A. Body shaming
1. Pengertian Body shaming
Secara etimologi ‚body shaming‛ adalah bahasa inggris dimana mencakup dua suku kata yakni ‚body‛ dan ‚shaming‛. Kata ‚body‛ berarti tubuh atau badan37 sedangkan kata ‚shaming‛ merupakan verb (kata kerja) shame (malu) tambah –Ing yang dalam bahasa indonesia berarti memalukan38. Body shamming dalam Oxford Dictionary dijelaskan bahwa hal tersebut adalah aktivitas mengomentari fisik yang dimiliki orang lain, baik itu terhadap individu ataupun kelompok. Baik itu dilakukan dengan kesengajaan dalam bentuk verbal39 maupun non verbal.40 Kamus Psikologi juga menyatakan bahwa body shaming merupakan perbuatan mengecam penampilan fisik yang dimiliki suatu individu 41 Menurut Honigham dan Castle, perilaku body shamming adalah representasi mental seseorang mengenai wujud tubuh serta kecenderungan seseorang untuk menggambarkan dan mengevaluasi sesuatu yang dipikirkannya
37‚‚body‛ The Web's Largest Dictionary Https://Www.Kamus.Net/English/Body (23 November 2021). ‚
38‚ ‚Shaming‛ The Web's Largest Dictionary
Https://Www.Kamus.Net/English/Shaming (23 November 2021). ‚
39‚Komunikasi Verbal (Verbal Communication) Adalah Bentuk Komunikasi Yang Disampaikan Komunikator Kepada Komunikan Dengan Cara Tertulis (Written) Atau Lisan (Oral). Komunikasi Verbal Menempati Porsi Besar.‛Karena Kenyataannya, Ide-Ide, Pemikiran Atau Keputusan, Lebih Mudah Disampaikan Secara Verbal Ketimbang Nonverbal.‛Dengan Harapan, Komunikan (Baik Pendengar Maun Pembaca) Bisa Lebih Mudah Memahami Pesan- Pesan Yang Disampaikan. ‚
40‚Nonverbal Juga Bisa Diartikan Sebagai Tindakan-Tindakan Manusia Yang Secara Sengaja Dikirimkan Dan Diinterpretasikan Seperti Tujuannya Dan Memiliki Potensi Akan Adanya Umpan Balik‛(Feed Back)‛Dari Penerimanya.Dalam Arti Lain, Setiap Bentuk Komunikasi Tanpa Menggunakan Lambang-Lambang Verbal Seperti Kata-Kata, Baik Dalam Bentuk Percakapan Maupun Tulisan. Komunikasi Non Verbal Dapat Berupa Lambang-Lambang Seperti Gesture, Warna, Mimik Wajah Dll. Ma, Xin, 2001, Bullying And Being Bullied To What Extend Are Bullies Also Victims?, Terj. Risma Jayanthi, Vol 387, Issue 10038, P2594, Sage Publication, London, h.7. ‚
41‚4 J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Rajawali Press, 2005), h.129. ‚
berdasarkan penilaian orang lain. Menurut Fredrickson dan Robbert, body shaming merupakan tindakan penilaian terhadap manifestasi yang dimiliki seseorang tentang standar ideal kecantikan yang diciptakan orang-orang disekelilingnya.42 Body shamming merupakan sebutan yang mengacu pada aktivitas menilai dan mengecam orang lain dengan tidak positif terhadap kondisi fisik yang dimilikinya, atau perbuatan negatif seperti mengolok-olok kondisi fisik baik berupa bentuk, warna, proporsi maupun ukuran tubuh yang dimiliki seseorang dan mengkritik atau menghinanya bentuk tubuh sesorang43. Body shaming tidak hanya ditemui pada dunia nyata namun dapat pula di temui pada dunia maya atau dalam hal ini media sosial.
Dari berbagai konsep body shaming yang disebutkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tindakan body shaming adalah sebutan terhadap tindakan seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pengkritikan atau mengomentari kondisi fisik dan penampilan orang lain karena tidak sesuai dengan standarisasi atau persepsi orang pada umumnya tentang bentuk tubuh yang ideal atau tidak sesuai degan standarisasi kecantikan baik secara verbal maupun nonverbal.
2. Bentuk-bentuk Body shaming
Diantara banyaknya jenis pengelompokan body shaming beberapa diantaranya diuraikan seperti berikut :
a. Verbal 1) Fat Shaming
42‚Sumi Lestari, Bullying Or Body Shaming? Young Women In Patient Body Dysmorphic Disorder Philanthrophy Journal Of Psychology, Vol 3 Nomor 1 (2019), h. 60.‛
http://dx.doi.org/10.26623/philanthropy.v3i1.1512. (3 januari 2022) ‚
43‚Lisya Chairani, 2018, Body Shame Dan Gangguan Makan Kajian Metaanalisis,
Buletin Psikologi, Vol.26, No. 1, h.12-
17.‛https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/27084/pdf (3 Januari 2022) ‚
17
Fat shaming merupakan bentuk body shamming terhadap ukuran tubuh yang umumnya paling banyak dilontarkan seseorang. Fat shaming merupakan teguran yang bersifat negatif mengenai ukuran tubuh yang tergolong gemuk44 2) Skinny / Thin Shaming
Skinny / Thin Shaming merupakan komentar negatif pula terhadap ukuran tubuh seseorang. Body shaming jenis ini sering didapatkan oleh individu yang memiliki bentuk tubuh yang tergolong kurus mapun terlalu kurus.45
3) Rambut Tubuh
Seseorang yang cenderung memiliki rambut tubuh lebih banyak sering mendapat sorotan publik karena dianggap memiliki rambut yang berlebihan pada bagian tubuh. Baik itu pada lengan, kaki, wajah hingga pada ketiak yang umunya memang memiliki rambut. Keadaan ini lebih tidak diwajarkan kepada perempuan karena akan dianggap tidak menarik bagi sebagian besar orang jika memiliki rambut-rambut yang berlebihan.46
4) Warna Kulit
Warna kulit juga sering menjadi dasar terjadinya body shaming. Situasi ini dipici karena adanya variasi warna kulit yang menciptakan adanya standarisasi terhadap warna kulit yang di anggap bagus. Contohnya warna kulit yang terlalu gelap atau hitan dan warna kulit yang terlalu pucat umumnya akan mendapatkan komentar yang negatif. 47
44‚Tri Fajariani Fauzia, Memahami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja
Perempuan, Interaksi online Vol 7, No 3 2019, h.5.‛
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/24148 (3 Januari 2022).
45‚Tri Fajariani Fauzia, Memahami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja Perempuan, Interaksi online, h.5.‚
46‚Tri Fajariani Fauzia, Memahami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja Perempuan,‛Interaksi online. h.5.‚
47‛Tri Fajariani Fauzia, Memahami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja Perempuan,‛Interaksi online , h.5.
b. Non Verbal
Komunikasi nonverbal terjadi melalui gerakan tubuh, gerakan mata atau kualitas suara. Kode-kode ini dapat mengirimkan pesan hanya jika ditampilkan saat terjadi. Nada suara juga dapat menunjukkan sikap seseorang. Body shaming seringkali terajdi dalam bentuk tindakan yang membuat orang lain tidak nyaman.
Seperti seseorang yang mengendarai sepeda dengan tubuh gemuk, dan ketika dia mengendarai sepeda, sepedanya kempes dan tiba-tiba orang-orang di sekitarnya menertawakannya.48
3. Penyebab Terjadinya Body shaming 1. Penyebab Body shaming Menurut Ahli
Menurut Pengamat Sosial Ketua Program Studi Vokasi Komunikasi UI Dr.
Devie Rahmawati secara umum terdapat beberapa alasan body shaming terjadi yakni adanya pandangan patriaki, kebiasaan patron klien, minimnya edukasi tentang body shaming dan dampaknya yang merupakan tindakan tidak benar, serta post kolonial.49
a. Sifat Patriarki
Pandangan patriarki merujuk pada konstruksi sosial yang memberi laki-laki previlege sebagai penyandang kekuasaan tertinggi dibanding perempuan sehingga menciptakan paradigma bahwa perempuan lebih lemah dari segala aspek, hal itu menyebabkan terjadinya deskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan itu sendiri.
48‚Melati Dodo Manting dan Amalia Djuwita.‛Semiotika Roland Barthes dalam Penelitian Analisis Body Shaming Pada Film Imperfect. e-Proceeding of Management‛: Vol.8, No.4 (Agustus 2021). h. 4145. https://openlibrarypublications.telkomuniversity.ac.id/index.
php/management/article/view/15402(Diakses 25 januari 2022 – 23:02 Wita) ‚
49‚Eva Nur Rachmah Dan Fahyuni Baharuddin, Faktor Pembentuk Perilaku Body Shaming Di Media Sosial, Prosidng Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019 (Mei 2019):‛h. 68. Http://Fppsi.Um.Ac.Id/Wp-Content/Uploads/2019/07/Eva-Nur.Pdf(Diakses 20 November 2021 – 21.59 Wita). ‚
19
b. Kultur Patron Klien
Merupakan orang yang berstatus sosial yang tinggi atau dapat dikatakan memiliki kekayaan yang berlebih, memiliki ketenaran, serta kekuasaan yang dapat melakukan apapun.
c. Pengetahuan Body shaming Merupakan Perilaku yang Buruk
Beberapa pihak meyakini bahwa perilaku body shaming adalah hal yang lumrah, sehingga dapat mengganggu kesadaran bahwa body shaming sebenarnya adalah sesuatu yang harus segera dihentikan karena dapat meningkatkan bullying. Korban yang tidak sengaja berbuat salah. Dan sekarang ada undang- undang yang mengatur dan pelaku bisa dihukum jika ada pesan dari korban.
d. Post Kolonial
Berbeda dari adanya sifat patriarki dan minimnya edukasi body shaming, post kolonial justru menjadi kebiasaan yang mewabah, dimana setiap masyarakat cenderung menstandarirasi ciri-ciri idaman seperti yang dimiliki orang Barat, dalam hal ini standar ideal seperti hidung putih mancung yang tinggi adalah ideal. Di sisi lain, orang kulit hitam besar kecil itu buruk karena masyarakat telah menganut konsep tubuh yang sempurna, berbeda dengan yang dipengaruhi oleh banyak iklan produk kosmetik, yang membangun pikiran sebagian orang
Melalui internet atau jejaring sosial lainnya seperti Instagram, Facebook dan Twitter, Anda bisa membual tentang segala hal mulai dari kemewahan hingga jalan-jalan ke luar negeri hingga kehidupan glamor yang terkadang membuat orang lain iri. Juga di Indonesia, seorang wanita atau pria dianggap tampan atau tampan jika mereka memiliki kulit putih, rambut lurus dan tubuh yang ramping dan wajar, yang menyebabkan rasa iri karena mereka percaya bahwa mereka memiliki kehidupan yang sempurna. Selain itu, melalui media sosial akan mudah untuk melihat bentuk tubuh ideal yang ada di negara lain dan
dengan demikian menciptakan standar baru yang berkembang di daerah tersebut.
Banyaknya iklan produk kosmetik yang muncul hampir terus-menerus di media, baik di TV maupun di media sosial, mendorong masyarakat untuk mengikuti pedoman periklanan dengan semua produk kecantikan mereka untuk mencapai hasil yang diinginkan. Secara tidak langsung, media membuat tubuh manusia membutuhkan lebih banyak kosmetik dan ketampanan untuk mencapai standar ideal, setelah itu gagasan tentang konsep standar diterima dan disepakati oleh masyarakat50.
Tren mengenai gaya hidup yang berkembang di kalangan anak muda dan dewasa berujung pada bullying terhadap individu yang tidak mengikuti tren body image proporsional pria dan wanita untuk menjaga penampilan, yang kemudian berujung pada body shaming karena tidak sesuai dengan standar ideal. Adanya globalisasi yang tidak dapat difilter membuat budaya asing dengan mudah masuk ke Indonesia. Masuknya budaya asing di Indonesia membawa perubahan pada cara hidup masyarakat yang semakin kebarat-baratan (westernisasi), serta di masyarakat khususnya di kalangan anak muda yang lebih menyukai produk luar dan mengikuti trend fashion untuk itu terkait dengan perkembangan zaman.
gambar tubuh manusia51. 2. Dampak Body shaming
50A.A.‛Gede Surya Wijaya, Ni Luh Nyoman Kebayantini , I Gusti Ngurah Agung Krisna Aditya Dalam‚Body Shaming Dan Perubahan Perilaku Sosial Korban (Studi Pada Remaja Di Kota Denpasar) Jurnal Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Udayana.‛Vol 1 No 2 (2020): Jurnal Sosiologi 2020‚h.6 https://ojs.unud.ac.id/index.php/sorot/article/view/6903 (15 Desember 2021). ‚
51‚A.A.‛Gede Surya Wijaya, Ni Luh Nyoman Kebayantini , I Gusti Ngurah Agung Krisna Aditya Dalam Body Shaming Dan Perubahan Perilaku Sosial Korban (Studi Pada Remaja Di Kota Denpasar) Jurnal Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Udayana Vol 1 No 2‚ (2020): Jurnal Sosiologi 2020 h.7 https://ojs.unud.ac.id/index.php/sorot/article/view/6903 (15 Desember 2021) ‚
21
Body shaming yang intens dapat mempengaruhi citra tubuh (self-image) seseorang, keadaan mental dan mempengaruhi timbulnya dampak, seperti perasaan anxiety, insecure, malu, marah, merasa rendah, membenci penampilan, pengubahan pola hidup yang keras, hingga gangguan kejiwaan. Beberapa bentuk gangguan jiwa yang disebabkan oleh rasa malu tubuh adalah gangguan dismorfik dan obsesif kompulsif. Maksud dari gangguan dismorfik adalah masalah dengan cacat minimal dalam penampilan tetapi dengan respons yang berlebihan.
Selanjutnya, paparan body shaming menyebabkan depresi, mereka mengalami tekanan dan tekanan terkait dengan lingkungan, yang mereka rasakan tidak menerima keberadaan mereka karena rupa ataupun ukuran tubuh yang berlebihan sehingga jauh dari standar keidealan menurut pandangan masyarakat.52 Selanjutnya, efek negatif yang dialami oleh korban body shaming menimbulkan rasa tidak aman di lingkungan sosialnya dan menjadi sulitnya korban untuk berinteraksi di masyarakat.53
Body shamming dapat menyebabkan munculnya body shame yang mengurangi kepercayaan diri, menjadi sensitif dan lebih berhati-hati tentang berbagai hal seperti pilihan pakaian, kepekaan tubuh dan makanan, menolak untuk diajak keluar rumah, menutupi dan membatasi diri. Korban akan mengubah gaya hidup, merawat tubuh, makan, berolahraga, dan belajar berdandan. Namun ada juga yang tidak khawatir dan lebih memilih untuk menutupi komentar yang ditujukan kepadanya.
52‚Sumi Lestari, ‚Bullying Or Body Shaming? Young Women In Patient Body Dysmorphic Disorder Philanthrophy Journal Of Psychology, Vol 3 Nomor 1 (2019), h. 60.‛
http://dx.doi.org/10.26623/philanthropy.v3i1.1512. (13 desember 2021) ‚
53‚A.A.‛Gede Surya Wijaya, Ni Luh Nyoman Kebayantini , I Gusti Ngurah Agung Krisna Aditya Dalam Body Shaming Dan Perubahan Perilaku Sosial Korban (Studi Pada Remaja Di Kota Denpasar) Jurnal Ilmiyah Sosiologi 2020, Vol 1 No 2.‛ h.8.
Http://Uhud.Ac.Id/Indeks.Php/Sorot/Article/View/69033 (Diakses 22 Desember 2021- Pukul 23:22). ‚
Di satu sisi, perlawanan menjadi tindskan yang baik karena mendorong orang untuk tidak terpuruk pada body shamming, tetapi di sisi lain, itu juga bisa buruk.
Orang-orang membela diri mereka sendiri dengan membatalkan klaim mereka tentang body shamming, tetapi pada akhirnya malah mempermalukan orang lain juga. Perlawanan terhadap body shaming menonjolkan konsep body positivity, namun korban yang bergumul dengan body shamming masih melakukan upaya untuk mengubah tubuh mereka, seperti: Ketika whistleblower menjadi body positive, ada kemungkinan mereka mulai merasa tidak aman tentang tubuh mereka lagi dan untuk melakukan perubahan untuk mencegah body shaming.54 Dampak dari sisi pelaku body shaming, berdasarkan hukum pidana, tindakan ini digolongkan menjadi dua kategori pelanggaran dalam undang-undang dan peraturan tindak pidana. Tindakan pertama ketika seseorang melakukan penghinaan, mengolok-olok sosok, wajah, warna kulit, dan postur seseorang di media sosial. Ini termasuk dalam kategori UU ITE pasal 45 ayat (1) dan pasal 27 ayat (3) dapat dikenakan hukum kategori pidana dengan hukuman 6 tahun penjara. Kategori kedua penghinaan citra tubuh (body shaming) - jika penghinaan fisik dilakukan secara lisan atau diarahkan pada seseorang langsung, maka hukuman yang berlaku adalah hokum pidana pasal 310 KUHP hukum pidana dengan hukuman 9 bulan penjara. Jika tindakan tersebut dolontarkan dalam bentuk tulisan atau dengan disiarkan secara langsung ataupun tidak langsung melalui jejaring sosial, akan dikenakan Pasal 311 KUHP dengan hukum 4 tahun.55
54‚Tri Fajariani Fauzia, Memahami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja
Perempuan, Interaksi online Vol 7, No 3‚ 2019, h.9.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/24148 (3 Januari 2022) ‚
55‚Salsabila Dhiya Shafa, Subaidah Ratna Juita, Muhammad Iftar Aryaputra Dalam Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Tentang Penghinaan Citra Tubuh (Body Shaming) Volume 1‚ No. 1 April 2020, h.109.Https://Journals.Usm.Ac.Id (4 november 2021) ‚
23
B. Kaidah Kesahihan Hadis
Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada hadits tentang keutamaan membesarkan anak perempuan sambil menyelidiki lebih lanjut eksistensi hadits Nabi. Hadis dalam islam menjadi rujukan hukum kedua sesudah Al-Qur’an.
Namun, hadis pada periode awal islam tidak banyak mendapat perhatian. Inilah perbedaan utama antara kajian hadis dan al-Qur'an sebagai pedoman hukum dalam islam.
Pada dasarnya, ayat-ayat al-Qur’an merupakan perkataan sang ilahi sehingga tidak diragukan lagi validitas dan orisinilitasnya, (qat}‘i> al-wurud), sehingga ayat-ayat al-Qur’an tidak perlu dikaji lagi untuk mengetahui validitas ataupun keorisinalitasan ayatnya. Hal tersebut berbeda dengan Hadis-Hadis Nabi saw. yang hanya sebagian kecil saja dapat dinilai validitas dan orisinalitasnya (qat}‘i> al-wurud), sedangkan sebagian besar Hadis Nabi saw. masih diperselisihkan validas dan orisinalitasnya (z{anni al-wurud).56 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dianggap penting untuk dilakukan penilaian validatas dan orisinalitas Hadis Nabi saw. terkhusus Hadis-Hadis Nabi Muhammad saw terkait keutamaan memelihara anak perempuan.
Kaidah kesahihan Hadis yang peneliti gunakan pada penelitian kali ini ialah kaidah kesahihan berdasarkan perumusan Ibn S{ala>h} merupakan hasil analisisnya pada kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Kedua kitab ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Oleh sebab itu disebut sebagai kitab tersahih setelah al-Qur’an.57 Adapun kaidah yang dirumuskan Ibn S{ala>h}
ialah sebagai berikut:
56‚M. Yusuf Assagaf, Manajenen Hati Perspektif Hadis Nabi Muhammad saw, Tesis (Makassar: Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 2020), h. 42. ‚
57‚Abu> al-Fida>’ Isma>‘i>l bin ‘Umar bin Kas\i>r al-Qurasyi> al-Bas}ri> al-Dimasyqi>, Ikhtis}a>r Ulu>m al-H{adi>s\ (Cet. II; Beirut: Da>r al-Kitab al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 25. ‚
ًَؿٍدىعٍلاَ ًنىعَ ًطًباَّضلاَ ًؿٍدىعٍلاَ ًلٍقىػنًبَهيداىنٍسًإَيلًصَّتىػيَمًذَّلاَ يدىنٍسيمٍلاَ يثيًدىٍلْاَ ىويهىػفَ:يحيًحَّصلاَ يثيًدىٍلْا
َ
. نلاَّلىعيمَ ىلَىكَ،اًّذاىشَيفويكىيَ ىلَىكَ،يهاىهىػتٍػنيمَ ىلًَإًَطًباَّضلا
58
Artinya:
‚Hadis sahih adalah Hadis yang bersambung sanadnya dengan penukilan Hadis dari (perawi yang) adil dan d}a>bit} dari (perawi yang) adil dan d}a>bit}
(pula), (sampai jalur) terakhir (sanad)nya, dan tidak mengandung sya>z\
(pertentangan) dan ‘illat (kecacatan)‛.
Menurut Ibn S{ala>h} apabila kriteria-kriteria ini dipenuhi oleh sebuah Hadis, jadi bisa dikatakan sahih para msyoritas pemuka agama,59 seperti al- Nawa>wi>, Ibn Kas\i>r, Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Jala<l al-Di<n al-Suyu<t<i, dan ulama lainnya. Meskipun formulasinya berbeda , inti dari definisi yang diajukan, dapat menggantikan asumsi yang telah ditentukan oleh al-Bukha>ri> dan muslim pada kitab Sahih nya.60
Kaidah dirumuskan Ibnu S{ala>h} tersebut kemudian menjadi acuan mayoritas ulama dalam menilai hadis berdasarkan tingkat kualitas baik secara sanad atau al-matn hadis dengan rumusan: 1) Ittisal al-Sanad (keberlanjutan sanad), 2) al-‘Adl (perawinya bersifat adil), dan 3) D{a>bit} (perawinya memiliki kekuatan hafalan), ketiga unsur tersebut menjadi acuan untuk menilai kualitas sanad. Sedangkan pada matan Hadis yaitu: 1) tidak terjadi sya>z\ (pertentangan) dan 2) tidak terdapat ‘illat (kecacatan), kedua unsur tersebut menjadi acuan untuk menilai kualitas matan. Hal senada juga dikembangkan oleh M. Syuhudi Ismail dalam bukunya dengan menggunakan istilah kaidah mayor yang artinya
58‚‘Us\ma>n bin ‘Abd al-Rah}man Taqi> al-Di>n Ibn S{ala>h}, Ma‘rifat Anwa>‘ ‘Ulu>m al-H{adi>s\ - Muqaddimah Ibn S{ala>h} (Suria-Beirut: Da>r al-Fikr – Da>r al-Fikr Ma‘a>s}ir, 1406 H/1986 M), h. 11- 12. ‚
59‚Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Cet. I;
Jakarta: PT.‛Mizan Publika, 2009), h. 17. ‚
60‚Abustani Ilyas, dkk, Epistemologi Kritik Sanad: Antara Normativitas, Historisitas dan Aplikasi Cet.‛I; (Bantul: Semesta Aksara: 2020), h. 33. ‚
25
memiliki kualitas tinggi dan kaidah minor yang berarti memiliki kualitas yang kurang tinggi.61
1. Kaidah Kesahihan Sanad a. Ittis}a>l al-sanad
Maksud istilah ittis}a>l al-sanad menurut Abu Syuhbah ialah masing- masing periwayat secara langsung mendengarkan Hadis yang diriwayatkan antar periwayat mulai dari bawah hingga periwayat yang memulainya di awal secara eksklusif tanpa perantara rawi yang diputuskan dan perawi tersebut mendengarnya dimana saja.62 Sedangkan menurut M. Syuhudi Ismail ketersambungan sanadnya, masing-masing perawi Hadis pada sanad meriwayatkan hadis dari perawi paling dekat dengannya hingga sampai pada sanad terakhir dalam Hadis atau dengan kata lain sanadnya bersambung mulai dari perawi yang disandari oleh mukharrij (orang yang membukukan Hadis) hingga tingkatan sahabat dari perawi yang menerima Hadis tersebut dari Nabi Muhammad saw tanpa ada perantara di antara keduanya.63
Namun untuk menetapkan tolak ukur kesahihan suatu Hadis, terdapat ketidaksamaan antar al-Bukhari dan Muslim khususnya pada masalah ketersambungan sanad antar perawi. Perbedaan tersebut terjadi pada masalah pertemuan antar perawi Hadis dengan guru ataupun muridnya atau periwayat yang paling dekat berdasarkan sanadnya. Al-Bukhari mewajibkan untuk diadakannya perjumpaan antar kedua orang periwayat atau antara guru dan muridnya meskipun perjumpaan tersebut hanya terjadi sekali. Sementara itu, Muslim tidak mengharuskan terjadinya perjumpaan antar perawi atau antara guru
61‚Baca lebih lanjut M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis,‛h. 9. ‚
62<Muh}ammad bin Muh}ammad bin Suwailim Abu> Syuhbah, al-Wasi>t} fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s\ (t.t: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.th), h. 225. ‚
63 M.‛Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis,‛h. 127.
dan murid, terpenting menurut Muslim ialah kedua orang perawi atau guru murid itu ada dan ikut serta pada zaman yang sama.64
Hal senada juga dijelaskan Abu> al-H{asan Nu>r al-Di>n al-Mala> al-Harawi>
dalam kitabnya Syarh} Nukhbah al-Fikr fi> Mus}t}alah}a>t Ahl al-As\ar menjelaskan bahwa dalam hal persambungan sanad antar perawi al-Bukha>ri lebih tegas dibanding Muslim. al-Bukha>ri mengharuskan terjadinya pertemuan antar perawi secara langsung walaupun pertemuan tersebut cuma satu kali. Sedangkan muslim sedikit lebih longgar dalam hal ini dengan mencukupkan kemungkinan adanya pertemuan kemudian bebaik sangka mengenai petemuan antar perawi bahwa sanad tersebut bersambung.65
Adapun indikator yang dapat menjadi acuan dalam menentukan ketersambungan sanad (ittis}al al-sanad) sebagai berikut:
1) Memperhatikan lafal periwatan Hadis atau lafal penyampaian dan penerimaan (si>gat al-tah}ammul wa al-ada>’)
Secara umum lafal periwayatan Hadis terbagi menjadi beberapa bentuk, ialah sebagai berikut: 1) al-Sima>’ min lafz} al-syaikh (mendengarkan melalui seorang guru), 2) al-Qira>‘at ‘ala> al-syaikh (membacakan kepada sang guru), 3) al- Ija>zah (pemberian legalitas), 4) al-Muna>walah (menyerahkan atau penyerahan), 5) al-Kita>bah (secara tertulis), 6) al-I‘la>m (memberitahukan atau pemberitahuan), 7) al-Was}iyyah bi al-kitab (mewasiatkan melalui kitab), 8) al Wija>dah (melalui barang temuan).66
64‚Lihat Abu> al-Fad}l Ah}mad bin ‘Ali> bin Muh}ammad bin Ah}mad bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-H{adi>s\ al-Sa>ri> Muqaddimah Fath} al-Ba>ri>, Juz 14 (t.t: Da>r al-Fikr – Maktabah Salafiyyah, t.th), h. 12; dikutip dalam Abustani Ilyas, dkk, Epistemologi Kritik Sanad: Antara Normativitas, Historisitas dan Aplikasi, h. 33. ‚
65‚ ‘Ali> bin Muh}ammad Abu> al-H{asan Nu>r al-Di>n al-Mala> al-Harawi> al-Qa>ri>, Syarh}
Nukhbat al-Fikr fi> Mus}t}alah}a>t Ahl al-As\a>r (Beirut: Da>r al-Arqam, t.th), h. 247. ‚
66‚Lihat Abustani Ilyas, dkk, Epistemologi Kritik Sanad: Antara Normativitas, Historisitas dan Aplikasi, h. 41-53.‚ Lihat juga ‘Us\ma>n bin ‘Abd al-Rah}man Taqi> al-Di>n Ibn S{ala>h}, Ma‘rifat Anwa>‘ ‘Ulu>m al-H{adi>s\ - Muqaddimah Ibn S{ala>h}, h. 132-178. Lihat juga M.
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, h. 57.‚Sedangkan al-Qa>simi> membagi lafal