• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Teori

Dalam dokumen RUDI KARMA (Halaman 35-79)

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

2. Tinjauan Teori

Sastra yang merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta (shastra) dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran" dan śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau

"pedoman". Dalam bahasa indonesia kata ini biasanya digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan memiliki arti atau keindahan tertentu. sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kereasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaannya di dalam semesta alam, bukan menyempurnakannya (Luxemburg, dkk. 1992:5).

Barnet dalam Semi, (1988:20) mengemukakan bahwa sastra sebagaimana karya lainnya yang hampir setiap zaman memegang peranan yang teramat penting karena selalu mengekspresikan nilai- nilai kemanusiaan. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa tugas sastra adalah sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa. Sastra juga menjadikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalamnya mendapat tempat yang sewajarnya dipertahankan dan disebarluaskan di tengah kehidupan modern. Sejalan dengan Barnet, Semi (1988:20)

juga berpendapat bahwa sastra memunyai peranan untuk meneruskan atau mewariskan suatu tradisi bangsa kepada masyarakat sezamannya dan kepada masyarakat yang akan datang.

Sastra klasik pada dasarnya disebut pula sastra lama atau sastra tradisional adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra. Definisi ini tentunya belum jelas karena konsep dari modernisasi sendiri belum diperoleh kesepahaman, oleh karena itu, menurut Kosasih (2008:9) untuk lebih mudahnya dalam penentuan akan apa itu sastra dirasa perlu dikaitkan dengan ukuran waktu. Walaupun tidak eksplisit tentang batas temporal keberadaan sastra klasik, tetapi pada umumnya dikatakan bahwa sastra klasik adalah wujud sastra yang tercipta sebelum tahun 1920-an, atau rentang waktu sebelum lahirnya sastra Angkatan Balai Pustaka.

Lebih lanjut Kosasih (2008:10) merumuskan ciri dari sastra klasik sebagai berikut:

1) Penyebarannya secara lisan (oral), yaitu dari mulut ke mulut.

2) Disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap, atau dalam bentuk yang standar dan tersebar di antara kelompok tertentu, dalam kurun waktu yang cukup lama.

3) Nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi atau bersifat anonympus.

4) Terdapat dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh cara penyebarannya yang pada dasarnya secara dari mulut ke mulut. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada hal yang kecil-kecil, sementara bentuk dasarnya masih identik.

5) Ditandai dengan ungkapan-ungkapan klise.

6) Berfungsi kolektif.

7) Bersifat pralogis, yakni memunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum..

8) Merupakan milik bersama dari kolektif tertentu.

9) Umumnya bersifat polos, lugu, kasar, dan terlalu spontan. Hal ini dikarenakan sastra klasik merupakan proyeksi manusia yang paling jujur manifestasinya.

b. Sastra Lisan sebagai Sastra Oral

Kesastraan bisa dibagi menjadi dua yaitu satra tertulis dan sastra lisan, sastra lisan biasa juga dikenal sebagai sastra oral.

Berdasarkan dari sifat penyebarannya sastra lisan atau sastra oral disebarkan dari mulut ke mulut, namun di sini perlu dibedakan atau ditelaah lebi jauh akan bagaimana sastra lisan dengan folklor.

Folklor berasal dari kata bahasa Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata yaitu folk dan lore.

Folk yang sama artinya dengan kata kolektif. Menurut Dundes folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial,

dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri (Dundes dalam Rafiek, 2010: 50). Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Definisi folklor secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun. Di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Folklor hanya merupakan sebagian kebudayaan, yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau lisan. Itulah sebabnya ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan. Padahal folklor lebih luas cakupannya bila dibandingkan dengan tradisi lisan.

Brunvand dalam Rafiek (2010: 52) membagi folklor itu atas tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu:

1) Folklor lisan (verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) yang termasuk ke dalam folklor lisan ini antara lain bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, dan nyanyian rakyat.

2) Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang modern seringkali disebut takhyul itu sendiri atas pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap memunyai makna gaib. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat , upacara, pesta rakyat.

3) Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yaitu yang material seperti arsitektur rakyat, kerajinan, pakaian, dan yang bukan material seperti gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat, dan musik rakyat.

Jadi, sastra lisan atau sastra oral hanya merupakan bagian kecil dari folklor, tradisi lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat. Sedangkan folklor mencakup lebih dari itu.

Dalam kamus istilah sastra, sastra lisan adalah (1) hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya dapat disejajarkan dengan sastra tulis dalam masyarakat modern. (2) sastra yang diwariskan secara lisan. Menurut Hutomo, (1991:1) Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencangkup ekspresi kesusastraan warga dan kebudayaan yang disebarkan dari dan diturun-temurunkan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan sendiri memiliki nilai-nilai yang luhur dalam masyarakat lebih-lebih pada kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia, sastra lisan adalah hasil sastra lama yang disampaikan secara lisan umumnya disampaikan dengan dendang, baik dengan iringan musik (rebab, kecapi, dan lain-lain).

Rafiek (2010: 53) mengemukakan ciri-ciri sastra lisan itu adalah (1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. Selain itu, terdapat juga ciri yang lain seperti menurut Endaswara dalam Rafiek (2010: 53) (1) sastra lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan klise (2) sastra lisan bersifat menggurui.

Namun, Hutomo (1991:3-4) lebih spesifik membahas ciri sastra lisan, antara lain.

1) Penyebarannya melalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut.

2) Lahir dari masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf.

3) Menggambarkan ciri-ciri budaya satu masyarakat. Sebab sastra lisan adalah warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan persoalan sosial), karena itu sastra lisan disebut juga fosil hidup.

4) Bercorak puitis,

5) Terdiri atas berbagai versi,

6) Tidak mementingkan fakta atau kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan, fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi memumyai fungsi di masyarakat, dan

7) Menggunakan bahasa lisan setiap hari.

Sastra lisan dilahirkan di kalangan rakyat yang tidak mengetahui tulisan. Oleh karena itu, sastra lisan disebut juga sastra rakyat. Sastra rakyat merupakan sebagian budaya rakyat yang merangkumi semua aspek tentang kehidupan suatu masyarakat.

Sastra ini hanya bertumpu pada hasil kesastraan yang bercorak pertuturan yang terdapat dalam suatu bangsa. Sastra lisan ini dapat disampaikan dalam bentuk puisi seperti: jampi, mantera, pantun, peribhasa, bahasa berirama, dan teka-teki.

c. Hakikat Struktural dalam Karya Sastra

Struktural atau yang pada awal perkembangannya dikenal sebagai stukturalisme, tidak hanya berpengaruh pada studi antropologi, psikologi, dan linguistik, tetapi juga memberi pengaruh pada studi sastra. Oleh Hidayat (2006:124) dikemukakan bahwa kelompok yang menamakan diri “formalisme” Rusia, menjadikan dasar-dasar linguistik strukturalisme Saussurian dikembangkan untuk analisis sastra. Mereka beranggapan bahwa, tugas mereka adalah mempelajari stuktur sastra, bukan mempelajari amanat, sumber, dan sejarah sastra. Lahirnya karya sastra bukan karena subjek puitis, melainkan dengan kata-kata. Bahasalah yang menyebabkan adanya seni sastra.

Hidayat (2006:125) menjabarkan lebih jauh bahwa dalam perkembangan selanjutnya, banyak di antara tokoh kaum formalism yang pindah ke Praha setelah revolusi komunis (Bolshevik) Rusia Maret 1917. Di sana mereka mendirikan suatu mazhab pemikiran yang disebut “Mazhab Praha”. Pengertian struktur menurut mereka bahwa sebuah karya sastra atau peristiwa dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara bagian- bagiannya, antara bagian dan keseluruhan. Hubungan itu tidak hanya bersifat positif, seperti kemiripan dan keselarasan, tetapi juga negatif, seperti pertentangan dan konflik. Juga ditandaskan, bahwa suatu

“kesatuan struktural mencakup setiap bagian dan sebaliknya bahwa

setiap bagian menunjukkan kepada keseluruhan ini. Kedua kelompok inilah yang dianggap sebagai pelopor lahirnya pendekatan struktural.

Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan.

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur- unsur dalam mikro teks, suatu keseluruhan wacana dan relasi intertekstual (Burhan Nugiantoro, 2010).

Strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur.

Dalam hal ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain (Suwandi Endaswara, 2008: 49). Kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra sering dipandang sebagai teori atau pendekatan. Pendekatan strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang diungkap melalui karya sastra, sedangkan teori adalah pisau analisisnya.

Struktur dalam karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang memiliki sistem yang antara unsur-unsurnya saling terjadi hubungan timbal balik. Hawkes dalam Pradopo (1995: 108) menegaskan bahwa sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhannya bila diketahui unsur pembentuknya dan saling berhubungan di antaranya dengan

keseluruhannya. Pendekatan yang dianggap sesuai untuk menelaah hubungan antarunsur tersebut adalah pendekatan struktural

Menurut Luxemburg (1992:36) yang dimaksud dengan istilah

“struktur” ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala.

Kaitan-kaitan tersebut diadakan oleh seorang peneliti berdasarkan observasinya. Misalnya, pelaku-pelaku dalam sebuah novel dapat dibagikan menurut kelompok-kelompok sebagai berikut: tokoh utama, mereka yang melawannya, mereka yang membantunya, dan seterusnya. Pembagian menurut kelompok-kelompok didasarkan atas kaitan atau hubungan. Antara pelaku utama dan para pelaku pendukung terdapat hubungan asosiasi, antara pelaku utama dan para lawan terdapat hubungan oposisi. Hubungan-hubungan tersebut bersifat tetap. Konsep dasar pendekatan struktural bisa dibagi ke dalam empat kelompok.

1) Para pengamal pendekatan ini meletakkan karya sastra sebagai sebuah dunia yang memunyai rangka dan bentuk tersendiri.

2) Pendekatan struktural lebih menekankan aspek keberhasilan sebuah karya sastra dari segi isi dan bentuk sebagai suatu paduan. Kerja sama isi dengan bentuk merupakan kejayaan sebuah karya sastra.

3) Pendekatan ini melihat sebuah karya sastra berdasarkan komponen yang membina karya sastra sehingga interpretasi teks melalui pendekatan ini diharap lebih objektif dan adil.

4) Pendekatan struktural menilai sastra dari sudut karya dan aspek literasinya. Bukan dari aspek lain di luar karya sastra.

5) Pendekatan ini mencoba melihat perpaduan dan persesuaian antara isi dan bentuk. Tujuan strukturlisme menurut Nugiantoro (2010:37), pada dasarnya bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersamaan menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.”

Analisis struktural ini tidak hanya terbatas kepada menganalisis unsur intrinsiknya saja tetapi yang lebih penting yaitu mengaitkan hubungan antarunsur tersebut, dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal ini dilakukan karena karya sastra merupakan sesuatu yang kompleks dan unik.

d. Prinsip Dasar Strukturalisme

Jeans Peaget dalam Endraswara (2008:50) menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan, Pertama, gagasan keseluruhan, dalam arti bahwa bagian-bagian menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.

Kedua, gagasan transformasi (transformation), yaitu struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (Self Regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya. Sekaitan

dengan itu Aristoteles dalam Djojosuroto (2006 : 34) menyebutkan adanya empat sifat struktur, yaitu: order (urutan teratur), amplitude (keluasan yang memadai), complexity (masalah yang kompleks), dan unit (kesatuan yang saling terjalin).

e. Unsur Struktural dalam Karya Sastra

Dalam karya sastra terdapat dua sudut tinjauan dalam mempelajari dan meneliti. Kedua tinjauan itu adalah tinjauan menurut segi ekstrinsik dan tinjauan menurut segi intrinsik. Segi ekstrinsik adalah segi yang memengaruhi cipta rasa dari luar atau latar belakang dari penciptaan karya sastra. Sedangkan segi intrinsik adalah segi yang membangun cipta rasa karya sastra dari dalam, misalnya hal-hal yang berhubungan dengan struktur. Oleh Esten (2013: 19) dikatakan bahwa struktur atau bentuk tidaklah sama dengan bagan, rangka, dan konstruksi, pengertian struktur lebih luas dari itu. Kalau dengan isi dimaksudkan segala apa yang diungkapkan dalam sebuah cipta rasa, maka dengan struktur dimaksudkan tentang bagaimana cara mengungkapkannya.

Dalam lingkup karya fiksi unsur struktur karya sastra meliputi tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Unsur-unsur inilah yang membangun karya sastra itu sendiri. Fakta cerita itu terdiri atas alur, tokoh, dan latar, sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan

juga cara-cara pemilihan judul. Di dalam karya sastra, fungsi sarana adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dipahami dengan jelas. Jadi, dalam analisis struktural (yang murni), unsur-unsur seperti yang disebutkan di atas itulah yang dikaji dan diteliti. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah pemahaman dan pengkajian unsur struktur harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan unsur itu. Dalam karya fiksi misalnya, pembaca tidak dapat “merebut makna" tokoh dan penokohan tanpa rnengetahui apa pengertian tokoh, bagaimana peran dan fungsi tokoh, bentuk-bentuk watak dalam segala situasi, dan sebagainya mengenai tokoh. Demikian juga mengenai alur, latar, tema, dan sarana-sarana sastra lainnya. Akan tetapi, penting juga diperhatikan mengenai makna bagian-bagian atau unsur itu dalam keseluruhan. Dalam hal ini unsur-unsur yang telah dijelaskan biasa disebut unsur intrinsik yang nantinya akan dibahas dalam penelitian ini yang oleh Rene Wellek dan Warren (1990: 24) dikatakan bahwa analisis sastra harus mementingkan segi intrinsik. Berikut uraian secara singkat unsur-unsur struktural karya sastra.

1) Tema

Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang digunakan sebagai dasar dalam menuliskan cerita sedangkan menurut Brook dan Warren dalam Tarigan (1985) tema adalah dasar

atau makna suatu cerita. Lebih lanjut dikatakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya fiksi.

Fungsi sebuah tema adalah memberi masukan bagi elemen struktural lain, seperti plot, tokoh, dan latar. Fungsi dalam prosa yang terpenting adalah menjadi elemen penyatu terakhir keseluruhan cerita. Artinya, pengarang menciptakan dan membentuk plot, membawa tokoh menjadi hidup, baik secara sadar atau tidak, tersurat maupun tersirat, pada dasarnya merupakan perilaku yang dituntun oleh tema yang dipilih dan telah mengarahkanya.

Di samping itu, tema juga berfungsi melayani visi. Yang dimaksud visi di sini adalah tanggapan total pengarang terhadap pengalaman hidup dan hubungannya dengan jagat raya. Pada sisi lain pembaca memperoleh kesempatan untuk melihat pengalaman hidup orang lain melalui kecamata pengarang. Dengan kata lain, pengarang menciptakan dunia fiksional yang membawa kita seolah- olah kita sendiri yang sedang mengalami kejadian itu. Ini semua dapat diperoleh melalui tema, selama kita dapat menyatukan keseluruhan unsur prosa menjadi kesatuan yang utuh.

Tema inilah yang menjiwai seluruh isi cerita. Untuk menentukan tema sebuah cerita diperlukan pemahaman dan kepekaan yang tinggi terhadap cerita yang bersangkutan.

Pemahaman dan kepekaan itu dapat diperoleh antara lain dengan adanya usaha untuk memahami informasi penting yang ada pada cerita itu. lnformasi-informasi penting itu dapat diketahui dengan memperhatikan kalimat-kalimat kunci yang terdapat pada paragraf- paragraf. Dari informasi dan kalimat-kalimat kunci itu dapat dirumuskan tema. Untuk mengetahui tema suatu cerita, maka kita harus merangkum unsur-unsur lain dan sekaligus membaca secara tuntas cerita tersebut.

Semi (1988:34), mengemukakan “untuk mengetahui suatu tema dalam cerita, maka terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan seperti; apakah motivasi tokoh, apa masalahnya dan apa keputusan yang diambil. Selain itu harus dijejaki konflik sentral , dan konflik sentral itulah yang akan menjurus kepada suatu yang hendak dicari.

Jenis tema dapat digolongkan menurut pokok pembicaraanya, yaitu :

a) Tema Jasmaniah (Physical)

Merupakan tema yang berkaitan dengan keadaan jasmani manusia. Tema jenis ini mempunyai fokus manusia sebagai molekul, zat, dan jasad.

b) Tema Organik (Moral)

Merupakan tema yang mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral manusia, yang wujudnya tentang hubungan antara manusia, antara pria dan wanita.

c) Tema Sosial

Merupakan tema yang mencakup masalah sosial. Hal – hal yang di luar masalah pribadi, dalam artian manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang merupan tempat interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain.

d) Tema Egois

Merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi manusia sebagai individu yang senantiasa menuntut pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.

e) Tema Ketuhanan (Divine)

Merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

2) Tokoh dan penokohan

Tokoh dalam sebuah cerita merupakan imajiner pengarang, sebab tokoh itu tidak berwujud dan tidak punya sosok tubuh yang

dapat kita lihat setiap saat, yang dapat kita amati tingkah lakunya atau dengan tutur katanya. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat membuktikan kehadirannya. Meskipun tokoh itu hanya potret imajinatif, tetapi suatu karya yang memunyai penokohan yang baik, seakan menghadirkan tokoh secara nyata ketika kita membaca cerita tersebut.

Dalam sebuah cerita terdapat banyak tokoh dan memiliki peran yang berbeda. Berdasarkan peran yang dilakonkan oleh seorang pelaku dikenal adanya, (1) pelaku utama, (2) pelaku kedua, (3) pelaku pembantu, dan (4) pelaku figuran. Pelaku utama adalah pelaku yang memegang peranan utama cerita. Pelaku utama ini merupakan penyebab atau sumber terjadinya cerita. Arah pengisahan tertuju kepada pelaku utama. Frekuensi keterlibatan pelaku utama lebih tinggi dibanding dengan pelaku lain. Pelaku kedua atau pelaku bawahan adalah pelaku yang membayang- bayangi atau bahkan menjadi musuh pelaku utama. Pelaku pembantu adalah pelaku yang ikut mendukung atau turut memperlancar peranan pelaku utama atau pelaku kedua. Pelaku figuran adalah pelaku yang tidak jelas peranannya.

Berdasarkan karakter tokoh/pelaku juga dikenal dengan tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang memunyai watak yang baik. Sedangkan tokoh antagonis adalah

tokoh yang memunyai watak yang jahat (selalu menjadi musuh tokoh protagonis).

Penafsiran pelaku dengan karakter tertentu dikenal dengan istilah penokohan atau karakterisasi/perwatakan. Pada dasarnya ada dua cara yang digunakan pengarang untuk menggambarkan karakter pelaku, yaitu (1) secara langsung, dan (2) secara tidak langsung.

Dikatakan langsung apabila pengarang atau pencerita mendeskripsikan sifat/watak pelaku secara langsung dalam cerita.

Penggambaran karakter secara tidak langsung dimaksudkan bahwa dalam penggambaran karakter dengan menggunakan alat bantu. Penggambaran karakter yang demikian dapat ditempuh dengan beberapa cara, antara lain (1) penggambaran karakter melalui gambaran bentuk tubuh pelaku, (2) penggambaran karakter pelaku lewat jalan pikiran atau yang terlintas dalam pikiran pelaku, (3) penggambaran karakter didasarkan pada reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu, (4) penggambaran karakter pelaku dengan cara melukiskan kebiasaan dan keadaan lingkungan, (5) penggambaran karakter pelaku melalui sikap dan pandangan pelaku lain, (6) penggambaran karakter pelaku (utama) melalui perbincangan pelaku lain.

3) Alur/Ptot

Brooks dalam Tarigan (1985:34) mengemukakan bahwa alur adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama. Alur

Dalam dokumen RUDI KARMA (Halaman 35-79)

Dokumen terkait