BAB II TINJAUAN TEORETIS
D. Tinjauan Anak Tunanetra
Mengenai istilah tunanetra itu sendiri, banyak versi yang menyebutkan arti dari istilah tersebut. menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian tunanetra ialah
74 Soekadi Tirtonegoro, Ortodidaktik Anak Tunanetra II (Jakarta: Depdikbud, 1985), h. 94.
75 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Guru Kelas I Tematik Terpadu Kurikulum 13 (Jakarta: Kemendikbud, 2014), 11.
tidak dapat melihat, buta.76 Dari Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) 2004 mendefinisikan tunanetra ialah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata. ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan antar terang dan gelap. Orang dengan kondisi ini kita katakana sebagai ―buta total‖. dipihak lain ada tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatannya sehingga mereka masih dapat menggunakan penglihatannya yaitu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termasuk membaca tulisan berukuran besar setelah dibantu dengan kacamata.77
2. Klasifikasi Anak Tunanetra
Tunanetra berarti kurang penglihatan. Sejalan dengan makna tersebut, istilah ini dipakai untuk mereka yang mengalami gangguan penglihatan yang mengakibatkan fungsi penglihatan tidak dapat dilakukan. Oleh karena gangguan tersebut, tunanetra menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan mereka yang penglihatannya berfungsi secara normal. Oleh karena itu, keluar biasaan ini menuntut adanya pelayanan khusus sehingga potensi yang dimiliki oleh para dapat berkembang secara
76 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1994). h. 1082
77 Ardhi Wijaya, Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya (Yogyakarta: Javalitera, 2012). h.12.
optimal.78Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang dimaksud dengan Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indra penglihatan. Karena adanya hambatan dalam penglihatan serta tidak berfungsinya penglihatan.79
Ciri utama dari mereka yang mengalami gangguan penglihatan adalah adanya penglihatan yang tidak normal. Bentuk-bentuk ketidak normalannya dapat dilihat dari perkembangan fisik secara umum yaitu:
a. Penglihatan samar-samar untuk jarak dekat atau jauh. Hal ini dijumpai pada kasus myopia, hyperopia ataupun astigmatismus. Semua ini masih dapat diatasi dengan menggunakan kacamata ataupun lensa kontak.
b. Medan penglihatan yang terbatas, misalnya hanya jelas melihat tepi/perifer atau sentral. Dapat terjadi pada salah satu atau kedua bola mata.
c. Tidak mampu membedakan warna.
d. Adaptasi terhadap terang dan gelap terhambat. Banyak terjadi pada proses penuaan.
e. Sangat sensitif terhadap cahaya atau ruang terang photophobic. Orang-orang albino biasanya merasa kurang nyaman berada dalam ruangan yang terang.80
78Wardani, Materi Pokok Pengantar Pendidikan Luar Biasa (Jakarta: Universitas Terbuka, 2011). h. 1.6.
79Ardhi Wijaya, Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya (Yogyakarta: Javalitera, 2012). h. 12.
80Frieda Mangunsong, Psikologi Dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Depok:
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Kampus Baru UI, 2014). h. 57.
Penyebab ketunanetraan, secara umum, meliputi faktor keturunan, penyakit, dan kecelakaan. Faktor keturunan merupakan faktor penyebab tunanetra yang lebih sering terjadi dibanding faktor penyakit dan kecelakaan, yang keduanya menjadi berkurang karena pengendalian dan pendidikan yang lebih maju. Faktor keturunan sering disebut juga sebagai faktor internal, sedangkan faktor penyakit dan kecelakaan disebut juga faktor eksternal.81
Secara garis besar tunanetra dapat diklasifikasikan dari beberapa sudut pandang yaitu:
a. Berdasarkan tingkat kemampuan penglihatan
Menurut Sari Rudiyanti (2003:9) tunanetra berdasarkan tingkat dan fungsi penglihatan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu penyandang kurang lihat (lowvision) dan penyandang buta. Penyandang kurang lihat merupakan seseorang yang kondisi penglihatannya tetap tidak berfungsi secara normal meskipun telah dikoreksi secara optimal dengan alat optik. Sedangkan penyandang buta merupakan seseorang yang kondisi penglihatannya hamper tidak atau tidak memiliki kemampuan persepsi cahaya atau bahkan kehilangan sama sekali penglihatannya.
Purwaka Hadi (2005:46) mengklasifikasikan penyandang tunanetra menjadi:
1). Buta (blind) yang terdiri dari:
(a). Buta total (totally blind) yaitu seseorang yang tidak dapat melihat sama sekali baik gelap maupun terang.
81Wardani. Materi Pokok Pengantar Pendidikan Luar Biasa (Jakarta: Universitas Terbuka, 2011), h. 4. 10
(b). Memiliki rasa penglihatan (residual vision) yaitu seseorang masih bisa membedakan antara gelap dan terang.
2). Kurang penglihatan (lovision), yang terdiri dari:
(a). Light perception, yaitu seseorang yang hanya dapat membedakan terang dan gelap
(b). Light projection, yaitu seseorang yang dapat mengetahui perubahan cahaya dan dapat menentukan arah sumber cahaya.
(c). Tunnel vision, yaitu seseorang yang penglihatan yang terpusat sehingga obyek yang terlihat hanya bagian tengah
(d). Periferal vision, yaitu seseorang yang penglihatannya menepi sehingga obyek yang terlihat hanya bagian tepi
(e). Penglihatan bercak, yaitu seseorang yang pengamatan terhadap obyek terdapat bagian-bagian tertentu yang tidak dapat terlihat.
Pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai klasifikasi tunanetra berdasarkan tingkat kemampuan penglihatannya dapat ditegaskan bahwa secara garis besar terdapat dua macam yaitu tunanetra buta dan lowvision. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa tunanetra buta merupakan seseorang yang kondisi penglihatannya hamper tidak memiliki kemampuan persepsi cahaya sehingga masih dapat membedakan gelap dan terang atau tidak memiliki kemampuan persepsi cahaya atau bahkan kehilangan sama sekali penglihatannya sehingga tidak dapat membedakan gelap dan terang. Sedangkan penyandang lowvision merupakan seseorang yang dapat membedakan gelap dan terang serta memiliki sedut penglihatan
tertentu, namun kondisi penglihatannya tetap tidak berfungsi secara normal meskipun telah dikoreksi secara optimal dengan alat optik.
b. Berdasarkan kepentingan pendidikan
Untuk kepentingan pendidikan Juang Sunanto (2005:185) mengklasifikasikan tunanetra kedalam tiga kategori yaitu:
1). Blind (buta) adalah seseorang yang belajar menggunakan materi perabaandan pendengaran.
2). Lowvision (kurang lihat) adalah seseorang yang dalam belajarnya masih dapat menggunakan penglihatannya dengan adaptasi tertentu.
3). Limited vision adalah seseorang yang mengalami gangguan penglihatan dalam belajar pada situasi normal.
Dari pendapat di atas dapat ditegasakan bahwa terdapat tiga macam penyandang kelainan penglihatan dari segi pendidikan yaitu peserta didik yang tidak memiliki sisa penglihatan sehingga memerlukan indera perabaan dan pendengaran dalam kegiatan pembelajaran; peserta didik yang masih memiliki sisa penglihatan dan dapat dikordinasikan dengan indera lain seperti indera pendengaran, perabaan, penciuman dalam kegiatan pembelajaran, dan peserta didik yang memiliki keterbatasan penglihatan namun masih dapat melakukan kegiatan pembelajaran secara normal.
3. Karakteristik Anak Tunanetra
Sebagai individu yang memiliki kemampuan indera visual yang berbeda dengan kebanyakan orang, tunanetra memiliki karakteristik yang berbeda pula.
Karakteristik tersebut dapat dilihat dari berbagai segi antara lain yaitu:
a. Kemampuan kognitif
Pada tunanetra proses pembentukan konsep seringkali didapat secara tidak utuh karena mereka lebih banyak menggunakan indera pendengarannya, bahkan pada anak yang masih memiliki sisa penglihatan. Sisa penglihatan yang dimiliki anak tunanetra sering tidak dimaksimalkan penggunaannya atau persepsi yang didapatkan tersebut tidak diimbangi dengan penggunaan indera lain yang memungkinkan untuk membentuk konsep yang benar dan nyata. Hal ini akan mengakibatkan anak tunanetra mendapatkan pengertian atau konsep hanya berdasarkan pada suara atau bahasa lisan.
Tin Suharmini mengungkapkan ada 4 hal yang menentukan perkembangan kognitif pada anak tunanetra yaitu:
1). Ragam pengalaman
2). Kemampuan orientasi mobilitas
3). Pendidikan atau kesempatan yang diberikan oleh lingkungan 4). Intelegensi
Berdasarkan keempat macam faktor yang berpengaruh pada perkembangan kognitif anak tunanetra tersebut pengalaman serta kemampuan orientasi mobilitas menjadi dua faktor penting. Pengalaman bagi anak tunanetra lowvision bisa didapatkan dari sisa penglihatan yang dimilki dipadukan dengan informasi yang
diberikan oleh pengalaman perabaan atau pendengarannya. Sedangkan kedua pengalaman nyata dari perabaan dan pendengaran pada anak tunanetra dapat ditunjukkan dari kemampuan orientasi dan mobilitas yang dikuasai.
b. Kepribadian (Psikologis)
Konsep diri merupakan salah satu komponen yang dapat dikembangkan untuk membentuk pola kepribadian. Kepribadian merupakan identitas asli yang ada pada diri seseorang yang ditunjukkan dari perilaku-perilaku yang tampak. Sedangkan bagi anak tunanetra pola kepribadian yang terbentuk terkadang tidak sesuai karena mengalami kesulitan untuk mengenali dirinya.
Terkadang lingkungan memberikan informasi yang tidak realistik sehingga anak tunanetra menjadi terlalu percaya pada kemampuannya dan menjadikan kesombongan. Namun terkadang lingkungan juga memberikan informasi yang rendah terhadap anak tunanetra, sehingga pada anak tunanetra terbentuk konsep diri yang rendah seperti ragu-ragu, tidak berani bertindak dan malu.
c. Emosi
Perkembangan emosi pada anak tunanetra sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak awas. Keterlambatan ini disebabkan karena anak tunanetra memiliki kemampuan fisik yang terbatas. Dalam proses belajar yang sama dengan anak awas, anak tunanetra mengalami hambatan dengan kekurangan fisik yang dimiliki. Adapun masalah lain yang dihadapi dalam perkembangan emosi anak tunanetra yaitu munculnya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola emosi yang negative dan berlebihan.
d. Motorik
Perkembangan motorik kasar maupun halus pada anak tunanetra lowvision dapat dikatakan cenderung lebih lambat apabila dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Keterampilan motorik anak tunanetra agak berbeda dengan anak awas dan cenderung terlambat terutama dalam hal keseimbangan badan, sikap atau posisi tubuh saat berdiri, dan gaya atau sikap pada saat berjalan. Kemampuan melihat yang terbatas menjadikan anak tunanetra lowvision tidak dapat aktif menirukan gerakan secara lebih detail.