• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Teori

Dalam dokumen tinjauan fiqih jinayah dan hukum pidana (Halaman 35-47)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan Teori

13

Penelitian terdahulu tidak menutup kemungkinan ada kesamaan yaitu tentang perjudian, akan tetapi dari segi pembahasan jelas sekali berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dimana penulis lebih mengarah kepada bagaimana tinjauan fiqih jināyah dan hukum pidana terhadap penegakan pelaku judi sabung ayam berdasarkan putusan nomor 45/Pid.B/2016/PN tentang judi sabung ayam.

B. Tinjauan Teori

14

timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.

c) Jarīmah ta’zīr dimana jenis jarīmah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan masyarakat umum.13 Dapat dipahami bahwasanya hukuman ta’zīr merupakan hukuman yang ditentukan oleh penguasa (hakim), terhadap suatu perbuatan yang dilakukan baik itu melanggar hak Allah Swt maupun hak perorangan yang mengganggu kemaslahatan yang bersifat merugikan masyarakat umum.14 Hukuman dalam jarīmah ta’zīr tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya dalam menentukan batas hukuman diserahkan sepenuhnya kepada hakim berdasarkan pertimbangan-pertimbanganya.

Dengan kaitanya tindak pidana perjudian termasuk juga kedalam jarīmah ta’zīr antara khamr dan judi dalam ayat-ayat dan hukum-hukumnya, terdapat dalil- dalil hukum yang mengatur sanksi hukum peminum khamr dengan perjudian terdapat dalam al-Quran secara bertahap, terhadap status hukum peminum khamr yang sama halnya dengan perjudian di jelaskan dalam surah QS al-Baqarah/2:219 sebagai berikut:

13 Darsi Darsi and Halil Husairi, ‘Ta’zīr Dalam Perspektif Fiqh Jinayat’,(Al-Qisthu: Jurnal;

Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, 16.2, 2018), h. 62.

https://ejournal.iainkerinci.ac.id/index.php/alqisthu/article/view/787 (Diakses pada 1 November 2021).

14 Ahmad Syarbaini, ‘Teori Ta’zīr dalam Hukum Pidana Islam’,(Artikel Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum dan Keadilan, Vol 2, No 2, 2019), h. 1–10.

http://jurnal.utu.ac.id/jcivile/article/view/967, (Diakses pada tanggal, 1 November 2021)

15

ٓاَم ُه ُم ْ

ث ِا َو ۖ ِسا ﱠنلِ ُعِفاَ َمﱠو ٌ ْ ِب َ ك ٌم ْ

ث ِا ٓاَم ِهْيِف ْ ل ُ

ق ِۗ ِ ْ َمْلاَو ِر ْمَ ْ

ا ِن َع َكَ ْوُلـ ْ َ ن ْو َ ُ

ق ِف ْنُياَذاَم َكَ ْوُلـ ْ َ َو ۗاَم ِهِعْفﱠن ْنِم ُ َ ْ ك َ

ا ۗە

ُم ُ

ك َ

ُﷲا ُ ِّ َبُي َكِ ٰذ َ ك َۗو ف َع ْ ْ

لا ِل ق ُ

ﱠَ ع َ ل ِتٰي ٰ ْ

ا ْم ُ

ۙ ن ْو ُر َ ﱠ ك ك فَﺘَﺗ َ

Terjemahanya:

“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamar) dan judi.

Katakanlah, Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.

Mereka (juga) bertanya kepadamu (tentang) apa yang mereka infakkan.

Katakanlah, (Yang diinfakkan adalah) kelebihan (dari apa yang diperlukan).

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir Khamar adalah segala sesuatu yang mengandung unsur yang memabukkan”.15 Ayat di atas merupakan ayat yang diturunkan pertama kali untuk menjelaskan keberadaan pelarangan judi di dalam hukum Islam, dan kemudian diturunkan ayat terdapat di surah al-Maidah ayat 90 (tentang Khamr) dan yang terakhir Allah Swt, menegaskan pelarangan khamr dan judi secara tegas dalam QS al-Maidah/5:91 sebagai berikut:

ِ ِ ْ َمْلاَو ِر ْمَ ْ

ا ِ َءۤاض ْغَبْلاَو َةَوا َد َعْلا ُمُكَنْ َب َعِقْوﱡي ْنَا ُن ٰطْي ﱠشلا ُدْي ِرُي اَمﱠنِا َو ِﷲا ِر ْ

كِذ ْن َع ْمُكﱠد ُصَيَو

َ ن ْو ُهَﺘ ْ ﱡم ْمُﺘْنَا ْلَهَف ِةوٰل ﱠصلا ِن َع

Terjemahannya:

“Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud)

15 Al-Qur’anul Karim RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahanya (Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 2011), h. 120.

16

menghalangi kamu dari mengingat Allah Swt dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kamu mau berhenti”.16

Meski ayat diatas tidak menjelaskan hukum meminum khamr dan perjudian secara terperinci, maka dari itu Islam memberi wewenang kepada ulil amri atau hakim, untuk menentukan tindak pidana sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tidak berlawanan dengan nash-nash serta prinsip hukum Islam. Para ulama sepakat dalam bentuk hukum ta’zīr, hukuman tidak boleh menyerupai hukum diat maupun hudūd.17 Adapun bentuk hukuman ta’zīr sebagai berikut:

a. Hukuman Mati

Pada dasarnya dalam syariat Islam hukuman ta’zīr hanya untuk memberikan pengajaran dan tidak sampai membinasakan, oleh karena itu hukuman ta’zīr tidak boleh sampai menghilangkan nyawa, akan tetapi dalam kesepakatan fuqaha terdapat pengecualian aturan umum, yaitu kebolehan diberi hukuman tersebut jika hal itu menghendaki demikian untuk pemberantasan kejahatan kecuali dengan jalan membunuhnya seperti pembuat fitnah, residivis dan pelaku berbahaya lainya.18

b. Hukuman Penjara

Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi dalam dua bagian yaitu hukuman penjara terbatas dan penjara tidak terbatas yang dimana hukuman penjara terbatas

16 Al-Qur’anul Karim RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahanya (Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 2011), h. 286.

17 Hassan Saleh Ed. 1, “Kajian Fiqih Nabawi dan Kontemporer”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 465.

18 Ahmad Hanafi, “Asas-asas Hukum Pidana Islam”, (Jakarta: Bulan bintang, 2005, Cet Press 6), h. 299.

17

adalah pemberian hukuman batas waktu lamanya dibatasi atau ditentukan secara tegas. Menurut Syafi'iyah batas tertinggi untuk hukuman penjara adalah satu tahun lamanya adapun pendapat lain dari Abdullah Az-Zaubairi telah ditetapkan masa hukumnya dengan jangka waktu satu bulan atau enam bulan. Sedangkan penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya melainkan pemberian hukumanya seumur hidup atau terhukum meninggal dunia.

c. Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan termasuk dalam hukuman had, namun di dalam hukuman tersebut diterpakan juga di dalam hukuman ta’zīr diantarannya dikenakan hukuman pengasingan untuk orang yang berperilaku mukhannas (waria).

Hukuman pengasingan ini diberikan dikarenakan dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya diasingkan untuk menghindari pengaruh tersebut.

d. Hukuman Cambuk

Hukuman ini lebih efektif dikarenakan dapat menjerahkan pelaku jarīmah ta’zīr.

Dalam jarīmah hudūd telah jelas jumlah bagi pelaku jarīmah, namun dalam jarīmah ta’zīr hakim diberikan kewenangan dalam menetapkan jumlah cambukan yang disesesuiakan dengan kondisi pelaku, tempat kejahatan. Adapun mengenai jumlah cambukan yang diberikan tidak boleh melebihi dari batas hukuman had.

e. Hukuman Denda

Hukuman denda merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat digabungkan dengan hukuman pokok lainya. Hal ini merupakan bukan suatu hal

18

yang dilarang melainkan seorang hakim yang mengadili perkara jarīmah ta’zīr diberi kebebasan dalam menetukan hukuman denda dengan mempertimbangkan berbagai aspek pelaku maupun kondisi dan waktu tempatnya baik yang berkaitan dengan jarīmah.

Adapun tujuan hukuman ta’zir menurut syara tidak ditentukan macam-macam setiap hukuman jarīmah ta’zīr, tetapi pemberian hukuman syara hanya memberikan hukuman yang paling ringan sampai dengan hukuman yang paling berat, maka dari itu hakim diberikan wewenang kebebasan untuk menentukan hukuman yang sesuai dengan hukuman jarīmah ta’zīr serta mempertimbangkan keadaan sisi pelaku, karena ketentuan hukuman tidak mempunyai batasanya. Pemberian hukuman ta’zīr berlaku bagi setiap orang yang berakal sehat, baik itu laki-laki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak tetap hukuman ta’zir sebagai pemberian pembelajaran. Adapun Aspek tujuan pemberlakuan hukaman ta’zir sebagai berikut:

1. Aspek Preventif: yaitu sebagai pemberian hukuman pencegahan bagi setiap orang untuk tidak melakukan dan untuk mencagah dari perbuatan jarīmah.

2. Aspek Represif: yaitu pemberian hukuman sebagai penindakan terhadap pelaku jarīmah agar tidak mengulangi perbuatanya.

3. Kuratif: pemberian hukuman ta’zir bertujuan membawa perbaikan untuk tidak melakukan perbuatan jarīmah.

19

4. Edukasi: yaitu pemberian berupa pendidikan untuk mengarahkan seseorang kearah lebih baik.19

Teori Pemidanaan

Hukum pidana dalam menegakkan hukuman bagi palaku kejahatan pada umumnya memberikan sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan tidak pidana, mengenai hukum pidana tidak jau kaitanya dengan pemidanaan. Teori pemidanaan ini menjelaskan bahwa pemidanaan merupakan alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat, pemidanaan itu sendiri dari arti kata penghukuman. Pemidanaan sendiri merupakan tindakan kepada seseorang yang malanggar ketentuan tindak pidana yang dibenarkan karna pemidanaan itu sendiri mengandung konsekunsi positif terhadap pelaku agar pelaku tidak mengulangi kejahatanya lagi sehingga masyarakat akan segan untuk tidak melakukan kejahatan.

Teori pemidanaan sejalan berkembang mengikuti perkembangan zaman mengikuti alur dinamika kehidupan di kalangan masyarakat. Sebagai reaksi perkembangan kejahatan itu sendiri.20 Adapun Teori pemidanaan dalam ilmu hukum pidana sebaagai berikut:

a. Teori Retributif

19 M. Nurul Irfan, “Fiqih jinayah”, (Jakarta: Amzah 2015). h. 142.

20 Dwidja Priyanto, “Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia”, (Bandung: Rafika Aditami, 2009), h. 22.

20

Teori retributif merupakan teori yang berpokus kepada hukuman sebagai tuntutan pemidanaan sebagai pembalasan (vergelding) terhadap orang yang melakukan kejahatan. Teori ini terbagi dari dua corak yaitu secara subjektif dan objektif yang dimana corak subjektif merupakan pembalasan langsung yang ditujukan oleh kesalahan si pembuat sedangkan corak subjektif merupakan pembalasan yang ditujukan kepada perbuatan yang telah di lakukan.

b. Teori Deterrence (Teori Pencegahan)

Teori ini bertujuan sebagaimana pemidanaan sebagai pemberian peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan dan tidak mengulangi perbuatan yang dilakukanya kembali.

c. Teori Treatment (Teori Pembinaan/Perawatan)

Teori ini dikemukan oleh aliran positif yang dimana berpendapat bahwa pemidanaan memberikan tindakan perawatan dan perbaikan terhadap pelaku kejahatan sebagai hukuman pengganti.21 Alasan dari teori ini berlandaskan kepada alasan pelaku kejahatan merupakan orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan.

d. Teori Social Defence (teori perlindungan masayarakat

Teori social defence berkembang dari teori “bio-sosiologi” tentang kebenaran hasil temuan studi antropologi dan sosiologis terhadap fenomena kejahatan, bahwa pidana meruapakan alat yang ampuh untuk memerangi kejahatan. Tetapi

21 Andi Marlina, “Hukum Penitensier” ,(Refika Aditama, Bandung: 2011), h. 59.

21

tidak semerta-merta sanksi pidana bukanlah salah satu untuk melawan kejahatan, melainkan pidana harus dipadukan oleh kebijakan sosial, dengan tindakan preventif yang secara khusus.

Teori Penemuan Hukum

Penemuan hukum merupakan proses hakim dalam penemukan hukum atau aparat hukum lainya, bertujuan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongret. Achmad Ali berpendapat bahwa hakim memiliki kebebasan untuk menciptakan hukum, artinya hakim bukan sekedar menerapkan undang-undang melainkan juga menciptakan hukum, untuk mencapai keadilan.

Dalam ilmu hukum dikenal beberapa teori dalam menemukan hukum, Achmad Ali dalam hal ini membedakan dua metode dalam penemuan hukum yaitu dengan metode interpretasi dan metode konstruksi yang dimana metode interpretasi adalah penafsiran oleh hakim itu sendiri dan berpatokan kepada undang-undang sedangkan pada metode konstruksi hakim menggunakan penalaranya untuk mengembangkan lebih lanjut teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi berpatokan kepada teks undang-undang dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai sistem untuk menegakkan keadilan.22 Beberapa jenis metode dalam penemuan hukum sebagai berikut:

a. Metode Subsumtif

22 Achmad Ali, “Menguak Tabir Hukum” (Gunung Agung Jakarta: 2002, Edisi Kedua), h.138

22

Merupakan metode yang diterapkan oleh hakim dalam keadaan subtantip artinya hakim perlu menerapkan teks UUD terhadap peristiwa konkrit tanpa melakukan penalaran sebelumnya, tetapi hakim hanya menerapkan ketentuan dari silogisme tersebut.23 Unsur-unsur tersebut dapat diketahuhi dari pakar hukum serta putusan hakim yang diikuti sebelumnya. Jika dalam hal ini hakim berpatokan pada doktrin yurisprudensi yang ada maka hakim hanya perlu mencocokkan pada peristiwa pada putusan terdahulu.

b. Metode Interpretasi Formal

Disebut juga interpretasi otentik, yaitu menejelaskan secara detail dari undang- undang yang terdapat di dalam teks undang-undang.

c. Interpretasi Gramatikal

Metode ini merupakan penafisiran langsung oleh hakim kepada bunyi teks undang-undang sesuai dengan tata bahasa baku yang berlaku artinya metode ini merupakan penafsiran kata-kata hukum atau istilah hukum untuk memberikan penalaran yang dapat dipahami dari teks undang-undang.24

d. Interpretasi Historis

Yaitu melihat sejarah historis yang melatar belakangi akibat terbentuknya undang-undang untuk mengetahuhi apa tujuan di bentuknya undang-undang

23 Marwan Mas, “Pengantar Ilmu Hukum”,(Bogor:Ghalia Indonesia, 2016), h. 169.

24 Harifin A tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus Perkara,” (Vol 1, 26 Agustus 2015), h.131.

23

tersebut. Metode ini dilakukan melalui penafsiran sejara undang-undang untuk mencari maksud dari undang-undang itu dibentuk.

e. Interpretasi Sistematis

Merupakan penafsiran satu ketentuan undang-undang dan peraturan secara keseluruhan baik dari sistem perundang-undangan yang terkait dengan menghubungkan pada paraturan yang lain atau keseluruhan dari sistem hukum yang utuh untuk tidak melakukan penafsiran undang-undang dari penyimpangan sistem hukum.

f. Interpretasi Sosiologis atau Teologis

Yaitu penafsiran dengan mencari tujuan dan maksud pembuatan undang- undang yang ada di masyarakat yang pada hakikatnya dimulai dari gramatikal tata bahasa sempai diakhiri melalui penafsiran sosiologis, jika tidak demikian hakim bisa saja dalam membuat keputusan hukum tidak sesuai dengan kenyataan kondisi sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

g. Interpretasi Komparatif

Yaitu membandingkan aturan sistem hukum terhadap suatu peristiwa untuk mengambil salah satu hukum yang memenuhi rasa keadilan. Dengan cara perbandingan dari ketentuan perundang-undangan, metode ini biasa digunakan oleh hakim dalam menangani kasus hukum positif terhadap suatu perkara perjajian.

h. Interpretasi Futuris

24

Metode ini disebut juga metode interpretasi antisipatif, merupakan pemecahan peraturan undang-undang baru yang belum berlaku dalam proses perencanaan perundang-undangan yang belum mempunyai dasar kekuatan hukum, yang akan pasti diperundang-undangkan.

i. Interpretasi Restriktif

Merupakan metode yang membatasi penafsiran perundang-undangan karena sifatnya yang terbatas atau mempersempit dari makna aturan, yang digunakan untuk menjelaskan ketentuan UUD yang terbatas dan bertolak kepada kepada arti bahasa itu sendiri.

j. Metode Interpretasi Ekstentif,

Yaitu metode penafsiran undang-undang berisfat meluas artinya perubahan undang-undang yang secara meluas dari ketentuan makna umum dengan ketentuan kaidah bahsanya, metode ini dipergunakan hakim dalam menfasirkan bahasa yang tidak jelas sehingga dapa dipahami untuk menjelaskan ketentuang UUD melalui interpretasi grmatikal.

k. Penafsiran Komprehensip

Yaitu metode yang digunakan hakim untuk menafsirkan teks undang-undang agar kiranya menginduksi makna bahasa untuk mudah diketahuhi oleh masyarakat, bersifat relisitis dalam kehidupan perkembangan saman bersifat kontemporer dengan segala perekembangan broblem yang dihadapi

l. Interpretasi Interdisipliner

25

Yaitu metode yang dilakukan hakim ketika menghadapi berbagai macam persoalan kedisiplinan ilmu hukum baik itu hukum perdata, hukum pidana.

Dalam penafsiran hukum hakim bersumber kepada asas ilmu hukum.

m. Interpretasi Multidisipliner

Untuk menangani suatu perkara hakim pada metode interpretasi multidisiplinersetiap dalam suatu perkara harus mempertimbangkan sesuai dengan kajian ilmu hukum bahwa hakim untuk menafsirkan sautu ilmu hukum, berhak mendatangkan pakar ilmu sesuai dengan kemampuan keilmuan yang dimiliki tergantung kasus yang dihadpai oleh hakim.

Dalam dokumen tinjauan fiqih jinayah dan hukum pidana (Halaman 35-47)

Dokumen terkait