MAKALAH
LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN RASA NYAMAN NYERI Di Ruang Mawar RSU Darmayu Ponorogo
Disusun oleh : N
O.
NAMA 1. Endartik 2. Nuryani 3. Hanifah Sahar
4. Rendrayana 5. Tri Edy Wibowo
PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO 2024
BAB 1 KONSEP DASAR
1.1 Definisi
Nyeri adalah penyakit yang ditandai dengan sensasi tidak menyenangkan yang hanya dapat dijelaskan secara akurat oleh orang yang mengalaminya, karena pengalaman rasa sakit dan ketidaknyamanan setiap orang berbeda (Alimul, 2015). Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman yang terjadi sebagai akibat dari kerusakan jaringan , atau kerusakan jaringan yang ada atau yang akan datang (Aydede, 2017).
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah fenomena rumit yang tidak hanya mencakup respons fisik atau mental, tetapi juga emosi emosional individu. Penderitaan seseorang atau individu dapat menjadi penyebab utama untuk mencari perawatan medis, dan juga dapat menjadi alasan individu untuk mencari bantuan medis. Kenyamanan individu diperlukan, dan itu harus menyenangkan. Sakit merupakan kebutuhan penderitanya. Nyeri adalah keadaan tidak nyaman yang disebabkan oleh kerusakan jaringan yang terjadi dari suatu daerah tertentu (Siti Cholifah, et al 2020). Sehingga dari pernyataan diatas, nyeri adalah suatu stimulus yang tidak menyenangkan dan sangat kompleks yang dapat diamati secara verbal maupun nonverbal.
1.2 Perspektif Nyeri Protektif
Pertama, adanya rasa nyeri yang merupakan sistem perlindungan fisiologis peringatan dini, penting untuk mendeteksi dan meminimalkan kontak dengan rangsangan yang merusak atau berbahaya.
Kondisi ini adalah rasa nyeri yang kita rasakan ketika menyentuh sesuatu yang terlalu panas, dingin, atau tajam. Karena nyeri ini berkaitan dengan penginderaan rangsangan berbahaya, hal ini disebut nyeri nosiseptif, nyeri ambang batas tinggi yang hanya diaktifkan dengan adanya rangsangan intens.
Aparatus neurobiologis yang menghasilkan nyeri nosiseptif berevolusi dari kapasitas sistem saraf yang paling primitif sekalipun untuk memberi sinyal kerusakan jaringan yang akan datang atau yang sebenarnya dari rangsangan lingkungan.
Peran protektifnya menuntut perhatian dan tindakan segera, yang terjadi berdasarkan refleks penarikan yang diaktifkannya, ketidaknyamanan intrinsik dari sensasi yang ditimbulkan, dan penderitaan emosional yang ditimbulkannya.
Nyeri nosiseptif muncul sebagai sesuatu yang harus dihindari sekarang dan ketika terlibat, sistem mengesampingkan sebagian besar fungsi saraf lainnya.
Adaptif
Perspektif rasa nyeri yang kedua bersifat adaptif. Dengan meningkatkan sensitivitas sensorik setelah kerusakan jaringan yang tak terhindarkan, rasa sakit ini membantu penyembuhan bagian tubuh yang terluka dengan menciptakan situasi yang menghambat kontak fisik dan gerakan.
Hipersensitivitas nyeri atau nyeri tekan, mengurangi risiko kerusakan lebih lanjut dan meningkatkan pemulihan, seperti setelah luka bedah atau pada sendi yang meradang, di mana rangsangan yang biasanya tidak berbahaya sekarang menimbulkan rasa sakit.
Nyeri ini disebabkan oleh aktivasi sistem imun oleh cedera jaringan atau infeksi, dan oleh karena itu disebut nyeri inflamasi. Memang, rasa nyeri adalah salah satu ciri utama peradangan. Meskipun nyeri ini bersifat adaptif, nyeri ini masih perlu dikurangi pada pasien dengan peradangan tertentu yang sedang berlangsung, seperti rheumatoid arthritis atau dalam kasus cedera parah atau luas.
Maladaptif
Nyeri maladaptif terjadi akibat fungsi sistem saraf yang tidak normal. Nyeri patologis ini bukan merupakan gejala dari beberapa gangguan melainkan suatu keadaan penyakit pada sistem saraf, dapat terjadi setelah kerusakan sistem
saraf (nyeri neuropatik), tetapi juga dalam kondisi di mana tidak ada kerusakan atau peradangan seperti itu (nyeri disfungsional).
Kondisi yang menimbulkan nyeri disfungsional termasuk fibromyalgia, sindrom iritasi usus besar, sakit kepala tipe tegang, penyakit sendi temporomandibular, sistitis interstisial, dan sindrom lain di mana terdapat nyeri substansial tetapi tidak ada stimulus berbahaya dan tidak ada patologi inflamasi perifer.
Sindrom nyeri klinis dengan kebutuhan terbesar yang tidak terpenuhi, nyeri patologis sebagian besar merupakan konsekuensi dari sinyal sensorik yang diperkuat di sistem saraf pusat dan merupakan nyeri ambang rendah.
Dengan analogi, jika nyeri adalah alarm kebakaran, tipe nosiseptif akan diaktifkan dengan tepat hanya dengan adanya panas yang hebat, nyeri inflamasi akan diaktifkan oleh suhu hangat, dan nyeri patologis akan menjadi alarm palsu yang disebabkan oleh malfungsi sistem itu sendiri
1.3 Fisiologis nyeri Perambatan Nyeri
Rangsangan nyeri dihantarkan oleh reseptor yang disebut nosiseptor.
Nosiseptor merupakan ujung syaraf perifer yang bebas dan tidak bermielin atau hanya memiliki sedikit mielin.
Reseptor ini tersebar di kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati dan kandung empedu. Proses fisiologi yang terkait dengan nyeri disebut nosisepsi.
Proses ini terdiri atas empat tahap sebagai berikut:
Transduksi : Rangsangan stimulus yang membahayakan memicu pelepasan mediator biokimia seperti histamin, prostaglandin, dan substansi P
Transmisi : Stimulasi yang diterima oleh reseptor ditransmisikan berupa impuls nyeri dari serabut syaraf perifer ke medulla spinalis. Nyeri ditransmisikan dari medula spinalis ke batang otak dan talamus melalui jalur spinotalamus (spinotalamic tract atau SST) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi
Persepsi : Individu mulai menyadari adanya nyeri dan tampaknya persepsi ersebut terjadi di struktur konteks sehingga memungkinkan timbulnya berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi komponen sensorik dan afektif.
Modulasi : Neuron di batang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke tanduk dorsal medulla spinalis yang terkonduksi dengan nosiseptor impuls supresif. Serabut desendens tersebut melepaskan substansi seperti opoud, serotonin, dan norepineprin yang akan menghambat impuls asendens yang membahayakan di bagian dorsal medulla spinalis.
Respon Seluler
Ketika rangsangan termal, mekanik, atau kimia mencapai intensitas berbahaya sugestif cedera, mereka dideteksi oleh nosiseptor, yang merupakan subpopulasi dari serabut saraf perifer yang ditemukan di kulit, sendi, jeroan, tulang, dan otot.
Jaringan yang rusak melepaskan dan menghasilkan banyak faktor yang pada gilirannya mengaktifkan ujung saraf. Faktor-faktor ini termasuk globulin, protein kinase, asam arakidonat, histamin, faktor pertumbuhan saraf (NGF), zat P (SP), peptida terkait gen kalsitonin (CGRP), antara lain.
Faktor-faktor ini merangsang saluran transduser, dengan saluran potensial reseptor transien (TRP) menjadi contoh utama. Saluran TRP berfungsi mirip dengan saluran kalium berpintu tegangan atau saluran berpintu nukleotida dan dengan demikian membantu menginisiasi potensial reseptor, akibatnya menginduksi potensial aksi di serabut saraf.
Dua kelas utama nosiseptor yaitu aferen bermielin diameter sedang (A-delta) yang menyampaikan nyeri cepat akut yang terlokalisasi dengan baik dan serat
“C” berdiameter kecil tidak bermielin yang menyampaikan nyeri lambat yang tidak terlokalisasi.
Berdasarkan studi elektrofisiologi, nosiseptor A-delta dapat dibagi lagi menjadi kelas A-delta Tipe I dan Tipe II. Tipe I A-delta nociceptors berfungsi untuk merespon rangsangan mekanik dan kimia tetapi umumnya mendeteksi panas hanya pada ambang batas yang lebih tinggi (lebih dari 50 derajat C).
Sebaliknya, nosiseptor A-delta Tipe II memiliki kepekaan yang jauh lebih besar terhadap panas tetapi memiliki ambang mekanis yang sangat tinggi.
Jadi, dalam situasi rangsangan mekanis langsung seperti tusukan jarum, nosiseptor A-delta Tipe I diprovokasi terlebih dahulu, sedangkan, dalam kasus panas berbahaya akut, aktivitas nosiseptor A-delta Tipe II kemungkinan pertama kali dipicu.
Mirip dengan nosiseptor A-delta, sebagian besar serat C yang tidak bermielin adalah polimodal dan dengan demikian merespons rangsangan berbahaya mekanis dan termal. Nociceptors diam juga termasuk dalam kelas nosiseptor ini. Aferen ini merespon lebih sensitif terhadap rangsangan kimia misalnya capsaicin dan histamin, tetapi secara mekanis tidak responsif kecuali didahului oleh cedera jaringan.
Sistem Organ
Nosiseptor terdapat pada organ visera, kulit, sendi, tulang, dan otot, namun tidak ada nosiseptor yang ditemukan di Susunan Saraf Pusat. Inilah alasan mengapa kraniotomi sadar dapat dilakukan, dan tidak menyakitkan bagi pasien.
Penting juga untuk dipahami bahwa modalitas sensorik spesifik yang mengarah ke nosiseptif berbeda tergantung pada jenis jaringan, yaitu:
Pada kulit : rangsangan berbahaya umumnya termal, mekanik (misalnya, luka), dan kimia (misalnya, alergen eksogen)
Pada persendian : rangsangan berbahaya biasanya berasal dari stres mekanis (misalnya, torsi sendi yang berlebihan) dan peradangan kimia
Pada organ visceral: distensi mekanis, traksi, serta iritasi kimia biasanya bertanggung jawab atas sinyal nosiseptif.
Pada otot : aktivitas mekanis yang berat (misalnya, gaya tumpul, peregangan berlebihan) dan modalitas kimia adalah yang paling umum.
Transduksi sinyal nosiseptif ke otak inilah yang menimbulkan persepsi nyeri.
Gejala biopsikososial kompleks nyeri terjadi di daerah kortikal dan subkortikal, seperti talamus, amigdala, hipotalamus, abu-abu periaqueductal, ganglia basal dan area korteks serebral.
Sementara dalam situasi khas, nosiseptif biasanya mendahului persepsi nyeri, ada keadaan klinis di mana proses ini tidak tumpang tindih. Nosisepsi dapat terjadi tanpa kesadaran nyeri berikutnya, dan nyeri dapat hadir tanpa stimulus berbahaya yang mendasarinya secara terukur.
Misalnya, yang pertama dapat diamati setelah trauma parah ketika korban bebas dari rasa sakit meskipun cedera besar. Yang terakhir dapat diamati dengan individu yang menderita sindrom nyeri fungsional yang melaporkan rasa sakit yang substansial tanpa tanda-tanda kerusakan fisik
1.4 Teori Penghantaran Nyeri Teori Gate Control
Teori gate control dikemukakan oleh Melzack dan well pada tahun 1965.
Berdasarkan teori ini, fisiologi nyeri dapat dijelaskan sebagai berikut.
Akar dorsal pada medulla spinalis terdiri atas beberapa lapisan atau laminae yang saling bertautan. Diantara lapisan dua dan tiga terdapat substansia gelatinosa (Substansia Gelatinosa atau SG) yang berperan seperti layaknya pintu gerbang yang memungkinkan atau menghalangi masuknya impuls nyeri menuju otak.
Pada mekanisme ini, rangsangan dihantarkan melalui serabut syaraf kecil.
Rangsangan pada syaraf kecil dapat menghambat substansi gelatinosa dan membuka pintu mekanisme sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri
Rangsangan yang dihantarkan melalui syaraf kecil dapat dihambat apabila terjadi rangsangan pada syaraf besar. Rangsangan pada syaraf besar akan mengakibatkan aktivitas substansi gelatinosa meningkat sehingga pintu mekanisme tertutup dan hantaran rangsangan pun terhambat.
Rangsangan yang melalui syaraf besar dapat langsung merambat ke korteks serebri agar dapat diidentifikasikan dengan cepat.
Teori Pemisahan (Specificity)
Rangsangan nyeri masuk melalui ganglion dorsal ke medulla spinalis melalui kornus dorsalis yang bersinaptis di daerah posterior.
Rangsangan tersebut kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya. Rangsangan berakhir di korteks sensoris tempat nyeri tersebut diteruskan. Proses penghantaran ini tidak memperhitungkan aspek fisiologis dan respon nyeri.
Teori Pola (Pattern)
Rangsangan nyeri masuk medulla spinalis melalui ganglion akar dorsal dan merangsang aktifitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan tersebut ke korteks serebri.
Nyeri yang terjadi merupakan efek gabungan dari intensitas rangsangan dan jumlah rangsangan pada ujung dorsal medulla spinalis. Proses ini tidak termasuk aspek fisiologis.
Teori transmisi dan Inhibisi
Stimulus yang mengenai nosiseptor memulai transmisi (penghantaran) impuls syaraf. Transmisi ini menjadi efektif karena terdapat neurotransmitter yang spesifik.
Inhibisi impuls juga menjadi efektif karena terdapat impuls pada serabut besar yang menghalangi impuls pada serabut lambat dan sistem supresi opiat endogen.
1.5 Stimulus Nyeri
Beberapa faktor yang dapat menjadi stimulus atau menyebabkan nyeri karena menekan reseptor. Contoh faktor-faktor tersebut adalah trauma atau gangguan pada jaringan tubuh, tumor, iskemia pada jaringan dan spasme otot.
Seseorang dapat mentoleransi, menahan nyeri (Pain tolerance), atau dapat mengenali jumlah stimulasi sebelum merasakan nyeri (pain threshold).
Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, diantaranya adalah:
Trauma pada jaringan tubuh, misalnya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor
Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema, akibat terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
Tumor, dapat juga menekan reseptor nyeri
Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteri koronaria yang menstimulasi reseptor akibat tertumpuknya asam laktat
Spasme otot, dapat menstimulasi nyeri secara mekanik
2.1 Klasifikasi Nyeri
Secara umum klasifikasi nyeri dibagi menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronis:
a. Nyeri Akut
Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri merupakan respon biologis terhadap suatu cedera jaringan dan menjadi suatu tanda bila ada kerusakan jaringan, seperti nyeri pasca operasi. Jika nyeri terjadi bukan karena penyakit sistematik, nyeri akut biasanya sembuh setelah kerusakan jaringan diperbaikinyeri akut umumnya terjadi kurang dari enam bulan atau kurang dari satu bulan (de Boer, 2018).
b. Nyeri Kronis
Nyeri kronik yaitu nyeri yang menetap sepanjang suatu periode waktu, konstan atau intermiten. Nyeri akut berlangsung diluar penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik yang menyebabkan nyeri terus menerus atau nyeri berulang dalam beberapa bulan atau tahun. Beberapa peneliti menggunakan durasi dari 6 bulan untuk menunjuk nyeri sebagai kronis (de Boer, 2018).
3.1 Etiologi
Nyeri dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu trauma, peradangan (imflamasi), neoplasma (jinak dan ganas) gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah, serta terjadi karena trauma psikologis.
4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi
Nyeri merupakan sesuatu yang rumit dan banyak faktor yang memengaruhi pengalaman nyeri seseorang. Menurut (Smeltzer & Bare, 2015) variabel berikut yang mempengaruhi respon nyeri:
a. Usia
Usia merupakan faktor yang signifikan dalam rasa sakit, terutama pada anak-anak dan orang tua. Rasa sakit sulit bagi anak kecil untuk dipahami, juga untuk diungkapkan dan disampaikan.
b. Budaya
Sikap dan nilai budaya memengaruhi pengalaman nyeri seseorang dan bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan hal tersebut. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri.
c. Ansietas
Kecemasan biasanya meningkatkan rasa sakit seseorang. Untuk mengelola emosi, stimulan nyeri melibatkan area limbik. Sistem limbik dapat menangani respons emosional terhadap rasa sakit, seperti peningkatan rasa sakit atau penghilang rasa sakit.
d. Pengalaman Sebelumnya
Setiap orang belajar nyeri dari masalalunya. Jika individu sering mengalami nyeri yang sama dan nyeri tersebut dihilangkan secara efektif, individu tersebut akan dapat memahami rasa nyeri dengan lebih mudah. Akibatnya, klien lebih siap menghadapi ketidaknyamanan. Jika klien belum pernah mengalami nyeri, rasa nyeri yang pertama kali dapat mengganggu manajemen nyeri.
e. Efek Plasebo
Efek plasebo Ketika seseorang percaya bahwa terapi atau tindakan akan memiliki efek, mereka mengalami efek plasebo. Ini bermanfaat untuk menerima perawatan atau mengambil tindakan sendiri.
4.2 Tanda dan gejala nyeri
Tanda dan gejala nyeri secara umum akan didapatkan respon psikologis berupa :
1) Suara : menangis, merintih, menghembuskan nafas 2) Ekspresi wajah : meringis
3) Menggigit lidah, mengatupkan gigi, menggigit bibir.
4) Pergerakan tubuh : gelisah, otot tegang, bergerak melindungi bagian tubuh.
5) Interaksi sosial : menghindari percakapan dan kontak sosial, berfokus pada aktivitas untuk mengurangi rasa nyeri
4.3 Penilaian Nyeri
Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang sederhana dengan menentukan derajat nyeri secara kualitatif: nyeri ringan, sedang, dan berat. Pada saat ini banyak yang menentukan derajat nyeri secara semi kuantitatif dengan menggunakan penggaris yang diberi angkapada skala 0 yang berarti tidak nyeri sampai 10 untuk nyeri yang maksimal. Cara ini popular disebut: “Numerical Rating Score” (NRS). Disini secara subyektif penderita diberi penjelasan terlebih dahulu bahwa bila tidak ada nyeri diberi angka 0, sedang nyeri terhebat yang tak tertahankan lagi diberi angka 10.
Kemudian penderita diminta menentukan derajat nyerinya dalam cakupan antara 0 sampai 10. Untuk mempermudak biasanya disodorkan gambar skala dari 0 – 10 pada penderita untuk diminta menentukan tempat derajat nyeri yang dideritanya. Cara lain yang sudah popular terlebuh dahulu adalah mempergunakan “Visual Analogue Scale”. Walaupun menilai nyeri merupakan hal yang sangat subjektif, penderitaan nyeri pasien perlu dievaluasi secara berkala (dr. Gde Mangku dan dr. Tjokorda Gde Agung, 2010).
4.4 Penatalaksanaan Nyeri
4.4.1 Penatalaksanaan Nyeri Nonfarmakologis
Manajemen nyeri nonfarmakologis merupakan tindakan menurunkan respons nyeri tanpa menggunakan agen farmakologi. Dalam melakukan intervensi keperawatan, manajemen nyeri nonfarmakologi merupakan tindakan independent dari seorang perawat dalam mengatasi respons nyeri klien.
Manajemen nyeri nonfarmakologi sangat beragam. Sulistyo Andarmoyo (2017) dalam buku “Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri” membahas beberapa mengenai tindakan-tindakan peredaan nyeri tersebut.
a. Bimbingan Antisipasi Bimbingan antisipasi adalah memberikan pemahaman kepada klien mengenai nyeri yang dirasakan. Pemahaman yang diberikan oleh perawat bertujuan untuk memberikan informasi kepada klien, dan mencegah salah interpretasi tentang peristiwa nyeri.
Informasi yang diberikan kepada klien meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1) Kejadian, awitan, dan durasi nyeri yang akan dialami 2) Kualitas, keparahan, dan lokasi nyeri
3) Informasi tentang cara keamanan klien telah dipastikan 4) Penyebab nyeri
5) Metode mengatasi nyeri yang digunakan oleh perawat dan klien 6) Harapan klien selama menjalani prosedur
b. Terapi Es dan Panas/Kompres Panas dan Dingin Pemakaian kompres panas biasanya dilakukan hanya setempat saja pada bagian tubuh tertentu. Dengan pemberian panas, pembuluh darah akan melebar sehingga memperbaiki peredaran darah di dalam jaringan tersebut. Dengan cara ini penyaluran zat asam dan bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang dibuang akan diperbaiki. Aktivitas sel yang meningkat akan mengurangi rasa sakit/nyeri dan akan menunjang proses penyembuhan luka dan proses peradangan. Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es dapat diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi. Sementara terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.
c. Stimulasi Saraf Elektris Transkutan/TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah suatu alat yang menggunakan aliran listrik, baik dengan frekuensi rendah maupun tinggi, yang dihubungkan dengan beberapa elektroda pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetarkan, atau mendengung
pada area nyeri. TENS adalah prosedur non-invasif dan merupakan metode yang aman untuk mengurangi nyeri, baik akut maupun kronis.
d. Distraksi Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain nyeri, atau dapat diartikan lain bahwa distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal di luar nyeri. Dengan demikian, diharapkan pasien tidak terfokus pada nyeri lagi dan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
e. Relaksasi Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stress sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman.
Efek Relaksasi 1. Penurunan nadi, tekanan darah, dan pernapasan 2. Penurunan konsumsi oksigen
3. Penurunan ketegangan otot
4. Penurunan kecepatan metabolisme 5. Peningkatan kesadaran global
6. Kurang perhatian terhadap stimulus lingkungan 7. Tidak ada perubahan posisi yang volunteer 8. Perasaan damai dan sejahtera
9. Periode kewaspadaan yang santai, terjaga, dan dalam
Sumber: Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri (Sulistyo, 2017).
f. Imajinasi Terbimbing Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Tindakan ini membutuhkan konsentrasi yang cukup.
Upayakan kondisi lingkungan klien mendukung untuk tindakan ini.
Kegaduhan, kebisingan, bau menyengat, atau cahaya yang sangat terang perlu dipertimbangkan agar tidak mengganggu klien untuk berkonsentrasi.
Beberapa klien lebih rileks dengan cara menutup matanya.
g. Hipnosis Hipnosis/hipnosa adalah sebuah Teknik yang menghasilkan suatu keadaan yang tidak sadarkan diri, yang dicapai melalui gagasan-gagasan yang disampaikan oleh orang yang menghipnotisnya. Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistic, hipnosis diri menggunakan sugesti 60 firi dan kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respons tertentu bagi mereka.
h. Akupunktur Akupunktur adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses memasukkan jarum-jarum tajam pada titik-titik strategis pada tubuh untuk mencapai efek terapeutik. Teknik akupunktur ini adalah suatu teknik tusuk jarum yang mempergunakan jarum-jarum kecil Panjang (ukuran bervariasi dari 1,7 cm hingga 10 cm) untuk menusuk bagian- bagian tertentu di badan (area yang paling digunakan adalah kaki, tungkai bawah, tangan, dan lengan bawah), guna menghasilkan ketidakpekaan terhadap rasa sakit atau nyeri. Setelah dimasukkan ke dalam tubuh, jarum- jarum itu diputar-putar atau dipakai untuk menghantar arus listrik yang kecil.
Titik-titik akupunktur dapat distimulasi dengan memasukkan dan mencabut jarum menggunakan panas, tekanan/pijatan, laser, atau stimulasi elektrik atau kombinasi dari berbagai macam cara tersebut.
i. Umpan Balik Biologis Prinsip kerja dari metode ini adalah mengukur respons fisiologis, seperti gelombang pada otak, kontraksi otot atau temperatur kulit kemudian “mengembalikan” memberikan informasi tersebut kepada klien.
Kebanyakan alat umpan balik biologis/biofeedback terdiri dari beberapa elektroda yang ditempatkan pada kulit dan sebuah amplifier yang mentransformasikan data berupa tanda visual seperti lampu yang berwarna.
Klien kemudian mengenali tanda tersebut sebagai respons stress dan menggantikannya dengan respons relaksasi.
j. Masase
Masase adalah melakukan tekanan tangan pada jaringan lunak, biasanya otot, tendon, atau ligamentum, tanpa menyebabkan Gerakan atau perubahan posisi
sendi untuk meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau memperbaiki sirkulasi.
4.4.2. Penatalaksanaan Nyeri Farmakologis
a. Analgesik non-narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) NSAID Non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri yang terkait dengan artritis rheumatoid, prosedur pengobatan gigi, dan prosedur bedah minor, episiotomy, dan masalah pada punggung bagian bawah. Satu pengecualian, yaitu ketorolac (Toradol), merupakan agens pertama yang dapat diinjeksikan yang kemanjurannya dapat dibandingkan dengan morfin. Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Tidak seperti opiate, NSAID tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi (Sulistyo, 2017). Ketorolak, telah diakui oleh ahli bedah maupun anestesiologi dapat dipergunakan untuk analgesic pasca bedah. Keaktifan ketorolac 30 mg intramuscular equnpalen dengan 10 mg morfin atau 100 mg petidin. Efek analgesia dimulai 10 menit setelah penyuntikan dan berlangsung sampai 4 – 6 jam (dr. Gde Mangku dan dr. Tjokorda Gde Agung, 2010).
b. Analgesik narkotik atau opiate Analgesik narkotik atau opiate umumnya diresepkan dan digunakan untuk nyeri sedang sampai berat, seperti pascaoperasi dan nyeri maligna. Analgesik ini bekerja pada system saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek mendepresi dan menstimulasi (Sulistyo, 2017). c. Obat tambahan (Adjuvan) Adjuvan seperti sedative, anticemas, dan relaksasi otot meningkatkan control nyeri atau menghilangkan gejala lain yang terkait dengan nyeri seperti mual dan muntah. Agens tersebut diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai dengan analgesic. Sedatif sering kali diresepkan untuk penderita nyeri kronik. Obat-obatan ini dapat menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi, keputusasaan dan kewaspadaan mental (Sulistyo, 2017).
5.1 Pathway / Pohon Masalah
ETIOLOGI
1. Agen pendera fisiologis ( mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma 2. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan) 3. Agen pencedera fisik (mis.abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan 4. Kondisi muskuloskeletal kronis
5. Kerusakan sistem 6. Penekanan saraf 7. Infiltrasi tumor
8. Ketidakseimbangan neurotransmiter, neuromodulator, dan reseptor 9. Gangguan imuntas (mis. neuropati terkait HIV, virus varicella-zoster) 10. Gangguan fungsi metabolik
11. Riwayat posisi kerja statis 12. Peningkatan indeks massa tubuh 13. kondisi pasca trauma
14. Tekanan emosional
15. Riwayat penganiayaan (mis. fisik, psikologis, seksual) 16. Riwayat penyalahgunaan obat/zat
Kontak dengan jaringan sekitar
Terpajan ujung saraf
Tranduksi stimulus : stimulus diubah menjadi impuls
Transmisi : melalui serabut saraf A dan serabut saraf C
Impuls ke batang otak
Dari thalamus di sebarkan ke daerah somasensoris ( Koetex Serebral )
Sensasi Nyeri
Respon afektif Sinyal nyeri berulang ( > 6 bulan)
Perubahan kimia pada jalur saraf
Hipersensitifitas terhadap sinyal nyeri
Nyeri Akut
Gejala dan Tanda Mayor Subjektif : (tidak tersedia) Objektif :
Tampak meringis Bersikap protektif (mis.
waspada, posisi menghindari nyeri)
Gelisah
Frekuensi nadi meningkat Sulit tidur
Gejala dan tanda Minor Subjektif : (tidak tersedia) Objektif:
Tekanan darah meningkat,pola napas berubah
Nafsu makan berubah Proses berpikir terganggu Menarik diri
Berfokus pada diri sendiri Diaforesis
Nyeri Kronis
Gejala dan Tanda Mayor Subjektif :
Mengeluh nyeri
Merasa depresi (tertekan) Objektif :
Tampak meringis Gelisah
Tidak mampu menuntaskan aktivitas Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
Merasa takut mengalami cedera berulang Objektif :
Bersikap protektif (mis. posisi menghindari nyeri) Waspada
Pola tidur berubah Anoreksia
Fokus menyempit
Berfokus pada disi sendiri
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN (SDKI, SIKI, SLKI)
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan , pengaturan, validasi, dan dokumentasi data (informasi) yang sistematis dan berkesinambungan yang dilakukan pada semua fase proses keperawatan.
Anamnesa a. Identitas
b. Data yang diperoleh meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, alamat, tanggal masuk MRS dan diagnosa medis.
c. Keluhan Utama
d. Merupakan keluhan yang paling menggangu ketidak nyamanan dalam aktivitas atau yang menggangu saat ini.
e. Riwayat Kesehatan Sekarang
f. Di mana mengetahui bagaimana penyakit itu timbul, penyebab dan faktor yang mempengaruhi, memperberat sehingga mulai kapan timbul sampai di bawa ke RS.
g. Riwayat Kesehatan Penyakit Dahulu
h. Klien dengan batu ginjal didapatkan riwayat adaya batu dalam ginjal.
i. Riwayat Kesehatan Keluarga
j. Yaitu mengenai gambaran kesehatan keluarga adanya riwayat keturunan dari orang tua.
k. Riwayat psikososial
l. Siapa yang mengasuh klien, bagaimana hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan bagaimana perawatan secara umum
Pola Kesehatan sehari-hari dimana meliputi : a. Pola nutrisi
b. Pola eliminasi c. Pola latihan-aktivitas
d. Pola istirahat dan tidur e. Pola konsep diri-persepsi diri f. Pola peran dan hubungan
Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum
Tingkat kesadaran. Dengan mengkaji menggunakan Skala Coma Glasglow (GCS) dengan hasil 14-15 : normal, 11-13 : disfungsi sedang, 10 atau kurang : disfungsi berat.
b. Pengukuran intake dan output cairan c. Pemeriksaan head to toe
d. Pemeriksaan kepala dan muka
Inspeksi : bentuk kepala, bentuk muka, bentuk hidung, warna rambut, penyebaran rambut, dll
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan di pipi, dahi, hidung, mata atau tidak.
e. Pemeriksaan telinga
Inspeksi : bentuk telinga kiri kanan
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan, adanya lesi diluar dan didalam telinga atau tidak
f. Pemeriksaan mata
Inspeksi : konjungtiva pucat, konjungtiva sianosis
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan, adanya lesi, adanya kelainan atau tidak
g. Pemeriksaan mulut dan faring Inspeksi : membran mukosa kering
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan pada rahang, adanya lesi atau tidak.
h. Pemeriksaan leher Inspeksi : bentuk leher
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan, adanya lesi atau tidak.
i. Pemeriksaan payudara dan ketiak
Inspeksi : bentuk payudara, warna puting
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan, adanya lesi atau tidak.
j. Pemeriksaan thorax Pemeriksaan paru
Inspeksi : bentuk dada, inspirasi, ekspirasi
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan, adanya lesi atau tidak, adanya benjolan atau tidak
Perkusi : bunyi suara paru (sonor,dll)
Auskultasi : adanya suara tambahan seperti wheezing, ronchi, vesikuler,atau tidak
k. Pemeriksaan jantung Inspeksi : icturcodis
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan, adanya lesi atau tidak.
Perkusi : bunyi pekak
Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 lub dub l. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : bentuk perut
Auskultasi : bising usus tetrdengar atau tidak
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan, adanya lesi atau tidak.
Perkusi : bunyi perut seperti timpani m. Pemeriksaan integument
Inspeksi : keadaan turgor kulit menurun, kelelahan, kelemahan otot, tetani dan sensasi rasa
Palpasi : adanya odem, adanya nyeri tekan, adanya lesi atau tidak.
n. Pemeriksaan ektremitas
Inspeksi : kaki kanan kiri, tangan kanan kiri kuat atau tidak
Palpasi :tidak / ada benjolan pada ekstremitas, ada nyeri tekan pada punggung kaki
o. Pemeriksaan genetalia dan anus
Inspeksi :genetalia kotor/bersih, terdapat hiperpigmentasi disekitar genetalia/tidak.
Palpasi : adanya nyeri tekan, adanya lesi atau tidak.
p. Pemeriksaan nervus
nervus olfaktorius, nervus optikus, nervus okulomotoris, nervus troklearis, nervus trigeminus, nervus abdusen, nervus fasialis, nervus auditori, nervus glosofaringeal, nervus vagus, nervus aksesorius, nervus hipoglosus.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium seperti CT scan,MRI atau bone scan b. Pemeriksaan radiologis.
Penatalaksanaan keperawatan dan kolaborasi
Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki Siki Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut (D.0077)
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lamat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang 3 bulan.
Penyebab :
Agen pencedera fisiologis (mis. infarmasi, lakemia, neoplasma)
Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)
Agen pencedera fisik (mis.abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan) Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif : (tidak tersedia) Objektif :
Tampak meringis
Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)
Gelisah
Frekuensi nadi meningkat
Sulit tidur
Gejala dan tanda Minor Subjektif : (tidak tersedia) Objektif:
Tekanan darah meningkat,pola napas berubah
Nafsu makan berubah
Proses berpikir terganggu
Menarik diri
Berfokus pada diri sendiri
Diaforesis
Kondisi Klinis Terkait :
Kondisi pembedahan
Cedera traumatis
Infeksi
Sindrom koroner akut
Glaukoma
2. Nyeri Kronis (D.0078)
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan keruskan jaringan aktual tau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
Penyebab.
Kondisi muskuloskeletal kronis
Kerusakn sistem saraf
Penekanan saraf
Infiltrasi tumor
Ketidakseimbangan neurotransmiter, neuromodulator, dan reseptor
Gangguan imuntas (mis. neuropati terkait HIV, virus varicella-zoster)
Gangguan fungsi metabolik
Riwayat posisi kerja statis
Peningkatan indeks massa tubuh
kondisi pasca trauma
Tekanan emosional
Riwayat penganiayaan (mis. fisik, psikologis, seksual)
Riwayat penyalahgunaan obat/zat Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
Mengeluh nyeri
Merasa depresi (tertekan) Objektif :
Tampak meringis
Gelisah
Tidak mampu menuntaskan aktivitas Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
Merasa takut mengalami cedera berulang Objektif :
Bersikap protektif (mis. posisi menghindari nyeri)
Waspada
Pola tidur berubah
Anoreksia
Fokus menyempit
Berfokus pada disi sendiri Kondisi Klinis Terkait :
Kondisi kronis (mis arthritis reumatoid)
Infeksi
Cedera modula spinalis
Kondisi pasca trauma
Tumor
Luaran dan Kriteria Hasil
Luaran : Tingkat Nyeri Menurun (L.08066) Kriteria hasil:
Kemampuan menuntaskan aktifitas meningkat
Keluhan Nyeri menurun
Meringis menurun
Sikap Protektif menurun
Gelisah menurun
Kesulitan tidur menurun
Menarik diri menurun
Berfokus pada diri sendiri menurun
Diaforesis menurun
Perasaan depresi (tertekan) menurun
Perasaan takut mengalami cedera berulang menurun
Anoreksia menurun
Perineum terasa tertekan menurun
Uterus teraba membulat menurun
Ketegangan otot menurun
Pupil dilatasi menurun
Muntah dan mual menurun
Frekwensi nadi membaik
Pola napas membaik
Tekanan darah membaik
Proses berpikir membaik
Fokus membaik
Fungsi berkemih membaik
Perilaku membaik
Nafsu Makan membaik
Pola tidur membaik Intervensi Keperawatan 1. Manajemen Nyeri (I. 08238) Observasi :
Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Identifikasi skala nyeri
Identifikasi respon nyeri non verbal
Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik
Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu 2. Pemberian Analgetik (I.08243)
Observasi
Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
Identifikasi riwayat alergi obat
Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu
Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum
Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respon pasien
Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
Jelaskan efek terapi dan efek samping obat Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
3. Perawatan Kenyamanan (I.08245) Observasi
Identifikasi gejala yang tidak menyenangkan
Identifikasi pemahaman tentang kondisi, situasi dan perasaannya
Identifikasi masalah emosional dan spiritual Terapeutik
Berikan posisi yang nyaman
Berikan kompres dingin atau hangat
Ciptakan lingkungan yang nyaman
Berikan pemijatan
Berikan terapi akupresur
Berikan terapi hipnotis
Dukung keluarga dan pengasuh terlibat dalam terapi
Diskusikan mengenai situasi dan pilihan terapi Edukasi
Jelaskan mengenai kondisi dan pilihan terapi/ pengobatan
Ajarkan terapi relaksasi
Ajarkan latihan pernafasan
Ajarkan tehnik distraksi dan imajinasi terbimbing Kolaborasi
Kolaborsi pemberian analgesik, antipruritis, anthihistamin, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Diakses dari https://www.slideshare.net/mobile/tyaseptya/definisi-kenyamanan pada 24 januari 2021 pukul 20.30
http://perpustakaan.poltekkesmalang.ac.id/assets/file/kti/P17211181031/15 _BAB_2.pdf , pada 7 Maret 2024 jam 21.30
Diakses dari https://www.repronote.com/2020/07/nyeri-teori-konsepfisiologi.html, pada 8 Maret 2024 jam 05.00
Kemenkes.2015. Modul Pendidikan Jarak Jauh Pendidikan Tinggi Kesehatan Prodi Keperawatan: Asuhan Keperawatan Kebutuhan Rasa Aman Dan Nyaman. Surabaya:PJJ-Kemenkes
PPNI.2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Indikator Diagnostic, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Rahayu Sunarsih, Mardi Addi H.2016.Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan:
Kebutuhan Dasar ManusiaII. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan Chen JS, Kandle PF, Murray I, et al. 2021. Physiology Pain. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539789/
Gil Wayne RN. 2022. Acute Pain Nursing Care Plan. Nurses Labs.
https://nurseslabs.com/acute-pain/
Loeser JD, Melzack R. 1999. Pain: an overview. Lancet. May 8;353(9164):1607- 9. doi: 10.1016/S0140-6736(99)01311-2. PMID: 10334273.
PPNI, 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II.
DPP PPNI. Jakarta
PPNI, 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II.
DPP PPNI. Jakarta
Wisconsin Technical College System. n.d. Nursing Fundamentals: Pain Assessment Methods.
https://wtcs.pressbooks.pub/nursingfundamentals/chapter/11-3-pain- assessment-methods/
Woolf C. J. 2010. What is this thing called pain?. The Journal of clinical investigation, 120(11), 3742–3744. https://doi.org/10.1172/JCI45178