• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS .................................................................. 20-45

C. Tinjauan Umum Tentang Gender

34

b) Sanitary Landfill

Metode pembuangan akhir sampah yang dilakukan dengan cara penumpukan dan pemadatan sampah, kemudian menutupinya dengan tanah sebagai lapisan atas.

c) Controlled Landfill

Metode controlled landfill adalah sistem open dumping yang dimodifikasi yang merupakan sistem pengalihan open dumping dan sanitary landfill, yaitu dengan menutupi sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah tempat pembuangan akhir penuh yang dipadatkan atau setelah mencapai periode tertentu (Setiadi, 2019).

C. Tinjauan Umum Tentang Gender

Konsep gender adalah ciri khas laki-laki dan perempuan yang di kontruksi secara sosial dan budaya. Misalnya, laki-laki dianggap kuat, rasional, berkuasa dan sebagainya. Sedangkan perempuan dianggap makhluk yang lembut, penyayang, keibuan dan emosional. Karakteristik ini telah bertahan dan membudaya dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, studi gender lebih berfokus pada pengembangan aspek maskulin atau feminin yang dibawa oleh seseorang.

Konsep gender telah menjadi subjek banyaknya pro dan kontra di berbagai kalangan, baik di masyarakat, akademisi, non akademisi dan pemerintah. Dalam banyak kasus, kesalahpahaman tentang kajian gender dan istilah gender pada akhirnya akan menimbulkan implikasi diskriminatif bagi gender itu sendiri (Mardliyah, 2015).

Wacana gender mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1980-an, namun mulai merambah isu agama pada tahun 1990-an, dan dalam kurang waktu 10 atau 5 tahun terakhir isu gender berkembang sangat pesat dan jauh lebih cepat dibandingkan dengan isu pluralisme, yang juga tak kalah pentingnya. Sebagai aturan umum, perbedaan gender tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan (Muqoyyidin, 2013).

Sebagai contoh, sering terjadi pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, tetapi jika bisa dinikmati secara merata, maka pembagian peran tersebut sangat ideal. Tidak masalah, seperti seorang istri yang tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga sementara suaminya mencari nafkah.

Namun ketika istri berada di rumah, suami membatasi ruang geraknya untuk

36

menjadi manusia dan khalifah di muka bumi sehingga menimbulkan masalah yang disebut ketidakadilan gender (Nurmala, 2008).

2. Isu-Isu Gender

Ketika kita berbicara tentang isu gender biasanya kita langsung beralih ke ketimpangan sosial seperti ketidakadilan gender dan kesetaraan gender. Hal ini bermula dari anggapan bahwa masyarakat terdiri dari beberapa bagian yang saling mempengaruhi. Asumsi ini mencari unsur-unsur mendasar yang mempengaruhi masyarakat. Salah satu pendukung asumsi ini R. Dahrendolf, merangkum prinsip asumsi ini sebagai berikut:

1. Masyarakat adalah entitas yang terdiri dari berbagai bagian.

2. Sistem sosial selalu dipertahankan karena memiliki seperangkat kontrol.

3. Beberapa bagian yang tidak berfungsi tetapi dapat terpelihara dengan sendirinya atau dilembagakan dalam perubahan jangka panjang dilakukan secara bertahap.

4. Integrasi sosial dicapai dengan mayoritas anggota masyarakat menyepakati seperangkat nilai. Nilai tersebut merupakan sistem yang sangat stabil dalam sistem masyarakat.

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, muncul isu-isu gender berikut ini:

a. Kesetaraan Gender

Istilah kesetaraan gender merupakan istilah yang selalu diartikan sebagai keadaan ketidaksetaraan gender yang dialami oleh kaum perempuan. Oleh sebab itu, istilah tersebut sering dikaitkan dengan diskriminasi terhadap perempuan, seperti subordinasi, kekerasan dan penindasan (Rokmansyah, 2016). Tetapi

kesetaraan gender itu berarti suatu keadaan dimana laki-laki dan perempuan itu sama atau setara, diberi kesempatan, berhak atas hak-haknya sebagai makhluk Tuhan yaitu manusia dan mampu berperan dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Islam pada dasarnya menjunjung tinggi kesetaraan. Agama Islam diyakini sebagai agama yang ideal diturunkan untuk mengangkat derajat dan membebaskan perempuan dari tradisi jahiliah yang memarginalisasi kedudukannya. Ayat Al-Quran telah mengungkapkan kesetaraan laki-laki dan perempuan serta menggariskan persamaan kedudukan diantara keduanya. Adapun yang membedakan adalah tingkat ketaqwaan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat/49:13.

ا ْوُ

ف َر ا َعَتِل َ

لِئٓاَبق َّو اًب ْو ُع ُش ْمَ ُ كٰنْ

ل َع َج َو ىثْنٰ ُ ا َّو ٍرَ

كَذ ْن ِ م ْمُ كٰنقْ َ

ل َخ اَّنِا ُس اَّنلا اَهُّي َ اٰۤي ِه

للّٰا َدْن ِع ْمُ ك َم َرْ

كَ ا َّ

ن ِا

ٰقْت َ ا ْمُ ٮ

ك ٌرْيِب َخ ٌمْيِلَع َ هللّٰا َّنِا Terjemahnya:

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti"

Ayat ini menyampaikan bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan, berada pada posisi setara dalam kapasitasnya sebagai hamba. Keduanya memiliki kesempatan, melalui ketakwaan. Menurut Nasaruddin Umar, untuk mencapai derajat takwa ini, keragaman etnis, budaya, gender dan jenis kelamin, tak jadi persoalan. Mereka yang selalu menaati perintah Allah dapat mencapai derajat hamba yang saleh.

38

Mewujudkan kesetaraan gender bukanlah hal yang mustahil bagi kelompok dan negara, meskipun budaya tersebut sudah ada sejak lama.

Mewujudkan kesetaraan gender membutuhkan waktu lama dan tidak dapat dicapai dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini dikarenakan perubahan budaya yang dimulai dengan perubahan cara pandang membutuhkan waktu (Susanto, 2015).

Terwujudnya kesetaraan gender dibuktikan dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Baik perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan mengakses, berpartisipasi dan mengontrol perkembangan dan memperoleh manfaat yang sama darinya.

Upaya mewujudkan kesetaraan tidak harus ditafsirkan sebagai upaya sporadis untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Tawney mengakui bahwa manusia itu beragam baik biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan dan lainnya. Dia mengatakan konsep mengenali faktor-faktor tertentu dari seorang individu yang memberdayakan mereka sesuai dengan mereka, disebut person-regarding equality. Konsep ini dikenal sebagai kesetaraan kontekstual karena kesetaraan masalah tidak memberikan perlakukan yang sama secara individu dan dapat memenuhi kebutuhan tertentu (Megawangi, 1999). Artinya kesetaraan adalah kesetaraan yang adil dalam konteks setiap individu, bukan kesetaraan yang seringkali menuntut kesetaraan matematis.

b. Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender tidak menjadi masalah kecuali menyebabkan ketidakadilan gender. Namun persoalannya, perbedaan gender menciptakan berbagai ketidakadilan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan

gender ini disebabkan oleh ideologi, sistem dan struktur masyarakat tertentu dan membutuhkan stereotip gender yang membedakan antara dua ruang dan peran dalam perjalanan hidup yang berbeda. Ketidakadilan gender memanifestasikan dirinya dalam banyak cara.

c. Marginalisasi Perempuan

Marginalisasi adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat tertentu untuk membuat salah satu atau satu jenis kelamin tertentu menjadi miskin. Dalam hal ini, ketidakadilan yang dirasakan perempuan sebenarnya dapat berasal dari kebijakan pemerintah tertentu, keyakinan, interpretasi agama yang kontekstual, tradisi dan bahkan asumsi ilmiah. Termarginalisasinya perempuan terjadi tidak hanya di sektor ekonomi dan tempat kerja, tetapi juga dalam berbagai aspek seperti keluarga, masyarakat, budaya, bahkan negara. Salah satu contoh marginalisasi perempuan dalam dunia kerja dan pengetahuan adalah pemberian pelatihan pertanian khusus untuk laki-laki. Hal ini karena banyak petani perempuan yang keluar dari sawah dan pertanian mereka. Selain pertanian masih banyak pekerjaan lain pantas untuk perempuan seperti pembantu rumah tangga.

Hal ini menunjukkan bahwa anggapan perempuan yang bekerja lebih sedikit dibandingkan laki-laki seringkali menimbulkan perbedaan Pandangan (Stereotipe).

Pandangan (Stereotipe) umumya berlabel negatif dan selalu menghasilkan ketidakadilan. Hal ini menimbulkan terjadinya tindak diskriminasi dan berbagai tindak ketidakadilan yang merugikan perempuan. Misalnya, pandangan masyarakat melihat perempuan yang bekerja di sektor publik tetapi tugas dan

40

fungsinya melakukan pekerjaan domestik atau urusan ruamah tangga, kalaupun ada pekerjaan di ranah publik hanyalah sebagai perpanjangan dari peran domestiknya.

d. Kekerasan (Violence)

Kekerasan (Violence) adalah suatu bentuk serangan atau gangguan terhadap fisik ataupun mental psikologis seseorang. Ada banyak penyebab kekerasan di antara orang-orang, tetapi kekerasan yang disebabkan oleh prasangka gender dikenal gender related violence. Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender adalah kekerasan seksual (pemerkosaan), kekerasan fisik dalam rumah tangga, termasuk kekerasan terhadap anak, penyiksaan terkait organ kelamin dan bentuk- bentuk kekerasan pornografi hingga pelecehan dengan kekerasan.

e. Beban Ganda

Beban ganda biasanya menjadi beban tersendiri bagi perempuan. Terdapat berbagai penelitian yang menyatakan bahwa hampir 90% pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh perempuan. Oleh karena itu, bagi perempuan yang bekerja di luar selain bekerja di tempat kerjanya itu, perempuan tetap harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Anggapan tentang peran perempuan seperti itu akan mendorong rasa bersalah terhadap perempuan jika tidak melakukan pekerjaan rumah tangga. Tidak hanya laki-laki sekarang merasa tidak bertanggungjawab atas pekerjaan rumahnya, tetapi beberapa tradisi melarang laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik.

f. Subordinasi

Subordinasi adalah asumsi atau kepercayaan bahwa salah satu jenis kelamin lebih penting atau dominan daripada yang lain. Ini adalah asumsi budaya bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Ada banyak contoh dalam tradisi tertentu, tafsir agama atau aturan birokrasi yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Subordinasi menganggap perempuan itu sangat emosional sehingga dia tidak bisa bertindak sebagai pemimpin. Dalam kehidupan masyarakat rumah tangga, bahkan kebijakan pemerintah dikeluarkan tanpa mengutamakan perempuan, sehingga selalu di nomorduakan, misalnya dari segi pendidikan lebih mengutamakan pendidikan kaum laki-laki daripada perempuan (Fakih, 2013).

Adanya diskriminasi gender tersebut, membuat posisi perempuan hampir tidak berharga. Isu perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan melewati proses yang sangat panjang, yang disebabkan oleh beberapa faktor yang berkembang di masyarakat, seperti tradisi, adat istiadat, corak budaya, ajaran agama, bahkan kebijakan dalam negeri. Akibatnya, peran sosial yang berbeda dalam masyarakat bisa berbeda, sehingga sulit untuk beralih peran antara laki-laki dan perempuan (Lisdamayatun, 2018).

3. Prinsip-Prinsip Kesetaraan Gender

Gerakan kesetaraan gender dalam Islam muncul dari pengaruh pemikiran- pemikiran yang datang dari luar dan memiliki tujuan tertentu. Sebab, jauh dari gerakan feminis yang muncul, Islam sudah memiliki aturan hidup, gerakan perempuan yang telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadis, kehidupan dan

42

interaksi sosial perempuan pada masa itu. Islam menempatkan perempuan pada posisi yang terpuji dalam ajarannya dan memberikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tanpa diskriminasi.

Dalam penelitian (Suhra, 2013), Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Quran. Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Laki-laki dan Perempuan Sebagai Hamba

Salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah tidak lain hanya untuk beribadah menyembah kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Az-Zariyat/51:56.

ِن ْوُدُب ْعَيِل اَّلِا َسْن ِاْل اَو َّنِجْ لا ُتقْ َ

ل َخ ا َم َو Terjemahnya:

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku"

Dalam kapasitas seorang hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan siapa yang melakukan banyak ibadah. Jadi ini adalah pahala yang besar karena tidak harus melihat dan mempertimbangkan jenis kelamin terlebih dahulu. Keduanya memiliki peluang dan potensi yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba ideal dalam Al-Quran biasanya disebut orang yang bertaqwa (muttaqûn), dan untuk mencapai derajat muttaqûn ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.

b. Laki-laki dan Perempuan Sebagai Khalifah di Bumi

Manusia diciptakan di muka bumi ini dengan tujuan menjadi hamba yang tunduk dan taat serta mengabdi kepada Allah, juga menjadi khalifah di muka bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi sebagaimana firman Allah ditegaskan di dalam QS. Al-An’am/6:165.

ٰتٰ

ا ۤا َم ْيِف ْمُ كَوُ

ل ْبَيِل ٍت ٰج َرَد ٍضْعَب َقْوَف ْمُ ك َض ْعَب َعَ

ف َر َو ِض ْر َ اْ

لا َ فِئٰٓ

ل َخ ْمُ كـَ

ل َع َج ْي ِذَّ

لا َو ُه َو ْمُ ٮ

ك

َّ

ن ِا

َكَّبَر ِب اَ

ق ِعْ لا ُعْي ِر َس ٌم ْي ِح َّر ٌر ْوف َغـُ َ

ل ٗهَّن ِا َو Terjemahnya:

"Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di Bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman, dan sungguh Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang"

Menurut Quraish Shihab dari Tafsir Al-Misbah, kata khalifah berarti pengganti Allah di muka bumi. Manusia ditunjuk oleh Allah untuk bertanggungjawab atas kesejahteraan alam semesta. Di sisi lain, menurut Umar, khalifah mencakup seluruh jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Keduanya setara dalam mengemban tugas menyejahterakan bumi dan seisinya.

44

Dokumen terkait