• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan dalam perspektif hukum adat

Dalam dokumen skripsi - Universitas Muhammadiyah Makassar (Halaman 31-55)

A. Masyarakat

3. Tinjauan dalam perspektif hukum adat

Untuk mengetahui bilamanakah hukum adat timbul, maka perlu di telaah perihal perwujudan kaidah hukum yang merupakan kenyataan hukum, sebagaimana pernah dinyatakan oleh logemann.mengenai hal itu logemann

berpendapat,sebagai berikut:”Kaidah hukum didalam kenyataan nya terwujud di dalam keputusan hukum,dimana kaidah tersebut terwujud didalam pergaulan hidup manusia”.

Dengan demikian yang dimaksudkan dengan keputusan hukum adat (recbtsbeslissing), adalah sebagai berikut:”Semua perilaku dalam pergaulan hidup yang didasarkan pada dan terdorong oleh pandangan hukum, yang dapat di ketahui dari anggapan tentang kewajiban pribadi serta pribadi-pribadi lainnya,merupakan keputusan hukum. Keputusan hukum dalam artian ini adalah keputusan untuk melangsungkan perkawinan, penguasaan atau harta waris, mengadakan.perjanjian-perjanjian, pembayaran, pelepasan, pemberian izin, pemberian keputusan, pengeluaran undang-undang”.

Dalam proses hukum, maka ada suatu kecendrungan untuk mengembalikan keadilan pada asas kesebandingan,yang didalam pembicaraan sehari-hari disebut keadilan. Kesebandingan merupakan suatu sarana untuk dengan ketertiban yang lazimnya di harapkan akan tercapai dengan kepastian hukum. Rasa susila dan rasa keadilan tersebut, kemudian menghasilkan asas-asas hukum atau rechtsbeginselen(dalam bahsa belanda).

Rasio manusia adalah pikiran manusia yang merupakan suatu aspek yang senantiasa harus serasi dengan emosi atau perasaan. keserasian antara kedua aspek tersebut, sangat mempengaruhi kehendak manusia untuk berbuat atau tidak berbuat.Rasio tersebut menghasilkan pengertian-pengertian hukum. Rasa susila,rasa keadilan dan rasio sebagai unsure-unsur idil, melalui filsafat hukum dan ilmu-ilmu kaidah, menghasilkan kaidah-kaidah hukum.

Beberapa ahli hukum adat pernah menyajikan perbagai hal yang berkaitan dengan unsur-unsur yang menjadi dasar atau landasan system hukum adat tersebut. Soepomo, misalnya berpendapat bahwa corak-corak atau pola-pola tertentu didalam hukum adat yang merupakan perwujudan dari struktur kejiwaan dan cara berpikir yang tertentu dalah sebagai berikut(Soepomo 1957:1 16,1 17;lihat juga Soejono soekanto 1976:83):

1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat;artinya,manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat,rasa kebersamaan yang meliputi seluruh lapangan hukum adat.

2. Mempunyai corak magis-religis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.

3. System hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkret,artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan- hubungan hidup yang konkret.sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang konkret tadi dalam mengatur pergaulan hidup.

4. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat(atau tanda yang tampak).

Dalam buku yang berjudul Bab-bab tentang hukum adat, Soepomo menyebutkan beberapa corak kehidupan bersama yang pokok-pokoknya adalah sebagai berikut(Soepomo 1977:71 dan seterusnya,hanya diambil pokok-pokoknya saja).

1. Keagamaan.

Keagamaan(religis),bersifat kesatuan batin,orang segolongan merasa satu dengan golongan seluruhnya dan tugas persekutuan adalah memelihara keseimbangan lahir dan batin antara golongan dan lingkungan alam hidupnya(levensmilieu).

2. Kemasyarakatan.

Hidup bersama didalam masyarakat tradisional di Indonesia bercorak kemasyarakatan,bercorak komunal.manusia didalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada masyarakat.ia bukan seorang(induvidu)yang pada asasnya bebas dalam segala tingkah laku dalam perbuatannya asal saja tidak melanggar batas-batas hukum yang telah ditetapkan baginya.

seseorang manusia menurut paham tradisional hukum adat adalah terutama warga golongan, teman semasyarakat dan tiap-tiap warga itu mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya di dalam golongan atau persekutuan yang bersangkutan.

3. Kewibawaan.

Kewibawaan kepala rakyat didalam persekutuan adalah berdasarkan pertama atas peristiwa bahwa didalam persekutuan-persekutuan yang bersifat genealogis dan teritorial belaka,kepala rakyat di desa-desa di mana tradisi masih besar pengaruhnya,kepala rakyat biasanya di pilih dari keturunan pembuka desa yang memiliki kekuasan diwilayah tersebut dan dilihat dari sistem kekeluargaan.

4. Pengangkatan kepala rakyat.

Apabila ada lowongan jabatan kepala,maka diseluruh daerah Indonesia dapat dikatakan bahwa menurut hukum adat tradisional, pengganti kepala diangkat (diakui atau dipilih) atas dasar hukum waris dengan pilihan di dalam permusyawaratan. permusyawaratan dilakukan atas dasar sekato (suara bulat) antara para warga desa yang berhak ikut serta dalam rapat(kumpulan)desa atau antara seluruh kepala rakyat dari persekutuan.

Kemudian berlangsungnya musyawarah tersebut dikomando oleh seseorang pemimpin. kepemimpinan (Leadership) adalah kemempuan seseorang (pemimpin) untuk memengaruhi orang lain (yang dipmimpin) sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut.

Kadangkala dibedakan kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial (Koentjaraningrat, 1967: 181). Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau sesuatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat.

Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal leadership), yaitu kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan. Ada pula kepemimpinan karena pengakuan masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan. Suatu perbedaan yang mencolok antara kepemimpinan yang resmi dengan yang tidak resmi (informal leadership) adalah kepemimpinan yang resmi didalam pelaksanaannya selalu harus berada diatas landasan-landasan atau

peraturan-peraturan resmi. Kepemimpinan tidak resmi, mempunyai ruang lingkup tanpa batas-batas resmi, karena kepemimpinan demikian didasarkan atas pengakuan dan kepercayaan masyarakat.

a. Perkembangan kepemimpinan dan sifat-sifat seorang pemimpin

Kepemimpinan merupakan hasil organisasi sosial yang telah terbentuk atau sebagai hasil dinamika interaksi sosial. Sejak mula terbentuknya suatu kelompok sosial, seseorang atau beberapa orang diantara warga-warganya melakukan peranan yang lebih aktif daripada rekan-rekannya sehingga orang tadi atau beberapa orang tampak lebih menonjol dari yang lain. Itulah asal mula timbulnya kepemimpinan, yang kebanyakan timbul dan berkembang dalam struktur sosial yang kurang stabil (David Krech dan Richard S. Crutshfield, 1948:

434).

Sifat-sifat yang diisyaratkan bagi seorang pemimpin tidaklah sama pada setiap masyarakat, walaupun tidak jarang ada persamaan-persamaan di sana-sini.

Dikalangan masyarakat Indonesia, sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin antara lain dapat dijumpai dalam apa yang merupakan warisan tradisional Indonesia, misalnya dalam “Asta Brata” yang merupakan kumpulan seloka dalam Ramayana, yang memuat ajaran Sri Rama kepada Bharata, yaitu adiknya dari lain ibu.

Menurut Asta Brata (artinya delapan jalan) pada diri seseorang raja terkumpul sifat-sifat dari delapan dewa yang masing-masing mempunyai kepribadian sendiri. Kedelapan sifat dan kepribadian itulah yang harus dijalankan oleh seorang raja (pemimpin) yang baik. Asta Brata dalam kakawin Ramayana

terdiri dari sepuluh seloka, dimana seloka pertama dan kedua, pada pokoknya berisikan hal-hal sebagai berikut:

1) Asta Brata merupakan suatu keseluruhan yang tidak dapat dipisah- pisahkan.

2) Asta Brata memberikan kepastian bahwa seorang pemimpin yang menjalankannya akan mempunyai kekuasaan dan kewibawaan sehingga akan dapat menggerakkan bawahannya.

pemimpin yang baik menurut mitologi Indonesia. Sifat-sifat tersebut dengan perubahan disana-sini dapat diterapkan pula dalam kepemimpinan yang modern (R. Arifin Abdulrachman, 1962).

b. Kepemimpinan menurut ajaran tradisional

Ajaran-ajaran tradisional seperti misalnya di Jawa menggambarkan tugas seorang pemimpin melalui pepatah sebagai berikut:

Ing ngarsa sung tulada Ing madya mangun karsa Tut wuri handayani

Pepatah tersebut sering dipergunakan oleh almarhum Ki Hajar Dewantara, yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasan Indonesia kurang lebih adalah sebagai berikut:

Di muka memberi tauladan

Di tengah-tengah membangun semangat Dari belakang memberi pengaruh

Seorang pemimpin dimuka harus memiliki idealisme yang kuat, serta harus dapat menjelaskan cita-citanya kepada masyarakat dengan cara-cara sejelas mungkin karena dia harus mampu menentukan suatu tujuan bagi masyarakat yang dipimpinnya, serta merintis ke arah tujuan tersebut dengan menghilangkan segala hambatan antara lain dengan menghapuskan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah usang. Seorang pemimpin ditengah-tengah mengikuti kehendak yang dibentuk masyarakat. Ia selalu mengamati jalannya masyarakat, serta dapat merasakan suka dukanya. Pemimpinan dibelakang diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengikuti perkembangan masyarakat. Dia berkewajiban untuk menjaga agar perkembangan masyarakat tidak menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai yang pada suatu masa dihargai oleh masyarakat.

Sifat kepemimpinan dibelakang tersebut dengan jelas tersirat dalam pepatah adat asal Minangkabau yang diterjemahkan sebagai berikut:

Sebatang kayu yang besar di tengah lapang, Tempat berlindung di waktu hujan,

Tempat bernaung di waktu panas, Urat-uratnya tempat bersandar.

Memang kepemimpinan tradisional Indonesia pada umumnya bersifat sebagai kepemimpinan dibelakang, yang hingga dewasa ini masih tetap dipertahankan terutama pada masyarakat-masyarakat tradisional, yaitu masyarakat-masyarakat hukum adat.

c. Sandaran-sandaran kepemimpinan dan kepemimpinan yang dianggap efektif Kepemimpinan seseorang harus mempunyai sandaran-sandaran kemasyarakatan atau social basis. Pertama-tama kepemimpinan erat hubungannya dengan susunan masyarakat. Masyarakat-masyarakat yang agraris di mana belum ada spesialisasi biasanya kepemimpinan meliputi seluruh bidang kehidupan masyarakat. Setiap kepemimpinan yang efektif harus memperhitungkan social basis apabila tidak menghendaki timbulnya ketegangan-ketegangan atau setidak- tidaknya terhindar dari pemerintahan boneka belaka.

d. Tugas dan Metode

Secara sosiologis, tugas-tugas pokok seorang pemimpin adalah sebagai berikut:

1) Memberikan suatu kerangka pokok yang jelas yang dapat dijadikan pegangan bagi pengikut-pengikutnya.

2) Mengawasi, mengedalikan, serta menyalurkan perilaku warga masyarakat yang dipimpinnya.

3) Bertindak sebagai wakil kelompok kepada dunia luar kelompok yang dipimpin.

Suatu kepemimpinan dapat dilaksanakan atau diterapkan dengan berbagai cara (metode). Cara-cara tersebut lazimnya dikelompokkan ke dalam kategori- kategori, sebagai berikut:

1) Cara-cara otoriter

a) Pemimpin menentukan segala kegiatan kelompok secara sepihak.

b) Pengikut sama sekali tidak diajak untuk ikut serta merumuskan tujuan kelompok dengan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.

c) Pemimpin terpisah dari kelompok dan seakan-akan tidak ikut dalam proses interaksi di dalam kelompok tersebut.

2) Cara-cara demokratis

a) Secara musyawarah dan mufakat pemimpin mengajak warga atau anggota kelompok untuk ikut serta merumuskan tujuan-tujuan yang harus dicapai kelompok, serta cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

b) Pemimpin secara aktif memberikan saran dan petunjuk-petunjuk.

c) Ada kritik positif, baik dari pemimpin maupun pengikut-pengikut.

d) Pemimpin secara aktif ikut berpartisipasi didalam kegiatan-kegiatan kelompok.

3) Cara-cara bebas

a) Pemimpin menjalankan perannya secara pasif.

b) Penentuan tujuan yang akan dicapai kelompok sepenuhnya diserahkan kepada kelompok.

c) Pemimpin hanya menyediakan sarana yang diperlukan kelompok.

d) Pemimpin berada ditengah-tengah kelompok, namun dia hanya berperan sebagai penonton.

Sebenarnya ketiga kategori cara tersebut diatas dapat berlangsung bersamaan karena metode mana yang terbaik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi.

C. Perubahan Sosial dan Kebudayaan 1. Pengertian

Pada dasarnya, perubahan tersebut merupakan proses modifikasi struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat disebut perubahan sosial, yaitu gejala umum yang terjadi sepanjang masa pada setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mangatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Perbedaan perubahan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain atau antara kurun waktu yang satu dengan kurun waktu yang lainnya hanyalah terletak pada tingkat kecepatan perubahan tersebut. Perubahan yang terjadi dimasyarakat meliputi perubahan norma-norma sosial, pola-pola sosial, interaksi sosial, pola-pola perilaku, organisasi sosial, lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan masyarakat, serta susunan kekuasaan dan wewenang.

Berikut ini merupakan definisi mengenai perubahan sosial yang dikemukakan oleh beberapa tokoh:

a. Selo Soemardjan (1962: 18 dan 397) mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap, dan perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

b. Kingsley Davis (1964:123) menyatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

c. John Lewis Gillin dan John Philip Gillin (1958:48 dan 134) melihat perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena prubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Secara singkat Samuel Koenig (1957: 279) menyatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi- modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia.

d. Robert Maciver (1961: 511) melihat perubahan sosial sebagai perubahan dalam hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.

e. William F. Ogburn (1922) menyatakan bahwa perubahan sosial menekankan pada kondisi teknologis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek- aspek kehidupan sosial, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat berpengaruh terhadap pola berpikir masyarakat.

2. Teori utama pola perubahan sosial

Menurut Lauer, terdapat dua teori utama pola perubahan sosial, yaitu:

a. Teori Siklus, Teori siklus melihat perubahan sebagai sesuatu yang berulang- ulang. Apa yang terjadi sekarang pada dasarnya memiliki kesamaan atau kemiripan dengan apa yang terjadi sebelumnya. Didalam pola perubahan ini tidak nampak batas-batas antara pola hidup primitif, tradisional dan modern.

b. Teori Perkembangan, Penganut teori ini percaya bahwa perubahan dapat diarahkan ke suatu titik tujuan tertentu, seperti perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang kompleks. Masyarakat tradisional

menggunakan peralatan yang terbuat dari bahan seadanya melalui proses pembuatan secara manual. Teknologi ini kemudian berkembang menjadi teknologi canggih yang tentunya mempermudah pekerjaan manusia.

3. Teori konflik.

Karl Marx (1980:438) berpendapat bahwa konflik adalah pertentangan di antara dua kelas. kelas yang menguasai distribusi(kelas borjuis)dan kelas yang tidak memiliki modal selain tenaga(kelas proleter atau kelas yang menindas dan kelas yang ditindas. konflik berlaku dalam semua aspek yang bentuknya seperti dalam relasi antar induvidu, relasi induvidu dengan kelompok ataupun kelompok antar kelompok. konflik juga berlangsung sebagai akibat dari interaksi antar induvidu dan induvidu dengan kelompok yang lebih besar.

Dalam proses sosial itu biasanya para induvidu ditransformasikan berbagai cara penyimpangan(devian) melalui pilihan tentang apa yang baik dan apa yang buruk,termasuk bagaimana melakukannya. keadaan yang meragukan terhadap pilihan yang berbeda itu menimbulkan ambivalensi. disatu sisi induvidu merasa menyimpang dari norma kekeluargaanya dan sisi lain perbuatan itu adalah norma kelompok sekolah misalnya,sehingga terjadi konflik dalam diri seseorang.

Biasanya untuk mengatasi konflik seperti itu,seseorang memilih alternatif hukuman (punishment),yaitu kekerasan,secara fisik dan dratis atau secara lemah lembut dan moral termasuk melalui agama dalam menyadarkan diri serta mengubah sikap dan tingkah lakunya. konflik dalam masyarakat dapat

membawa keadaan yang baik karena mendorong perubahan masyarakat dan keadaan yang buruk apabila berkelanjutan tanpa mengambil solusi yang di anggap bermanfaat bagi semua pihak sebagai akhir dari konflik,artinya tidak hanya dicari mengenai asal masalah dari sebab konflik tetapi juga bagaimana cara mengatasinya. sebagaimana tradisi ilmiah yang biasa berlaku dalam sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya.pembahasan teori ini dimaksudkan tidak hanya untuk menunjukan kekuatan dan kelemahan teori saja.tetapi, juga manfaat teori itu untuk eksplanasi gejala-gejala sosial dalam suatu sistem sosial.

Dalam masyarakat setiap induvidunya sepanjang waktu selalu berselisih dan konflik sebenarnya dapat mendorong kepada pertentangan berkepanjangan yang bisa menjadi peperangan karena sistem politiknya menjadi tidak mapan.tetapi konflik itu bisa diredahkan ataupun hilang apabila konsep reduksi di lakukan yang menyangkut pada pengurangan menghapuskan atau mengalihkan bagian-bagian tertentu dalam sistem sosial yang menjadi sumber konflik. metode dalam pendekatan teori konflik dianggap berlawanan dalam menjelaskan relasi sosial, karena untuk memperoleh suatu keuntungan tidak selalu melalui paksaan (ko-ersif) ataupun penindasan.dalam kehidupan masyarakat banyak bentuk kerja sama yang dilakukan guna memperoleh imbalan uang ataupun imbalan sosial. penggunaan konflik melalui pendekatan kelas dianggap analisis yang terlalu sederhana atau terlalu deskriptif, karena variabel lainya seperti latar belakang keluarga dan

pendidikan mata pencaharian hidup dan stratifikasi sosial harus di anggap penting dalam analisis tentang masyarakat.

4. Bentuk-bentuk perubahan sosial

a. Perubahan lambat (Evolusi) dan perubahan cepat (Revolusi)

Evolusi merupakan proses perubahan yang memerlukan waktu yang lama dan memunculkan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti secara lambat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa-peristiwa didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan (Paul Bohannan, 1963: 360). Adapun teori tentang evolusi, yang pada umumnya dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori (Alex Inkeles, 1965: 31) sebagai berikut:

1) Unilinear theories of evolution

Teori ini pada pokoknya berpendapat bahwa manusia dan masyarakat (termasuk kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu, bermula dari bentuk yang sederhana, kemudian bentuk yang kompleks sampai pada tahap yang sempurna. Pelopor-pelopor teori ini antara lain August Comte, Herbert Spencer dan lain-lain.

2) Universal theories of evolution

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidaklah perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Teori ini mengemukakan bahwa kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu.

Prinsip-prinsip teori ini diuraikan oleh Herbert Spencer yang antara lain mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari

kelompok homogen ke kelompok yang heterogen, baik sifat maupun susunannya.

3) Multilined theories of evolution

Teori ini lebih menekankan pada penelitian-penelitian terhadap tahap- tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat, misalnya, mangadakan penelitian perihal pangaruh perubahan sistem pencaharian dari sistem berburu ke pertanian.

Perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat dinamakan revolusi.

Didalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan atau dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. ukuran kecepatan suatu perubahan relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. misalnya, revolusi industri di Inggris merupakan perubahan dari produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi dengan menggunakan mesin.

b. Perubahan kecil dan perubahan besar

Perubahan kecil adalah suatu perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Contohnya, perubahan mode pakaian tidak akan membawa pengaruh berarti bagi masyarakat dalam secara keseluruhan. Sebaliknya, perubahan besar adalah suatu perubahan yang berpengaruh terhadap masyarakat dan lembaga- lembaganya, seperti dalam sistem kerja, sistem hak milik tanah, hubungan kekeluargaan, dan stratifikasi masyarakat. Contohnya, urbanisasi di kota-kota

menimbulkan berbagai perubahan, seperti lahan menjadi sempit. Dampaknya, wanita dan anak-anak menjadi buruh dan pengemis.

c. Perubahan yang dikehendaki (Intened-Change) atau direncanakan (Planned- Change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (Unintended-Change) atau tidak direncanakan (Unplanned-Change)

Perubahan yang dikehendaki (intended change) atau direncanakan (planned change) merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan didalam masyarakat. Pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan ini dinamakan pelaku perubahan (agent of change), seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin dalam perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (social engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (social palnning) (Henry Pratt Fairchild and 100 authorities, 1976: 282 dan 288). Sebaliknya, perubahan sosial yang tidak dikehendaki (unintended change) atau tidak direncanakan (unplanned change) merupakan perubahan yang terjadi diluar jangkauan pengawasan masyarakat atau kemampuan manusia. Perubahan ini dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Contohnya kecendrungan pelaksanaan upacara perkawinan yang bersifat praktis, tidak seperti pesta adat aslinya. Hal ini sebetulnya tidak dikehendaki masyarakat, tetapi karena alasan-alasan tertentu,

seperti biaya yang mahal dan waktu yang cukup lama, akhirnya masyarakat banyak mengikutinya.

5. Faktor-faktor pendorong dan penghambat perubahan sosial

Pada umumnya, ada beberapa faktor yang berkontribusi dalam memunculkan perubahan sosial. Faktor tersebut dapat digolongkan pada faktor internal dan eksternal masyarakat (Soekanto, 1999), yakni:

a. Faktor internal

1) Bertambah atau berkurangnya penduduk 2) Penemuan-penemuan baru

3) Pertentangan masyarakat

4) Terjadinya pembrontakan atau revolusi b. Faktor eksternal

1) Lingkungan fisik yang ada disekitar manusia 2) Peperangan

3) Pengaruh budaya masyarakat lain

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan a. Faktor pendorong perubahan sosial

1) Kontak dengan kebudayaan lain.

2) Sistem pendidikan yang maju.

3) Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju.

4) Sistem lapisan masyarakat yang terbuka.

5) Penduduk yang heterogen.

6) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.

7) Orientasi ke masa depan.

b. Faktor penghambat perubahan sosial

1) Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.

2) Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat yang disebabkan oleh kehidupan masyarakat yang tertutup.

3) Sikap masyarakat yang masih mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung konservatif.

4) Adanya kepentingan yang sudah tertanam kuat (vested insterest). Orang yang selalu mengidentifikasi diri dengan usaha dan jasa-jasanya.

5) Rasa takut akan terjadi kegoyahan pada integrasi kebudayaan.

7. Akibat perubahan sosial

Proses diintegrasi sebagai akibat perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat antara lain:

a. Pergolakan daerah

b. Aksi protes dan demonstrasi c. Kriminalitas

d. Kenakalan remaja

8. Proses-proses perubahan sosial dan kebudayaan a. Penyesuaian masyarakat terhadap perubahan

Keserasian atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrium) merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Keserasian masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga

Dalam dokumen skripsi - Universitas Muhammadiyah Makassar (Halaman 31-55)

Dokumen terkait