• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan Teori

2. Teori Maslahah Mursalah

Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara‟ dan putusan perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.

Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil Syara‟ atau membatalkan hukum Syara‟.

Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal perbedaan pendapat ini para „ulama fikih berkata: “Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.24

e. Hubungan Teori „Urf dengan Objek Penelitian

Hubungan Teori „urf dengan objek penelitian yang akan dikaji ialah saling menghubungkan satu sama lainnya dikarenakan objek yang akan dikaji oleh peneliti ingin mengetahui apakah objek tersebut sudah dipandang baik oleh masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan hal ini yang ingin diketahui oleh peneliti.

ادلَص artinya sesuatu yang baik, patut dan bermanfaat.26 Adapun kata mursalah secara bahasa artinya terlepas dan bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya sesuatu itu dilakukan.27

Abdul Wahab Khallaf sebagaimana yang dikutip oleh Sapiudin Shidiq mendefinisikan maslahah mursalah adalah “sesuatu yang dianggap maslahah umum namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”.28

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa:

a. Maslahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dalam Al- Quran maupun hadis

b. Maslahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan menghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat maka pada hakikatnya tidak bertentangan dengan tujuan syara‟ secara umum.

Jumhur Ulama bersepakat bahwa maslahah mursalah adalah merupakan asas yang baik bagi dibentuknya hukum-hukum Islam. Hanya saja jumhur Hanafiyah dan Syafi‟iyyah mensyaratkan tentang masalah ini, hendaknya ia dimasukkan di bawah qiyas, yaitu sekiranya terdapat hukum ashal yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mundhabith (tepat). Sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara‟, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara‟ ini, karena luasnya mereka

26Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur‟an, 1973), h. 219.

27Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, h. 88.

28Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, h. 88.

dalam soal pengakuan syari‟ (Allah) terdapat illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Sebab hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak ada dalil yang mengakui kebenarannya.29

Adapun golongan Malikiyyah dan Hanabilah, mereka banyak membentuk hukum berdasarkan maslahah semata, tanpa memasukkan ke dalam qiyas. Menurut Imam Malik, untuk menetapkan dalil ini, ia mengajukan tiga syarat dalam maslahat yang dijadikan dasar pembentukan hukum, yaitu: pertama, bahwa kasus yang dihadapi haruslah termasuk bidang mu‟amalah, sehingga kepentingan yang terlihat di dalamnya dapat dinilai berdasarkan penalaran kasus tersebut tidaklah boleh menyangkut segi ibadah. Kedua, bahwa kepentingan tersebut mestilah sesuai dengan jiwa syari‟ah dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu sumber hukum di dalamnya. Ketiga, bahwa kepentingan tersebut haruslah berupa hal-hal yang pokok dan darurat, bukan yang bersifat penyempurna (kemewahan). Hal-hal pokok tersebut mencakup tindakan memelihara agama, jiwa/kehidupan, akal, keturunan dan kekayaan. Hal-hal yang darurat berhubungan dengan usaha untuk memperbaiki kehidupan, sedangkan hal-hal penyempurna bersifat “hiasan dan tambahan”.30

Di zaman modern seperti sekarang ini, tampak bahwa kemaslahatan manusia terus berkembang dan bertambah sejalan dengan kebutuhannya. Kemaslahatan manusia ini tidak terbatas macamnya dan tidak terhingga jumlahnya. Ia senantiasa bertambah dan berkembang mengikuti situasi dan ekologi masyarakat. Di samping itu, perbedaan milieu dan alam sekitarnya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap hukum-

29Sarmin Syukur, Sumber-sumber Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 196-197.

30M. Maslehuddin, Islamic Yurisprudence and The Rule of Necessity and Need, terj. A. Tafsir, Hukum Darurat dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 48.

hukum syari‟at. Suatu kaidah mengatakan “Fatwa hukum itu berubah karena perubahan waktu, tempat, keadaan, tradisi dan niat”.31

1. Hubungan Teori Maslaha Mursalah dengan Objek Penelitian

Hubungan antara Teori Maslahah Mursalah dengan objek penelitian yang akan dikaji ialah saling berhubungan, dikarenakan objek yang akan diteliti oleh peneliti yakni ingin mengetahui Maslahah Mursalah dari objek tersebut apakah tidak bertentangan dengan syara‟ sehingga objek tersebut dapat berkaitan dengan teori Maslahah Mursalah.

Peneliti menggunakan teori Maslahah Mursalah dikarenakan teori tersebut sangat berkaitan dengan penelitian yang akan dikaji, sebab teori Maslahah Mursalahadalah teori yang membahas tentang kemaslahatan dan keberagaman yang tidak di dukung oleh syara‟ dan tidak pula dibatalkan dan terlepas dari dalil yang mengesahkan ataupun membatalkannya.

c. Syarat-syarat Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah sebagai metode hukum yang mempertimbangkan adanya kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas, tidak terikat. Dengan kata lain maslahah mursalah merupakan kepentingan yang diputuskan bebas, namun tetap terikat pada konsep syari‟ah yang mendasar. Karena syari‟ah sendiri ditunjuk untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat secara umum dan berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah kemazdaratan (kerusakan).

Kemudian mengenai ruang lingkup berlakunya maslahah mursalah dibagi atas tiga bagian yaitu:

31Azymuardi Azra, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 230.

1. Al-Maslahah al-Daruriyah, (kepentingan-kepentingan yang esensi dalam kehidupan) seperti memelihara agama, memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta

2. Al-Maslahah al-Hajjiyah, (kepentingan-kepentingan esensial di bawah derajatnya al-maslahah daruriyyah), namun diperlukan dalam kehidupan manusia agar tidak mengalami kesukaran dan kesempitan yang jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan kerusakan dalam kehidupan, hanya saja akan mengakibatkan kesempitan dan kesukaran baginya.

3. Al-Maslahah al-Tahsiniyah, (kepentingan-kepentingan pelengkap) yang jika tidak terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, sebab ia tidak begitu membutuhkannya, hanya sebagai pelengkap atau hiasan hidupnya.

Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum Islam, maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu sisi pertama harus tunduk dan sesuai dengan apa yang terkandung dalam nash (alQur‟an dan al- Hadits) baik secara tekstual atau kontekstual. Sisi kedua harus mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu berkembang sesuai zamannya. Kedua sisi ini harus menjadi pertimbangan yang secara cermat dalam pembentukan hukum Islam, karena bila dua sisi di atas tidak berlaku secara seimbang, maka dalam hasil istinbath hukumnya akan menjadi sangat kaku disatu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya syarat dan standar yang benar dalam menggunakan maslahah mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya.

Adapun syarat maslahah mursalah sebagai dasar legislasi hukum Islam sangat banyak pandangan ulama, diantaranya adalah:

1. Menurut Al-Syatibi Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila:

a) Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan syari‟ yang secara ushul dan furu‟nya tidak bertentangan dengan nash.

b) Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan dalam bidang- bidang sosial (mu‟amalah) di mana dalam bidang ini menerima terhadap rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah. Karena dalam mu‟amalah tidak diatur secara rinci dalam nash.

c) Hasil maslahah merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek Daruriyyah, Hajjiyah, dan Tahsiniyyah. Metode maslahah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.32

Dokumen terkait