• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Makalah Karl Marx Meterialisme

N/A
N/A
Muhammad Amin Ad Din Al Banjari

Academic year: 2025

Membagikan "1. Makalah Karl Marx Meterialisme"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Terstruktur

Filsafat Ilmu Dosen Pengampu

Prof. Dr. Mujiburrahman, MA

KARL MARX

MATERIALISME SEBAGAI EPISTEMOLOGI

OLEH

MUHAMMAD AMINUDIN NIM : 240211010010

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI PASCASARJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU TASAWUF BANJARMASIN

TAHUN 2024

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Pemikiran Karl Marx tidak hanya mengubah lanskap teori sosial dan politik, tetapi juga memberikan sumbangan besar terhadap cara kita memahami pengetahuan dan realitas melalui lensa materialisme. Dalam konteks ini,

"materialisme" tidak sekadar merujuk pada pandangan dunia yang menekankan pada benda-benda materi, tetapi juga berfungsi sebagai landasan epistemologis, cara kita memperoleh pengetahuan tentang dunia. Pemikiran Marx tentang materialisme sebagai epistemologi menawarkan pendekatan yang lebih holistik dan historis terhadap pengetahuan, yang menganggap bahwa pemahaman kita terhadap dunia terbentuk dari kondisi material dan sosial yang ada.

Materialisme historis, sebagai konsep utama dalam teori Marx, menganggap bahwa sejarah dan perubahan sosial ditentukan oleh kondisi ekonomi dan cara produksi material. Namun, pemikiran ini tidak berhenti pada analisis ekonomi semata, melainkan menyarankan bahwa cara manusia memperoleh pengetahuan, baik tentang dirinya sendiri maupun dunia di sekitarnya, terikat erat dengan realitas material dan struktur sosial yang ada. Marx berargumen bahwa ideologi, sistem keyakinan, dan pandangan dunia yang ada seringkali mencerminkan kepentingan kelas penguasa, yang dengan demikian membentuk cara kita memahami kenyataan.

Dalam makalah ini, kami akan mengeksplorasi bagaimana materialisme Marx tidak hanya memberikan dasar bagi pemahaman sosial dan politik, tetapi juga menawarkan sebuah pendekatan epistemologi yang menantang pandangan idealisme dan subjektivisme yang dominan pada masanya. Marx memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari praktik material, dan bahwa hanya dengan memahami kondisi material yaitu kondisi yang berkaitan dengan pekerjaan, produksi, dan distribusi kekayaan, kita dapat benar-benar memahami dunia dan potensi perubahan sosial yang dapat dicapai.

(3)

Lebih dari sekadar teori tentang ekonomi atau sosial, materialisme Marx sebagai epistemologi membuka perspektif baru dalam memahami cara kita berinteraksi dengan dunia dan bagaimana struktur sosial serta kekuasaan membentuk pengetahuan kita. Dalam makalah ini, kami akan menganalisis konsep materialisme sebagai epistemologi, dengan menyoroti bagaimana Marx menantang pemikiran filosofis kontemporer melalui pendekatan yang lebih praktis, berbasis pada realitas material dan sejarah.

B. Rumusan Masalah.

1. Bagaimana latar belakang kehidupan Karl Marx yang memengaruhi pandangan filosofis !

2. Bagaimana pandangan Karl Marx tentang materialisme sebagai epistemologi !

C. Tujuan.

1. Mengetahui latar belakang kehidupan Karl Marx yang memengaruhi pandangan filosofis.

2. Mengetahui pandangan Karl Marx tentang materialisme sebagai epistemologi.

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Karl Marx

Pada tanggal 5 Mei 1818, Karl Marx lahir dalam keluarga Yahudi di Trier, Jerman. Ayahnya, Heinrich Marx, adalah seorang advokat di Prusia yang terpaksa pindah agama menjadi Kristen setelah kekalahan Perancis di Waterloo pada tahun 1815. Kebijakan pemerintah saat itu mengharuskan ia untuk menjadi seorang Kristen agar tetap bekerja sebagai pegawai negeri. Sebagai akibatnya, ayah Marx mengkonversi ke agama Kristen untuk mempertahankan pekerjaannya, sementara semua anaknya, termasuk Marx, dibaptis dan dibesarkan sebagai Kristen setelah kematian ibunya, Henriette.Marx dikenal sebagai seorang pria yang sangat mencintai keluarganya yaitu ayah, ibu, serta saudara-saudara kandungnya.

Meskipun begitu, dalam perjalanan hidupnya, Marx jarang menulis surat kepada keluarganya, bahkan kepada pacarnya, Jenny, yang ia cintai ketika belajar di Universitas Berlin. Sebagai seorang mahasiswa di Universitas Bonn dan Berlin, Marx sangat aktif dalam memperdalam ilmu pengetahuan. Ia gemar membaca dan menulis, serta terus-menerus merenungkan berbagai ide dan gagasan. Namun, di balik semangat intelektualnya, Marx juga sangat peka terhadap penderitaan masyarakat yang terpinggirkan, terutama kaum pekerja yang tertindas oleh kekuasaan pemerintah dan penguasa modal industri.

Pengalaman-pengalaman ini mendorong Marx untuk berpikir tentang bagaimana cara mengangkat masyarakat dari kemiskinan dan ketertindasan.

Meskipun ia dan teman-temannya sering membahas pemikiran Hegel dalam konteks "Filsafat Hegel," Marx merasa bahwa filsafat idealis Hegel tidak mampu memberi solusi praktis bagi kehidupan para pekerja, petani, dan rakyat miskin. Marx melihat ketimpangan yang tajam antara kelas kaya dan miskin, pengusaha dan pekerja, sebagai isu utama yang harus dihadapi. Bagi Marx, pemikiran semata tanpa aksi konkret, tidak akan membawa perubahan sosial

(5)

yang nyata. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa filsafat harus berorientasi pada perubahan dunia material, bukan sekadar dunia ide atau gagasan. Bagi Marx, perubahan sosial hanya dapat tercapai melalui tindakan politik nyata yang membebaskan rakyat dari penindasan.

Pada tahun 1841, di usia 23 tahun, Marx berhasil meraih gelar doktor di bidang filsafat. Namun, setelah itu, kehidupan Marx penuh dengan tantangan.

Pemikirannya tentang kemanusiaan universal dan perjuangan kelas banyak mendapat tentangan keras dari pemerintah dan kekuatan-kekuatan yang berkuasa.

Pada tahun 1843, Marx menjadi pemimpin redaksi surat kabar Rheinische Zeitung di Cologne. Surat kabar ini kemudian ditutup oleh pemerintah karena kritik tajam yang disampaikan Marx, terutama terkait dengan ideologi dan agama. Marx menganggap bahwa pers harusnya menjadi alat untuk membebaskan pikiran rakyat dan membuka kesadaran kritis. Salah satu kritik utamanya terhadap agama adalah pandangannya bahwa agama sering kali menghalangi pembebasan sejati. Marx berargumen bahwa agama mengajarkan untuk memprioritaskan kepentingan orang lain terlebih dahulu, sementara dalam realitas dunia ini, setiap individu harus memperjuangkan kebebasannya sendiri sebelum bisa membebaskan orang lain. Bagi Marx, kritik terhadap agama adalah bagian dari upaya membebaskan manusia dari belenggu ideologi yang mengekang.

Setelah menikah dengan Jenny von Westphalen pada 19 Juni 1843, Marx pindah ke Paris. Jenny adalah putri dari Baronn von Westphalen, seorang bangsawan, yang menikah dengan Marx setelah mereka menjalin hubungan yang panjang. Selain memulai kehidupan rumah tangga, di Paris, Marx juga bertemu dengan Friedrich Engels, yang kelak menjadi sahabat dan mitra intelektualnya dalam mengembangkan teori-teori sosial dan politik yang akan mengguncang dunia.1

1 Haryy Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), 67.

(6)

Kehidupan Marx di Paris menjadi titik balik dalam pemikirannya, terutama mengenai perjuangan kelas. Marx semakin radikal dalam pemikirannya karena ia melihat ketimpangan sosial yang semakin tajam antara kelas-kelas dalam masyarakat. Fokus utamanya adalah pada perbedaan kelas yang sangat mencolok—antara kaum borjuis (pemilik modal) dan proletariat (kelas pekerja). Keyakinan ini membuat Marx sering berada dalam konflik dengan pihak-pihak berkuasa, termasuk pemerintah daerah yang merasa terancam oleh kritik kerasnya terhadap struktur sosial yang ada.

Pada tahun 1845, untuk menghindari tekanan dari otoritas Prusia, Marx pindah ke Brussel, Belgia. Namun, ia tidak bisa bertahan lama di sana. Tiga tahun kemudian, akibat pengaruh dan tulisan-tulisannya yang radikal, Marx diusir dari Belgia. Ia kemudian kembali ke Paris, sebelum akhirnya, pada tahun 1849, pindah ke Rhineland dan akhirnya menetap di London pada tahun 1849.

Di kota ini, Marx menghabiskan sisa hidupnya dan melanjutkan penulisannya yang produktif hingga wafat pada 14 Maret 1883.

London menjadi tempat di mana Marx mengembangkan karya-karya terbesarnya, termasuk Das Kapital, yang menyelidiki dinamika kapitalisme dan ketidakadilan yang tercipta darinya. Di kota ini, ia juga semakin terlibat dalam gerakan sosial dan politik internasional, berkolaborasi dengan berbagai kelompok dan individu yang sejalan dengan visinya untuk mengubah dunia melalui perjuangan kelas. Marx meninggal di London, tetapi warisan pemikirannya terus hidup dan mempengaruhi berbagai gerakan sosial dan politik di seluruh dunia.

B. Materialisme Sebagai Epistemologi Menurut Karl Marx

Materialisme merupakan sebuah wawasan yang berfokus pada kelebihan faktor-faktor material atas yang spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, epistemologi, ataupun penjelasan historis, maka filsafat materialisme cenderung dianggap sebagai faham anti agama dan anti tuhan.2 Menurut Oxford

2 Lailatul Fitriyah, Mega Silviya Putri, and Moch Irwansyah, “PENTINGNYA ANALISIS FILSAFAT MATERIALISME DALAM PENDIDIKAN ERA 5.0” 1, no. 2 (2024): 183.

(7)

English Dictionary memaknai materialisme adalah “pengabdian pada kebutuhan dan keinginan material, dengan mengabaikan hal-hal spiritual:

pendapat atau kecenderungan hidup yang sepenuhnya didasarkan pada kepentingan material”.3

Materialisme merupakan aliran yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada hanya berupa materi. Paradigma materi menjelaskan bahwa segala sesuatu di bumi ini dapat ditafsirkan dengan hukum fisik. Maksud dari hukum fisik di sini adalah melalui prinsip sains.

Pada tingkat paling ekstrem, materialisme adalah keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun selain materi yang bergerak. Berpikir merupakan salah satu aspek fisik kehidupan dan gerak. Dalam filsafat materialis, semua materi terdiri dari materi, dan semua peristiwa dihasilkan dari interaksi materi. Masalahnya adalah organisasi yang sama. Namun, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme.

Konsekuensi dari perbedaan-perbedaan ini berasal dari landasan materialisme. Materialisme tidak menerima benda-benda non-fisik seperti jiwa, hantu, roh, dan malaikat karena tidak dapat dimanfaatkan. Menurut pemahaman materialis, tidak ada entitas non-materi, Tuhan, atau dunia supranatural. Yang ada hanyalah materi dan aktivitasnya, yang tidak terbatas, serta fenomena yang terus berubah dan melampaui keberadaan. Materialisme mencoba menjelaskan ketidakberartian fenomena materi dengan "materi," yang tidak hanya berkaitan dengan ruang dan waktu, tetapi juga mereduksi masalah tersebut ke masalah yang lebih tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa deskripsi materi memiliki batasan, karena banyak hal yang nyata dan sibuk dapat ditelusuri kembali ke, atau setidaknya terlihat bergantung pada, materinya.

Sebagai sebuah filosofi, materialisme sering dikaitkan dengan kritik terhadap agama, terutama karena pandangan bahwa agama dapat digunakan sebagai alat untuk menahan atau mengalihkan perhatian orang dari kenyataan

3 Fitriyah, Putri, and Irwansyah, 178.

(8)

dunia yang lebih fisik dan sosial. Karl Marx, dalam pandangannya yang terkenal, menyebut agama sebagai "opium bagi rakyat." Menurut Marx, agama berfungsi sebagai alat penghibur bagi orang-orang yang tertindas, memberikan harapan palsu akan kehidupan setelah mati, sementara di dunia nyata mereka tetap hidup dalam kemiskinan dan penindasan. Dalam pandangan ini, agama dapat dianggap sebagai bentuk pelarian dari realitas sosial yang tidak adil dan, dengan demikian, dapat berfungsi untuk memperkuat status quo.

Pandangan materialis terhadap agama sering kali melihatnya sebagai konstruksi sosial atau psikologis yang muncul sebagai respons terhadap kebutuhan emosional manusia untuk memberikan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka, namun tidak memiliki dasar yang objektif atau fisik.

Namun, prinsip tak terhingga mengatakan bahwa apa yang lebih tinggi harus dijelaskan oleh apa yang lebih rendah. Hal ini karena aturan ini secara tidak sengaja mengubah suatu metode menjadi aturan umum. Kesederhanaan data tersebut harus ditambah dengan penetapan segi hukumnya, karena hanya aspek-aspek inilah yang dapat menangkap karakter produk.

Dalam proses interaksi antara materialisme dan ilmu-ilmu lainnya, baik materialisme maupun ilmu-ilmunya berubah. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan munculnya filsafat, muncullah teori materialis pertama. Oleh karena itu, materi kuno merupakan penegasan atas materialitas dunia dan keberadaan segala sesuatu yang tidak bergantung pada kesadaran manusia.

Dari teori atomnya, Democritus mengatakan bahwa alam terdiri dari atom- atom yang tak terhingga. Atom tidak memiliki awal atau akhir, mereka ada selamanya, mereka memiliki atas dan bawah, dan ada ikatan serta cincin yang menghubungkan atom-atom tersebut. Atom adalah partikel fisik, meskipun halus, dan berkumpul secara lengkap dan seragam. Demokritos berpendapat bahwa alam tidak terbatas, sebab alam tidak pernah diciptakan oleh pembuat apapun. Atom-atom menurutnya tidak bisa berubah, abadi, dan memiliki daya berat. Salah satu syarat atom itu bisa bergerak meskipun ada ruang kosong. Jadi,

(9)

wujud hakiki menurut pandangan atomis adalah alam materi, alam bergerak menurut hukum-hukum kepastian secara mekanis yang tidak pernah berubah.

Materialisme berupaya menemukan fakta tentang asal-usul segala keberadaan. Materialisme kuno berusaha mengembangkan teori tentang struktur atom materi. Bagi kaum materialis sebelumnya, situasi tersebut tercipta dari permasalahan yang terdalam, dan dunia dapat menjelaskan aturan yang kuat. Banyak yang tidak memahami perbedaan antara jasmani dan rohani atau tentang ciri-ciri spiritualitas alam. Perkembangan prinsip materialis dan dialektis pada materialisme kuno erat kaitannya dengan perkembangan ideologi mitologis.

Pada abad pertengahan, pemikiran materialis mulai mengambil tempat dalam bentuk nominalisme. Seperti pada masa Renaisans, materialisme sering kali berbentuk panteisme dan dunia universal. Materialisme baru berkembang di Eropa pada abad ke-16 dan ke-18 (Galileo, Thomas Hobbes, Spinoza, dan Locke). Kaum materialis pada periode ini berusaha menentang skolastisisme abad pertengahan dan otoritas agama. Mereka mengambil pengalaman sebagai guru dan alam sebagai sudut pandangnya. Sebab, masyarakat sering membagi- bagi keadaan ke dalam wilayah kerja, tanpa memperhatikan perkembangannya.

di Prancis, metatheisme mendapat tempat khusus di kalangan materialis yang memiliki pemahaman mekanis sepenuhnya tentang gerak. Menurut mereka, gerak merupakan ciri alam yang tidak dapat dipisahkan.

Pada abad ke-19, teori Democritus dikembangkan oleh Feuerbach dan Marx. Feuerbach percaya bahwa hanya alam, termasuk manusia, yang ada.

Semua usaha manusia didorong oleh keinginan untuk bertahan hidup, dan yang terpenting dari manusia adalah usahanya, bukan kecerdasannya. Karena ilmu hanyalah alat untuk menyukseskan setiap usaha. Marx percaya bahwa kerja adalah kelangsungan hidup (kehidupan). Untuk tujuan ini, mereka dibagi menjadi dua kelompok: kaum miskin dan kaum borjuis. Ide utama Marx adalah memperjuangkan kebebasan proletariat, yaitu mencegah proletariat mencapai kesetaraan dengan kaum borjuis. Oleh karena itu, manusia tidak bisa dilihat

(10)

secara abstrak, tetapi harus dilihat bersama-sama dengan dunia kerja. Marx menekankan bahwa revolusi abad ke-19 tidak bisa tampil dengan menggunakan

"puisi lama," hanya bisa tampil valid dan sukses. Marx mengatakan bahwa masa depan ada di tangan kaum proletar, bukan kaum tani. Namun, yang penting dalam konteks saat ini adalah bahwa manusia ada sebelum manusia, dan apa yang dapat dicapai oleh aktivitas manusia dalam suatu periode sejarah bergantung pada banyak faktor barang dan hubungan.

Marx mengembangkan konsep materialisme historis yang melihat sejarah sebagai proses yang didorong oleh perubahan dalam cara manusia memproduksi dan mereproduksi kehidupan materialnya. Konsep ini muncul karena terjadi kesenjangan di masyarakat. Dimana kaum kapitalis mengorbankan kaum proletar. Lalu muncullah paham marxisme sebagai protes Marx terhadap kapitalis.4

Kaum proletar, yang merupakan pekerja kelas bawah, sering kali hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah yang hanya cukup untuk bertahan hidup, sementara hasil kerja keras mereka justru dinikmati oleh kaum kapitalis yang lebih kaya. Realitas ini menempatkan sebagian besar proletar dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian, bahkan banyak dari mereka yang terpaksa tinggal di kawasan kumuh dan pinggiran kota.

Karl Marx, seorang filsuf dan pemikir revolusioner, melihat fenomena ini sebagai ketidakadilan yang harus ditentang. Menurutnya, paham kapitalisme memungkinkan segelintir orang kaya menguasai sumber daya dan kekayaan, sementara sebagian besar masyarakat terjebak dalam kemiskinan. Dalam pandangan Marx, ketimpangan sosial ini muncul akibat sistem "kepemilikan pribadi" yang menguntungkan kaum kapitalis dan merugikan pekerja.

4 Subur Hendriwani, “TEORI KELAS SOSIAL DAN MARXSME KARL MARX,”

Paradigma: Jurnal Kalam dan Filsafat 2, no. 01 (June 19, 2022): 22, https://doi.org/10.15408/paradigma.v2i01.26617.

(11)

Untuk mengatasi ketimpangan ini, Marx mengusulkan penggantian sistem kapitalisme dengan komunisme, sebuah paham yang menjanjikan kesetaraan sosial dan ekonomi. Ia berpendapat bahwa jika keadaan ini dibiarkan berlanjut, kaum proletar akan semakin tertekan hingga akhirnya memberontak untuk menuntut hak-hak mereka. Inilah yang menjadi dasar pemikiran Marxisme—

sebuah teori yang tidak hanya mengkritik kapitalisme, tetapi juga memberikan jalan bagi terciptanya masyarakat yang lebih adil.

Marxisme bukan sekadar kritik, tetapi juga sebuah respon terhadap tantangan zaman modern. Ia berfungsi sebagai teori perubahan sosial yang berlandaskan pada keyakinan bahwa masyarakat dapat diperbaiki dan ditransformasikan menuju kondisi yang lebih baik. Marxisme mengajarkan bahwa melalui pengorganisasian sosial yang lebih adil, potensi individu untuk mencapai kebebasan dan kemajuan akan lebih mudah tercapai. Ini juga menekankan pentingnya struktur sosial yang inklusif dan progresif, yang memungkinkan setiap individu untuk berkembang tanpa terhambat oleh ketimpangan yang ada.

Secara keseluruhan, Marxisme mengajak kita untuk berpikir kritis tentang ketidakadilan sosial dan mendukung perubahan yang lebih radikal untuk menciptakan masyarakat yang lebih setara dan berkemajuan.

Dalam dunia bisnis, kaum borjuis memainkan peran revolusioner yang besar, dan tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan hasil dari pekerjaan.

Dengan perkembangan pasar, kelas ini telah mencapai kinerja kelas dunia dalam produksi dan penggunaannya. Ini akan berkembang selama kelas kapital mampu menguasai dan menambah modal yang ada. Disisi lain, kaum proletar hanya bisa bertahan jika memiliki lapangan kerja, dan lapangan kerja hanya bisa ada jika kaum borjuis mau membangun modalnya di dunia kerja dengan bijak.

Biaya tenaga kerja ditentukan oleh waktu yang diperlukan untuk reproduksi, dan biaya tenaga kerja dapat dikendalikan oleh proses reproduksi yang memerlukan pendidikan dan pelatihan.

(12)

Kaum proletar menurut Marx adalah suatu kaum yang diperalatkan dengan baik oleh kaum borjuis, namun harus dengan upah yang sesuai dengan pekerjaan mereka. Dengan mengandalkan kaum borjuis yang banyak memiliki uang dalam sebuah industri, karena uangnya banyak mereka dapat menanamkan modal serta memberi upah kepada kaum proletar dengan upah yang sepadan sesuai kerja mereka. Maka, akan terjadi keseimbangan dalam hal ekonomi masyarakat sehingga mereka pun merasakan kenyamanan dalam kehidupan masing-masing.

Ada empat konsep utama dalam materialisme historis yang perlu kita pahami untuk menggali lebih dalam pemikiran Marx:5

1. Means of Production (Cara Produksi): Alat dan sumber daya yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang diperlukan untuk bertahan hidup.

2. Relations of Production (Hubungan Produksi): Hubungan sosial yang terjalin antara mereka yang terlibat dalam proses produksi, seperti antara pekerja dan pemilik modal.

3. Mode of Production (Mode Produksi): Cara produksi yang menjadi dasar bagi struktur sosial suatu masyarakat, dan bagaimana cara produksi ini membentuk hubungan sosial.

4. Force of Production (Kekuatan Produksi): Kapasitas untuk memproduksi barang dan jasa yang tergantung pada teknologi, keterampilan, dan sumber daya yang tersedia.

Tidak hanya berhenti pada materialisme historis, Marx juga mengembangkan teori materialisme dialektis. Teori ini berfokus pada bagaimana perubahan dalam materi (baik dalam masyarakat maupun alam semesta) terjadi melalui proses kontradiksi dan konflik. Dalam pandangan materialisme dialektis, segala sesuatu bergerak melalui kontradiksi internal yang mendorong perkembangan dan perubahan. Dengan kata lain, perubahan terjadi bukan karena

5 Prof. Dr. Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Kencana, n.d.), 24–25.

(13)

keadaan yang stabil, tetapi karena ketegangan yang muncul dari dalam sistem itu sendiri.

Bagi Marx, revolusi sosial adalah proses yang tidak bisa dihindari, dan hanya dengan perubahan dalam cara produksi, dunia akan mencapai kondisi yang lebih adil dan merata. Kaum proletariat, menurutnya, akan memainkan peran utama dalam membawa perubahan ini, mengatasi ketimpangan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme.

Menurut Marx, untuk membangun materialisme dialektis yang kuat, maka perlu diperkuat tiga hukum dasar,6 yaitu:

1. Hukum kondradiksi internal

Hukum pertama ini menyatakan bahwa segala sesuatu dalam dunia ini mengandung kontradiksi internal yang mendorong perubahan dan perkembangan. Kontradiksi ini bukanlah hal yang negatif, melainkan suatu kekuatan pendorong yang memungkinkan terjadinya transformasi dan perkembangan dalam setiap entitas atau sistem.

Contoh dalam konteks masyarakat: Dalam masyarakat kapitalis, ada kontradiksi antara kelas-kelas sosial—terutama antara kapitalis (pemilik alat produksi) dan proletariat (buruh yang menjual tenaga kerja). Konflik ini mendorong perubahan sosial, yang dalam perspektif Marx akan berujung pada revolusi yang menggulingkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sistem sosialisme atau komunisme.

Secara umum, hukum ini menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu yang stabil atau abadi, semua benda, sistem, atau fenomena sosial mengandung unsur- unsur yang saling bertentangan yang akhirnya akan menuntun pada perubahan.

2. Hukum perubahan dari kuantitas menjadi kualitas

Hukum kedua ini menjelaskan bahwa perubahan kuantitatif pada akhirnya akan mengarah pada perubahan kualitatif. Artinya, ketika ada perubahan yang terjadi secara bertahap atau kuantitatif (peningkatan jumlah, ukuran,

6 Firdaus M. Yusuf, Materialisme. (Banda Aceh: PT. Bambu Kuning Utama, 2019), 45–46.

(14)

atau intensitas), perubahan tersebut pada titik tertentu akan menghasilkan perubahan kualitatif—suatu transformasi fundamental atau perubahan sifat yang mendasar.

Contoh dalam alam dan masyarakat: Misalnya, dalam perubahan sosial, akumulasi masalah atau ketidakadilan sosial yang terus menerus (perubahan kuantitatif) akan mencapai titik kritis yang menyebabkan perubahan besar dalam struktur sosial (perubahan kualitatif). Sebagai contoh, ketidakpuasan massa yang terus berkembang dengan sistem kapitalisme dapat mengarah pada revolusi sosial yang mengubah tatanan masyarakat.

Dalam konteks materialisme dialektis, perubahan dari kuantitas menjadi kualitas bisa dilihat pada banyak proses di alam atau dalam sejarah manusia.

Sebuah perubahan kecil dan bertahap yang menumpuk pada akhirnya akan membawa perubahan besar dan mendasar yang tidak dapat diabaikan.

3. Hukum peniadaan

Hukum ketiga ini merujuk pada proses peniadaan atau negasi, yaitu suatu proses di mana suatu bentuk eksistensi atau kondisi sosial digantikan oleh bentuk atau kondisi baru yang lebih tinggi. Dalam dialektika Marx, peniadaan tidak berarti penghancuran secara total, melainkan transformasi dan pembaruan dari bentuk lama menjadi bentuk yang lebih kompleks atau lebih tinggi.

Contoh dalam konteks sejarah: Marx memandang bahwa masyarakat kapitalis akan digantikan oleh masyarakat sosialisme dan akhirnya komunisme. Kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan sosial dianggap akan

"dihapuskan" atau digantikan oleh sistem yang lebih adil, yang didorong oleh revolusi kelas proletariat.

Secara filosofi, peniadaan mengacu pada ide bahwa setiap sistem atau struktur sosial yang ada tidak akan bertahan selamanya. Struktur yang ada akan digantikan oleh struktur yang lebih maju, yang pada gilirannya akan mengalami peniadaan ketika kondisinya sudah berubah.

Ketiga hukum dasar ini saling terkait dan bekerja bersama untuk menjelaskan proses perubahan dalam sejarah, masyarakat, dan alam semesta.

(15)

Kontradiksi internal adalah pendorong perubahan, yang sering kali mengarah pada perubahan kuantitatif yang pada gilirannya akan menghasilkan perubahan kualitatif, perubahan besar yang merubah tatanan secara fundamental. Selanjutnya, dengan adanya peniadaan (negasi), bentuk lama akan dihancurkan atau diubah menjadi bentuk yang lebih tinggi, yang sekali lagi akan mengandung kontradiksi baru yang mendorong perubahan berikutnya.

(16)

BAB III KESIMPULAN

Karl Marx, melalui pemikirannya tentang materialisme, mengkritik ketidakadilan dalam sistem kapitalisme, di mana kaum proletar dieksploitasi oleh kaum borjuis. Ia mengembangkan materialisme historis, yang menyatakan bahwa perubahan sosial dipengaruhi oleh perkembangan cara produksi, serta materialisme dialektis, yang berfokus pada perubahan melalui kontradiksi internal dalam masyarakat.

Dalam konteks materialisme sebagai epistemologi, Marx berargumen bahwa pengetahuan dan kesadaran manusia tidak terpisah dari kondisi material dan sosial tempat mereka hidup. Menurut Marx, ide-ide dan pandangan dunia berkembang berdasarkan struktur sosial dan ekonomi yang ada, serta interaksi manusia dengan lingkungan material mereka. Oleh karena itu, perubahan dalam cara manusia memproduksi kehidupan material mereka akan menghasilkan perubahan dalam kesadaran dan struktur sosial.

Marx percaya bahwa perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui revolusi proletariat, yang akan menggantikan kapitalisme dengan sosialisme atau komunisme yang lebih adil dan setara. Pemikirannya tentang materialisme dan perubahan sosial telah memberikan pengaruh besar dalam teori sosial, politik, dan ekonomi hingga saat ini.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Damsar, Prof. Dr. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Kencana, n.d.

Fitriyah, Lailatul, Mega Silviya Putri, and Moch Irwansyah. “PENTINGNYA ANALISIS FILSAFAT MATERIALISME DALAM PENDIDIKAN ERA 5.0” 1, no. 2 (2024).

Hamersma, Haryy. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT. Gramedia, 1983.

Hendriwani, Subur. “TEORI KELAS SOSIAL DAN MARXSME KARL MARX.”

Paradigma: Jurnal Kalam dan Filsafat 2, no. 01 (June 19, 2022).

https://doi.org/10.15408/paradigma.v2i01.26617.

M. Yusuf, Firdaus. Materialisme. Banda Aceh: PT. Bambu Kuning Utama, 2019.

(18)

Soal dan Jawaban

1. Pertanyaan dari Ibu Toyyibah “Apa yang dimaksud Karl Marx tentang agama itu candu ?”

Jawab.

Agama itu candu adalah sebuh perkataan yang pernah keluar dari Karl Marx, namun bukan berarti dia anti agama. Ketika itu banyak terjadi penindasan terhadap kaum proletar oleh kaum kapitalis. Kaum kapitalis hanya memikirkan kenyamanannya sendiri, dengan menghiraukan kaum proletar yang banyak menjadi korbannya. Karena kaum proletar tak mempunyai dukungan untuk memperjuangkan hak mereka, maka tampillah agama yang menjadi sandaran terakhir mereka. Kesanalah mereka mencari serta mendapatkan makanan rohani yang dapat menenangkan jiwa mereka.

Walaupun padahal mereka sedang diperlakukan tak manusiawi.

2. Pertanyaan dari Bapak Febri “Mengapa Ir. Soekarno menolak konsep materialisme !”

Jawab.

Bagi Ir. Soekarno materialisme adalah isinya juga kapitalisme yang hanya mementingkan segelintir orang kaya. Sehingga tak cocok untuk diterapkan di Indonesia, yang mana masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bersifat sosialisme, nasionalisme dan spiritualisme. Terlebih lagi konsep materialisme ini datangnya dari negara Barat. Ketika itu Ir. Soekarno sangat anti barat.

Bagi Ir. Soekarno masyarakat Indonesia harus mandiri, kreatif, dan tak bergantung dengan nilai-nilai Barat salah satunya materialisme. Karena ia bias mengikis budaya lokal, sehingga dapat menghilangkan identitas nasional, yang mana masyarakat Indonesia mempunyai tradisi gotong royong yang tinggi dan suka hidup dalam kesederhaan.

Referensi

Dokumen terkait

Semua institusi sosial, termasuk agama, didirikan atas dasar infrastruktur ekonomi (yaitu, alat-alat produksi dan hubungan sosial dalam produksi) dan menyesuaikan

Dengan mema- hami konteks sosial Karl Marx, kritiknya terhadap agama dapat dipahami sebagai kegelisahannya atas model keberagamaan yang dominan saat itu yang justru menjadi

Ia telah membuktikan bahwa di negeri-negeri dengan suatu peradaban tua, dengan suatu susunan kelas-kelas yang telah berkembang, dengan kondisi-kondisi produksi yang modern, dan

Dengan sudah jelasnya dari mana para pemilik modal mendapatkan keuntungan dalam proses produksi mereka dalam Teori Nilai Lebih, selanjutnya Teori Akumulasi Modal akan menjelaskan

Mengubah masyarakat secara revolusioner (perubahan secara cepat) harus berakhir dengan kemenangan kaum proletar. Sehingga pada gilirannya pemerintahan negara harus

Mengubah masyarakat secara revolusioner (perubahan secara cepat) harus berakhir dengan kemenangan kaum proletar. Sehingga pada gilirannya pemerintahan

Semua institusi sosial, termasuk agama, didirikan atas dasar infrastruktur ekonomi (yaitu, alat-alat produksi dan hubungan sosial dalam produksi) dan menyesuaikan

Dengan kepemilikan harta dan hak atas hidup yang lebih banyak oleh kaum borjuis dan minimnya bagi kaum proletar akan memicu konflik dalam masyarakat sehingga terjadi revolusi sosial