• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

N/A
N/A
Irfan Hardiansyah

Academic year: 2023

Membagikan "Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

Moh. Misbachul Munir1

1 Madrasah Diniyah Muzamzamah Chosyi’ah, Jl. KH. Moh.

As'ad Umar, Wonokerto Selatan, Kec. Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 61481, Indonesia.

Email: muchosy11@gmail.com

Abstrak: Artikel ini memberikan gambaran terkait implementasi budaya religius yang diterapkan pada lingkungan SMP Negeri 2 Diwek. Seperti yang kita ketahui bersama, krisis moral yang melanda bangsa ini nampaknya menjadi sebuah persoalan besar serta menjadi kegelisahan bagi semua kalangan. Seperti maraknya kasus korupsi yang tidak pernah surut bahkan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu seakan menjadi cermin moralitas kurang baik bangsa Indonesia. Oleh karena itu pendidikan moral dirasa sangat dibutuhkan selain hanya pendidikan intelektual saja. Dalam mendidik moral siswa, beberapa sekolah menerapkan berbagai macam strategi guna mencegah maupun mengatasi adanya krisis moral peserta didiknya. Sama halnya yang dilakukan di lingkungan sekolah SMP Negeri 2 Diwek, adanya upaya implementasi budaya religius ditujukan guna membiasakan para siswanya memiliki budaya yang religius. Sehingga dari adanya budaya religius tersebut, diharapkan mampu memncegah maupun mengatasi krisis moral peserta didiknya. Dalam artikel ini, penulis menggunakan jenis metode penelitian kualitatif, dengan melakukan observasi dalam metode pengumpulan data.

Sehingga dari data yang didapatkan, penulis dapat menggambarkan sebuah proses implementasi budaya religius yang dilakukan di lingkungan SMP Negeri 2 Diwek.

Kata Kunci: Budaya Religius, Implementasi, Krisis Moral.

1. Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan formal yang telah berjalan hingga saat ini, banyak mengalami perubahan dalam segi sistem maupun kebijakan terkait pelaksanaannya. Sistem dan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) tentunya

(2)

memiliki harapan besar untuk merubah dan mengembangkan sistem pendidikan yang ada di Indonesia agar kedepannya semakin baik lagi.

Adanya perubahan tatanan kurikulum, merdeka belajar dan lain sebagainya adalah bentuk ikhtiar kongkrit pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.

Oleh karena itu Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata internasional.

Pendidikan akan sangat terasa gersang apabila tidak berhasil mencetak sumber daya manusia yang berkualitas (baik segi spiritual, intelegensi, dan skill). Sehingga diperlukan peningkatan mutu pendidikan supaya bangsa ini tidak tergantung pada status bangsa yang sedang berkembang tetapi bisa menyandang predikat bangsa maju.

Untuk memperbaiki kehidupan bangsa harus dimulai dari penataan dalam segala aspek dalam pendidikan, mulai dari aspek tujuan, sarana, pembelajaran, manajerial dan aspek lain yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran.

Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pendidikan yang mampu meyiapkan Sumber Daya Manusia yang memiliki moralitas yang tinggi [1].

Pendidikan sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. Artinya, pendidikan yang dimaksudkan di sini lebih dari sekedar sekolah (education not only education as Schooling) melainkan pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (education as community networks). Pendidikan diharapkan bisa memberikan sebuah kontribusi positif dalam membentuk manusia yang memiliki keseimbangan antara kemampuan intelektual dan moralitas [2].

Selain pendidikan intelektual, pendidikan moral menjadi sangat penting bagi keteguhan dan kekokohan suatu bangsa. Pendidikan moral adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia untuk menjadi seorang yang memiliki kekuatan intelektual dan spiritual sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya di segala aspek. Hal ini harus menjadi agenda pokok dalam setiap proses pembangunan bangsa.

Pendidikan moral ini bisa diaplikasikan pada penanaman nilai-nilai agama di sekolah. Untuk mewujudkan pendidikan ini, maka penyelenggaraan pendidikan harus memperhatikan penanaman nilai religius dalam segala aspek aktivitas belajar. Demi terciptanya kehidupan yang bercita-cita dan bertujuan pasti [3].

(3)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

Adanya krisis moral yang melanda bangsa ini nampaknya menjadi sebuah persoalan besar serta menjadi kegelisahan bagi semua kalangan. Seperti maraknya kasus korupsi yang tidak pernah surut bahkan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu seakan menjadi cermin moralitas kurang baik bangsa Indonesia. Di sisi lain, krisis ini menjadi komplek dengan berbagai kasus yang cukup memilukan yang terjadi pada generasi muda bangsa ini, seperti tawuran pelajar, penyalahgunaan obat terlarang, pergaulan bebas, aborsi, penganiayaan yang disertai pembunuhan.

Fenomena ini sesungguhnya sangat berseberangan dengan norma-norma keagamaan dan semestinya bukan menjadi kepribadian bangsa Indonesia. Alhasil jika krisis semacam ini dibiarkan begitu saja dan berlarut-larut apalagi dianggap sesuatu yang biasa maka segala bentuk penyimpangan moralitas akan terus menjadi budaya. Sekecil apapun krisis moralitas secara tidak langung akan dapat merapuhkan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Krisis tersebut bersumber dari krisis moral, akhlak (karakter) yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pendidikan.

Krisis karakter yang dialami bangsa saat ini disebabkan oleh kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga menjadi budaya. Budaya inilah yang menginternal dalam sanubari masyarakat Indonesia dan menjadi karakter bangsa.Ironis, pendidikan yang menjadi tujuan mulia justru menghasilkan output yang tidak diharapkan.

Hingga kini masyarakat mulai menyadari bahwa pentingnya mendidik anak dalam segi moraitas tidak hanya dalam intelektual saja.

Realitas tersebut mendorong timbulnya berbagai gugatan terhadap efektifitas pendidikan agama yang selama ini dipandang oleh sebagian besar masyarakat telah gagal, sebagaimana penilaian Mochtar Buchori bahwa kegagalan pendidikan agama ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pada pertumbuhan nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekat untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.

Mendidik moralitas siswa berbeda dengan mendidik secara intelektual. Mendidik secara moralitas tidak bisa dilakukan hanya dengan waktu yang singkat, namun diperlukan pendidikan secara berkelanjutan dan terus melalui pembiasaan-pembiasaan baik dalam kesehariannya. Adanya pembiasaan-pembiasaan baik yang dilakukan

(4)

secara kontinu baik di lingkungan keluarga maupun sekolah secara tidak langsung akan membentuk moral dan kepribadian baik seorang anak.

Maka dari pentingnya hal tersebut, banyak diantara lembaga- lembaga pendidikan formal yang pada akhirnya menerapkan sistem pembiasaan baik untuk membentuk kepribadian baik siswa. Sehingga nantinya dengan kepribadian baik yang timbul dari pembiasaan diharapkan menjadi sebuah budaya religius siswa khususnya di sekolah dan umumnya dalam lingkungan masayarakat. Berangkat dari hal yang demikian, penulis bermaksud menulis sebuah artikel tentang implementasi budaya religius siswa di SMP Negeri 2 Diwek. Seperti halnya yang penulis jumpai pada lingkungan SMPN 2 Diwek.

2.Metode

Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Dalam hal ini peneliti mencoba menggali beberapa data terkait obyek yang diteliti. Penelitian ini dilakukan dengan memotret kondisi atau situasi secara wajar dan natural sesuai dengan kodisi objektif di lapangan tanpa adanya manipulasi selama penelitian berlangsung.

Subyek penelitian yaitu informan penelitian yang memahami informasi tentang objek penelitian. Adapun yang menjadi subyek penelitian adalah dari unsur Kepala Sekolah, Waka Kurikulum, Waka Kesiswaan SMP Negeri 2 Diwek Jombang. Maka dalam mendapatkan data yang relevan dengan permasalahan yang telah ditetapkan di atas, peneliti memperoleh data yang di ambil menggunakan metode observasi dan wawancara.

Penelitian dilakukan dengan mengamati pelaksanaan kegiatan pembiasaan baik yang dilakukan di SMP Negeri 2 Diwek. Adapun pengamatan yang dilakukan ialah sebanyak 3 kali dalam satu minggu.

Pemilihan kelas untuk obyek pengamatan dipilih secara acak ditujukan agar mengetahui kondisi wajar/asli obyek serta terhindar dari adanya rekayasa kegiatan pembiasaan.

Penelitian dilakukan dalam bentuk memberikan pertanyaan kepada narasumber/informan sesuai dengan kebutuhan peneliti.

Sehingga didapat beberapa jawaban berupa informasi yang dapat digunakan sebagai data penelitian. Beberapa pertanyaan yang diajukan terkait seputar maksud dan tujuan, mekanisme kegiatan serta substansi terkait kegiatan pembiasaan yang dilakukan.

Selain menggunakan metode dalam pengumpulan data, penelitan juga dianalisis dengan tahap pengolahan data terhadap data-data yang telah diperoleh dalam pengumpulan data. Dalam mengolah data ini,

(5)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

peneliti menggunakan teknik reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan dan pengabstraksian dari catatan-catatan tertulis dilokasi penelitian. Reduksi data dilakukan sebelum pengumpulan data, selama pengumpulan data dan sesudah pengumpulan data. Tujuan dari pereduksian data ini untuk memisahkan data-data yang dianggap penting dan berkaitan dengan penelitian.

Penyajian data merupakan salah satu kegiatan dalam pembuatan laporan hasil penelitian yang telah dilakukan agar dapat dipahami dan di analisis sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Data yang disajikan harus sederhana dan jelas agar mudah dibaca.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menarik sebuah benang merah yang menjadi inti dari penelitian. Tujuan dari penarikan kesimpulan dalam hal ini adalah memberikan sebuah jawaban terkait rumusan masalah yang dimunculkan selama proses penelitian dilakukan [4].

3. Hasil

SMP Negeri 2 Diwek adalah lembaga pendidikan formal yang berada di bawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional yang berlokasi di Watugaluh Kec. Diwek Kab. Jombang. Sejarah singkat berdirinya SMP Negeri 2 Diwek Jombang mulai beroperasi pada tahun ajaran 1986. Layaknya lembaga pendidikan formal lainnya, tujuan didirikannya lembaga ini adalah menjadi sarana belajar guna mencetak generasi penerus bangsa yang memiliki wawasan luas, berpengetahuan, dan berkarakter.

Adapun visi dari SMP Negeri 2 Diwek adalah “Terwujudnya siswa berprestasi, peduli lingkungan berdasarkan Iman dan Taqwa”.

Sedangkan beberapa misi dari SMP Negeri 2 Diwek adalah:

a. Melaksanakan proses pembelajaran dan layanan bimbingan konseling secara efektif.

b. Mendorong siswa berprestasi di bidang olahraga voli, sepak bola, dan atletik.

c. Melaksanakan muatan local di bidang pertukangan dan teknik.

d. Meningkatkan pengayaan dan pengalaman terhadap ajaran agama yang dianut melalui: baca tulis Al Quran, dzikir, dan pelaksanaan sholat berjamaah, sehingga menjadi sumber kearifan.

(6)

Dalam bidang Kurikulum yang dipakai dalam proses pembelajaran siswa di SMP Negeri 2 Diwek adalah Kurikulum model K13 dimana pada proses pembelajarannya lebih menekankan pada proses ekplorasi siswa dan lebih memposisikan siswa sebagai subyek (pelaku). Sehingga aspek dalam KI (Kompetensi Inti) lebih menekankan pada pendidikan karakter siswa.

Dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah, SMP Negeri 2 Diwek memiliki tenaga pendidik yang berjumlah 45 orang sesuai pembagian tugas mengajar dalam kurikulum. Jumlah pendidik yang ada disesuaikan dengan kebutuhan jam pembelajaran sebanyak 21 rombel (kelas). Terkait tenaga kependidikan yang melaksanakan kegiatan operasional sekolah, SMP Negeri 2 Diwek memiliki tenaga kependidikan yang berjumlah 15 orang.

Dengan jumlah sekian, tenaga kependidikan terbagi dengan beberapa tugas dan bagian tertentu sesuai kebutuhan operasional sekolah. Mengenai jumlah peserta didik yang aktif mengikuti kegiatan pembelajaran tercatat sebanyak 647 siswa aktif yang terbagi dalam 3 tingkatan kelas dengan jumlah 7 rombel setiap tingkatannya.

Pelaksanaan kegiatan pembelajaran normal (tatap muka) dilakukan selama 6 hari dalam satu pekan, dimulai pada hari senin sampai pada hari sabtu. Sebelum mengawali kegiatan belajar, para peserta didik mengikuti kegiatan membaca surat yaasiin secara bersama- sama sebelum memulai pelajaran di jam pertama.

Pembacaan surat yaasiin dilakukan pada kelas masing-masing dan dipimpin oleh guru yang bertugas pada jam pertama. Pada hari-hari Jumat tertentu sesuai penanggalan jawa, sekolah juga mengadakan berbagai kegiatan seperti istighotsah, yaasin dan tahlil, pembacaan sholawat nabi,serta kegiatan jumat bersih lingkungan. Yang keseluruhannya dilakukan secara bersama-sama dengan bapak/ibu guru.

4.Pembahasan

A. Implementasi Budaya Religius

Implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Arinda Firdianti diartikan sebagai “penerapan”. Sedangkan menurut Browne dan Wildavsky dalam Arinda Firdianti implementasi adalah

“perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan” [5, p. 19]. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa implementasi lebih mengarah pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem.

Mekanisme disini mengandung arti bahwa implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilaksanakan

(7)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

berdasarkan acuan norma yang berlaku. Dalam pengertian lain implementasi adalah proses bagaimana menstransformasikan input (tujuan dan isi) ke dalam bentuk rangkaian tindakan operasional guna mewujudkan hasil yang diinginkan oleh suatu kebijakan [6].

Banyak pakar yang mendefinisikan budaya, di antaranya ialah menurut Andreas Eppink menyatakan bahwa budaya mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain [7]. Menurut Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi mengatakan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Koentjaraningrat juga mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta hasil budi pekerti [8, p. 25].

Fungsi implementasi adalah mentransformasikan tujuan kebijakan ke dalam bentuk-bentuk kegiatan operasional yang dibutuhkan agar kebijakan mencapai tujuannya. Pengertian lain terkait implementasi menurut Mulyadi dalam Apriandi adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan.

Menurut Widodo dalam Apriandi implementasi adalah sarana untuk melaksanakan suatu kebijakan dan dapat menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu.

Dari beberapa paparan definisi tentang implementasi di atas, dapat kita tarik ketahui bahwa secara umum implementasi merupakan serangkaian aktivitas atau kegiatan yang terencana dan dilaksanakan berdasarkan acuan norma yang berlaku. Menurut Judson implementasi strategi melalui lima langkah yaitu menganalisis dan merencanakan perubahan, mengkomunikasikan perubahan, mendorong perubahan, mengembangkan inisiasi masa transisi, mengkonsolidasikan kondisi baru dan tindak lanjut [9, p. 166].

Akib menyebutkan ada empat faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:

1. Kondisi lingkungan (environmental conditions)

2. Hubungan antar organisasi (inter-organizational relanship) 3. Sumber daya (resources)

4. Karakter institusi implementor (characteristicimplementing) [10].

Sedangkan menurut Purwanto beberapa faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu proses implementasi yaitu:

1. Kualitas kebijakan itu sendiri

2. Kecukupan input kebijakan (terutama anggaran)

(8)

3. Ketepatan instrumen yang dipakai untuk mencapai tujuan kebijakan (pelayanan, subsidi, hibah, dan lainnya)

4. Kapasitas implementor (struktur organisasi, dukungan SDM, koordinasi, pengawasan, dan sebagainya)

5. Karakteristik dan dukungan kelompok sasaran (apakah kelompok sasaran adalah individu atau kelompok, laki-laki atau perempuan, terdidik atau tidak)

6. Kondisi lingkungan geografi, sosial, ekonomi, dan politik di mana implementasi tersebut dilakukan [11].

Budaya yang telah menjadi kebiasaan membetuk suatu kata yang disebut kebudayaan. Kebudayaan menurut Parsudi Suparlan dalam Kamsi, merupakan “unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah” [12]. Definisi konsep Koentjaraningrat dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi kebudayaan mencakup kesuluruhan dari gagasan, kelakuan, dan hasil-hasil kelakuan.

Kebudayaan di sini juga dipercayai sebagai produk yang berupa gagasan maupun perilaku yang telah nampak [13, p. 7]. Sementara kebudayaan menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Tedi Sutardi adalah “kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa, dan cipta manusia” [14, p. 9]. Budaya tersebut berasal dari perpaduan rasa dan pengetahuan.

Keberadaan budaya di dalam organisasi (sekolah) tidak bisa dilihat oleh mata namun bisa dirasakan. Budaya tersebut dapat dirasakan keberadaannya berdasarkan perilaku anggota di dalamnya. Kebudayaan tersebut memberikan pola, cara-cara berfikir, merasa menanggapi dan menuntun para anggota dalam organisasi (sekolah) [15, p. 180]. Adanya budaya dapat mempengaruhi setiap orang di dalamnya. Selain mengubah perilaku seseorang baik individu maupun kelompok budaya sangat berperan dan efektif dalam pencapaian tujuan.

Budaya religius adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik, dan masyarakat sekolah. Perwujudan budaya tidak hanya muncul begitu saja, tetapi melalui proses pembudayaan [16, p. 221].

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud budaya religius dalam penelitian ini adalah sekumpulan nilai- nilai agama atau nilai religius (keberagamaan) yang menjadi landasan dalam berperilaku dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Budaya religius ini dilaksanakan oleh semua warga sekolah, mulai dari kepala

(9)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik, pertugas keamanan, dan petugas kebersihan.

Budaya religius sekolah adalah nilai-nilai Islam yang dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah setelah semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan, dan norma-norma yang dapat diterima secara bersama. Cara membudayakan nilai-nilai religius dapat dilakukan melalui kebijakan pimpinan sekolah, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan ekstrakurikuler di luar kelas dan tradisi serta perilaku warga sekolah secara kontinyu dan konsisten, sehingga tercipta religious culture tersebut di lingkungan sekolah [17].

Asmaun Sahlan menjelaskan bahwa alasan perwujudan budaya religius di sekolah, antara lain:

1. Keterbatasan alokasi waktu untuk mata pelajaran PAI

2. Strategi pembelajaran yang terlalu berorientasi kepada aspek kognitif

3. Proses pembelajaran yang cenderung kepada transfer of knowledge, bukan internalisasi nilai

4. Pengaruh negatif dari lingkungan dan teknologi informasi [18, p.

34].

Dari apa yang telah dikemukakan oleh Asmaun Sahlan dapat kita ketahui bahwa mewujudkan atau mengimplementasikan budaya religius adalah sebuah hal yang penting untuk dilakukan, khususnya dalam lingkup lembaga pendidikan. Beberapa contoh yang dapat kita lihat dari wujud budaya religius di sekolah antara lain:

1. Senyum, Salam, Sapa (3S)

Senyum, salam dan sapa dalam perspektif budaya menunjukkan bahwa komunitas masyarakat memiliki kedamaian, santun, saling tenggang rasa, toleran dan rasa hormat.

2. Saling Hormat dan Toleran

Dalam perspektif apapun toleransi dan rasa hormat sangat dianjurkan. Melalui pendidikan dan dimulai sejak dini, sikap toleran dan rasa hormat harus dibiasakan dan dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Puasa Senin Kamis

Puasa merupakan bentuk peribadatan yang memiliki nilai yang tinggi terutama dalam pemupukan spiritualitas dan jiwa sosial.

Nilai- nilai yang ditumbuhkan melalui proses permbiasaan

(10)

berpuasa tersebut merupakan nilai-nilai luhur yang sulit dicapai oleh siswa di era sekarang.

4. Salat Dhuha

Melakukan ibadah dengan mengambil wudhu dilanjutkan dengan shalat dhuha dilanjutkan dengan membaca al-Qur’an memiliki implikasi pada spiritualitas dan mentalitas bagi seseorang yang akan dan sedang belajar.

5. Tadarrus al-Qur’an

Tadarrus al-Qur’an atau kegiatan membaca al-Qur’an merupakan bentuk peribadatan yang diyakini dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan yang berimplikasi pada sikap dan perilaku positif, dapat mengontrol diri, dapat tenang, lisan terjaga dan istiqomah dalam beribadah.

6. Istighosah dan Doa bersama

Istighosah adalah doa bersama yang bertujuan memohon pertolongan dari Allah. Inti dari kegiatan ini sebenarnya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

7. Shalat berjama’ah

Melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dapat menyatukan antara kaum muslimin, menyatukan hati dalam satu ibadah yang paling besar, mendidik hati, meningkatkan kepekaan perasaan, mengingatkan kewajiban, dan menggantungkan asa pada Dzat Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi [18, pp. 116–121].

Dari sekian banyak contoh di atas dapat kita pahami bahwa betapa indahya jika budaya religius mampu melekat diantara siswa dan warga sekolah. Sehingga apa yang telah dilakukan di sekolah diharapkan bisa diterapkan pula dalam keseharian peserta didik. Namun yang kita ketahui bersama, bahwa sebuah proses sudah semestinya berjalan melalui beberapa tahapan-tahapan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Beberapa tahapan proses yang bisa ditempuh dalam mengimplementasikan budaya religius diantaranya:

1. Penciptaan Suasana Religius

Budaya religius yang ada di sekolah bermula dari penciptaan suasana religius yang disertai penanaman nilai-nilai religius secara istiqomah. Penciptaan suasana religius merupakan upaya untuk mengkondisikan suasana sekolah dengan nilai-nilai dan perilaku religius (keagamaan). Penciptaan suasana religius dapat diciptakan dengan mengadakan kegiatan religius di lingkungan sekolah. Kegiatan- kegiatan yang dapat menumbuhkan budaya religius (religious culture) di lingkungan lembaga pendidikan antara lain :

(11)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

a. Melakukan kegiatan rutin, yaitu pengembangan kebudayaan religius secara rutin berlangsung pada hari-hari belajar biasa di lembaga pendidikan.

b. Menciptakan lingkungan lembaga pendidikan yang mendukung dan menjadi laboratorium bagi penyampaian pendidikan agama, sehingga lingkungan dan proses kehidupan semacam ini bagi peserta didik benar-benar bisa memberikan pendidikan tentang caranya belajar beragama.

c. Pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara formal oleh guru agama dengan materi pelajaran agama dalam suatu proses pembelajaran, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.

d. Menciptakan situasi atau keadaan religius. Tujuan menciptakan situasi keadaan religius adalah untuk mengenalkan kepada peserta didik tentang pengertian dan tata cara pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu budaya religius di sekolah dapat diciptakan dengan cara pengadaan peralatan peribadatan, seperti tempat sholat (masjid atau mushola), alat-alat sholat seperti mukena, peci, sajadah atau pengadaan al-Qur’an. Di dalam ruang kelas bisa ditempel kaligrafi sehingga peserta didik dibiasakan selalu melihat sesuatu yang baik.

e. Memberikan kesempatan kepada peserta didik sekolah/madrasah untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat dan kreativitas pendidikan agama dalam ketrampilan dan seni seperti membaca al-Qur’an, adzan, sari tilawah, serta untuk mendorong peserta didik sekolah mencintai kitab suci, dan meningkatkan minat peserta didik untuk membaca, menulis serta mempelajari isi kandungan al-Qur’an.

f. Menyelenggarakan berbagai macam perlombaan seperti cerdas cermat untuk melatih dan membiasakan keberanian, kecepatan dan ketepatan menyampaikan pengetahan dan mempraktekan materi pendidikan Islam.

g. Diselenggarakannya aktivitas seni, seperti seni suara, seni musik, seni tari, atau seni kriya [19].

2. Internalisasi Nilai Religius

Internalisasi berarti proses menanamkan, menumbuhkan dan mengembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri orang yang bersangkutan. Internalisasi dilakukan dengan memberikan pemahaman

(12)

tentang agama kepada para siswa, terutama tentang tanggung jawab manusia sebagai pemimpin yang harus arif dan bijaksana. Langkah selanjutnya senantiasa diberikan nasihat kepada para siswa tentang adab bertutur kata yang sopan dan bertata karma baik terhadap orang tua, guru maupun sesama orang lain.

Selain itu proses internalisasi tidak hanya dilakukan oleh guru agama saja, melainkan juga semua guru yang ada di sekolah sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. Ada beberapa tahap dalam internalisasi nilai, yaitu:

a. Tahap transformasi nilai

Pada tahap ini guru hanya sekedar menginformasikan nilai- nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata- mata komunikasi verbal.

b. Tahap transaksi nilai

Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah atau interaksi antar siswa dengan guru bersifat interaksi timbal balik. Dalam tahap ini guru tidak hanya menyajikan informasi tentang nilai yang baik dan buruk tetapi juga terlibat untuk melaksanakan dan memberikan contoh amalan yang nyata dan siswa diminta memberikan respon yang sama, yakni menerima dan mengamalkan itu.

c. Tahap transinternalisasi

Tahap ini jauh lebih dalam daripada sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru di hadapan siswa bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mentalnya (kepribadiannya). Demikian pula siswa merespon kepada guru bukan hanya gerakan/penampilan fisiknya, melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi ini adalah komunikasi dan kepribadian yang masing-masing terlibat secara aktif [20].

3. Keteladanan

Upaya mewujudkan budaya religius sekolah dapat dilakukan melalui pendekatan keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warga sekolah dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan warga sekolah. Memberikan contoh teladan atau perilaku yang baik dalam kehidupan sehari hari, sehingga dapat ditiru oleh warga sekolah.

4. Pembiasaan

Pembiasaan adalah sebuah metode yang digunakan pendidik

(13)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

dalam proses pendidikan dengan cara memberikan pengalaman yang baik untuk dibiasakan dan sekaligus menanamkan pangalaman yang dialami oleh para tokoh untuk ditiru dan dibiasakan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Metode pembiasaan sering disebut dengan pengkondisian (conditioning), adalah upaya membentuk perilaku tertentu dengan cara mempraktikkannya secara langsung. Secara praktis metode ini merekomendasikan agar proses pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk praktik langsung (direct experience) atau menggunakan pengalaman pengganti / tak langsung (vicarious experience) [21].

5. Pembudayaan

Koentjoroningrat dalam Asmaun Sahlan menyatakan proses pembudayaan dilakukan melalui tiga tataran, yaitu:

a. Tataran nilai yang dianut, yakni merumuskan secara bersama nilai- nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di sekolah, untuk selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama di antara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang disepakati.

b. Tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses pengembangannya dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:

1) Sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah

2) Penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati

3) Pemberian penghargaan terhadap yang berprestasi [18, p. 117].

c. Tataran simbol-simbol budaya, yaitu mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis.

(14)

B. Hambatan Implementasi Budaya Religius

Secara istilah pengertian hambatan adalah suatu halangan atau rintangan yang dapat muncul ketika penerapan strategi. Secara umum ada dua jenis hambatan yaitu hambatan eksternal dan internal.

Hambatan eksternal biasanya didapatkan dari fisik sekolahnya seperti sarana dan lain sebagainya. Sedangkan hambatan internal didapatkan dari individu yang melaksanakan.

Hambatan eksternal menurut Rizal Sholihuddin dapat dibagi menjadi beberapa faktor diantaranya adalah:

1. Faktor guru yang kurang profesional

Faktor penghambat Implementasi dari strategi yang disusun kepala sekolah pertamanya berasal dari guru. Karena guru sebagai pelaku yang dapat mengetahui ideal atau tidaknya strategi tersebut dilaksanakan.

Maka dalam mengimplementasikan strategi dari budaya religius diperlukannya guru yang profesional

2. Faktor keterbasan dari sarana prasarana

Faktor penghambat dalam mengimplementasikan strategi dari budaya religius ialah keterbatasan kelengkapan sarana dan prasarana.

Karena sarana prasarana komponen penting dalam menunjuang proses pembangunan budaya religius. Keberadaan sarana dan prasarana mutlak dibutuhkan. Tanpa adanya sarana prasarana proses pendidikan akan mengalami kesulitan yang sangat serius bahkan dapat menggagalkan pendidikan.

3. Faktor partisipasi masyarakat

Implementasi strategi dari budaya religius di sekolah salah satu sebagai faktor penghambatnya ialah kurangnya partisipasi masyarakat.

Ini disebabkan karena sekolah dan masyarakat merupakan partnership dalam seluruh aktifitas pendidikan diantaranya yaitu:

a. Sekolah dan masyarakat merupakan satu keutuhan dalam menyelenggarakan pendidikan dan pembinaan pribadi peserta didik

b. Sekolah dan tenaga pendidikan menyadari pentingnya kerja sama dengan masyarakat

c. Sekolah dan masyarakat sekitar memiliki andil dan mengambil bagian serta bantuan dalam pendidikan di sekolah

Sedangkan hambatan internal lebih mengarah pada pribadi peserta didik itu sendiri. Apakah dirinya memiliki kesadaran akan pentingnya menerapkan budaya religius dan patuh akan ketentuan sekolah. Serta mereka yang berusaha untuk selalu menerapkannya maupun telah berada di luar sekolah. Adapun macam-macam hambatan internal adalah:

(15)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

1. Kurangnya motivasi dan minat para siswa

Kurangnya minat anak dalam mempelajari pembelajaran nilai karena tidak meningkatkan aspek kognitif mereka dan kurangnya materi pembelajaran. Kaitannya budaya religius dimaknai siswa yang tidak memiliki antusias terhadap budaya yang demikian sehingga menjadi hambatan sendiri bagi kepala sekolah beserta guru yang menerapkan strategi tersebut.

2. Lingkungan keluarga yang kurang harmonis

Kondisi keluarga yang kurang harmonis menyebabkan kurang keteladanan dari orang tua dan masyarakat. Kemiskinan keteladanan merupakan faktor yang paling utama. Kemiskinan keteladanan ini akan dapat dihindari kalau orang tua sering berkomunikasi dengan anaknya.

Kurangnya komunikasi orang tua dan guru akan menyebabkan perilaku anak tidak terkontrol. Keluarga merupakan teladan utama yang dicontoh oleh anak. Tanpa penyaring mereka menerapkan apa yang mereka lihat dari orang tuanya.

C. Implementasi Budaya Religius di SMP Negeri 2 Diwek

Secara garis besar implementasi dapat dilakukan dengan menganalisis apa saja yang perlu dilakukan perubahan kemudian mengkomunikasikan atau melaksanakan analisis yang telah dibuat.

Pengimplementasian strategi kaitannya membangun budaya dapat melalui beberapa cara yaitu:

1. Strategi membangun budaya melalui pendidikan

Strategi pelaksanaan pendidikan di satuan pendidikan merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasinya dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum oleh setiap satuan pendidikan. Pengembangan budaya pada peserta didik diyakini perlu dan penting dalam satuan pendidikan pada semua stakeholder. Wawasan budaya dalam pendidikan meliputi:

a. Budaya adalah dari dan untuk manusia

b. Dengan budaya manusia membangun masyarakat dan lingkungan

c. Dengan budaya manusia membangun pendidikan d. Pendidikan melalui budaya terjadi secara kontekstual e. Pendidikan melalui budaya terjadi proses

f. Membangun manusia melalui budaya harus melibatkan fisik, akal, dan hati

(16)

g. Membangun manusia melalui budaya, maka nilai-nilai budaya harus menyatu dengan dirinya menjadi nuansa batinnya, menjadi sikap dan perilakunya serta menjadi dasar cara berfikirnya

h. Pembangunan melalui kebudayaan berarti berkelanjutan yang bersifat konvergen

2. Strategi membangun budaya melalui kerja sama

Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang rasional, yaitu:

a. Adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang ditangani oleh sekolah dengan kebutuhan masyarakat

b. Ketetapan sasaran dan target pendidikan yang ditangani oleh sekolah ditentukan oleh kejelasan perumusan kontrak antara sekolah dan masyarakat

c. Keberhasilan penunaian fungsi sekolah sebagai layanan pesanan masyarakat sangat dipengaruhi oleh ikatan objektif antara sekolah dan masyarakat. Ikatan objektif ini dapat berupa perhatian, penghargaan, dan bantuan tertentu seperti dana, fasilitas, dan bentuk bantuan lain baik bersifat ekonomis maupun non ekonomis.

Keterlibatan masyarakat sekolah sebagai sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar. Sekolah dengan masyarakat memiliki hubungan yang erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif dan efisien. Hubungan sekolah dan masyarakat menurut Haryadi dkk dalam Warni Tune Sumar bertujuan untuk:

a. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, dan melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan pendidikan b. Menempatkan sekolah sebagai pelaku sentral dalam pelaksanaan

kegiatan pendidikan, yang bersifat inklusif sehingga institusi pendidikan sekolah diharapkan menjadi milik masyarakat

c. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan dan program masyarakat.

Implementasi di atas merupakan strategi dari luar dan secara umum. Sementara implementasi strategi dari dalam dapat diwujudkan oleh warga sekolah itu sendiri melalui langkah-langkah yang dibuat kepala sekolah. Strategi tersebut diantaranya:

1. Strategi pemberian contoh atau keteladanan

Keteladanan merupakan dimensi yang tidak kalah pentingnya dalam kepemimpinan kepala sekolah. Kelakukan kepala sekolah yang

(17)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

selalu menjadi contoh yang baik bagi bawahannya akan menjadi salah satu modal utama bagi terlaksananya manajemen sekolah yang efektif.

Pemberian contoh di sini dapat melibatkan dirinya sendiri sebagai kepala sekolah, dan seluruh staf di bawahnya seperti staf pengajar, manajerial, dan lain sebagainya. Pemberian contoh pada peserta didik terhadap perilaku dan ibadah tidak hanya terimplementasikan pada lingkup sekolah namun harus terealisasikan pada lingkup masyarakat juga.

2. Strategi pembiasaan

Pembiasaan diartikan dengan sebagai proses pembuatan sesuatu atau seseorang menjadi biasa. Menurut Muhaimin dalam pembelajaran agama perlu adanya beberapa pendekatan diantaranya:

a. Pendekatan pengalaman, yaitu memberikan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai keagamaan.

b. Pendekatan kebiasaan, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya dan akhlak mulia. Melalui pembiasaan kepala sekolah dapat membangun budaya religius sesuai tujuan yang diinginkan.

Pembiasaan ini dipercayai dapat mempengaruhi adanya kemauan peserta didik tanpa perintah dalam menjalani budaya religius.

3. Strategi disiplin

yaitu suatu kegiatan di mana sikap, penampilan, dan tingkah laku peserta didik sesuai dengan tatanan nilai, norma, dan ketentuan- ketentuan yang berlaku di sekolah dan kelas di mana mereka berada.

Disiplin juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan tertib dimana orang- orang yang bergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan- peraturan yang telah ada. Dapat ditarik bahwa disiplin dapat menjadi strategi berikutnya kepala sekolah membangun budaya. Seperti halnya disiplin datang tepat waktu dan adanya sanksi bagi yang melanggar.

4. Strategi pemberian motivasi

Motif adalah suatu perangsang keinginan dan daya penggerak kemauan bekerja seseorang setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Sedangkan motivasi didefinisikan sebagai suatu usaha menimbulkan dorongan (motif) pada individu dan kelompok agar bertindak. Motivasi ini diberikan kepada manusia khususnya kepada para bawahan atau pengikut. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk

(18)

mewujudkan tujuan perusahaan/lembaga. Maksud dari adanya motivasi yaitu seorang kepala sekolah yang mendorong bawahannya untuk lebih semangat menjalankan tugsa-tugasnya. Selain itu kepala sekolah juga perlu memotivasi peserta didik kaitannya belajar ilmu pengetahuan dan memperbaik perbuatan serta ibadahnya.

Berikut ini adalah hasil wawancara penulis dengan kepala SMP Negeri 2 Diwek tentang beberapa contoh yang diterapkan dalam implementasi strategi budaya religius yang diterapkan di SMP Negeri 2 Diwek ialah:

1. Implementasi strategi budaya shalat berjamaah

Shalat berjamaah dilakukan pada waktu dhuhur di jam 12.00-12.30 dan terbagi dalam 2 shift. Para siswa mengikuti sholat berjamaah yang diimami oleh guru yang menjadi tugas piket imam. Dalam hasil wawancara yang penulis lakukan kepada Waka Kurikulum, beliau mengatakan bahwa adanya pembiasaan sholat berjamaah pada saat istirahat jam ke 2 bertujuan agar siswa terbiasa sholat secara berjamaah dari pada munfarid. Selain itu kondisi yang demikian mampu membawa kerukunan antar warga sekolah SMP Negeri 2 Diwek

2. Implementasi strategi budaya membaca al Qur’an

Kegiatan membaca surat yaasiin dilakukan pada saat pagi setelah bel sekolah dibunyikan. Para siswa membaca secara bersama-sama dipandu oleh guru yang mengajar di jam tersebut sebelum memulai pelajaran di jam pertama. Dalam hasil wawancara yang penulis lakukan kepada Waka Kesiswaan, beliau mengatakan bahwa adanya pembiasaan membaca surat yaasin bertujuan agar menjadi kebiasaan siswa/i dalam kesehariannya. Selain itu membantu beberapa siswa yang memang belum begitu mahir dalam bacaan Al-Qur’an.

3. Implementasi strategi budaya menebar ukhuwah melalui kebiasaan berkomunikasi (salam, senyum, sapa)

Budaya 3S (Senyum, Salam, Sapa) yang seringkali kita lihat di sekolah-sekolah adalah cita-cita nyata dari sebuah lingkungan pendidikan. dengan adanya budaya 3S ini akan lebih meningkatkan hubungan yang harmonis antara pimpinan sekolah, guru, para karyawan sekolah dan siswa SMP Negeri 2 Diwek.

4. Implementasi strategi budaya berdzikir bersama

Berdzikir artinya mengingat Allah Swt. Berdzikir bisa dilakukan dengan mengingat Allah dalam hati atau menyebutnya dengan lisan atau juga bisa dengan mentadabur atau mentafakur yang terdapat pada alam

(19)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

semesta ini. Berdzikir selain sebagai sarana penghubung antara makhluk dan khalik juga mengandung nilai dan daya guna yang tinggi. ada banyak rahasia dan hikmah yang terkandung dalam dzikir.

5. Implementasi strategi budaya Peringatan Hari Besar Islam

Merupakan budaya sekolah yang mana kegiatannya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya kegiatan pada hari raya idul fitri, hari raya idul adha, maulid Nabi dan tahun baru Islam.

6. Implementasi strategi pesantren kilat ramadhan

Pesantren kilat ramadhan merupakan budaya Islami di sekolah, yang mana kegiatan ini biasa dilaksanakan ketika bulan ramadhan.

Kegiatan ini bertujuan untuk memperdalam pengalaman keagamaan seseorang siswa, terutama pada bulan ramadhan karena bulan ramadhan merupakan bulan yang istimewa dibanding bulan-bulan lainnya.

7. Implementasi strategi lomba keterampilan agama

Lomba keterampilan agama bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama (khusus Islam) siswa dalam kehidupan sehari-hari.

8. Implementasi strategi menjaga kebersihan lingkungan sekolah

Menjaga kebersihan merupakan hal sangat penting dalam menciptakan lingkungan sehat dan nyaman dalam kehidupan sehari- hari, termasuk dalam lingkungan sekolah. Apabila lingkungan sekolah bersih proses belajar mengajar yang berlangsung dapat berjalan dengan baik dan siswa mudah dalam menangkap, dan memahami pelajaran.

5.Kesimpulan

Secara umum implementasi merupakan serangkaian aktivitas atau kegiatan yang terencana dan dilaksanakan berdasarkan acuan norma yang berlaku melalui lima langkah yaitu menganalisis dan merencanakan perubahan, mengkomunikasikan perubahan, mendorong perubahan, mengembangkan inisiasi masa transisi, mengkonsolidasikan kondisi baru dan tindak lanjut. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa implementasi lebih mengarah pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Mekanisme disini mengandung arti bahwa implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilaksanakan berdasarkan acuan norma yang berlaku.

(20)

Dalam implementasi budaya religius terdapat 2 faktor yang menjadi hambatan dalam mengimplementasikan budaya religius. Faktor tersebut ialah 1. faktor eksternal yang terdiri dari faktor guru yang kurang profesional, keterbatasan sarana dan prasarana, dan faktor partisipasi/dukungan masyarakat. 2. faktor internal yang terdiri dari faktor kurangnya semangat motivasi dari dalam diri siswa dan faktor lingkungan keluarga yang kurang harmonis.

Strategi yang ditempuh SMP Negeri 2 Diwek dalam mengimplementasikan buadaya religius diantaranya: budaya sholat berjamaah, budaya membaca surat yaasiin sebelum memulai pembelajaran, menerapkan 3S (Senyum Salam Sapa), strategi budaya berdzikir bersama, strategi budaya Peringatan Hari Besar Islam, strategi pesantren kilat ramadhan, strategi lomba keterampilan agama, menjaga kebersihan lingkungan sekolah.

Dari ketiga kesimpulan yang telah penulis paparkan di atas menujukkan bahwa dalam mengimplementasikan budaya religius perlu kiranya untuk melihat segala aspek-aspek yang penting terkait strategi dalam penrapannya. Karena semestinya dalam mengimplementasikan sebuah budaya religius dalam lingkungan sekolah bukanlah perkara yang mudah. Tentu banyak sekali hambatan-hambatan yang sudah umum terjadi dari faktor ekternal maupun internal. Maka dari itu dalam mengimplementasikan sebuah program diperlukan adanya evaluasi dari strategi-strategi yang telah dilakukan. Tujuannya tidak lain adalah sebagai bahan evaluasi terkait efektivitas dan efisiensi dari strategi implementasi program tersebut.

6.Daftar Referensi

[1] M. Wahono and A. S. Priyanto, “IMPLEMENTASI BUDAYA SEKOLAH SEBAGAI WAHANA PENGEMBANGAN KARAKTER PADA DIRI SISWA,” Integralistik, vol. 28, no. 2, Art. no. 2, 2017, doi:

10.15294/integralistik.v28i2.13723.

[2] H. Siswanto, “Pentingnya Pengembangan Budaya Religious Di sekolah,” Madinah: Jurnal Studi Islam, vol. 6, no. 1, Art. no. 1, Jun. 2019.

[3] W. Wasito and M. Turmudi, “Penerapan Budaya Religius di SD al Mahrusiyah,” Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, vol. 29, no. 1, Art.

no. 1, Sep. 2018, doi: 10.33367/tribakti.v29i1.560.

[4] S. Arikunto, Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2019.

(21)

Moh. Misbachul Munir Implementasi Budaya Religius Peserta Didik di Lingkungan Sekolah SMP Negeri 2 Diwek

[5] Arinda Firdianti, IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA.

Yogyakarta: Gre Publishing, 2018.

[6] A. A. Humaizi, “Implementasi Kebijakan Publik Studi Tentang Kegiatan Pusat Informasi Pada Dinas Komunikasi Dan Informatika Provinsi Sumatera Utara,” Jurnal Administrasi Publik  : Public Administration Journal, vol. 3, no. 1, Art. no. 1, Mar. 2013, doi:

10.31289/jap.v3i1.191.

[7] E. Sumiyati, “Pengaruh Budaya Religius Sekolah Terhadap Akhlak Siswa Kelas XI di SMA Plus Permata Insani Islamic School Kabupaten Tangerang,” JM2PI: Jurnal Mediakarya Mahasiswa Pendidikan Islam, vol.

1, no. 1, Art. no. 1, Jun. 2020, doi: 10.33853/jm2pi.v1i1.69.

[8] K. Koentjaraningrat, Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

[9] N. R. Utama, PERUBAHAN ORGANISASIONAL INSTITUSI PENDIDIKAN TINGGI TENAGA KESEHATAN. Malang: WINEKA MEDIA, 2019.

[10] H. Akib, “Implementasi Kebijakan: Apa, Mengapa dan Bagaimana,”

Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik, vol. 1, no. 1, Art. no. 1, Mar.

2012, doi: 10.26858/jiap.v1i1.289.

[11] S. A. Purwanto, S. Sumartono, and M. Makmur, “Implementasi Kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH) Dalam Memutus Rantai Kemiskinan (Kajian di Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto),”

Wacana Journal of Social and Humanity Studies, vol. 16, no. 2, Art. no. 2, Nov. 2013.

[12] N. Kamsi, “PENGARUH PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN,” El-Ghiroh  : Jurnal Studi Keislaman, vol. 12, no. 1, Art. no. 1, Mar. 2017, doi: 10.37092/el- ghiroh.v12i1.26.

[13] S. Yuniardi and T. Dayakisni, Psikologi Lintas Budaya. Malang:

Universitas Muhammadiyah Malang, 2017.

[14] T. Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya. Jakarta:

Grafindo Media Pratama, 2007.

[15] T. Duha, Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Deepublish, 2018.

[16] A. Sachari, Budaya visual Indonesia: membaca makna perkembangan gaya visual karya desain di Indonesia abad ke-20. Jakarta: Erlangga, 2007.

(22)

[17] M. Fathurrohman, “Pengembangan Budaya Religius dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan,” Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 4, no. 1, Art. no. 1, Jun. 2016, doi: 10.21274/taalum.2016.4.1.19-42.

[18] A. Sahlan, Mewujudkan budaya religius di sekolah: Upaya mengembangkan PAI dari teori ke aksi. Malang: UIN-Maliki Press, 2010.

Accessed: Jan. 17, 2022. [Online]. Available: http://repository.uin- malang.ac.id/1221/

[19] R. E. Syahrotunnisa, “INTERNALISASI BUDAYA RELIGIUS PESERTA DIDIK MELALUI KEGIATAN KEAGAMAAN DI SMPN 2 TULUNGAGUNG,” Undergraduate Thesis, IAIN Tulungagung, Tulungagung, 2020. doi: 10/DAFTAR%20PUSTAKA.pdf.

[20] H. Ashoumi and P. Syarifah, “Manajemen Internalisasi Nilai Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar: Strategi Sekolah Melalui Program 5S,” Dirasat: Jurnal Manajemen dan Pendidikan Islam, vol. 4, no. 1, Art. no. 1, Jun. 2018, doi: 10.26594/dirasat.v4i1.1532.

[21] M. Munif, “PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEBAGAI BUDAYA SEKOLAH,” PEDAGOGIK: Jurnal Pendidikan, vol. 3, no. 2, Art. no. 2, Dec. 2016, doi: 10.33650/pjp.v3i2.124.

Referensi

Dokumen terkait

Life in Black and White Family and Community in the Slave South.. UK: Oxford University

[r]