* Corresponding Author
Email : [email protected]
© 2022 Author(s), Administratio: Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan (13) 1 2022 Volume 13 (1) 2022: 81-95
P-ISSN: 2087-0825, E-ISSN: 2548-6977 DOI: 10.23960/administratio.v13i1.301 Accredited by Kemenristek Number 85/M/KP/2020 (Sinta 4)
ARTICLE
Prevalensi Stress Kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten
Lalan Suhendarlan1, Ipah Ema Jumiati2, Rina Yulianti3, Delly Maulana4*
1,2,3
Magister Administrasi Publik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Kota Serang, Indonesia
4, Program Administrasi Negara, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Kota Serang, Indonesia
How to cite: Suherndarlan, L., Jumiati, I.E., Yulianti, R., Maulana, D. (2022). Prevalensi Stress Kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten.
Administratio: Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, 13(1)
Article History Received: 29 April 2022 Accepted: 26 Mei 2022
Keywords:
Job Stress Level;
Government Employees;
Prevalence of Job Stress;
Stressor
Kata Kunci:
Tingkat Stress Kerja;
Aparatur Sipil Negara;
Prevalensi Stress Kerja;
Faktor Stress Kerja.
ABSTRACT
Workers in Indonesia are vulnerable to psychological problems or emotional disorders in the form of job stress. The results of the Mercer Marsh Benefit (MMB) survey (2021), which involved more than 1,000 workers in Indonesia, found that 2 out of 5 workers experienced stress due to work. Among workers who are at risk of experiencing work stress, one of them is the government employees (ASN) at the secretariat of the Banten regional people's representative council (abbreviated:
DPRD Banten). The aim of this research was to evaluate the prevalence of ASN job stress at the secretariat DPRD Banten, in accordance with applicable regulatory standards. This study uses a quantitative approach with descriptive analysis techniques, based on a cross sectional study design. The results showed that the average job stress level of ASN at the secretariat DPRD Banten was 2.57. There are four categories of job stress levels experienced by ASN at the secretariat DPRD Banten, involve very low (SR), low (R), moderate (S) and high (T). The highest prevalence is low job stress level of 45.59%. The second order is the prevalence of moderate job stress levels of 25.33%. Furthermore, the prevalence of high job stress levels is 4.5%. The smallest prevalence comes from the very low job stress category of 2.3%. The major factor that causes becomes a stressor is the burden of responsibilities too to themselves and others.
ABSTRAK
Pekerja di Indonesia rentan akan masalah psikologis atau gangguan emosional berupa stress kerja. Hasil survei Mercer Marsh Benefit (MMB) (2021), yang melibatkan lebih dari 1.000 pekerja di Indonesia, menemukan 2 dari 5 pekerja mengalami stress akibat pekerjaan. Salah satu pekerja yang berisiko mengalami stress kerja adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi prevalensi stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten, sesuai dengan standar regulasi yang berlaku. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif, dengan teknik analisis deskriptif, berdasarkan desain studi potong lintang. Hasil penelitian menunjukkan, rata-rata tingkat stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten sebesar 2,57. Terdapat empat kategori tingkat
82 | Administratio, Vol. 13 (1) 2022: 81-94
A. PENDAHULUAN
Pekerjaan merupakan hak asasi manusia, yang dibutuhkan semua orang guna memenuhi kepentingannya. Hak atas pekerjaan telah diatur melalui peraturan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Disebutkan pada pasal 27 ayat 2, bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) Tahun 1948. Dimana diamanatkan pada pasal 23 ayat 1, bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran (United Nations (UN). 2015).
Dengan demikian, pekerjaan adalah hak dasar yang inheren dalam setiap diri manusia dan dilindungi secara hukum, baik dari sisi pemenuhannya maupun dalam proses pelaksanakannya.
Kehidupan manusia sehari-hari tidak terhindar dari pekerjaan. Bahkan, tidak sedikit waktu dalam hidup manusia dihabiskan untuk bekerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2017 dan 2019), selama kurun waktu 4 tahun berturut-turut (Tahun 2015 sampai 2018) jumlah jam kerja di Indonesia mencapai 43 jam per minggu. Pada Tahun 2019 jumlah jam kerja di Indonesia mengalami penurunan, menjadi 42 jam per minggu. Secara terperinci jumlah jam kerja di Indonesia dari Tahun 2015 sampai 2019 diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Jumlah Jam Kerja Seminggu Tahun 2015-2019.
Sumber: (BPS. 2017) dan (BPS.2019)
Gambar 1 memperlihatkan, secara keseluruhan rata-rata pekerja di Indonesia menghabiskan waktu selama 42,8 jam per minggu untuk bekerja. Nilai tersebut melampaui batas waktu jam kerja yang telah ditetapkan, menurut UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Disebutkan pada pasal 77 ayat 2 (a) dan (b), bahwa waktu kerja baik untuk 6 (enam) dan 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu adalah 40 (empat puluh) jam.
stress kerja yang dialami ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten, yaitu sangat rendah (SR), rendah (R), sedang (S) dan tinggi (T). Prevalensi terbanyak adalah tingkat stress kerja rendah sebesar 45,59%. Urutan kedua adalah prevalensi tingkat stress kerja sedang sebesar 25,33%. Selanjutnya, prevalensi tingkat stress kerja tinggi sebesar 4,5%. Prevalensi terkecil berasal dari kategori tingkat stress kerja sangat rendah sebesar 2,3%. Adapun faktor utama yang menjadi stressor, adalah beban tanggung jawab terhadap orang lain.
Waktu jam kerja yang lebih panjang melampui standar yang telah ditetapkan, mengindikasikan tuntutan pekerjaan yang berat sehingga tidak dapat terselesaikan dalam waktu kerja normal. Survei Mercer Marsh Benefit (MMB) yang melibatkan 2.500 pekerja di sembilan sektor industri (Dirgantara, Barang Konsumen, Kimia, Keuangan, Kesehatan, Transportasi dan Logistik, Konsultan dan Otomasi Industri) di seluruh Asia, menemukan bahwa 83% pekerja bekerja lembur lebih dari tiga kali seminggu, dan lebih dari 70% bekerja pada hari istirahat atau di luar jam kerja regular (MMB. 2020). Kondisi tersebut, dapat meningkatkan risiko bahaya di tempat kerja. Salah satunya adalah potensi bahaya faktor psikologi, yang dapat memunculkan stress kerja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Spurgeon et al (1997), bahwa jam kerja yang panjang secara langsung mempengaruhi peningkatan permintaan akan pekerjaan, dan secara tidak langsung mempengaruhi waktu dimana pekerja mengalami stress.
Banyak individu, menjadikan pekerjaan sebagai pengalaman yang menyenangkan. Namun tidak sedikit yang merasakan pekerjaan adalah rutinitas beban kehidupan, yang menjadi sumber stress kerja. Menurut World Health Organization (WHO) (2003), stress kerja merupakan respon pekerja ketika dihadapkan dengan tuntutan dan tekanan kerja yang tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental pekerja, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi produktivitas pekerja.
Stress kerja berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja. Tinjauan sistematis melalui studi kohort cross-sectional dan longitudinal yang dilakukan Law et al (2020), menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara stress kerja dengan kesehatan mental pekerja yang buruk.
Penelitian Ahmed dan Ramzan (2013), menunjukkan korelasi yang kuat antara stres kerja dengan performa kerja. Dimana stres kerja secara signifikan dapat mengurangi performa kinerja pekerja. Michie (2002), menyatakan, jika stress berlanjut dapat mengakibatkan perubahan dalam fungsi neuroendokrin, kardiovaskular, otonom dan imunologis, yang mengarah ke kesehatan mental dan fisik yang buruk, misalnya kecemasan, depresi, dan penyakit jantung.
Di Indonesia stress kerja menjadi masalah serius yang mengakibatkan angka gangguan mental emosional sebesar 9,8% dan sebesar 35% stress akibat kerja berakibat fatal (Trisnasari dan Wicaksono. 2021). Hasil survei terbaru MMB (2021), yang melibatkan lebih dari 1.000 pekerja di Indonesia, menemukan 2 dari 5 pekerja mengalami stress akibat pekerjaan. Keadaan tersebut, memberikan gambaran pekerja di Indonesia rentan akan masalah psikologis atau gangguan emosional.
Gangguan emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa stres kerja dapat dialami oleh setiap pekerja, baik pekerja formal maupun informal. Salah satu pekerja formal yang rentan mengalami stress kerja adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Gambaran stres kerja yang dialami pegawai pemerintahan di Indonesia telah diteliti melalui berbagai studi terdahulu. Sorongan et al (2018) meneliti hubungan stress kerja ASN di Dinas Kesehatan Kota Manado terhadap upah dan produktivitas, diperoleh 27,7% pegawai mengalami stress kerja rendah dan 72,3% mengalami stress kerja sedang. Penelitian Azhar dan Iriani (2020) menunjukkan determinan stress kerja ASN Dinas Pendidikan Kota Cilegon, dengan hasil sebanyak 22 orang ASN (30,1%) mengalami stres sangat berat dan stres berat. Asmaryani et al (2020) meneliti ASN di lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS), diketahui stres kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja ASN UNS dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,410.
Dalam Penelitian ini telah membuktikan stress kerja dan dampaknya yang dialami para ASN di sebagian instasi pemerintahan. Namun belum ada penelitian tingkat stress kerja, yang memilih lokus di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten. Hal ini mengakibatkan minimnya informasi terkait kesehatan mental para ASN di tempat kerja tersebut.
84 | Administratio, Vol. 13 (1) 2022: 81-94
Padahal Sekretariat Dewan (Sekwan) tergolong memiliki peran strategis dan penting, sebagai penghubung antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dimana memerlukan ASN dengan kesehatan fisik maupun mental yang prima, dalam mengemban tugas dan fungsi Sekretariat Dewan.
Beberapa penelitian terdahulu juga masih terbatas pada beberapa stressor terkait tingkat stress kerja. Diantaranya; upah, masa kerja, tuntutan kerja, dukungan sosial, hubungan interpersonal, dan perubahan organisasi. Belum adanya pengukuran stress kerja berdasarkan faktor ketaksaan peran, pengembangan karir, beban kerja kualitatif dan kuantitatif, serta faktor tanggung jawab pada orang lain. Padahal faktor-faktor tersebut diamanatkan langsung oleh Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja, untuk dilakukan pengukuran sebagai bagian dalam pengendalian stress kerja.
Pasal 24 ayat 2 dalam Permen tersebut diatas, menyatakan bahwa potensi bahaya faktor psikologi meliputi; a. Ketaksaan peran; b. Konflik peran; c. Beban kerja berlebih secara kualitatif; d. Beban kerja berlebih secara kuantitatif; e. Pengembangan karir; dan/atau f.
Tanggung jawab terhadap orang lain. Oleh karena itu diperlukan perluasan determinan stress kerja dalam mengukur tingkat stress kerja, sehingga dapat diidentifikasi secara lebih komprehensif.
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi prevalensi stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten, sesuai dengan standar regulasi yang berlaku. Berdasarkan evaluasi tersebut, dapat direkognisi tingkat stress kerja dan faktor-faktor dominan stressor yang menjadi penyebabnya beserta proporsi ASN yang mengalami stress kerja. Dengan demikian dapat diperoleh informasi penunjang dalam rangka mitigasi stress kerja ASN, khususnya pada lokus Sekretariat DPRD Provinsi Banten secara efektif dan efisien.
B. METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik analisis deskriptif, berdasarkan desain studi potong lintang (cross sectional). Menurut Gay (1992) desain penelitian deskriptif digunakan untuk memperoleh informasi mengenai status fenomena saat ini dan untuk menggambarkan apa yang terjadi, sehubungan dengan variabel atau kondisi dalam suatu situasi.
Oleh karena itu, dilakukan pengumpulan data kuantitatif untuk menetapkan tingkat stress kerja dan faktor-faktor dominan stressor yang menjadi penyebabnya.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ASN Sekretariat DPRD Provinsi Banten, yaitu sebanyak 94 orang. Penentuan jumlah sampel sebagai responden penelitian, dilakukan berdasarkan perhitungan menggunakan formula Slovin. Diperoleh sampel penelitian sebanyak 76 responden, dengan taraf kesalahan sebesar 5%.
Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari sumber data dengan menyebarkan instrumen pengambilan data berupa kuesioner. Kuesioner ini, berisi pernyataan- pernyataan yang menjadi indikator pengukuran tingkat stress kerja. Indikator tersebut mengacu pada standar faktor psikologi dalam lampiran Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018. Kuesioner yang disebar, dinilai oleh para responden dengan merujuk pada bobot skala likert. Adapun bobot skala likert yang digunakan secara terperinci ditampilkan pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Bobot Penilaian Responden.
No Penilaian Kode Bobot
1 Sangat Setuju SS 5
2 Setuju S 4
3 Cukup Setuju CS 3
4 Tidak Setuju TS 2
5 Sangat Tidak Setuju STS 1
Setelah diperoleh penilaian kuesioner yang dilakukan responden, selanjutnya di uji berdasarkan uji validitas dan reliabilitas. Pengujian tersebut, dilakukan dengan bantuan perangkat lunak statistik SPSS versi 17.00. Kuesioner yang telah dinyatakan valid, selanjutnya dianalisis dengan teknik statistik parametrik, yakni distribusi frekuensi. Hal ini dilakukan untuk mengukur tingkatan stress kerja serta mengetahui faktor dominan stressor. Adapun rentang skala penilaian stress kerja, diperoleh berdasarkan perhitungan teknik nisbah peringkatan dengan rentang skala yang terdiri dari kisaran 1 hingga 5. Hasil penilaian stress kerja merupakan nilai rentang rataan, dengan rentang minimum berada pada besaran 1,0-1,8. Untuk rentang medium berada diantara besaran 2,61-3,4. Adapun rentang maksimum berada pada besaran 4,21-5,0.
Secara detil hasil penilaian stres kerja disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Penilaian Stres Kerja.
No Rentang Skala Rata-Rata Tingkat Stress
1 1,0-1,8 Sangat Rendah
2 1,81-2,6 Rendah
3 2,61-3,4 Sedang
4 3,41-4,2 Tinggi
5 4,21-5,0 Sangat Tinggi
C. HASILDANPEMBAHASAN
Uji Validitas
Validitas merupakan teknik pengukuran untuk meninjau keabsahan dari setiap butir pernyataan yang digunakan dalam kuesioner. Dimana menjadi pondasi dalam mengungkapkan rancangan kuesioner sebagai instrumen yang dapat menilai 7 (tujuh) indikator stres kerja.
Pengukuran validitas kuesioner penelitian ini menggunakan teknik pearson correlation, dengan bantuan aplikasi SPSS 17.00 for windows. Penggunaan aplikasi tersebut, membantu dalam memudahkan proses perhitungan, sehingga diperoleh hasil secara otomatis.
Prinsip pengukuran pada dasarnya adalah dengan cara mengkomparasi antara rhitung yakni nilai korelasi hasil perhitungan, dengan rtabel yaitu nilai korelasi pada tabel pearson. Adapun besaran signifikansi yang digunakan sebesar 0,05, berdasarkan jumlah responden yang telah ditetapkan sebelumnya. Mengacu pada nilai tersebut, diketahui pada tabel pearson besaran rtabel adalah 0,2257. Nilai ini, menjadi acuan perbandingan dengan nilai rhitung. Apabila diperoleh hasil perbandingan nilai rhitung yang lebih kecil dari nilai rtabel, maka kuesioner dinyatakan tidak valid.
86 | Administratio, Vol. 13 (1) 2022: 81-94
Begitupun sebaliknya, jika diperoleh hasil perbandingan nilai rhitung lebih besar terhadap nilai rtabel, maka kuesioner dapat dinyatakan valid. Dimana kondisi tersebut, menjadi ukuran ketepatan kuesioner yang digunakan sebagai instrumen ukur, terhadap hasil penilaian responden sebenarnya.
Diperoleh rataan besaran rhitung untuk keseluruhan butir kuesioner sebesar 0,473, diatas besaran rtabel. Hal ini, menandakan seluruh butir kuesioner memiliki nilai rhitung melampaui rtabel. Dimana nilai tertinggi diperoleh dari butir pernyataan Q17 pada kategori pengembangan karir sebesar 0,678. Adapun nilai terendah diperoleh dari butir pernyataan Q12 pada kategori tanggung jawab terhadap orang lain sebesar 0,256. Dengan demikian dapat disimpulkan seluruh butir pernyataan kuesioner yang digunakan adalah valid. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat ditetapkan bahwa kuesioner sebagai instrumen pengambilan data dapat digunakan untuk mengungkapkan prevalensi stres kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Selain itu dapat digunakan untuk tahapan uji selanjutnya yaitu uji reliabilitas. Secara komprehensif, hasil perhitungan validitas setiap indikator kuesioner disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi Uji Validitas Kuesioner
Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas adalah tes keandalan terkait konsistensi internal kuesioner yang digunakan.
Dimana ukuran konsistensi adalah pengulangan, yaitu potensi kuesioner untuk dapat digunakan berulang kali sebagai instrumen pengukuran di masa mendatang atau waktu berbeda. Uji ini dilakukan untuk semua butir pernyataan yang telah dinyatakan valid. Teknik perhitungan keandalan kuesioner mengacu pada persamaan matematis Cronbach’s Alpha, yang dihitung secara otomatis dalam aplikasi statistik SPSS versi 17.00. Menurut Nunnally (1967), nilai
INDIKATOR BUTIR rhitung rtabel KETERANGAN
Q1 0,609 0,2257 VALID
Q7 0,324 0,2257 VALID
Q13 0,502 0,2257 VALID
Q19 0,403 0,2257 VALID
Q25 0,339 0,2257 VALID
Q2 0,356 0,2257 VALID
Q8 0,499 0,2257 VALID
Q14 0,587 0,2257 VALID
Q20 0,586 0,2257 VALID
Q26 0,387 0,2257 VALID
Q3 0,403 0,2257 VALID
Q9 0,656 0,2257 VALID
Q15 0,298 0,2257 VALID
Q21 0,413 0,2257 VALID
Q27 0,631 0,2257 VALID
Q4 0,625 0,2257 VALID
Q10 0,592 0,2257 VALID
Q16 0,534 0,2257 VALID
Q22 0,279 0,2257 VALID
Q28 0,532 0,2257 VALID
Q5 0,503 0,2257 VALID
Q11 0,521 0,2257 VALID
Q17 0,678 0,2257 VALID
Q23 0,507 0,2257 VALID
Q29 0,520 0,2257 VALID
Q6 0,330 0,2257 VALID
Q12 0,256 0,2257 VALID
Q18 0,464 0,2257 VALID
Q24 0,301 0,2257 VALID
Q30 0,544 0,2257 VALID
Ketaksaan Peran
Konflik Peran
Beban Berlebih Kuantitatif
Beban Berlebih Kualitatif
Pengembangan Karir
Tanggung Jawab Terhadap Orang
Lain
reliabilitas terendah yang dapat diterima untuk penelitian eksplorasi adalah 0,5. Hasil perhitungan reliabilitas dari 30 butir pernyataan dalam kuesioner, dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner
Tabel 4 menunjukkan bahwa, nilai Cronbach’s Alpha yang diperoleh adalah sebesar 0,879.
Angka tersebut menunjukkan koefisien reliabilitas masuk kedalam kelompok sangat tinggi. Hal ini mengacu pada interpretasi dari Guilford (1956), dimana rentang 0,80 ≤ r ≤ 1,00 adalah nilai reliabilitas yang masuk kategori sangat tinggi. Dengan demikian kuesioner penelitian dapat dinyatakan memenuhi syarat reliabilitas, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan.
Ketaksaan Peran
Ukuran indikator ketaksaan peran berisi lima pernyataan yang diberi skor dengan skala 5, mulai dari yang terendah (1) yakni sangat tidak setuju hingga yang tertinggi (5) yakni sangat setuju. Pernyataan-pernyataan tersebut, berkaitan dengan persepsi responden tentang ambiguitas tugas dan pekerjaan. Selain itu juga terkait tanggung jawab dan kewenangan, harapan, kejelasan informasi tentang tujuan, hingga ruang lingkup pekerjaan.
Hasil pengukuran tingkat stress kerja yang disebabkan oleh ketaksaan peran berdasarkan lima pernyataan, menunjukkan nilai rata-rata sebesar 2,17. Artinya tingkat stress kerja berada pada kategori rendah. Dengan demikian stressor ketaksaan peran tidak mengakibatkan stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Adapun prevalensi dari indikator ketaksaan peran sebagai stressor dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Prevalensi Ketaksaan Peran Sebagai Stressor
Gambar 2 memperlihatkan prevalensi didominasi dari ASN, yang mengungkapkan pernyataan sangat tidak setuju (24,47%) dan pernyataan tidak setuju (50%) mengalami stress kerja akibat ketaksaan peran. Mayoritas ini mengindikasikan adanya dukungan sistem pengaturan pekerjaan yang telah tertata secara teratur dan dirancang dengan baik. Prevalensi minoritas berasal dari ASN yang menyatakan sangat setuju (2,63%) dan setuju (10,53%), mengalami ketaksaan peran yang mengakibatkan stress kerja. Walaupun didominasi oleh ASN
Reliability Statistics Cronbach's
Alpha
N of Items
.879 30
88 | Administratio, Vol. 13 (1) 2022: 81-94
yang tidak merasakan stressor ketaksaan peran, terdapat pula sebagian ASN yang mengutarakan stres kerja dipicu oleh ketaksaan peran. Hal ini menunjukkan masih ada mekanisme atau prosedur pekerjaan yang dirasa masih rancu atau kurang jelas. Hal ini didukung penelitian dari Soltani et al (2013) yang menyatakan bahwa, lingkungan pekerjaan dengan ambiguitas peran paling banyak dialami karena deskripsi pekerjaan dan bagan organisasi yang tidak jelas serta lingkungan yang informal, konflik dan stres pekerjaan-keluarga. Penelitian lainya dari Khattak et al (2011), menunjukkan bahwa ambiguitas peran memainkan salah satu peran stressor kerja yang mengarah pada ketidakpuasan kerja di kalangan pekerja.
Konflik Peran
Ukuran indikator konflik peran berisi lima pernyataan yang diberi skor dengan skala 5, mulai dari sangat tidak setuju (1) hingga sangat setuju (5). Pernyataan-pernyataan tersebut, berkaitan dengan persepsi responden tentang perselisihan antara individu pekerja, peran ganda pekerja, pengabaian aturan, ketidakpastian akan pekerjaan dan adanya pekerjaan yang bertentangan. Menurut Hardiani et al (2018), konflik peran adalah konflik yang timbul karena adanya beberapa perintah atau peran yang dilaksanakan secara bersamaan sehingga dalam pelaksanaannya mengabaikan perintah atau peran lainnya.
Hasil pengukuran tingkat stress kerja berdasarkan pernyataan konflik peran, menunjukkan nilai rata-rata sebesar 2,36 dengan kategori rendah. Kondisi ini menandakan, bahwa stressor ketaksaan peran tidak mengakibatkan stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten.
Adapun prevalensi dari indikator konflik peran sebagai stressor dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Prevalensi Konflik Peran Sebagai Stressor
Gambar 3 memperlihatkan prevalensi didominasi dari ASN, yang mengutarakan sangat tidak setuju (18,68%) dan tidak setuju (48,16%) mengalami stress kerja akibat konflik peran.
Prevalensi minoritas berasal dari ASN yang merasakan sangat setuju (3,42%) dan setuju (14,74%), mengalami konflik peran yang mengakibatkan stress kerja. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa indikator konflik peran tidak menjadi faktor yang memunculkan stress kerja bagi ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten.
Beban Kerja Berlebih Secara Kuantitatif
Ukuran indikator beban kerja berlebih secara kuantitatif memuat lima pernyataan dengan rentang skala dari bobot 1 hingga 5. Bobot 1 menandakan sangat tidak setuju (1), sedangkan bobot 5 dimaknai sangat setuju. Pernyataan-pernyataan tersebut, berkaitan dengan persepsi responden tentang banyaknya pekerjaan, waktu kerja dan waktu akhir (dead line).
Hasil pengukuran tingkat stress kerja berdasarkan pernyataan beban kerja kuantitatif, menunjukkan nilai rata-rata sebesar 2,62 dengan kategori sedang. Kondisi ini menandakan, bahwa stressor beban kerja kuantitatif berlebih cukup mengakibatkan stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Adapun prevalensi dari indikator beban kerja kuantitatif sebagai stressor dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Prevalensi Beban Kerja Kuantitatif Sebagai Stressor
Gambar 4 memperlihatkan prevalensi didominasi dari ASN, yang berpresepsi sangat tidak setuju (18,68%) dan tidak setuju (48,16%) mengalami stress kerja akibat beban kerja kuantitatif berlebih. Namun masih terdapat ASN yang cukup banyak, merasakan setuju (19,47%) dan sangat setuju (5,26%) mengalami stress kerja akibat beban kerja kuantitatif berlebih. Beban kerja kuantitatif tertinggi berasal dari jumlah pekerjaan yang melampaui dari rata-rata pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan. Menurut S Iwasaki et al (2018), mengungkapkan beban kerja kuantitatif mengacu pada jumlah pekerjaan yang harus dihadapi seseorang setiap hari. Kondisi beban kerja kuantitatif seperti banyaknya pekerjaan dan deadline, diakui sebagian besar ASN menjadi penyebab yang cukup mengakibatkan stress kerja di Sekretariat DPRD Provinsi Banten.
Beban Kerja Berlebih Secara Kualitatif
Ukuran indikator beban kerja berlebih secara kualitatif memuat lima pernyataan yang diberi skor dengan skala dari bobot 1 hingga 5. Bobot 1 menandakan sangat tidak setuju (1), sedangkan bobot 5 dimaknai sangat setuju. Pernyataan-pernyataan tersebut, berkaitan dengan persepsi responden tentang tuntutan mutu pekerjaan, kerumitan (kompleksitas) pekerjaan, keterampilan, kemampuan serta pengalaman pekerja.
Hasil pengukuran tingkat stress kerja berdasarkan pernyataan beban kerja kualitatif, menunjukkan nilai rata-rata sebesar 2,58 dengan kategori sedang. Kondisi ini menandakan, bahwa stressor beban kerja kualitatif berlebih tidak dialami ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya stress kerja. Adapun prevalensi dari indikator beban kerja kualitatif sebagai stressor dapat dilihat pada Gambar 5.
90 | Administratio, Vol. 13 (1) 2022: 81-94
Gambar 5. Prevalensi Beban Kerja Kualitatif Sebagai Stressor
Gambar 5 memperlihatkan sebagian besar ASN mengakui tidak mengalami beban kerja berlebih secara kualitatif. Prevalensi dominan berasal dari ASN yang menyatakan tidak setuju (47,89%) dan sangat tidak setuju (10,53%), bahwa beban kerja kualitatif menjadi stressor di lingkungan Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Hal ini menandakan tuntutan pekerjaan secara kualitatif dapat diimbangi dengan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki ASN.
Pengembangan Karir
Ukuran indikator pengembangan karir memuat lima pernyataan yang diberi skor dengan skala dari bobot 1 hingga 5. Bobot 1 menandakan sangat tidak setuju (1), sedangkan bobot 5 dimaknai sangat setuju. Pernyataan-pernyataan tersebut, berkaitan dengan persepsi responden tentang kesempatan promosi, pengembangan kemampuan pekerja, hingga peluang pekerjaan eksternal.
Hasil pengukuran tingkat stress kerja berdasarkan pernyataan pengembangan karir, menunjukkan nilai rata-rata sebesar 2,41 dengan kategori rendah. Kondisi ini menandakan, bahwa pengembangan karir tidak menjadi stressor yang mengakibatkan terjadinya stress kerja.
Adapun prevalensi dari indikator pengembangan karir sebagai stressor dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Prevalensi Pengembangan Karir Sebagai Stressor
Gambar 6 memperlihatkan sebagian besar ASN tidak setuju (53,68%) serta sangat tidak setuju (13,95%), bahwa pengembangan karir menjadi stressor di lingkungan Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Prevalensi tersebut, menandakan adanya kejelasan dan kepastian jenjang karir yang diterapkan di Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Hal ini, berguna bagi para ASN, terutama dalam mempersiapkan diri untuk jalur karir yang ingin dicapai. Menurut Ruzungunde, Murugan, dan Hlatywayo, (2016), untuk meningkatkan komitmen kerja, efisiensi, produktivitas, dan
efektivitas karyawan, setiap lingkungan kerja harus mengurangi tingkat stres dan meningkatkan pengembangan karir di antara karyawan melalui penyediaan suasana kerja yang baik.
Tanggung Jawab Terhadap Orang Lain
Ukuran indikator tanggung jawab memuat lima pernyataan yang diberi skor dengan skala dari bobot 1 hingga 5. Bobot 1 menandakan sangat tidak setuju (1), sedangkan bobot 5 dimaknai sangat setuju. Pernyataan-pernyataan tersebut, berkaitan dengan persepsi responden tentang kepemimpinan, tanggung jawab terhadap pekerja lain baik atasan, bawahan maupun rekan sejawat.
Hasil pengukuran tingkat stress kerja berdasarkan pernyataan tanggung jawab terhadap orang lain, menunjukkan nilai rata-rata sebesar 3,28 dengan kategori sedang. Artinya, tanggung jawab terhadap orang lain merupakan stressor yang mengakibatkan stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Adapun prevalensi dari indikator tanggung jawab terhadap orang lain sebagai stressor, dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Prevalensi Tanggung Jawab Terhadap Orang Lain Sebagai Stressor
Gambar 7 memperlihatkan prevalensi didominasi dari ASN, yang menyatakan setuju (32,63%) dan sangat setuju (17,65%) mengalami stress kerja akibat stressor tanggung jawab terhadap orang lain. Besarnya prevalensi tersebut, mengindikasikan sebagian besar ASN merasakan adanya beban tanggung jawab terhadap pegawai lain yang terlampau berat. Adapun yang paling banyak dirasakan ASN sebagai penyebab stress kerja berasal dari faktor tanggung jawab membimbing dan membantu bawahan dalam menyelesaikan permasalahannya. Lebih banyak tanggung jawab, mengakibatkan lebih banyak tekanan, sehingga risiko terpapar akan lebih besar.
Analisis Tingkat Stres Kerja
Hasil analisis tingkat stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten berdasarkan lima indikator stressor disajikan pada Tabel 3, berikut:
92 | Administratio, Vol. 13 (1) 2022: 81-94
Tabel 3. Tingkat Stress ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten.
No INDIKATOR STRESSOR MEAN TINGKAT STRESS KEJA
1 Ketaksaan Peran 2,17 Rendah
2 Konflik Peran 2,36 Rendah
3 Beban Kerja Berlebih Secara Kualitatif 2,62 Sedang 4 Beban Kerja Berlebih Secara Kuantitatif 2,58 Rendah
5 Pengembangan Karir 2,41 Rendah
6 Tanggung Jawab Terhadap Orang Lain 3,28 Sedang
TOTAL MEAN 2,57 Rendah
Sumber: Peneliti, 2021
Secara umum tingkat stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten, tergolong rendah yaitu sebesar 2,57. Artinya sebagian besar ASN mampu mengatasi tekanan dari seluruh indikator stressor yang dapat memunculkan stress kerja. Namun secara khusus, terdapat stressor yang menjadi faktor dominan penyebab munculnya stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Diantaranya, yaitu faktor tanggung jawab terhadap orang lain dan beban kerja berlebih secara kualitatif. Dimana keduanya menghasilkan tingkat stress kerja dengan kategori sedang.
Gambar 8. Prevalensi tingkat stress kerja ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten Gambar 8 memperlihatkan kategori tingkat stress kerja yang dialami ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Terdapat empat kategori tingkat stress kerja, meliputi tinggi (T), sedang (S), rendah (R), dan sangat rendah (SR), sedangkan kategori stress kerja sangat tinggi (ST) tidak terjadi pada ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten. Prevalensi terbanyak adalah tingkat stress kerja rendah (R) sebesar 45,59%. Urutan kedua adalah prevalensi tingkat stress kerja sedang (S) sebesar 25,33%. Selanjutnya, prevalensi tingkat stress kerja tinggi (T) sebesar 4,5%.
Prevalensi terendah berasal dari kategori tingkat stress kerja sangat rendah (SR) sebesar 2,3%.
D. SIMPULAN
Terdapat empat kategori tingkat stress kerja yang dialami ASN di Sekretariat DPRD Provinsi Banten, meliputi kategori tinggi (T), sedang (S), rendah (R), dan sangat rendah (SR).
Prevalensi terbanyak berasal dari tingkat stress kerja rendah (R) sebesar 45,59%. Walaupun didominasi oleh ASN dengan tingkat stress kerja yang rendah, terdapat pula ASN yang
mengalami stress kerja dengan kategori tinggi sebesar 4,5%. Adapun faktor utama yang menjadi stressor kondisi tersebut, adalah beban tanggung jawab terhadap orang lain.
Saran
Sekretariat DPRD Provinsi Banten harus dapat memperhatikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stress kerja, terutama terhadap faktor dominan yang terkait tanggung jawab terhadap pekerja maupun orang lain. Hal ini merupakan bagian dalam upaya menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja.
Perlu adanya program motivasi pada ASN, untuk dapat menyeimbangkan antara tanggung jawab kepada orang lain dan tanggung jawab kepada diri sendiri. Selain itu, perlu ditingkatkan kerjasama dan dukungan baik dari atasan, rekan kerja dan keluarga. Dengan demikian ASN tidak merasa terbebani secara berlebihan terkait tanggung jawabnya terhadap orang lain.
REFERENSI
Ahmed, A., & Ramzan, M. (2013). Effects of job stress on employees job performance a study on banking sector of Pakistan. In IOSR Journal of Business and Management.
academia.edu. https://www.academia.edu/download/32896332/4.pdf
Asmaryani, E., Mursito, B., & Istiatin, I. (2020). Kinerja Karyawan ditinjau dari Stres Kerja, Work Engagement, Penempatan dan Kepemimpinan (Studi pada FKIP UNS). JURNAL ILMIAH …. http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jie/article/view/1231
Azhar, F., & Iriani, D. U. (2021). Determinan Stres Kerja pada Aparatur Sipil Negara Dinas Pendidikan Kota Cilegon Saat Work From Home di Era Pandemi Covid-19 Tahun 2020.
Media Penelitian Dan ….
http://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/mpk/article/view/3521
Benefit, M. M. (n.d.). Workload is top cause of poor mental well-being for employees in Asia | Mercer Hong Kong. https://www.mercer.com.hk/newsroom/healthy-minds-at-work- assessment-finds.html
Benefit, M. M. (2020). Health On Demand.
Birdie, A. K. (2017). Employees and employers in service organizations: Emerging challenges
and opportunities. books.google.com.
https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=L7a8DgAAQBAJ&oi=fnd&pg=PT9&dq=
employees+and+employers+in+service+organizations+emerging+challenges+and+opportu nities+apple+academic+press&ots=AAs8_aeK6b&sig=knr3Y7dLlsVIBKxOfivcdD9tsZM Guilford, J. P. (1956). Fundamental Statistics in Psychology and Education, York, Pennsylvania.
Maple Press Company.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, (1945).
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 5/2018 K3 Lingkungan Kerja, 5 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia No 5 Tahun 2018 1 (2018).
https://jdih.kemnaker.go.id/keselamatan-kerja.html
Hardiani, W. A. a., Rahardja, E., & Yuniawan, A. (2018). Effect of Role Conflict and Role Overload to Burnout and Its Impact on Cyberloafing (Study On Pt Pln (Persero) Pusat
94 | Administratio, Vol. 13 (1) 2022: 81-94
Manajemen Konstruksi). JURNAL BISNIS STRATEGI, 26(2), 89-99.
https://doi.org/10.14710/jbs.26.2.89-99
Khattak, Muhammad & Faiza, Syeda & Khattak, Jamshid & Iqbal, Nadeem. (2011). Impact of Role Ambiguity on Job Satisfaction: Mediating Role of Job Stress. International Journal of Academic Research in Accounting Finance and Management Sciences 3(3).
DOI:10.6007/IJARAFMS/v3-i3/33
Law, P. C. F., Too, L. S., Butterworth, P., Witt, K., & ... (2020). A systematic review on the effect of work-related stressors on mental health of young workers. International Archives of …. https://doi.org/10.1007/s00420-020-01516-7
LR, G. (1992). Educational Research Competencies of Analysis and Application. Florida:
International Universe.
Michie, S. (2002). Causes and management of stress at work. Occupational and Environmental Medicine. https://oem.bmj.com/content/59/1/67.short
Nunnally, J. C. (1967). Psychometric Theory, MacGraw-Hill, New York, 1967. In Google Scholar.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Peraturan.Bpk.Go.Id 1 (2020). https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/149750/uu-no-11- tahun-2020
Ruzungunde, Vongai & Murugan, Chan & Hlatywayo, Clifford. (2016). The Influence Of Job Stress On The Components Of Organisational Commitment Of Health Care Personnel In The Eastern Cape Province South Africa. International Business & Economics Research Journal (IBER). 15. 219. 10.19030/iber.v15i5.9780.
S Iwasaki, Y Deguchi, K Inoue. (2018). Association between work role stressors and sleep quality, Occupational Medicine, Volume 68, Issue 3, April 2018, Pages 171–176, https://doi.org/10.1093/occmed/kqy021
Soltani, I., Hajatpour, S., Khorram, J., & Nejati, M. (2013). Investigating the effect of role conflict and role ambiguity on employees' job stress: Articulating the role of work-family conflict. Management Science Letters, 3, 1927-1936.
Sorongan, J., Suoth, L. F., & Boky, H. (2019). Hubungan Antara Stres Kerja dan Upah Dengan Produktivitas Kerja Pada Pegawai di Dinas Kesehatan Kota Manado. KESMAS.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kesmas/article/view/22023 Statistik, B. P. (2019). Keadaan Pekerja Di Indonesia 2019. Jakarta.
Statistika, B. P. (2017). Keadaan Pekerja Di Indonesia Agustus 2017. katalog BPS 2303006.
UNITEDNATIONS, N. (2015). The Secretary-General. In Santiago. ohchr.org.
https://www.ohchr.org/sites/default/files/Documents/Events/StatementsChronologicalOrder UDHR70Event.pdf
World Health Organization (WHO). (2001). Work Organisation. Work Life 2000 Yearbook 3, 24–44. https://doi.org/10.1007/978-1-4471-0291-5_3