagi mengurus diri dengan pantas. Penampilan, bagaimana pun memengaruhi lelaki.”(Asma Nadia: 188-189)
Kutipan di atas menggambarkan tentang, seorang istri yang tidak lagi mengurusi dirinya. Penampilan seorang istri harus menarik di depan suami. Dia tidak boleh meremehkan kebersihan dirinya, jika tidak maka akan muncul kebosanan dari pihak suami yang bisa berakibat perceraian.
Maka dari itu, seorang istri harus berhias untuk suami agar cinta kasih selalu bersemi, jika tidak maka suami akan mencelanya lalu menghindarinya.
Kutipan yang memiliki makna harus berpenampilan menarik di depan suami:
“Istri pertama misalnya, tidak lagi mengurus diri dengan pantas.
Penampilan, bagaimana pun memengaruhi lelaki.”
f. Larangan memukul istri
“Ina lain lagi kasusnya. Suaminya yang menikah lagi sering menghilang.
Bambang lebih suka menghabiskan waktu di tempat istri keduanya. Tidak peduli dengan empat anak mereka yang masih kecil. Sekalinya pulang, lelaki itu malah memukuli Ina dan anak-anak.”(Nadia, 2015: 113-114).
Kutipan di atas menggambarkan, Ina yang selalu disiksa oleh Bambang suaminya yang menikah lagi dengan perempuan lain. Bambang tidak peduli dengan istri dan anaknya, bahkan ia memukulnya.
Kutipan yang memiliki makna memukul istri:
“Sekalinya pulang, lelaki itu malah memukuli Ina dan anak-anak.”
Rasulullah melarang suami memukul istri, sebagaiman firmannya,
“Engkau harus memberinya (istrimu) makan jika engkau mendapatkan makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan engkau memukul wajahnya, jangan meninggalkan mereka kecuali ia berada di rumah.”
g. Menahan amarah
“Arini berusaha sekuat tenaga meredam gelagak di hatinya.Dia sangat terluka. Tapi dia bukan perempuan yang terbiasa mengekspresikan kemarahannya dengan cara yang tidak terpelajar.” (Nadia, 2014: 279)
Kutipan di atas menggambarkan, Arini yang menahan amarahnya, hatinya sangat terluka tapi dia tidak mau mengekspresikan kemarahannya dengan cara yang tidak terpelajar. Sebagaimana firman Allah Swt
“…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mamaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. Ali-Imran: 134)
h. Tidak Keluar Rumah Tanpa Izin dari Suami
“Bahkan jika hendak pergi ke pasar atau mengajak anak-anak ke rumah saudara, perempuan itu selalu meminta izin kepada suaminya”. (Nadia, 2014: 269).
Kutipan di atas menggambarkan tentang Arini adalah seorang istri yang taat kepada suami, karena sebelum ia keluar rumah, ia terlebih dahulu meminta izin kepada suaminya.
Kutipan yang memiliki makn tidak keluar ruamh tanpa izin suami:
“perempuan itu selalu meminta izin kepada suaminya”
Sebagai mana sabda Rasulullah saw:
“Hendaknya seorang wanita (istri) tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan seizin suami. Jika ia tetap melakukannya (keluar tanpa izin), Allah dan malaikat-Nya melaknat sampai ia bertaubat atau kembali pulang ke rumah.”
3. Ibadah
Ibadah adalah merendahkan diri, tunduk dan taat kepada Allah Swt.
Menurut istilah, ibadah adalah segala sesuatu yang mencakup seluruh yang dicintai Allah Swt, baik yang berupa ucapan atau perbuatan, yang dhohir (tampak) ataupun yang batin (tidak tampak).
Adapun nilai akhlak yang terkandung dalam novel Surga yang Tak Dirindukan, adalah sebagai berikut:
a.Menikah
“Arini dan Pras shalat sunah berdua sehabis pernikahan sederhana itu.
Tiga hari kemudian sesuai dengan wanti-wanti ibu, akad nikah resmi di KUA. Perayaan pernikahan mereka dilaksanakan cukup meriah sebulan kemudian.”(Nadia, 2014: 29).
Kutipan di atas menggambarkan tentang kebahagian Arini dan Pras dengan shalat sunnah sehabis pernikahan. Ibunya yang telah lama menunggu pernikahan anaknya segera menikahkan anaknya. Sebulan kemudian mereka merayakan pesta pernikahannya dengan cukup meria.
Arini tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan untuk menikah karena telah datang seorang laki-laki yang shalih melamarnya.
Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: