• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUDI KARMA

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "RUDI KARMA "

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister

Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

RUDI KARMA

Nomor Induk Mahasiswa: 04.08.946.2013

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR 2015

(2)

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI

Judul : Telaah Struktural Sastra Lisan Bugis dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature of Indonesia (Sebuah Pendekatan Objektif dan Sosiologis Karya Sastra)

Nama : Rudi Karma

NIM : 04.08.946.2013

Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Telah diseminarkan dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada tanggal 10 Maret 2016 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 24 Maret 2016

TIM PENGUJI

Dr. H. A. Sukri Syamsuri, M.Hum. ( ... ) (Ketua/Pembimbing/Penguji)

Dr. St. Aida azis, M.Pd. ( ... ) (Sekretaris/Pembimbing/Penguji)

Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd. ( ... ) (Penguji)

Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. ( ... ) (Penguji)

(3)

TESIS

TELAAH STRUKTURAL SASTRA LISAN BUGIS DALAM ANTHOLOGY OF ASEAN LITERATURES ORAL

LITERATURE OF INDONESIA

(Sebuah Pendekatan Objektif dan Sosiologis Karya Sastra) yang disusun dan diajukan oleh

RUDI KARMA

Nomor Induk Mahasiswa: 04.08.946.2013

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis pada tanggal, 10 Maret 2016

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. A. Sukri Syamsuri, M.Hum. Dr. St. Aida Azis, M.Pd.

Mengetahui,

Direktur Program Pascasarjana Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Prof.Dr.H.M. Ide Said,D.M.,M.Pd. Dr.Abd. Rahman Rahim, M.Hum

NBM 988 463 NBM 992 699

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rudi Karma NIM : 04.08.946.2013

Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 10 Maret 2016

Yang menyatakan,

Rudi karma

(5)

ABSTRAK

Rudi Karma, 2015. Telaah Struktural Sastra Lisan Bugis dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature of Indonesia (Sebuah Pendekatan Objektif dan Sosiologis Karya Sastra), dibimbing oleh:

H. A. Sukri Syamsuri dan St. Aida Azis.

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji struktur karya sastra lisan Bugis dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature of Indonesia, yang meliputi unsur intrinsik dan kearifan lokal masyarakat Bugis.

Penelitian ini sebagai penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan objektif dan pendekatan sosiologis. Sumber data dalam penelitian ini adalah sastra lisan Bugis dalam antologi ini adalah 1) Pau- Paukna Meompalo, 2) Pau-Paukna Arung E Sibawa Anak Saudagarak E, 3) Pau-Paukna Arung E Sibawa Makkunrai Tomatoa, dan 4) Pau-Paukna Arung Maceko E.

Hasil penelitian ini adalah unsur intrinsik yang terdapat berupa (1) tema organik atau tema moral dan tema ketuhanan (2) tokoh dan penokohan (3) alur yang digunakan yaitu alur regresif dan alur progresif (4) setting latar tempat, latar waktu, dan latar sosial, (5) sudut pandang adalah orang ketiga, (6) amanat yang ada menyangkut bagaimana manusia seharusnya dalam berperilaku terhadap sesama. (7) gaya bahasa yang digunakan yaitu klimaks, anti klimaks, antitesis, dan gaya bahasa repetisi. Adapun kearifan lokal masyarakat Bugis yaitu (1) bawaan hati yang baik (Ati mapaccing), (2) konsep pemerintahan yang baik (good governance) tergambar dalam bentuk sulapa’ eppa yaitu Macca, Malempu, Warani na Magetteng. (3) Amaradekangeng dalam bentuk kebebasan menyampaikan pendapat, (4) penegakan hukum yang memberi gambaran pemerintahan yang baik dan buruk, (5) Assimellereng dalam bentuk peduli sesama dan kerukunan dalam keluarga, (6) kepatutan atau Mappasitinaja dalam bentuk bagaimana memperlakukan orang lain.

Kata kunci: Sastra Lisan Bugis, Unsur Intrinsik, Kearifan Lokal Masyarakat Bugis.

(6)

ABSTRACT

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt, pemilik segala ilmu pengetahuan yang telah menganugerahkan kemampuan berpikir dan bernalar kepada manusia untuk dapat membedakan baik dan buruk dalam menjalani kehidupan. Berkat limpahan rahmat, karunia serta petunjuk-Nya penelitian ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bimbingan, bantuan, dan dukungan yang sangat berharga dari berbagai pihak, tesis ini akan jauh dari apa yang penulis harap, hingga dengan segala kerendahan hati

penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. H. A. Sukri Syamsuri, M.Hum. dan Dr. St. Aida Azis, M.Pd.

pembimbing yang tiada henti meluangkan waktu memberi arahan, petunjuk serta dorongan hingga penelitian ini terampungkan. Juga tak lupa penghormatan dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada pihak Universitas Muhammadiyah Makassar, khususnya Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M.Pd. dan Ketua Program

Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum., serta seluruh Dosen dan Staf Program

Pascasarjana Universitas Muhammadiah Makassar.

Terima kasih yang tak terhingga terkhusus kepada kedua orang tua penulis H. Abdul Karim (Almarhum) dan Hj. Maddu, saudara penulis Agusman Karma (Almarhum) yang dari jauh-jauh hari sebelumnya selalu

(8)

tiada henti menaruh harap dan mencurahkan doa untuk keberhasilan penulis selama ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang mendalam untuk Ummul Khaer, S.Pd. (istri) dan Syafiqah Aqilah (putri), yang telah mendampingi dan menjadi obat pelipur lara penulis selama ini.

Serta terima kasih tak terhingga pada semua pihak yang tidak mampu penulis untai satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritikan yang membangun untuk hasil yang lebih baik pada penelitian berikutnya sangat diharap.

semoga tesis ini memberikan manfaat.

Makassar 10 Maret 2016

Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERBAIKAN HASIL ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ... 10

A. Kajian Teori ... 10

1. Tinjauan Hasil Penelitian ... 10

2. Tinjauan Teori ... 14

a. Sastra Klasik ... 14

b. Sastra Lisan sebagai Sastra Oral ... 16

c. Hakikat Struktural dalam Karya Sastra... 21

(10)

d. Prinsip Dasar Strukturalisme ... 25

e. Unsur Struktural dalam Karya Sastra ... 25

f. Kearifan Lokal Sastra Klasik Bugis ... 39

B. Kerangka Pikir ... 58

BAB III METODE PENELITIAN ... 61

A. Pendekatan Penelitian ... 61

B. Definisi Operasional ... 65

C. Data dan Sumber Data ... 66

D. Teknik Pengumpulan Data ... 67

E. Teknik Analisis Data ... 67

F. Pengujian Keabsahan Data ... 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73

A. Penyajian dan Analisis Data ... 74

B. Pembahasan ... 181

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 208

A. Kesimpulan ... 208

B. Saran ... 211

DAFTAR PUSTAKA ... xiii

Lampiran ... xiv

(11)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

1. Tinjauan Hasil Penelitian

Penelitian mengenai persoalan telaah struktural dalam berbagai penelitian telah banyak diangkat sebagai suatu bahan kajian penelitian, akan tetapi hal ini tidak berlaku jika dilihat dari sumber data pengamatan yaitu sastra Bugis. Berikut beberapa hasil penelitian yang dapat dilihat yang terkait dengan kedua aspek di atas.

Kurniawan (2007), mengkaji salah satu unsur struktural yaitu tokoh dan penokohan yang diangkat dalam sebuah judul “Tipe-tipe Kepribadian Tokoh dalam Novel Serpihan Mutiara Retak Karya Nina Pane (Telaah Struktural dengan Alat Bantu Tipologi Kepribadian Spranger).” Hasil penelitian ini memperlihatkan keadaan kepribadian tokoh Adelia yang lebih didominasi oleh tipe manusia teori, keadaan kepribadian tokoh Pratiwi yang lebih didominasi oleh tipe manusia sosial, keadaan kepribadian tokoh Arfian yang lebih didominasi oleh tipe manusia ekonomi, dan keadaan kepribadian tokoh Hana yang lebih didominasi oleh tipe manusia kuasa. Pengelompokan tersebut diketahui dari perilaku setiap tokoh dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.

(12)

Yean (2007) dalam penelitian terkait dengan judul “Telaah Struktur, Nilai Budaya dan Konteks Cerita Rakyat dalam Tradisi Lisan Randai pada Masyarakat Rantau Kuantan Singingi Provinsi Riau. (Studi Deskriptif- Analitis terhadap Cerita Rakyat Rantau Kuantan Singingi dalam Tradisi Lisan Randai sebagai Bahan Ajar Muatan Lokal untuk Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau).” Hasil analisis terhadap kedua cerita randai tersebut adalah: (1) Tema: Cerita Dang Gedunai adalah anak yang tidak mau turut perintah orang tuanya, sedangkan tema cerita Niniak Jiruhun adalah anak yang tidak memunyai rasa belas kasihan terhadap orang tua; (2) Tokoh dan Penokohan: Tokoh dalam cerita Dang Gedunai sebanyak 5 orang, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun 9 orang; penokohan dalam cerita Dang Gedunai terdapat 4 tokoh protagonis dan 1 tokoh antagonis, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun 5 tokoh protagonis dan 4 tokoh antagonis; (3) Alur dalam kedua cerita memakai pola alur maju (progresif); (4) Latar yang digunakan dalam kedua cerita juga hampir sama yaitu nama-nama tempat seperti di surau, rumah, kedai (warung) dan lingkungan alam seperti: hutan, sungai, rawang (danau kecil), sawah dan kebun karet; (5) Motif: dalam cerita Dang Gedunai ada 2 yaitu: motif perkawinan dan impian, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun yaitu motif perkawinan (pelanggaran janji) dan perpisahan.

Nilai budaya yang ada di dalam kedua cerita adalah: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan karya, hubungan

(13)

Tabel 4.1 Temuan Unsur Intrinsik Sastra Lisan Bugis dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature

of Indonesia ... 181

Tabel 4.2 Temuan Kearifan Lokal Masyarakat Bugis dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature

of Indonesia ... 196

(14)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Alur Kerangka Pikir ... 60 Bagan 3.1 Analisis Data ... 70

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Djajanegara, S. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Djojosuroto, Kinayati. 2006. Pengajaran Puisi Analisis dan Pemahaman.

Bandung: Nuansa

Endraswara, Suardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra; Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasinya. Yogyakarta: Medpress.

Esten, Mursal. 2013. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah.

Bandung: Angkasa.

Hidayat, Asep.A. 2006. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung : PT Remaja Rosda karya.

Hukum Online. 2014. Permen RI No 57 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Diunduh dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&c d=5&cad=rja&uact=8&ved=0CEAQFjAE&url=http%3A%2F%2Fww w.hukumonline.com%2Fpusatdata%2Fdownloadfile%2Flt53e4b01d b9fd3%2Fparent%2Flt53e4afbbe71f9&ei=3aDeVPS5LYaIuATJmoK YDg&usg=AFQjCNHNj3bBni0OXgxrPrZ7fMv5bJ-

IIA&bvm=bv.85970519,d.c2 (diakses tanggal 2 April 2014)

Hutomo, Saripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Lisan. Surabaya: Hiski.

Ikram, Achdiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta : Pustaka Jaya.

Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Kosasih, E. 2008. Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta Timur: Nobel Edumedia.

Kurniawan, Ridha Heri. 2007. Tipe-tipe Kepribadian Tokoh dalam Novel Serpihan Mutiara Retak Karya Nina Pane (Telaah Struktural dengan Alat Bantu Tipologi Kepribadian Spranger). Skripsi.

Bandung : Universitas Padjajaran.

(16)

Luxemburg, J.V. dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia

Mazhud, Nurfathana. (2013). Analisis Stilistika dan Nilai-Nilai Moral Nyanyian Rakyat Bugis pada Kumpulan Teks Elong Ugi Serta Implikasinya terhadap Perangkat Pembelajaran Sastra di SMP Negeri 2 Sinjai. Tesis S2, Universitas Pendidikan Indonesia.

Miya. 2011. Sastra Melayu Klasik. Diunduh dari http://miemiemiya.blogspot.com/2011/12/makalah.html.

(diakses tanggal 19 April 2015)

Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda karya.

Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Jakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko dkk. 1995. Metodologi Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Hinindita.

Rafiek, M. 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika Aditama.

Rahmah, Yuliani. (2007). Dongeng Timun Emas (Indonesia) dan Dongeng Sanmai No Ofuda (Jepang) (Studi Komparatif Struktur Cerita dan Latar Budaya). Tesis S2, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Said, Mashadi. 1998. Konsep Kepimpinan Bugis-Makassar. Majalah Kebudayaan. Diunduh dari http://buginese.blogspot.com/2007/09/

kearifan-lokal-dalam-sastra-bugis.html (diakses tanggal 15 maret 2015)

Said, Mashadi. 2007. Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik.

Diunduh dari http://buginese.blogspot.com/2007/09/kearifan-lokal- dalam-sastra-bugis.html (diakses tanggal 17 maret 2015)

Sastrowardoyo, Subagiio dkk.1983. Anthology of Asean Literatures (Oral Literature of Indonesia). Jakarta: The ASEAN Committee on Culture and Information.

Semi, M. Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Semi, M. Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

(17)

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip DasarSastra. Bandung:

Angkasa.

Utomo, Pristiadi. 2014. Perkembangan Berbagai Bentuk Sastra Indonesia.

Diunduh dari https://ilmuwanmuda.wordpress.com/perkembangan- berbagai-bentuk-sastra-indonesia/.html. (diakses tanggal 2 April 2015)

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Terjemahan oleh Melani Budianto). Jakarta: Gramedia

Yean, Asnudi. (2007) Telaah Struktur, Nilai Budaya dan Konteks Cerita Rakyat dalam Tradisi Lisan Randai pada Masyarakat Rantau Kuantan Singingi Provinsi Riau : Studi Deskriptif-Analitis terhadap Cerita Rakyat Rantau Kuantan Singingi dalam Tradisi Lisan Randai sebagai Bahan Ajar Muatan Lokal untuk Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. Tesis S2, Universitas Pendidikan Indonesia.

Zaidan, A. R. dkk. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

(18)

RIWAYAT PENULIS

Rudi Karma. Putra dari pasangan H. Abdul Karim (Almarhum) dengan Hj. Maddu, yang lahir pada tanggal 31 Desember 1987 di Surae Kelurahan Wiringpalennae Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo. Anak pertama dari dua bersaudara (Almarhum Agusman Karma), yang juga Suami dari Ummul Khaer, S.Pd. dan ayah dari Syafiqah Aqilah.

Memulai pendidikan dari Sekolah Dasar Negeri 215 Surae pada tanggal 18 Juli 1994 dan lulus pada tahun 2000. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) ditempuh pada tahun 2000, dan tamat pada tahun 2003 pada SLTP Negeri 1 Sengkang. Selepas SLTP, kemudian lanjut Sekolah Menengah Atas dan terdaftar pada SMA Negeri 3 Sengkang pada tahun 2003 sampai dengan 2006.

Selepas Sekolah Menengah Atas, kemudian memulai pendidikan tinggi pada tahun 2006 di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Puangrimaggalatung sengkang dengan jurusan Strata Satu (S.1) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan lulus pada tahun 2010.

Tidak sampai di situ, tanpa berdiam diri pada tahun 2013 melanjutkan langkah dengan terdaftar sebagai Mahasiswa Pascasarjana Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.

Pada tahun 2007 menjadi tenaga pengajar Sukarela pada salah satu sekolah terpencil di Kabupaten Wajo, yaitu SDN 105 Tobatang Kecamatan Pammana, dan mengundurkan diri dengan mencabut NUPTK pada akhir tahun 2013. Selepas dari tenaga pengajar kemudian memulai fokus menjadi staf di STKIP Puangrimaggalatung Sengkang yang telah dijalani sejak akhir tahun 2011. Sejak itu, mulai diberi kepercayaan dengan menjadi asisten Dosen untuk beberapa Mata Kuliah, hingga terdaftar sebagai Dosen Tetap Yayasan dalam lingkup STKIP Puangrimaggalatung Sengkang khususnya pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sampai sekarang.

(19)
(20)
(21)
(22)

A. Latar Belakang

Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi pengarang setelah merefleksi lingkungan sosial kehidupannya.

Karya sastra adalah suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide, dan pikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Dunia dalam karya sastra dikreasikan dan sekaligus ditafsirkan lazimnya melalui bahasa.

Sastra menyuguhkan pengalaman batin yang dialami pengarang kepada penikmat karya sastra. Dalam karya sastra tercermin kehidupan sosial masyarakat yang memuat nilai-nilai budaya yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan begitu saja. Seperti halnya yang dipaparkan oleh Djajanegara (2000:16) bahwa sastra memunyai kekuatan untuk memposisikan dirinya dalam dunia sosial sehingga menjadi alat untuk mempertahankan dominasi tertentu. Jadi, dengan sastra secara tidak langsung mampu menjadi sarana untuk mendokumentasikan nilai budaya yang ada di dalam masyarakat.

Secara historis, dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya, karya sastra dibedakan menjadi dua macam, yaitu sastra lama (klasik) dan sastra baru (modern). Sastra lama juga disebut

(23)

sastra daerah (regional), menggunakan bahasa daerah, terbesar di seluruh Nusantara. Sebaliknya, sastra modern juga disebut sastra Indonesia (nasional), menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan apa yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia (Hukum Online: 2014).

Pada bab I pasal ayat 7 menguraikan bahwa sastra Indonesia adalah karya kreatif yang berisi pemikiran, pengalaman, dan penghayatan atas kehidupan yang diungkap secara estetis dalam Bahasa Indonesia, tinjauan kritis atas karya sastra dalam Bahasa Indonesia, atau tinjauan kritis atas karya sastra Indonesia, sedangkan ayat 8 menguraikan bahwa Sastra Daerah adalah karya kreatif yang berisi pemikiran, pengalaman, dan penghayatan atas kehidupan yang diungkap secara estetis dalam bahasa daerah, tinjauan kritis atas karya sastra dalam bahasa daerah, atau tinjauan kritis atas karya sastra daerah.

Pesatnya perkembangan sastra Indonesia atau sastra modern, merupakan akibat langsung pemanfaatan teknologi modern, yaitu percetakan, yang juga disebarluaskan melalui sistem komunikasi modern.

Hasil-hasil karya dapat digandakan secara massal dan dapat dinikmati di seluruh pelosok tanah air dalam waktu yang relatif singkat. Sastra modern menyajikan peristiwa aktual yang terjadi sehari-hari dan cerita-ceritanya

(24)

yang sangat akrab dengan masyarakat. Sesuai dengan situasi dan kondisi tingkat pengalaman dan pengetahuan masyarakat, maka cerita-cerita yang menarik adalah cerita yang mengandung masalah-masalah yang berkaitan dengan kemerdekaan, kemakmuran, percintaan, keberhasilan suatu perjuangan, dan kemajuan-kemajuan peradaban manusia pada umumnya. Lokasi cerita pada umumnya berkiblat pada kehidupan kota- kota besar, tokoh-tokoh berasal dari kelas menengah ke atas.

Hal ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang dihadapi sastra klasik atau sastra daerah. Sastra daerah sering terkendala dengan sulitnya ditemukan karya-karya naskahnya, kalaupun ada terkendala lagi dengan penggunaan bahasanya yang masih menggunakan bahasa daerah yang terkadang sulit dimengerti. Semakin maraknya penerbitan bahan bacaan sastra modern dan adanya pengaruh tayangan media yang makin beragam seperti tayangan sinetron membuat perhatian masyarakat untuk melirik sastra daerah menjadi teralihkan. Belum lagi ketika melihat kondisi genarasi muda yang ada, yang mana kebanyakan mulai berkiblat ke arah modernisasi melalui media online yang dengan mudah diakses menjadikan adanya anggapan bahwa ketika tidak mengikuti perkembangan yang ada, maka akan dikucilkan karena dianggap ketinggalan. Hal tersebut dengan sendirinya secara nyata membuat semua yang bersifat kedaerahan akan ditinggalkan yang tentunya satra daerah turut pula di dalamnya.

(25)

Ikram (1997) menyatakan bahwa hal lain yang juga turut menjauhkan generasi muda akan naskah lama adalah bahasanya yang sulit dipahami. Bahasa yang digunakan dalam cerita-cerita lama merupakan bahasa daerah kuno atau bahasa Melayu lama yang rumit.

Keberadaan sastra daerah di Indonesia telah ada jauh sebelum merdeka, bahkan ketika itu masih berbentuk gugusan nusantara. Bukti nyata yang dapat dilihat dengan adanya karangan terjemahan dari cerita kepahlawanan India Ramayana ke dalam bahasa Jawa yang telah ada pada masa dibangunnya candi Borobudur pada abad ke-9. Karangan itu adalah sastra klasik yang kemudian akan menjadi kesusastraan Jawa. Di luar Jawa karangan-karangan epik dan lirik baik bentuk puisi atau prosa mulai ada dengan bahasanya masing-masing. Ketika dilihat dari periodesasi satra di indonesia sastra Indonesia modern lahir pada masa tahun 20-an yang ditandai dengan lahirnya angkatan Balai Pustaka, jadi sebelum era tersebut dan bahkan jauh sebelunya dimasukkan ke dalam karya sastra klasik (Utomo: 2014). Sejalan dengan hal tersebut Miya (2011) dalam tulisannya menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan sastra Melayu klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa Balai Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman di mana sastra Melayu berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan sastra Melayu”.

(26)

Berdasarkan bentuknya, sastra daerah dibagi atas dua yaitu sastra daerah tertulis dan sastra daerah lisan. Sastra daerah tulisan hadir dalam bentuk naskah-naskah tua, sementara sastra daerah lisan atau sering dikenal dengan sastra lisan. Sastra lisan merupakan salah satu bagian budaya yang tetap dipelihara masyarakat pendukungnya secara turun- temurun yang dituturkan dari mulut ke mulut yang tidak diketahui siapa sebenarnya yang menceritakan pertama kali. Namun, tetap menjadi salah satu alat hiburan serta pelipur lara bagi masyarakat pemiliknya. Sastra lisan ini merupakan pencerminan situasi, kondisi, dan tatakrama masyarakat. Pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu masyarakat merupakan gambaran pertumbuhan dan perkembangan budaya, khususnya bahasa masyarakat tersebut. Sastra lisan yang merupakan bagian budaya dengan bahasa sebagai medianya erat kaitannya dengan kemajuan bahasa masyarakat pendukungnya, karena masyarakat tradisional yang sifat kebersamaannya lebih besar daripada sifat perorangan sehingga menyebabkan sastra lisan lebih akrab dibandingkan dengan sastra tulis.

Keberadaan sastra lisan tidak bisa diabaikan karena sastra lisan dapat dipandang sebagai langkah pertama ke arah perkembangan sastra yang lebih arif, bagaimana cara memandang orang, alam, masyarakat, dan pengucapannya secara apa adanya dan serba bersahaja.

(27)

Seperti daerah yang ada dalam gugusan nusantara, masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis juga mengenal dan memiliki karya sastra, seperti elong, surek, pau-pau rikodong dan tolok. Namun kenyataan yang dipaparkan sebelumnya mengenai kondisi sastra daerah, juga dialami sastra daerah yang ada dalam masyarakat Bugis.

Keberadaannya hampir sudah tidak bergaung lagi, meskipun ada hanya kelompok kecil baik itu dari pemerhati ataupun dari peneliti-peneliti yang sedang melakukan kajian, padahal ketika dilihat dari unsur yang terkandung dalam karya klasik, tentunya tidak kalah dari sastra modern.

Dalam suatu penelitian sastra khususnya sastra modern, tidak jarang para peneliti menggunakan struktur pembangun karya untuk dijadikan fokus penelitian karya. Terkait dengan penelitian sastra daerah khususnya sastra daerah klasik Bugis sangat jarang dijadikan objek kajian. Dalam penelitian ini, penulis tertarik menjadikan sastra klasik Bugis sebagai objek kajian penelitian ini. Sastra klasik Bugis yang akan diangkat yaitu sastra klasik Bugis yang terdapat dalam “Anthology of Asean Literatures (Oral Literature of Indonesia). Buku ini diambil karena penulis tertarik dengan karya yang ada di dalamnya, khususnya karya sastra Bugis yang tentunya pemilihan karya yang dimuat tentunya mempunyai kelebihan tersendiri sehingga dimuat dalam “Anthology” ini di antara banyaknya karya sastra yang lain.

Untuk menjawab rasa penasaran tersebut, tentunya hal yang paling pertama yang harus ditelaah atau dikaji adalah apa yang terdapat di

(28)

dalam karya sastra itu sendiri, yang jika dalam dunia penelitian sastra yaitu unsur pembangun karya sastra atau unsur intrinsik karya sastra.

Unsur interinsik yang dimaksud adalah tema, tokoh dan penokohan, alur, setting, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa.

Pengkajian yang diangkat penulis dalam penelitian ini tidak berhenti sampai di situ. Melihat karya sastra klasik Bugis yang dijadikan objek kajian, penulis juga mencoba melihat bagaimana khazanah kehidupan sosial masyarakat Bugis dalam “Anthology” tersebut. Khazanah yang di maksud merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka atau yang dikenal dengan kearifan lokal.

Kearifan lokal yang dimaksud adalah bawaan hati yang baik (Ati mapaccing), konsep pemerintahan yang baik (Good governance), demokrasi (Amaradekangeng), penegakan hukum, motivasi berprestasi (Reso), kesetiakawanan sosial (Assimellereng), dan kepatutan (Mappasitinaja).

Dari semua yang telah diuraikan, penulis mengangkatnya dalam satu penelitian dengan judul “Telaah Struktural Sastra Lisan Bugis dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature of Indonesia dengan menggunakan pendekatan objektif dan sosiologis sastra”.

(29)

B. Rumusan Masalah

Masalah yang diamati dalam penelitian ini adalah “bagaimana struktur sastra lisan Bugis dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature of Indonesia?”. Masalah yang terkait dengan struktur dalam penelitia ini meliputi

1. Unsur intrinsik yang terdiri atas (1) tema (2) tokoh dan penokohan (3) alur (4) setting (5) sudut pandang (6) amanat dan (7) gaya bahasa.

2. Kearifan lokal masyarakat Bugis yang terdiri atas (1) bawaan hati yang baik (Ati Mapaccing), (2) konsep pemerintahan yang baik (Good governance), (3) demokrasi (Amaradekangeng), (4) penegakan hukum (5) motivasi berprestasi (Reso), (6) kesetiakawanan sosial (Assimellereng), dan (7) kepatutan (Mappasitinaja)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji struktur karya sastra lisan Bugis dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature of Indonesia, yang meliputi

1. Unsur intrinsik yang terdiri atas (1) tema (2) tokoh dan penokohan (3) alur (4) setting (5) sudut pandang (6) amanat dan (7) gaya bahasa.

(30)

2. Kearifan lokal masyarakat Bugis yang terdiri atas (1) bawaan hati yang baik (Ati mapaccing), (2) konsep pemerintahan yang baik (Good governance), (3) demokrasi (Amaradekangeng), (4) penegakan hukum (5) motivasi berprestasi (Reso), (6) kesetiakawanan sosial (Assimellereng), dan (7) kepatutan (Mappasitinaja).

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil akhir penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang teori dan penerapan apresiasi sastra pada umumnya dan konsep tentang unsur struktur cerita pada khususnya. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan wawasan dalam mengapresiasi karya sastra khususnya dalam apresiasi karya sastra daerah Bugis.

(31)

A. Kajian Teori

1. Tinjauan Hasil Penelitian

Penelitian mengenai persoalan telaah struktural dalam berbagai penelitian telah banyak diangkat sebagai suatu bahan kajian penelitian, akan tetapi hal ini tidak berlaku jika dilihat dari sumber data pengamatan yaitu sastra Bugis. Berikut beberapa hasil penelitian yang dapat dilihat yang terkait dengan kedua aspek di atas.

Kurniawan (2007), mengkaji salah satu unsur struktural yaitu tokoh dan penokohan yang diangkat dalam sebuah judul “Tipe-tipe Kepribadian Tokoh dalam Novel Serpihan Mutiara Retak Karya Nina Pane (Telaah Struktural dengan Alat Bantu Tipologi Kepribadian Spranger).” Hasil penelitian ini memperlihatkan keadaan kepribadian tokoh Adelia yang lebih didominasi oleh tipe manusia teori, keadaan kepribadian tokoh Pratiwi yang lebih didominasi oleh tipe manusia sosial, keadaan kepribadian tokoh Arfian yang lebih didominasi oleh tipe manusia ekonomi, dan keadaan kepribadian tokoh Hana yang lebih didominasi oleh tipe manusia kuasa. Pengelompokan tersebut diketahui dari perilaku setiap tokoh dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.

(32)

Yean (2007) dalam penelitian terkait dengan judul “Telaah Struktur, Nilai Budaya dan Konteks Cerita Rakyat dalam Tradisi Lisan Randai pada Masyarakat Rantau Kuantan Singingi Provinsi Riau. (Studi Deskriptif- Analitis terhadap Cerita Rakyat Rantau Kuantan Singingi dalam Tradisi Lisan Randai sebagai Bahan Ajar Muatan Lokal untuk Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau).” Hasil analisis terhadap kedua cerita randai tersebut adalah: (1) Tema: Cerita Dang Gedunai adalah anak yang tidak mau turut perintah orang tuanya, sedangkan tema cerita Niniak Jiruhun adalah anak yang tidak memunyai rasa belas kasihan terhadap orang tua; (2) Tokoh dan Penokohan: Tokoh dalam cerita Dang Gedunai sebanyak 5 orang, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun 9 orang; penokohan dalam cerita Dang Gedunai terdapat 4 tokoh protagonis dan 1 tokoh antagonis, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun 5 tokoh protagonis dan 4 tokoh antagonis; (3) Alur dalam kedua cerita memakai pola alur maju (progresif); (4) Latar yang digunakan dalam kedua cerita juga hampir sama yaitu nama-nama tempat seperti di surau, rumah, kedai (warung) dan lingkungan alam seperti: hutan, sungai, rawang (danau kecil), sawah dan kebun karet; (5) Motif: dalam cerita Dang Gedunai ada 2 yaitu: motif perkawinan dan impian, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun yaitu motif perkawinan (pelanggaran janji) dan perpisahan.

Nilai budaya yang ada di dalam kedua cerita adalah: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan karya, hubungan

(33)

manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan alam sekitar dan hubungan manusia dengan sesamanya. Genre cerita Dang Gedunai adalah legenda, sedangkan cerita Niniak Jiruhun tergolong dongeng.

Kedua cerita ini sangat baik dijadikan sebagai salah satu bahan ajar muatan lokal karena mengandung nilai-nilai budaya yang luhur.

Rahmah (2007) mengangkat sebuah judul “DongengTimun Emas (Indonesia) dan Sanmai No Ofuda (Jepang) Sebuah Penelitian Studi Komparatif Struktur Cerita dan Latar Budaya.” Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa beberapa bagian dari dongeng Sanmai No Offuda dan dongeng Timun Emas memunyai struktur dan unsur budaya yang sama. Dari perbedaan-perbedaan yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa dongeng Sanmai No Offuda dan dongeng Timun Emas tidak saling memengaruhi, hal tersebut dapat dilihat dari ciri khas masing-masing dongeng yang merupakan gambaran kehidupan masyarakat di mana dongeng tersebut lahir.

Terkait dengan kajian sastra Bugis, tidak banyak penelitian yang dapat dilihat, terkhusus pada sastra Bugis yang terdapat dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature of Indonesia peneliti tidak menemukan penelitian sebelumnya yang terkait. Adapun beberapa penelitian sastra Bugis yang bisa dilihat sebagai perbandingan sebagai berikut.

Mazhud (2013) mengangkat penelitian yang berjudul ”Analisis Stilistika dan Nilai-Nilai Moral Nyanyian Rakyat Bugis pada Kumpulan Teks Elong Ugi Serta Implikasinya terhadap Perangkat Pembelajaran

(34)

Sastra di SMP Negeri 2 Sinjai”, dan menemukan bahwa (1) aspek-aspek stilistika nyanyian rakyat Bugis pada kumpulan teks elong ugi yakni pilihan kata, bahasa figuratif (majas), citraan (pengimajian), dan kata-kata konkret. Terdapat 7 lagu pada elong ugi tellu jori hurupukna yang dianalisis masih memiliki ciri khas yang kuat yakni jumlah setiap bait adalah 3 baris dan penggunaan aksara lontarak setiap bait yakni baris pertama 8, baris kedua 7, dan baris ketiga 6. Pada elong ugi sagala rupa ada 3 lagu yang dianalisis yang tidak terikat oleh baris dan bait lagi sehingga lagu tersebut digolongkan ke dalam sastra modern; (2) nilai-nilai moral apa saja yang terkandung dalam kumpulan elong ugi dibagi atas dua bagian, yakni: (a) nilai pappaseng yang terdapat lagu ini adalah nilai kejujuran, nilai keteguhan, nilai keberanian, nilai kepatutan, nilai kecendekiaan, nilai kesetiaan, dan nilai usaha; (b) manfaat pappaseng yakni sebagai perekat hubungan individu dengan individu yang lain, nasihat, dan falsafah hidup; (3) penyusunan perangkat pembelajaran sastra dengan memanfaatkan hasil analisis teks elong ugi yakni diawali dengan penentuan materi pembelajaran terkait dengan hasil analisis yaitu puisi lama. Teknik pembelajaran yang dipilih oleh peneliti adalah teknik brain storming atau teknik curah pendapat. Media pembelajaran yang digunakan adalah media audio-visual dengan maksud menarik perhatian siswa sehingga proses pembelajaran lebih aktif. Pada tahap akhir disusun soal tes sebagai bentuk evaluasi dalam mengapresiasi puisi yakni unsur- unsur dalam puisi lama; dan (4) bentuk penerapan perangkat

(35)

pembelajaran sastra di SMP Negeri 2 Sinjai dengan memanfaatkan hasil analisis teks elong ugi adalah penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan penerapan RPP dalam proses pembelajaran.

2. Tinjauan Teori a. Sastra Klasik

Sastra yang merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta (shastra) dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran" dan śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau

"pedoman". Dalam bahasa indonesia kata ini biasanya digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan memiliki arti atau keindahan tertentu. sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kereasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaannya di dalam semesta alam, bukan menyempurnakannya (Luxemburg, dkk. 1992:5).

Barnet dalam Semi, (1988:20) mengemukakan bahwa sastra sebagaimana karya lainnya yang hampir setiap zaman memegang peranan yang teramat penting karena selalu mengekspresikan nilai- nilai kemanusiaan. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa tugas sastra adalah sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa. Sastra juga menjadikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalamnya mendapat tempat yang sewajarnya dipertahankan dan disebarluaskan di tengah kehidupan modern. Sejalan dengan Barnet, Semi (1988:20)

(36)

juga berpendapat bahwa sastra memunyai peranan untuk meneruskan atau mewariskan suatu tradisi bangsa kepada masyarakat sezamannya dan kepada masyarakat yang akan datang.

Sastra klasik pada dasarnya disebut pula sastra lama atau sastra tradisional adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra. Definisi ini tentunya belum jelas karena konsep dari modernisasi sendiri belum diperoleh kesepahaman, oleh karena itu, menurut Kosasih (2008:9) untuk lebih mudahnya dalam penentuan akan apa itu sastra dirasa perlu dikaitkan dengan ukuran waktu. Walaupun tidak eksplisit tentang batas temporal keberadaan sastra klasik, tetapi pada umumnya dikatakan bahwa sastra klasik adalah wujud sastra yang tercipta sebelum tahun 1920-an, atau rentang waktu sebelum lahirnya sastra Angkatan Balai Pustaka.

Lebih lanjut Kosasih (2008:10) merumuskan ciri dari sastra klasik sebagai berikut:

1) Penyebarannya secara lisan (oral), yaitu dari mulut ke mulut.

2) Disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap, atau dalam bentuk yang standar dan tersebar di antara kelompok tertentu, dalam kurun waktu yang cukup lama.

3) Nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi atau bersifat anonympus.

(37)

4) Terdapat dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh cara penyebarannya yang pada dasarnya secara dari mulut ke mulut. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada hal yang kecil-kecil, sementara bentuk dasarnya masih identik.

5) Ditandai dengan ungkapan-ungkapan klise.

6) Berfungsi kolektif.

7) Bersifat pralogis, yakni memunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum..

8) Merupakan milik bersama dari kolektif tertentu.

9) Umumnya bersifat polos, lugu, kasar, dan terlalu spontan. Hal ini dikarenakan sastra klasik merupakan proyeksi manusia yang paling jujur manifestasinya.

b. Sastra Lisan sebagai Sastra Oral

Kesastraan bisa dibagi menjadi dua yaitu satra tertulis dan sastra lisan, sastra lisan biasa juga dikenal sebagai sastra oral.

Berdasarkan dari sifat penyebarannya sastra lisan atau sastra oral disebarkan dari mulut ke mulut, namun di sini perlu dibedakan atau ditelaah lebi jauh akan bagaimana sastra lisan dengan folklor.

Folklor berasal dari kata bahasa Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata yaitu folk dan lore.

Folk yang sama artinya dengan kata kolektif. Menurut Dundes folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial,

(38)

dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri (Dundes dalam Rafiek, 2010: 50). Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Definisi folklor secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun. Di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Folklor hanya merupakan sebagian kebudayaan, yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau lisan. Itulah sebabnya ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan. Padahal folklor lebih luas cakupannya bila dibandingkan dengan tradisi lisan.

Brunvand dalam Rafiek (2010: 52) membagi folklor itu atas tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu:

(39)

1) Folklor lisan (verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) yang termasuk ke dalam folklor lisan ini antara lain bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, dan nyanyian rakyat.

2) Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang modern seringkali disebut takhyul itu sendiri atas pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap memunyai makna gaib. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat , upacara, pesta rakyat.

3) Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yaitu yang material seperti arsitektur rakyat, kerajinan, pakaian, dan yang bukan material seperti gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat, dan musik rakyat.

Jadi, sastra lisan atau sastra oral hanya merupakan bagian kecil dari folklor, tradisi lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat. Sedangkan folklor mencakup lebih dari itu.

(40)

Dalam kamus istilah sastra, sastra lisan adalah (1) hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya dapat disejajarkan dengan sastra tulis dalam masyarakat modern. (2) sastra yang diwariskan secara lisan. Menurut Hutomo, (1991:1) Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencangkup ekspresi kesusastraan warga dan kebudayaan yang disebarkan dari dan diturun-temurunkan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan sendiri memiliki nilai-nilai yang luhur dalam masyarakat lebih-lebih pada kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia, sastra lisan adalah hasil sastra lama yang disampaikan secara lisan umumnya disampaikan dengan dendang, baik dengan iringan musik (rebab, kecapi, dan lain-lain).

Rafiek (2010: 53) mengemukakan ciri-ciri sastra lisan itu adalah (1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. Selain itu, terdapat juga ciri yang lain seperti menurut Endaswara dalam Rafiek (2010: 53) (1) sastra lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan klise (2) sastra lisan bersifat menggurui.

Namun, Hutomo (1991:3-4) lebih spesifik membahas ciri sastra lisan, antara lain.

(41)

1) Penyebarannya melalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut.

2) Lahir dari masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf.

3) Menggambarkan ciri-ciri budaya satu masyarakat. Sebab sastra lisan adalah warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan persoalan sosial), karena itu sastra lisan disebut juga fosil hidup.

4) Bercorak puitis,

5) Terdiri atas berbagai versi,

6) Tidak mementingkan fakta atau kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan, fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi memumyai fungsi di masyarakat, dan

7) Menggunakan bahasa lisan setiap hari.

Sastra lisan dilahirkan di kalangan rakyat yang tidak mengetahui tulisan. Oleh karena itu, sastra lisan disebut juga sastra rakyat. Sastra rakyat merupakan sebagian budaya rakyat yang merangkumi semua aspek tentang kehidupan suatu masyarakat.

Sastra ini hanya bertumpu pada hasil kesastraan yang bercorak pertuturan yang terdapat dalam suatu bangsa. Sastra lisan ini dapat disampaikan dalam bentuk puisi seperti: jampi, mantera, pantun, peribhasa, bahasa berirama, dan teka-teki.

(42)

c. Hakikat Struktural dalam Karya Sastra

Struktural atau yang pada awal perkembangannya dikenal sebagai stukturalisme, tidak hanya berpengaruh pada studi antropologi, psikologi, dan linguistik, tetapi juga memberi pengaruh pada studi sastra. Oleh Hidayat (2006:124) dikemukakan bahwa kelompok yang menamakan diri “formalisme” Rusia, menjadikan dasar-dasar linguistik strukturalisme Saussurian dikembangkan untuk analisis sastra. Mereka beranggapan bahwa, tugas mereka adalah mempelajari stuktur sastra, bukan mempelajari amanat, sumber, dan sejarah sastra. Lahirnya karya sastra bukan karena subjek puitis, melainkan dengan kata-kata. Bahasalah yang menyebabkan adanya seni sastra.

Hidayat (2006:125) menjabarkan lebih jauh bahwa dalam perkembangan selanjutnya, banyak di antara tokoh kaum formalism yang pindah ke Praha setelah revolusi komunis (Bolshevik) Rusia Maret 1917. Di sana mereka mendirikan suatu mazhab pemikiran yang disebut “Mazhab Praha”. Pengertian struktur menurut mereka bahwa sebuah karya sastra atau peristiwa dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara bagian- bagiannya, antara bagian dan keseluruhan. Hubungan itu tidak hanya bersifat positif, seperti kemiripan dan keselarasan, tetapi juga negatif, seperti pertentangan dan konflik. Juga ditandaskan, bahwa suatu

“kesatuan struktural mencakup setiap bagian dan sebaliknya bahwa

(43)

setiap bagian menunjukkan kepada keseluruhan ini. Kedua kelompok inilah yang dianggap sebagai pelopor lahirnya pendekatan struktural.

Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan.

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur- unsur dalam mikro teks, suatu keseluruhan wacana dan relasi intertekstual (Burhan Nugiantoro, 2010).

Strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur.

Dalam hal ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain (Suwandi Endaswara, 2008: 49). Kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra sering dipandang sebagai teori atau pendekatan. Pendekatan strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang diungkap melalui karya sastra, sedangkan teori adalah pisau analisisnya.

Struktur dalam karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang memiliki sistem yang antara unsur-unsurnya saling terjadi hubungan timbal balik. Hawkes dalam Pradopo (1995: 108) menegaskan bahwa sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhannya bila diketahui unsur pembentuknya dan saling berhubungan di antaranya dengan

(44)

keseluruhannya. Pendekatan yang dianggap sesuai untuk menelaah hubungan antarunsur tersebut adalah pendekatan struktural

Menurut Luxemburg (1992:36) yang dimaksud dengan istilah

“struktur” ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala.

Kaitan-kaitan tersebut diadakan oleh seorang peneliti berdasarkan observasinya. Misalnya, pelaku-pelaku dalam sebuah novel dapat dibagikan menurut kelompok-kelompok sebagai berikut: tokoh utama, mereka yang melawannya, mereka yang membantunya, dan seterusnya. Pembagian menurut kelompok-kelompok didasarkan atas kaitan atau hubungan. Antara pelaku utama dan para pelaku pendukung terdapat hubungan asosiasi, antara pelaku utama dan para lawan terdapat hubungan oposisi. Hubungan-hubungan tersebut bersifat tetap. Konsep dasar pendekatan struktural bisa dibagi ke dalam empat kelompok.

1) Para pengamal pendekatan ini meletakkan karya sastra sebagai sebuah dunia yang memunyai rangka dan bentuk tersendiri.

2) Pendekatan struktural lebih menekankan aspek keberhasilan sebuah karya sastra dari segi isi dan bentuk sebagai suatu paduan. Kerja sama isi dengan bentuk merupakan kejayaan sebuah karya sastra.

3) Pendekatan ini melihat sebuah karya sastra berdasarkan komponen yang membina karya sastra sehingga interpretasi teks melalui pendekatan ini diharap lebih objektif dan adil.

(45)

4) Pendekatan struktural menilai sastra dari sudut karya dan aspek literasinya. Bukan dari aspek lain di luar karya sastra.

5) Pendekatan ini mencoba melihat perpaduan dan persesuaian antara isi dan bentuk. Tujuan strukturlisme menurut Nugiantoro (2010:37), pada dasarnya bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersamaan menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.”

Analisis struktural ini tidak hanya terbatas kepada menganalisis unsur intrinsiknya saja tetapi yang lebih penting yaitu mengaitkan hubungan antarunsur tersebut, dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal ini dilakukan karena karya sastra merupakan sesuatu yang kompleks dan unik.

d. Prinsip Dasar Strukturalisme

Jeans Peaget dalam Endraswara (2008:50) menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan, Pertama, gagasan keseluruhan, dalam arti bahwa bagian-bagian menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.

Kedua, gagasan transformasi (transformation), yaitu struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (Self Regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya. Sekaitan

(46)

dengan itu Aristoteles dalam Djojosuroto (2006 : 34) menyebutkan adanya empat sifat struktur, yaitu: order (urutan teratur), amplitude (keluasan yang memadai), complexity (masalah yang kompleks), dan unit (kesatuan yang saling terjalin).

e. Unsur Struktural dalam Karya Sastra

Dalam karya sastra terdapat dua sudut tinjauan dalam mempelajari dan meneliti. Kedua tinjauan itu adalah tinjauan menurut segi ekstrinsik dan tinjauan menurut segi intrinsik. Segi ekstrinsik adalah segi yang memengaruhi cipta rasa dari luar atau latar belakang dari penciptaan karya sastra. Sedangkan segi intrinsik adalah segi yang membangun cipta rasa karya sastra dari dalam, misalnya hal-hal yang berhubungan dengan struktur. Oleh Esten (2013: 19) dikatakan bahwa struktur atau bentuk tidaklah sama dengan bagan, rangka, dan konstruksi, pengertian struktur lebih luas dari itu. Kalau dengan isi dimaksudkan segala apa yang diungkapkan dalam sebuah cipta rasa, maka dengan struktur dimaksudkan tentang bagaimana cara mengungkapkannya.

Dalam lingkup karya fiksi unsur struktur karya sastra meliputi tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Unsur-unsur inilah yang membangun karya sastra itu sendiri. Fakta cerita itu terdiri atas alur, tokoh, dan latar, sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan

(47)

juga cara-cara pemilihan judul. Di dalam karya sastra, fungsi sarana adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dipahami dengan jelas. Jadi, dalam analisis struktural (yang murni), unsur-unsur seperti yang disebutkan di atas itulah yang dikaji dan diteliti. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah pemahaman dan pengkajian unsur struktur harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan unsur itu. Dalam karya fiksi misalnya, pembaca tidak dapat “merebut makna" tokoh dan penokohan tanpa rnengetahui apa pengertian tokoh, bagaimana peran dan fungsi tokoh, bentuk-bentuk watak dalam segala situasi, dan sebagainya mengenai tokoh. Demikian juga mengenai alur, latar, tema, dan sarana-sarana sastra lainnya. Akan tetapi, penting juga diperhatikan mengenai makna bagian-bagian atau unsur itu dalam keseluruhan. Dalam hal ini unsur-unsur yang telah dijelaskan biasa disebut unsur intrinsik yang nantinya akan dibahas dalam penelitian ini yang oleh Rene Wellek dan Warren (1990: 24) dikatakan bahwa analisis sastra harus mementingkan segi intrinsik. Berikut uraian secara singkat unsur-unsur struktural karya sastra.

1) Tema

Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang digunakan sebagai dasar dalam menuliskan cerita sedangkan menurut Brook dan Warren dalam Tarigan (1985) tema adalah dasar

(48)

atau makna suatu cerita. Lebih lanjut dikatakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya fiksi.

Fungsi sebuah tema adalah memberi masukan bagi elemen struktural lain, seperti plot, tokoh, dan latar. Fungsi dalam prosa yang terpenting adalah menjadi elemen penyatu terakhir keseluruhan cerita. Artinya, pengarang menciptakan dan membentuk plot, membawa tokoh menjadi hidup, baik secara sadar atau tidak, tersurat maupun tersirat, pada dasarnya merupakan perilaku yang dituntun oleh tema yang dipilih dan telah mengarahkanya.

Di samping itu, tema juga berfungsi melayani visi. Yang dimaksud visi di sini adalah tanggapan total pengarang terhadap pengalaman hidup dan hubungannya dengan jagat raya. Pada sisi lain pembaca memperoleh kesempatan untuk melihat pengalaman hidup orang lain melalui kecamata pengarang. Dengan kata lain, pengarang menciptakan dunia fiksional yang membawa kita seolah- olah kita sendiri yang sedang mengalami kejadian itu. Ini semua dapat diperoleh melalui tema, selama kita dapat menyatukan keseluruhan unsur prosa menjadi kesatuan yang utuh.

Tema inilah yang menjiwai seluruh isi cerita. Untuk menentukan tema sebuah cerita diperlukan pemahaman dan kepekaan yang tinggi terhadap cerita yang bersangkutan.

(49)

Pemahaman dan kepekaan itu dapat diperoleh antara lain dengan adanya usaha untuk memahami informasi penting yang ada pada cerita itu. lnformasi-informasi penting itu dapat diketahui dengan memperhatikan kalimat-kalimat kunci yang terdapat pada paragraf- paragraf. Dari informasi dan kalimat-kalimat kunci itu dapat dirumuskan tema. Untuk mengetahui tema suatu cerita, maka kita harus merangkum unsur-unsur lain dan sekaligus membaca secara tuntas cerita tersebut.

Semi (1988:34), mengemukakan “untuk mengetahui suatu tema dalam cerita, maka terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan seperti; apakah motivasi tokoh, apa masalahnya dan apa keputusan yang diambil. Selain itu harus dijejaki konflik sentral , dan konflik sentral itulah yang akan menjurus kepada suatu yang hendak dicari.

Jenis tema dapat digolongkan menurut pokok pembicaraanya, yaitu :

a) Tema Jasmaniah (Physical)

Merupakan tema yang berkaitan dengan keadaan jasmani manusia. Tema jenis ini mempunyai fokus manusia sebagai molekul, zat, dan jasad.

(50)

b) Tema Organik (Moral)

Merupakan tema yang mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral manusia, yang wujudnya tentang hubungan antara manusia, antara pria dan wanita.

c) Tema Sosial

Merupakan tema yang mencakup masalah sosial. Hal – hal yang di luar masalah pribadi, dalam artian manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang merupan tempat interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain.

d) Tema Egois

Merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi manusia sebagai individu yang senantiasa menuntut pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.

e) Tema Ketuhanan (Divine)

Merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

2) Tokoh dan penokohan

Tokoh dalam sebuah cerita merupakan imajiner pengarang, sebab tokoh itu tidak berwujud dan tidak punya sosok tubuh yang

(51)

dapat kita lihat setiap saat, yang dapat kita amati tingkah lakunya atau dengan tutur katanya. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat membuktikan kehadirannya. Meskipun tokoh itu hanya potret imajinatif, tetapi suatu karya yang memunyai penokohan yang baik, seakan menghadirkan tokoh secara nyata ketika kita membaca cerita tersebut.

Dalam sebuah cerita terdapat banyak tokoh dan memiliki peran yang berbeda. Berdasarkan peran yang dilakonkan oleh seorang pelaku dikenal adanya, (1) pelaku utama, (2) pelaku kedua, (3) pelaku pembantu, dan (4) pelaku figuran. Pelaku utama adalah pelaku yang memegang peranan utama cerita. Pelaku utama ini merupakan penyebab atau sumber terjadinya cerita. Arah pengisahan tertuju kepada pelaku utama. Frekuensi keterlibatan pelaku utama lebih tinggi dibanding dengan pelaku lain. Pelaku kedua atau pelaku bawahan adalah pelaku yang membayang- bayangi atau bahkan menjadi musuh pelaku utama. Pelaku pembantu adalah pelaku yang ikut mendukung atau turut memperlancar peranan pelaku utama atau pelaku kedua. Pelaku figuran adalah pelaku yang tidak jelas peranannya.

Berdasarkan karakter tokoh/pelaku juga dikenal dengan tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang memunyai watak yang baik. Sedangkan tokoh antagonis adalah

(52)

tokoh yang memunyai watak yang jahat (selalu menjadi musuh tokoh protagonis).

Penafsiran pelaku dengan karakter tertentu dikenal dengan istilah penokohan atau karakterisasi/perwatakan. Pada dasarnya ada dua cara yang digunakan pengarang untuk menggambarkan karakter pelaku, yaitu (1) secara langsung, dan (2) secara tidak langsung.

Dikatakan langsung apabila pengarang atau pencerita mendeskripsikan sifat/watak pelaku secara langsung dalam cerita.

Penggambaran karakter secara tidak langsung dimaksudkan bahwa dalam penggambaran karakter dengan menggunakan alat bantu. Penggambaran karakter yang demikian dapat ditempuh dengan beberapa cara, antara lain (1) penggambaran karakter melalui gambaran bentuk tubuh pelaku, (2) penggambaran karakter pelaku lewat jalan pikiran atau yang terlintas dalam pikiran pelaku, (3) penggambaran karakter didasarkan pada reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu, (4) penggambaran karakter pelaku dengan cara melukiskan kebiasaan dan keadaan lingkungan, (5) penggambaran karakter pelaku melalui sikap dan pandangan pelaku lain, (6) penggambaran karakter pelaku (utama) melalui perbincangan pelaku lain.

3) Alur/Ptot

Brooks dalam Tarigan (1985:34) mengemukakan bahwa alur adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama. Alur

(53)

biasa juga dikatakan sebagai urutan atau rangkaian kejadian atau peristiwa yang membentuk sebuah cerita dalam karya sastra.

Bagian-bagian alur terdiri atas lima tahapan. Tahapan pertama disebut dengan “eksposisi" (tahan pengenalan), Pada awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar (nama-nama tempat, nama tokoh, suasana). Tahapan kedua disebut dengan "komplikasi'. Tahap yang mulai menyodorkan kejadian- kejadian yang bersifat gawat atau rumit yang menyebabkan adanya konflik atau pertikaian tokoh, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk batin. Jenis-jenis konflik yang sering muncul dalam cerita ada dua, yakni (1) konflik fisik (konflik jasmaniah), terdiri atas konflik manusia dengan manusia, konflik manusia dengan masyarakat, konflik manusia dengan alam sekitar, (2) konflik psikologis (konflik batiniah), terdiri atas konflik manusia dengan ide dan gagasan orang lain, konflik seseorang (tokoh) dengan kata hatinya. Tahapan ketiga disebut dengan "klimaks". Dalam tahapan ini tokoh harus menentukan sikap untuk mengatasi permasalahan. Tokoh utama, dalam menentukan sikap, harus berani menanggung resiko menang atau kalah, hidup atau mati. Tahapan keempat disebut dengan

"peleraian". Dalam tahapan ini peristiwa yang sangat menegangkan

(54)

menjadi menurun. Suasana yang semula panas menjadi semakin mendingin dan mulai tampak adanya jalan menuju penyelesaian masalah. Tahapan kelima disebut dengan 'konklusi' atau penyelesaian. Dalam tahapan ini peristiwa yang semakin menurun dan situasi semakin rnendingin tadi akhirnya mendapatkan penyelesaian.

Berdasarkan susunannya/urutannya, alur terbagi dalam dua jenis, yakni alur progresif dan alur regresif. Alur progresif sering juga disebut dengan alur lurus atau maju. Sebuah cerita dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis atau tersusun rapi mulai dari awal cerita (eksposisi, muncul komplikasi) kemudian tengah cerita (komplikasi meningkat, klimaks, muncul peleraian) dan disusul akhir cerita (peleraian, penyelesaian).

Alur regresif sering juga disebut alur mundur, sorot balik, flashback Urutan kejadian yang dikisahkan tidak kronologis. Ururan peristiwa dimulai dari tengah cerita atau dimulai dari akhir cerita kemudian kembali ke awal cerita dan akhirnya kembali ke peristiwa awal cerita.

4) Setting

Setting atau latar adalah segala penggambaran mengenai waktu, ruang atau tempat, situasi, dan suasana yang ada dalam cerita. Melalui setting inilah pembaca mengetahui kapan, di mana, dan bagaimana suasana cerita atau peristiwa itu terjadi.

(55)

Aminuddin (2009: 71) mengingatkan bahwa ada suatu masalah yang harus diperhatikan baik-baik kaitannya dengan Setting. Bahwa setting juga masih memerlukan adanya penafsiran karena seringkali pengarang tidak mengungkapkannya secara jelas.

Selain itu, setting juga mampu menyiratkan makna-makna tertentu sehingga bersifat metaforis.

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu (1) tempat, (2) waktu, dan (3) sosial. Ketiga unsur itu walau masing- masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan lainnya.

Setting tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yarg dipergunakan mungkin berupa nama kota, rumah, kantor, pantai, Iapangan, dan sebagainya. Setting waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang dibicarakan dalam karya fiksi. Masalah kapan yang muncul bisa berupa waktu yang konkret (pagi, siang, sore, petang, malam) dan bisa abstrak (misalnya dalam saat perjalanan, ketika revolusi berkecamuk, zaman reformasi). Setting sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa

(56)

kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap. Di samping itu, setting sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya tinggi, sedang, dan rendah.

5) Sudut Pandang

Sudut pandang diartikan sebagai posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Sudut pandang terbagi dua, yakni sudut pandang persona pertama, dan sudut pandang persona ketiga.

Sudut pandang persona pertama (Aku) dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu berdasarkan peran dan kedudukan si Aku dalam cerita. Si Aku mungkin menduduki peran utama, jadi tokoh utama protagonis, mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau pelaku sebagai saksi. Aku sebagai tokoh utama jika si Aku mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungan dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si Aku manjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Dalam cerita yang demikian, Si Aku menjadi fokus utama. Aku sebagai tokoh tambahan jika si Aku muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan. Tokoh Aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh yang diceritakan itu kemudian dibiarkan untuk berkisah sendiri sebagai pengalaman. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang menjadi tokoh utama.

Referensi

Dokumen terkait

Energy Sources Coal, oil, gas Nuclear Combustion Boiler HEAT Potential Energy Mechanical energy Turbin Electricity Generator Light Calor Termal Rotor