• Tidak ada hasil yang ditemukan

10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Matematika Sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Matematika Sekolah"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Matematika Sekolah

Kata “matematika” berasal dari bahasa Yunani kuno (mathema), yang berarti pengkajian, pembelajaran, ilmu, yang ruang lingkupnya menyempit, dan arti teknisnya menjadi “pengkajian matematika”, bahkan demikian juga pada zaman kuno. Kata sifatnya adalah (mathematikos), berkaitan dengan pengkajian, atau tekun belajar, yang lebih jauhnya berarti matematis. Secara khusus, (mathematik tekhne), di dalam bahasa latin ars mathematica, berarti seni matematika (Wikipedia, 2011). Karso (Amin, 2012) menyatakan bahwa matematika itu terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif.

Selanjutnya menurut Reyt., et al (Syarifuddin, 2009) matematika adalah (1) studi pola dan hubungan (study of patterns and relationships) dengan demikian masing-masing topik itu akan saling berjalinan satu dengan yang lain yang membentuknya, (2) cara berpikir (way of thinking) yaitu memberikan strategi untuk mengatur, menganalisis dan mensintesa data atau semua yang ditemui dalam masalah sehari-hari, (3) suatu seni (an art) yaitu ditandai dengan adanya urutan dan konsistensi internal, dan (4) sebagai bahasa (a language) dipergunakan secara hati-hati dan didefinisikan dalam term dan simbol yang akan meningkatkan kemampuan untuk berkomunikasi akan sains, keadaan kehidupan

(2)

riil, dan matematika itu sendiri, serta (5) sebagai alat (a tool) yang dipergunakan oleh setiap orang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

Soedjadi (Amin, 2012) mendefinisikan matematika sekolah adalah unsur- unsur atau bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan kependidikan dan perkembangan IPTEK. Hal tersebut menunjukkan bahwa matematika sekolah tidaklah sepenuhnya sama dengan matematika sebagai ilmu. Dikatakan tidak sepenuhnya sama karena memiliki perbedaan antara lain dalam hal (1) penyajiannya, (2) pola pikirnya, (3) keterbatasan semestanya, (4) tingkat keabstrakannya.

1. Penyajiaanya, pada matematika sekolah penyajian atau pengungkapan butir- butir matematika yang akan disampaikan disesuaikan dengan perkiraan perkembangan intelektual siswa. Bisa dengan cara mengaitkan butir yang akan disampaikan dengan realitas di sekitar siswa atau disesuaikan dengan pemakaiannya, sehingga seringkali tidak langsung berupa butir matematika.

2. Pola pikirnya, dalam proses pembelajaran matematika sekolah digunakan pola pikir induktif yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa.

3. Keterbatasan semestanya, pada matematika sekolah pengertian semesta pembicaraan tetap diperlukan, hanya terjadi “penyederhanaan” atau mempersempit semesta pembicaraan dari konsep matematika yang kompleks.

4. Tingkat keabstarakannya, sifat abstrak objek matematika pada matematika sekolah tetap ada, hanya seorang guru matematika harus berusaha

(3)

mengurangi sifat abstrak dari objek matematika itu sehingga memudahkan siswa menangkap pelajaran matematika di sekolah.

Tujuan matematika sekolah adalah menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari, menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika, mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal lanjut, membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin (Syarifuddin, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika sekolah adalah matematika yang telah dipilih dan disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa, serta digunakan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berhitung bagi para siswa sesuai dengan tujuan matematika sekolah.

B. Hakikat Pembelajaran Matematika

Menurut Uno (Mu’minsyah, 2012: 06) “hakikat belajar matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol, kemudian diterapkannya pada situasi nyata”. Lebih lanjut lagi Schoelfield (Mu’minsyah, 2012: 06) mendefinisikan “belajar matematika berkaitan dengan apa dan bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah”.

(4)

Sedangkan menurut Wardani (Mu’minsyah, 2012: 06) mengemukakan tentang pengertian belajar matematika dari beberapa pakar, diantaranya yaitu:

1. Kolb (1949)

Mendefinisikan belajar matematika sebagai proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa itu sendiri melalui transformasi pengalaman individu peserta didik. Pendapat Kolb ini intinya menekankan bahwa dalam belajar siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya mengkontruksi sendiri pengetahuan yang dipelajari dan peserta didik harus didorong untuk aktif berinteraksi dengan lingkungan belajarnya sehingga dapat memperoleh pemahaman yang lebih tinggi dari sebelumnya.

2. Heuvel-Panhuizen (1998) dan Verchaffel-De Corte (1977)

Pendidikan matematika seharusnya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk “menemukan kembali” matematika dengan berbuat matematika. Pembelajaran matematika harus mampu memberi peserta didik situasi masalah yang dapat dibanyangkan atau mempunyai hubungan dengan dunia nyata. Lebih lanjut mereka menemukan adanya kecenderungan kuat bahwa dalam memecahkan masalah dunia nyata peserta didik tergantung pada pengetahuan pada pengetahuan yang dimiliki peserta didik tentang dunia nyata tersebut.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa belajar matematika pada hakikatnya adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti struktur-struktur, hubungan-hubungan, simbol-simbol kemudian merupakan

(5)

konsep-konsep yang dihasilkan ke situasi yang nyata sehingga terjadi suatu perubahan tingkah laku.

C. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spencer Kagen pada tahun 1993 (Trianto, 2009:

82) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dengan mengecek pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Isjoni (2009: 68) menyatakan bahwa model pembelajaran ini memberi kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.

Menurut Trianto (2009: 82) pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together atau penomoran berpikir bersama adalah salah satu tipe pembelajaran

kooperatif yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional.

Model Numbered Head Together merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri atas empat tahap yang digunakan untuk mereview fakta-fakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk mengatur interaksi siswa. Model pembelajaran ini juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang tingkat kesulitannya terbatas.

Numbered Head Together sebagai model pembelajaran pada dasarnya merupakan sebuah variasi diskusi kelompok. Adapun ciri khas dari Numbered

(6)

Head Together adalah guru hanya memanggil nomor tertentu kemudian siswa

yang nomornya sesuai yang mewakili kelompoknya. Dalam menunjuk siswa tersebut, guru tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok tersebut. Menurut Nur (2005: 78), dengan cara tersebut akan menjamin keterlibatan total semua siswa dan merupakan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok. Selain itu model pembelajaran Numbered Head Together memberi kesempatan kepada siswa untuk membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.

Dengan adanya keterlibatan total semua siswa tentunya akan berdampak positif terhadap motivasi belajar siswa. Siswa akan berusaha memahami konsep- konsep ataupun memecahkan permasalahan yang disajikan oleh guru seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim, dkk (Trianto, 2009: 60) bahwa dengan belajar kooperatif akan memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademik penting lainnya serta akan memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademis.

Ibrahim, dkk (Trianto, 2009: 59) mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagai tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang

(7)

lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.

Tingkah laku mengajar (sintaks) model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT).

Fase Tingkah Laku Guru

Fase-1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase-2

Menyajikan Informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Fase-3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok

kooperatif

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

Fase-4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase-5 Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase-6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Sumber: Ibrahim, dkk (Trianto, 2009: 66)

(8)

Menurut Trianto (2009: 82) dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks Numbered Head Together (NHT) adalah sebagai berikut:

1. Fase 1: Penomoran (Numbering): Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggotakan 3-5 orang dan setiap anggota kelompok diberi nomor 1 sampai 5.

2. Fase 2: Mengajukan pertanyaan (Questioning): Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya atau bentuk arahan.

3. Fase 3: Berpikir bersama (Head Together): Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu.

4. Fase 4: Menjawab (Answering): Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.

Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep Kagen (Ibrahim, 2000: 29), dengan tiga langkah yaitu:

1. Pembentukan kelompok 2. Diskusi masalah

3. Tukar jawaban antar kelompok

Langkah-langkah tersebut kemudian dikembangkan menjadi 6 (enam) langkah-langkah sebagai berikut:

(9)

1. Langkah 1: Persiapan

Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat skenario pembelajaran (SP), LKS, yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.

2. Langkah 2: Pembentukan kelompok

Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5 orang siswa secara heterogen. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda.

Selain itu dalam pembentukan kelompok digunakan nilai tes awal (pretest) sebagai dasar dalam menentukan masing-masing kelompok.

3. Langkah 3: Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan.

Dalam pembelajaran kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan agar memudahkan siswa dalam menyelesaikan LKS atau masalah yang diberikan oleh guru.

4. Langkah 4: Diskusi masalah

Dalam kerja kelompok guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari dalam kerja kelompok setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang ada dalam LKS atau pertanyaan yang diberikan oleh guru.

(10)

5. Langkah 5: Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban

Dalam hal ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas.

6. Langkah 6: Memberi kesimpulan

Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yg disajikan.

Hamruni (Sudarman, 2012: 6) mengungkapkan kelebihan yang diperoleh dari pembelajaran kooperatif sebagai suatu model pembelajaran khususnya tipe NHT adalah sebagai berikut:

1. Siswa dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.

2. Mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan secara verbal dan dapat bertukar pikiran dengan siswa yang lainnya.

3. Menumbuhkan sikap menghargai orang lain, menyadari akan segala keterbatasannya, dan bersedia menerima segala perbedaan.

4. Membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.

5. Meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan mengubah belajar abstrak menjadi nyata.

Di samping kelebihan, model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) juga memiliki kelemahan. Adapun kelemahan model pembelajaran ini adalah:

(11)

1. Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang sehingga memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran, dan waktu.

2. Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

3. Saat diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.

4. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.

5. Kelas cenderung jadi ramai dan jika guru tidak dapat mengkondisikan dengan baik, keramaian itu dapat menjadi tidak terkendali, sehingga mengganggu proses belajar mengajar, tidak hanya di kelas sendiri, tetapi bisa juga mengganggu ke kelas lain.

D. Perangkat Pembelajaran

Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan sumber belajar yang memungkinkan siswa dan guru melakukan kegiatan pembelajaran. Jadi jelas bahwa dengan adanya perangkat pembelajaran akan mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas. Guru akan lebih mudah untuk mengajarkan suatu materi, sedangkan siswa akan lebih mudah untuk memahami materi yang akan diajarkan oleh guru. Oleh sebab itu, perangkat pembelajaran mutlak diperlukan oleh seorang guru dalam mengelola pembelajaran (Sahid, 2009).

(12)

Berikut diuraikan perangkat pembelajaran, meliputi rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), buku siswa, lembar kerja siswa (LKS) dan tes hasil belajar (THB).

1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

RPP merupakan rancangan skenario pembelajaran yang akan dilakukan guru dan siswa di dalam kelas. Dengan demikian, penyusunan RPP dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada guru tentang bagaimana siswa diajar dan bagaimana siswa belajar dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together. Dalam RPP ini, disajikan informasi-informasi penting lain yang terkait dengan pembelajaran tersebut, yaitu standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran yang meliputi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir, sumber pembelajaran serta penilaian hasil belajar.

2. Buku Siswa

Buku siswa merupakan buku panduan bagi siswa dalam kegiatan pembelajaran. Buku siswa memuat masalah-masalah kontekstual yang akan dipelajari dalam pembelajaran dan dilengkapi dengan soal-soal latihan. Buku siswa disusun dengan mengacu pada kurikulum matematika yang berlaku sesuai dengan jenjang persekolahan. Materi dari buku siswa dapat diadaptasi dari beberapa buku acuan. Pengembangan buku siswa mempertimbangkan model pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian. Buku siswa berisi materi/tema yang akan dipelajari siswa. Materi pada buku siswa dirumuskan

(13)

dalam bentuk permasalahan yang nantinya akan dipecahkan oleh siswa melalui bimbingan guru. Buku siswa ini diupayakan dapat memberi kemudahan pada guru untuk menerapkan pembelajaran model kooperatif tipe Numbered Head Together, dan juga memberi kemudahan bagi siswa dalam menemukan konsep-

konsep dan gagasan-gagasan matematika.

3. Lembar Kerja Siswa (LKS)

LKS merupakan lembaran kerja siswa atau panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah pada setiap pertemuan. LKS hanya memuat masalah-masalah kontekstual dan tempat untuk menyelesaikan setiap masalah, tidak memuat soal-soal latihan.

Keberadaan LKS ini dimaksudkan untuk memudahkan guru dan siswa dalam melaksanakan kegiatan yang ada di buku siswa. LKS tersebut dirancang untuk memberikan kemudahan pada guru dalam mengakomodir tingkat kemampuan siswa dan diharapkan dapat mengembangkan serta memperkuat konsep-konsep yang disajikan.

4. Tes Hasil Belajar

Tes hasil belajar merupakan butir tes yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar khususnya dalam hal ini pada pokok bahasan relasi dan fungsi. Tes hasil belajar dibuat mengacu pada kompetensi dasar yang ingin dicapai, dijabarkan ke dalam indikator pencapaian hasil belajar dan disusun berdasarkan kisi-kisi penulisan butir soal lengkap dengan kunci jawabannya. Tes hasil belajar yang dikembangkan disesuaikan dengan jenjang kemampuan kognitif. Untuk

(14)

penskoran hasil tes, menggunakan panduan evaluasi yang memuat kunci dan pedoman penskoran setiap butir soal.

E. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Suatu model dapat diartikan suatu representasi baik visual maupun verbal.

Menurut Setyosari (Amin, 2012: 43) model menyajikan sesuatu atau informasi yang kompleks atau rumit menjadi sesuatu yang lebih sederhana. Suatu model dalam penelitian pengembangan dihadirkan dalam bagian prosedur pengembangan, yang biasanya mengikuti model pengembangan yang dianut oleh peneliti. Model juga dapat memberikan kerangka kerja untuk pengembangan teori dan penelitian. Model-model pengembangan pembelajaran menurut beberapa ahli antara lain:

1. Model 4-D (Model Thiagarajan)

Model pengembangan 4-D (Four D) merupakan model pengembangan perangkat pembelajaran. Model ini dikembangkan oleh S. Thagarajan, Dorothy S.

Semmel, dan Melvyn I. Semmel. Model pengembangan 4-D terdiri atas 4 tahap utama yaitu: (1) Define (Pembatasan), (2) Design (Perancangan), (3) Develop (Pengembangan) dan Disseminate (Penyebaran), atau diadaptasi Model 4-P, yaitu Pendefinisian, Perancangan, Pengembangan, dan Penyebaran seperti pada gambar 2.1 berikut:

(15)

Secara garis besar keempat tahap tersebut sebagai berikut (Rusdi, 2008):

a. Tahap 1: Define (pembatasan), tujuan tahap ini menetapkan dan menentukan syarat-syarat pembelajaran yang meliputi tujuan pembelajaran dan pembatasan materi pembelajaran. Tahap ini mencakup lima langkah, yaitu analisi awal-akhir, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas dan spesifikasi tujuan pembelajaran.

b. Tahap II: Design (rancangan), tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan prototype perangkat pembelajaran. Tahap ini mencakup empat langkah, yaitu penyusunan tes, pemilihan format, rancangan awal dan pemilihan media.

c. Tahap III: Develope (pengembangan), tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan bentuk akhir perangkat pembelajaran yang dikembangkan pada Gambar 2.1. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D Thigarajan

(Trianto, 2009: 190)

(16)

tahap perencanaan dan untuk mendapatkan umpan balik melalui evaluasi formatif. Tahap ini mencakup dua langkah, yaitu penilaian ahli dan uji coba.

d. Tahap IV: Disseminate (penyebaran), tahap ini merupakan tahap penggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas misalnya di kelas lain, di sekolah lain, oleh guru yang lain. Tujuannya adalah untuk menguji efektivitas penggunaan perangkat di dalam kegiatan belajar mengajar.

Keunggulan dari model 4-D ini adalah lebih tepat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan sistem pembelajaran, uraiannya tampak lebih lengkap dan sistematis, dalam pengembangannya melibatkan penilaian ahli sehingga sebelum dilakukan uji coba di lapangan perangkat pembelajaran telah dilakukan revisi berdasarkan penilaian, saran dan masukan para ahli. Namun pada tahap pengembangan dan penyebaran membutuhkan banyak biaya dan waktu yang harus disediakan.

2. Model Pengembangan Menurut Kemp

Menurut Kemp (Trianto, 2012: 44) pengembangan merupakan suatu lingkaran kontinum. Tiap-tiap langkah pengembangan berhubungan langsung dengan aktivitas revisi. Pengembangan dapat dimulai dari titik manapun dalam siklus tersebut. Secara umum model pengembangan model Kemp ditunjukkan pada gambar 2.2.

(17)

Gambar 2.2 Bagan Model Pengembangan Kemp (Rusdi, 2008)

Terdapat sepuluh unsur rencana perancangan pembelajaran. Kesepuluh unsur tersebut adalah sebagai berikut (Rusdi, 2008):

a. Identifikasi masalah pembelajaran, tujuan dari tahapan ini adalah mengidentifikasi antara tujuan menurut kurikulum yang berlaku dengan fakta yang terjadi di lapangan baik yang menyangkut model, pendekatan, metode, teknik maupun strategi yang digunkan guru.

b. Analisis siswa, analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkah laku awal dan karakteristik siswa yang meliputi ciri, kemampuan dan pengalaman baik individu maupun kelompok.

c. Analisis tugas, analisis ini adalah kumpulan prosedur untuk menentukan isi suatu pengajaran, analisis konsep, analisis pemrosesan informasi dan analisis prosedural yang digunakan untuk memudahkan pemahaman dan penguasaan

Revisi RevisiKebutuhan

Belajar

Poko bahasan, tugas dan tujuan umum

Evaluasi Sumatif

Evaluasi Formatif

Ciri siswa

Isi mata ajar dan analisis

Sasaran Pengajara

Kegiatan belajar mengajar Sumber

Pengajara Pelayana

n Penunja Menilai

hasil balajar

Uji awal

(18)

tentang tugas-tugas belajar dan tujuan pembelajaran yang dituangkan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS).

d. Merumuskan indikator, analisis ini berfungsi sebagai (a) alat untuk mendesain kegiatan pembelajaran, (b) kerangka kerja dalam merencanakan mengevaluasi hasil belajar siswa, dan (c) panduan siswa dalam belajar.

e. Penysusunan Instrumen Evaluasi, bertujuan untuk menilai hasil belajar, kriteria penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, hal ini dimaksudkan untuk mengukur ketuntasan pencapaian kompetensi dasar yang telah dirumuskan.

f. Strategi pembelajaran, pada tahap ini pemilihan strategi belajar mengajar sesuai dengan tujuan. Kegiatan ini meliputi: pemilihan model, pendekatan, metode, pemilihan format yang dipandang mampu memberikan pengalaman yang berguna untuk mencapai tujuan pembelajaran.

g. Pemilihan media atau sumber belajar, keberhasilan belajar sangat tergantung pada penggunaan sumber pembelajaran atau media yang dipilih, jika sumber- sumber pembelajaran dipilih dan disiapkan dengan hati-hati, maka dapat memenuhi tujuan pembelajaran.

h. Merinci pelayanan penunjang yang diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan semua kegiatan dan untuk memperoleh atau membuat bahan.

i. Menyiapkan evaluasi hasil belajar dan hasil program.

(19)

j. Melakukan kegiatan revisi perangkat pembelajaran, setiap langkah rancangan pembelajaran selalu dihubungkan dengan revisi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dan memperbaiki rancangan yang dibuat.

Kelebihan dari model Kemp antara lain: (1) Diagram pengembangannya berbentuk bulat telur yang tidak memiliki titik awal tertentu, sehingga dapat memulai perancangan secara bebas, (2) Bentuk telur itu juga menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara unsur-unsur yang terlibat, (3) Dalam setiap unsur ada kemungkinan untuk dilakukan revisi, sehingga memungkinkan terjadinya sejumlah perubahan dari segi isi maupun perlakuan terhadap semua unsur tersebut selama pelaksanaan program. Sedangkan kekurangan model ini antara lain kurang sistematis dan kurang lengkap, tidak melibatkan penilaian ahli, sehingga ada kemungkinan perangkat pembelajaran yang dilaksanakan terdapat kesalahan.

3. Model Pengembangan Dick dan Carey

Perancangan pengajaranmenurut sistem pendekatan model Dick dan Carey, yang dikembangkan oleh Walter Dick dan Lou Carey (Trianto, 2009: 186).

Model pengembangan ini ada kemiripan dengan model yang dikembangkan Kemp, tetapi ditambah dengan komponen melaksanakan analisis pembelajaran, terdapat beberapa komponen yang akan dilewati di dalam proses pengembangan dan perencanaan tersebut. Urutan perencanaan dan pengembangan ditunjukkan pada gambar 2.3 berikut:

(20)

Gambar 2.3 Model Perancangan dan Pengembangan Pengajaran Menurut Dick & Carey (Rusdi, 2008)

Dari model di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Identifikasi tujuan (identity instructional goals). Tahap awal model ini adalah menentukan apa yang diinginkan agar siswa dapat melakukannya ketika mereka telah menyelesaikan progaram pengajaran. Definisi tujuan pengajaran mungkin mengacu pada kurikulum tertentu atau mungkin juga berasal dari daftar tujuan sebagai hasil need assesment, atau pengalaman praktik dengan kesulitan belajar siswa di dalam kelas.

b. Melakukan analisis instruksional (conducting a goal analysis). Setelah mengidentifikasi tujuan pembelajaran, maka akan ditentukan apa tipe belajar

(21)

yang dibutuhkan siswa. Tujuan yang dianalisis untuk mengientifikasi keterampilan yang lebih khusus lagi yang harus dipelajari. Analisis ini akan menghasilkan cara atau diagram tentang konsep dan menunjukkan keterkaitan antara keterampilan konsep tersebut.

c. Mengidentifikasi tingkah laku awal/karakteristik siswa (identity entry behavior, characteristic). Ketika melakukan analisis terhadap keterampilan-

keterampilan yang perlu dilatihkan dan tahapan prosedur yang perlu dilewati, juga harus dipertimbangkan keterampilan apa yang telah dimiliki siswa saat mulai mengikuti pengajaran. Yang penting juga untuk diidentifikasi dalah karakteristik khusus siswa yang mungkin ada hubungannya dengan rancangan aktivitas-aktivitas pengajaran.

d. Merumuskan tujuan kinerja (write performance objectives). Berdasarkan analisis instruksional dan pernyataan tentang tingkah laku awal siswa, selanjutnya akan dirumuskan pernyataan khusus tentang apa yang harus dilakukan siswa setelah menyelesaikan pembelajaran.

e. Pengembangan tes acuan patokan (developing criterian-referenced test item).

Pengembangan tes acuan patokan didasarkan pada tujuan yang telah dirumuskan, pengembangan butir assesmen untuk mengukur kemampuan siswa seperti yang diperkirakan dalam tujuan.

f. Pengembangan strategi pengajaran (develop instructional strategy). Informasi dari lima tahap sebelumnya, maka selanjutnya mengidentifikasi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan akhir. Strategi akan meliputi aktivitas

(22)

preinstruksional, penyampaian informasi, praktik dan balikan, testing yang dilakukan lewat aktivitas.

g. Pengembangan atau memilih pengajaran (develop and select instructional materials). Tahap ini akan digunakan strategi pengajaran untuk menghasilkan

pengajaran yang meliputi petunjuk untuk siswa, bahan pelajaran, tes dan panduan guru.

h. Merancang dan melaksanakan evaluasi formatif (design and conduct formative evaluation). Evaluasi dilakukan untuk mengumpulkan data yang

akan digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana meningkatkan pengajaran.

i. Menulis perangkat (design and conduct summative evaluation). Hasil-hasil pada tahap di atas dijadikan dasar untuk menulis perangkat yang dibutuhkan.

Hasil perangkat selanjutnya divalidasi dan diujicobakan di kelas.

j. Revisi pengajaran (instructional revitions). Tahap ini mengulangi siklus pengembangan perangkat pengajaran. Data dari evaluasi sumatif yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya diringkas dan dianalisis serta diinterpretasikan untuk diidentifikasi kesulitan yang dialami oleh siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Begitu pula masukan dari hasil impelementasi dari pakar/validator.

Keunggulan model Dick dan Carey pada analisis tugas yang tersusun secara terperinci dan tujuan pembelajaran khusus secara hirarkis. Disamping itu adanya uji coba yang berulang kali menyebabkan hasil yang diperoleh sistem dapat diandalkan. Kelemahan model ini adalah uji coba tidak diuraikan secara jelas kapan harus dilakukan dan kegiatan revisi baru dilaksanakan setelah

(23)

diadakan tes formatif, sedangkan pada tahap-tahap pengembangan tes hasil belajar, strategi pembelajaran maupun pada pengembangan dan penilaian bahan pembelajaran tidak tampak secara jelas ada tidaknya penilaian para ahli atau tidak dilakukannya validasi.

4. Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)

Model pengembangan PPSI dilakukan untuk rancangan pembelajaran sebagaimana bagan berikut (Rusdi, 2008):

Gambar 2.4 Model Pengembangan PPSI (Rusdi, 2008)

Secara garis besar, model pengembangan PPSI mengikuti pola dan siklus pengembangan yang mencakup: (1) perumusan tujuan, (2) pengembangan alat evaluasi, (3) kegiatan belajar, (4) pengembangan program kegiatan, (5)

I. PERUMUSAN TUJUAN 1. Bersifat operasional 2. Berbentuk hasil belajar 3. Berbentuk tingkah laku 4. Hanya ada satu tingkah laku

III. KEGIATAN BELAJAR

1. Merumuskan semua

kemungkinan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan

2. Menetapkan kegiatan yangperlu atau tidak perluditempuh

II. MENGEMBANGKAN ALAT EVALUASI

1. Menentukan jenis tes yang akan digunakan menilai ketercapaian tujuan

2. Menyusun item soal untuk menilai setiap tujuan

IV. PENGEMBANGAN PROGRAM KEGIATAN 1. Merumuskan materi pelajaran.

2. Menetapkan metode yang digunakan

3. Memilih alat dan sumber belajar yang dipakai

4. Menyusun jadwal

V. PELAKSANAAN

1. Mengadakan pretest

2. Menyampaikan materi pelajaran 3. Mengadakan post test

4. perbaikan

(24)

pelaksanaan pengembangan. Sesuai bagan di atas perumusan tujuan menjadi dasar bagi penentuan alat evaluasi pembelajaran dan rumusan kegiatan belajar.

Rumusan kegiatan belajar lebih lanjut menjadi dasar pengembangan program kegiatan, yang selanjutnya adalah pelaksanaan pengembangan. Hasil pelaksanaan tentunya dievaluasi, dan selanjutnya hasil evaluasi digunakan untuk merevisi pengembangan program kegiatan, rumusan kegiatan belajar, dan alat evaluasi.

Kekurangan dari model pengembangan PPSI antara lain: (a) kurang tepat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan perangkat pembelajaran sebab model ini untuk mengembangkan sistem pembelajaran, (b) uraiannya tampak kurang lengkap dan kurang sistematis, (c) dalam pengembangannya tidak melibatkan penilaian ahli, sehingga sebelum dilakukan uji coba di lapangan perangkat pembelajaran tidak dilakukan revisi berdasarkan penilaian, saran dan masukan para ahli.

Berdasarkan uraian beberapa model di atas dengan melihat kelebihan dan kekurangan model tersebut, maka model pengembangan perangkat pembelajaran yang peneliti gunakan adalah model pengembangan perangkat pembelajaran 4-D (model Thiagarajan) yang terdiri dari 4 tahap pengembangan yaitu tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design), tahap pengembangan (develop), dan tahap penyebaran (desseminate). Untuk tahap penyebaran (desseminate) pada penelitian ini belum digunakan, karena pada ujicoba penelitian ini masih terbatas yaitu satu kali dan hanya pada satu kelas, yakni kelas VIIIB

SMP Handayani Sungguminasa.

(25)

Alasan peneliti memilih model pengembangan perangkat pembelajaran 4- D (model Thiagarajan) karena pada model pengembangan ini merupakan dasar untuk melakukan pengembangan perangkat pembelajaran bukan untuk mengembangkan sistem pembelajaran, pembatasan materi yang jelas pada tahap pendefinisian, hasil prototipe pembelajarannya juga jelas diuraikan pada tahap perancanganserta tahap-tahap pelaksanaan dibagi secara detail dan sistematis. Di samping itu dalam pengembangannya melibatkan penilaian ahli, sehingga sebelum dilakukan uji coba di lapangan perangkat pembelajaran ini telah dilakukan revisi berdasarkan penilaian, saran, dan masukan para ahli.

Model pengembangan 4-D (model Thiagarajan) ini juga masih sangat sederhana sehingga memudahkan peniliti untuk melaksanakan model ini dengan hasil yang maksimal.

Referensi

Dokumen terkait

THE IMPLEMENTATION OF PROCESS APPROACH IN WRITING DESCRIPTIVE TEXT OF THE TENTH GRADE AT MA TRI BAKTI ATTAQWA EAST LAMPUNG IN THE ACADEMIC YEAR OF 2015/2016 ABSTRCT By:

X donne un point de césure invisible,k une marque insécable et visible de syllabisation, Kune marquesécableet visible de syllabisation,bune marque d’accent tonique secondaire insécable,