• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum membahas mengenai pengertian tindak pidana, terlebih dahulu penulis akan menguraikan definisi dari tindak pidana. Ada banyak istilah terkait dengan tindak pidana. Hukum pidana Anglo-Saxon memakai istilah offense atau criminal act, dikenal juga istilah delik yang berasal dari bahasa Latin, yaitu delictum, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam bahasa Jerman dan bahassa Belanda disebut delict. Hukum pidana Belanda juga memakai istilah strafbaarfeit.

Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP, yang digunakan di Indonesia bersumber pada Wetboek van StrafrechtNederland, maka para pembentuk Undang-undang menggunakan istilah strafbaarfeith untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana. Para pembentuk Undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu.

Strafbaarfeith, terdiri atas 3 (tiga) kata, yaitu straf, baar dan feityang masing- masing memiliki arti:

1. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum 2. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh

3. Feith diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.1

1Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta, Yogyakarta, 2012.

(2)

Maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeithtersebut sering digunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaarfeith”, pengertian “strafbaarfeith”

menurut Vos yang dikutip dalam bukunya Bambang Purnomo adalah suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.2Menurut Soedarto, terhadap istilah “strafbaarfeith” dalam perundang-undangan kita, dapat dijumpai berbagai istilah lain yang maksudnya sama dengan“strafbaarfeith”, antara lain seperti : peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum serta tindak pidana.3Soedarto merumuskan tindak pidana sebagai perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan pemberian pidana.4Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.5

Moeljatno menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana.

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian

2Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1993, jakarta, hlm 80.

3Soedarto. Hukum Pidana 1, Yayasan Soedarto (FH.UNDIP), semarang, hlm 91.

4Ibid, hlm 40.

5Ibid, hlm 42.

(3)

yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.6

Menurut Simons yang dikutip dalam bukunya Soedarto, strafbaarfeith adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.7Van Hamel merumuskan bahwa strafbaarfeith adalah kelakuan (handeling) orang yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.8Mengenai pengertian dari tindak pidana diantara para sarjana hukum belum ada kesatuan pendapat. Oleh karena itu para sarjana memberikan pengertian yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) pandangan (aliran), yaitu pandangan monoistis dan pandangan dualistis.

Mengenai pengertian strafbaarfeith, Soedarto membagi menjadi 2 (dua) pandangan sebagai berikut:9

a. Pandangan monoistis yaitu melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu, kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.

b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan pengertian “perbuatan pidana” (criminal act)dan “pertanggungjawaban pidana” (criminal responsibility).

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

6Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, jakarta, hlm 54.

7Soedarto Op.Cit, hlm 40-41.

8Ibid, hlm 41.

9Ibid, Hlm 40.

(4)

Seseorang dapat dijatuhi pidana apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalamKUHP, karena pada umumnya pasal-pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana.

P. A. F Lamintang menjelaskan tentang unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

a. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya.

b. Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.10

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

a. Kesengajaan atau ketidak jujuran (dolus/culpa);

b. Maksud atau vornemen pada suatu percobaan atau poging;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk, misalnya seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan selain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacthe raad, misalnya seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan, menurut pasal 340 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP);

10P. A. F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm 193.

(5)

e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).11

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP);

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.12

Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh D. Simons, ahli hukum dalam pandangan monoistis, yang dikutip dalam bukunya Soedarto yaitu:

a. Perbuatan manusia (positif dan negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengann pidana (strafbaar gesteld);

c. Melawan hukum (onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand);

e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (teorekeningsvatbaarpersoon)13

Menurut Van Hamel, unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:

11Ibid, hlm 193-194.

12Ibid. Hlm 194.

13Soedarto. Op.Cit, 1990, Hlm 41.

(6)

a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum;

c. Dilakukan dengan kesalahan;

d. Patut dipidana.14

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut golongan yang mempunyai pandangan dualistis adalah sebagai berikut:

a. Vos

Menurut Vos, strafbaarfeith hanya berunsurkan:

1. Kelakuan manusia;

2. Diancam pidana dalam undanng-undang.

b. Pompe

Tindak pidana ada beberapa unsur, yaitu:

1. Perbuatan manusia yang bersifat melawan hukum;

2. Dilakukan dengan kesalahan.

c. Moeljatno

Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:

1. Perbuatan (manusia);

2. Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (syarat formil);

3. Bersifat melawan hukum (syarat materiil).15

Menurut Soedarto, untuk adanya pemidanaan terhadap seseorang terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat pemidanaan sebagai berikut:

14Ibid. Hlm 41.

15Ibid, hlm 42-43.

(7)

a. Adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang;

b. Perbuatan bersifat melawann hukum (tidak ada alasan pembenar);

c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan;

d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab;

e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf).16 3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Aturan-aturan hukum pidana yang ada di dalam masyarakat, tentu saja untuk mewujudkan tujuan hukum. Keberadaan hukum tentunya sangat diharapkan dapat menertibkan dan mengatur kehidupan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Wirjono Prodikroro bahwa tujuan hukum adalah untuk mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat17. Kebijakan Sosial pada dasarnya merupakan kebijakan atau upaya-upaya yang rasional dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian usaha dari penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum.18

Adapun jenis-jenis tindak pidana/delik dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Kejahatan dan Pelanggaran (Menurut Sistem KUHP)

Dalam KUHP dikenal dengan adanya kejahatan (buku kedua) dan pelanggaran (buku ketiga). Kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum adalah pelanggaran

16Ibid, hlm 50.

17R. Soersono, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Bandung, 1992, Hlm 27.

18Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 2003, Hlm 56

(8)

hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik undang-undang adalah perbuatan melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya keharusan memiliki SIM (surat izin mengemudi) bagi pengendara kendaraan bermotor di jalan umum19.

2. Delik Formil dan Delik Materiil (Menurut Cara Merumuskannya)

Delik formil yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang20. Perumusan delik formil tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya21. Misalnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP). Delik materiil yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Untuk selesainya tindak pidana materiil tidak bergantung pada sejauhmana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya digantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut22.Misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP).

3. Delik Dolus dan Delik Culpa (Berdasarkan Bentuk Kesalahannya)

Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan. Rumusan kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, misalnya dengan sengaja, tetapi mungkin juga dengan kata lain yang senada. Contoh pasal 162, 197, 310, 338, dll.Delik culpa adalah delik yang didalam rumusannya memuat unsur kealpaan. Dalam rumusannya

19Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, 2010, Jakarta, Hlm 58.

20C.S.T.Kansildkk, TindakPidanaDalamUndang-UndangNasional, 2009, Jakarta, Hlm 4.

21AdamiChazawi,PelajaranHukumPidanaBagian 1, RajawaliPers, 2013, Hlm 126.

22Ibid, Hlm 126.

(9)

menggunnakan kata karena kealpaanya, misalnya pada pasal 359, 360, 195. Didalam beberapa terjemahan biasanya dipakai istilah karena kesalahannya.23

4. Delik aktif (Delicta Commisionis) dan Delik Pasif (Delicta Omissionis), (Berdasarkan macam perbuatannya)

Delik aktif (delicta commisionis) adalah delik yang terjadi karena seseorang dengan berbuat aktif melakukan pelanggaran terhadap larangan yang telah diatur dalam undang-undang. Contohnya pasal 362, 368 KUHP.Delik pasif (delicta ommisionis) adalah delik yang terjadi karena seseorang melalaikan suruhan (tidak berbuat).

Contohnya pasal 164, 165 KUHP.

Selain itu terdapat juga Delik Campuran (Delicta Commmisionis Per Ommisionem Commisceo) adalah delik yang berupa pelanggaran suatu perbuatan yang dilarang. Akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Contohnya pasal 360 KUHP (membiarkan seseorang yang wajib dipeliharanya, yang mengakibatkan matinya orang itu).24

5. Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana Terjadi Dalam Waktu Lama/Berlangsung Terus (Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya)

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja. Disebut juga Aflopende Delicten. Contohnya pasal 362 KUHP (pencurian).Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama,

23Teguh Prasetyo. Op,Cit, Hlm 58.

24Mohammad Ekaputra. Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, Usu Press, 2015, Medan, Hlm 102.

(10)

yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, disebut dengan Voortdurende Delicten. Contohnya pasal 333 (perampasan kemerdekaan)25.

6. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus (Berdasarkan Sumbernya)

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III).Sementara itu, tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi tersebut.

Misalnya UU No. 31 tahun 1999 (tindak pidana korupsi)26.

7. Tindak Pidana Communia dan Tindak Pidana Propia (Berdasarkan Sudut Subjek Hukumnya)

Tindak pidana communia (delicta communia) adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang.Tindak pidana propia (delicta propia) adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu. Misalnya nakhoda pada kejahatan pelayaran27.

8. Tindak Pidana Biasa dan Tindak Pidana Aduan (Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan)

Tindak pidana biasa (Gewone Delicten) adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap perbuatanya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Tindak pidana aduan (Klacht Delicten) adalah tindak pidana

25Adam Chazawi. Op.Cit, Hlm 130.

26Adami Chazawi. Ibid, Hlm 131

27Adam Chazawi. Ibid, Hlm 131-132.

(11)

yang untuk dapat dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan terlebih dahulu adanya pengaduan dari orang yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya atau orang yang diberi surat kuasa khusus. Tindak pidana aduan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: Tindak pidana aduan absolut/mutlak, contohnya pasal 310 KUHP (pencemaran).

Dan tidak pidana aduan relatif, contohnya pasal 376 jo 367 (penggelapan dalam kalangan keluarga)28.

9. Tindak Pidana dalam Bentuk Pokok, yang diperberat dan yang diperingan (Berdasarkan berat atau ringannya pidana yang diancamkan)

Tindak pidana pokok/bentuk sederhana (eenvoudige delicten) contoh tindak pidana pada pasal 362 (pencurian).Tindak pidana dikualifisir/diperberat adalah tindak pidana yang karena situasi dan kondisi khusus, yang berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang bersangkutan, diancam dengan sanksi pidana yang lebih berat jika dibandingkan dengan sanksi yang diancamkan pada delik pokoknya. Contoh pasal 363 terhadap pasal 362 KUHP (pencurian). Tindak pidana diprivilisir/diperingan yaitu tindak pidana yang dikhususkan, yaitu bentuk tindak pidana yang menyimpang dari bentuk dasar, sehingga sanksi lebih ringan dianggap pantas dijatuhkan. Contoh pasal 341 terhadap 338 (seorang ibu meninggalkan anaknya)29.

10. Delik Berdasrkan Kepentingan Hukum yang Dilindungi

Misalnya dalam Buku II, untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan negara (Bab I), untuk

28Adami Chazawi. Ibid, Hlm 134

29Mohammad Ekaputra. Op.Cit, Hlm 105.

(12)

melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi, dibentuk tindak pidana seperti pencurian (Bab XXII)30.

11. Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berangkai

Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pelaku, diisyaratkan dilakukan secara berulang. Contoh pasal 296 KUHP31.

12. Without Victim and With Victim

Without victim adalah delik yang dilakukan dengan tidak ada korban. With victim adalah delik yang dilakukan dengan adakorbannya beberapa atau seseorang tertentu32.

13. Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut (Berdasarkan ada atau tidaknya kelanjutannya)

Delik berdiri sendiri (zelfstandige delicten) adalah delik yang berdiri sendiri atas suatu perbuatan tertentu.Delik berlanjut (voortgezettedelicten) adalah delik yang terdiri

30Adami Chazawi. Op.Cit, Hlm 135-136.

31Adami Chazawi. Ibid, Hlm 136.

32C.S.T.Kansil,dkk. Op.Cit .Hlm 6.

(13)

atas beberapa perbuatan berlanjut. Pengertian delik ini erat hubungannya dengan perumusan pasal 64 KUHP (tentang perbuatan berlanjut)33.

14. Delik Politik

Merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan negara sebagai keseluruhan, seperti terhadap keselamatan kepala negara dan sebagainya34.

B. Perlindungan Anak 1. Pengertian Anak

Anak dipahami sebagai individu yang belum dewasa. Dewasa dalam arti anak belum memiliki kematanganrasional, emosional, moral dan sosial seperti orang dewasa pada umumnya. Anak merupakan generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia, sehingga perlu didefinisikan berdasarkan ketentuan umum yang tercantum dalam peraturan tersebut.

Dalam hal mengenai pembahasan anak, maka diperlukan suatu perumusan yang dimaksud anak, termasuk batasan umur. Sampai saat ini di Indonesia ternyata masih banyak terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian anak, sehingga kadang menimbang kebingungan untuk menentukan seseorang termasuk dalam kategori anak

33Mohammad Ekaputra. Op.Cit, Hlm 104

34Teguh Prasetyo. Op.Cit, Hlm 60.

(14)

atau bukan. Hal ini dikarenakan oleh sistem perundang-undangan di Indonesia yang bersifat pluralism, sehingga anak mempunyai pengertian dan batasan yang berbeda-beda antara satu perundang-undangan dengan perundang-undangan lain35.

Berikut ini merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia, antara lain :

a. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 1 ayat (3),(4) dan (5) menjelaskan bahwa :

Pasal 1 ayat (3) “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Pasal 1 ayat (4) “Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”

Pasal 1 ayat (5) “Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut “Anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”

b. Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa:

“anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

c. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:

35Abdussalam. Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, Hlm 5

(15)

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

d. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa:

“Anak adalah mereka yang berusia 18 (delapan belas) tahun kebawah.”

e. UNICEF mendefenisikan “Anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.”

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

2. Perlindungan Terhadap Anak dari Aspek Hukum

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannyademi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum tidak tertulis.

Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosista mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak36.

36Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, Hlm 33.

(16)

Di dalam ketentuan pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

ketentuan tersebut telah memberikan landasan yang kuat bahwa anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mempunyai komitmen untuk menjamin terpenuhinya hak anak dan perlindungan anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, antara lain hak untuk hidup, kelangsungan hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang sejahtera, berkualitas dan terlindungi.

Perlindungan anak juga ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 yaitu pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi PBB tentanghak-hak anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah bagian integral dari sebuah negara yaitu generasi muda agen penerus perwujudan cita-cita sebuah bangsa. Sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,

(17)

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal serta berhak atas perlindungan dari segala macam bentuk tindak kekerasan, ancaman dan diskriminasi. Anak juga memiliki hak kebebasan berekspresi dan dihargai hak-hak sipilnya37.

Indonesia sebagai negara yang telah mendedikasikan diri untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia (bahkan diakui dalam dasar negara) telah memberikan perlindungan khusus bagi penerus bangsa ini. Selain Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap anak secara khusus melalui Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang secara substansi sudah cukup mengakomodir hak-hak anak. Dari peraturan-peraturan yang telah dibuat ini idealnya dijadikan dasar yuridis dalam memberikan pemenuhan perlindungan terhadap anak38.

Salah satu upaya perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk produk hukum adalah dengan disahkannya undang-undang perlindungan anak.

Perlindungan anak menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak adalah:

Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Secara garis besar, perlindungan anak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu:

1) Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.

37Abintoro Prakoso. Hukum Perlindungan Anak, Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2018, Hlm 36.

38Abdussalam. H.R. Hukum Perlindungan Anak, PTIK, Jakarta, 2012, Hlm 50

(18)

2) Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan.

C. Kejahatan Pencabulan

1. Pengertian Perbuatan Pencabulan

Pencabulan berasal dari kata cabul dalam kamus hukum berarti: “keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)39. Perbuatan cabul dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan. Pencabulan menurut R. Soesilo adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, buah dada dan sebagainya40.

Pengertian perbuatan cabul (ontuchtige handelingen) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan dan sebagainya41.

Bentuk pencabulan cukup beragam, ada beberapa jenis istilah tentang pencabulan, yaitu:

1. Exhibitionsm yaitu sengaja memamerkan kelamin kepada orang lain 2. Voyeurism yaitu mencium seseorang dengan bernafsu

3. Fonding yaitu mengelus/meraba alat kelamin seseorang

39Soedarsono. Kamus Hukum, Rineka Cipta, 1992, Hlm 65

40R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, Hlm 212

41Adami Chazawi. Op.Cit, Hlm 80

(19)

4. Fellatio yaitu memaksa seseorang untuk melakukan kontak mulut42

Perbuatan pencabulan dilihat dari faktor kebudayaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dalam hubungannya dengan masalah ini merupakan suatu hasil karya yang diciptakan dan secara terus-menerus diperbaharui oleh sekelompok masyarakat tertentu atau dengan kata lain perkembangan suatu ciri khas masyarakat pada suatu daerah seperti gaya hidup manusia atau masyarakat. Di sebagian negara yang berkembang khususnya Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan mulai dari yang tradisional sampai modern yang semakin lama semakin berkembang. Menurut Koentjaraningrat ada 3 (tiga) wujud kebudayaan yang antara lain sebagai berikut:

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia43

Ketiga wujud tersebut di atas, berupa wujud dari suatu kebudayaan yang dimana jika dikaitkan dengan permasalahan pencabulan, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya pencabulan pada anak-anak yaitu dengan berkembangnya kebudayaan tersebut dapat mengarah pada keterbukaan dalam bentuk seksual, seperti gaya berpakaian terutama kaum wanita dan ditiru oleh anak-anak, semakin bebasnya pergaulan terutama dalam hal seksual bebas dan lain-lain yang mengarah pada perbuatan

42Adami Chazawi. Ibid

43Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Cetakan VIII, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hlm 186

(20)

yang melanggar kesusilaan dan norma-norma yang berlaku di Indonesia44.Budaya berpakaian anak yang sekarang terkadang mengikuti perkembangan zaman yang model dari pakaiannya tidak menutupi auratnya yang hal ini disebabkan usia seorang anak masih dalam taraf peniruan orang-orang disekitarnya demi tumbuh kembangnya, hal berpakaian inilah yang sedikit demi sedikit hal dapat menjadi dampak yang mengancam anak untuk dilakukannya suatu perbuatan pencabulan tersebut, dikarenakan anak yang berpakaian tidak menutupi auratnya yang dapat mengundang hasrat seksual orang lain untuk menjadi seorang pelaku pencabulan demi pemenuhan hasrat seksual pelaku45.

Setiap masyarakat selalu memiliki tatanan moral yang baik. Hal tersebut terkait erat dengan masalah moral sehingga pemahaman akan nilai ini tidak dapat dilepaskan dari pandangan masyarakat pada suatu waktu tentang apa yang baik dan tidak baik.

Termasuk dalam hal ini pemahaman dan pengajaran akan pentingnya nilai-nilai susila yang baik bagi bangsa Indonesia sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala seperti tampak dengan adanya delik-delik dibidang kesusilaan. Seperti bekekaruh misalnya, merupakan satu bentuk delik adat susila yang melarang perbuatan zina seorang yang telah terikat dalam perkawinan dengan orang lain yang bukan pasangannya (Koeswadji. 1975:48-49).

Perbuatan ini disebut sebagai perbuatan asusila setelah di saksikan oleh kramadesa setempat yang menyatakan adanya pelanggaran atas tatanan hidup masyarakat sehingga kepada si pelanggar harus dikenakan sanksi untuk mengembalikan kerukunan masyarakat itu46.

44Ibid

45Ibid, Hlm 189-190

46Hwian Christianto, Kejahatan Kesusilaan (Penafsiran Ekstensif dan Studi Kasus), Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Suluh Media, Yogyakarta, 2017, Hlm 5

(21)

Masuknya agama Hindhu juga memberikan satu pengaruh yang berarti bagi pemahaman apa itu nilai susila. Hal ini dapat dilihat dari terbentuknya hukum adat yang mendasarkan dirinya pada kepercayaan Hindhu untuk mencapai Moksartam Jagaditha yaca iti Dharma (bahwa agama Hindhu Dharma bertujuan untuk mencapai moksa (moksartam) dan mencapai kesejahteraan hidup (Yagatirtha). Dalam kaitannya dengan delik susila, di dalam lontar Padma Bhumi di atur sebagai berikut:

“Bila ada orang yang bercinta-cintaan dalam lingkungan pura (berbuat mesum) dan ada orang yang mengetahui pada waktu kejadian itu tetap tidak memberitahukan pada kelihan pura kemudian terbukti orang itu berbuat mesum maka didenda sebesar 5700 kepeng dan memperbaiki serta menyucikan pura itu sepatutnya, karena pura dikotorkan (leteh). Orang yang mengetahui perbuaatan itu juga dikenakan denda sebesar 4500 kepeng karena kesalahannya tidak melaporkan kejadian itu kepada kelihan pura.”47

Sekilas nampak di dalam aturan di atas tindakan asusila ini semula merupakan urusan pribadi dari seseorang tetapi menjadi urusan masyarakat luas ketika terjadi pelanggaran yang dinilai tidak pantas dan membahayakan moksa dan yagathirta.

Sehingga terhadapnya harus dilakukan pemulihan dengan memberikan sanksi kepada pelanggarnya sebagai bentuk pertanggungjawaban secara pribadi pada masyarakat sekaligus tatanan alam. Kitab Sarasmuscaya juga memberikan larangan perbuatan asusila seperti dalam Sloka 413, 422, dan 423 (Widodo, 2006:81-82). Penekanan terhadap pentingnya keseimbangan magis yang harus dijaga di dalam masyarakat, Atmadja menjelaskan berlakunya “asas patut” (Atmadja, 1981:53-55) sebagai dasar terwujudnya tatanan yang ideal bagi masyarakat Hindhu, khususnya ketika terjadi perkara48.

47Ibid. Hlm 5

48Ibid. Hlm 6

(22)

Perkembangan selanjutnya agama Islam mengajarkan satu pemahaman akan pentinganya menjaga moralitas di dalam nilai susila ini sebagai suatu jati diri dari bangsa.

Tampak dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad telah di jelaskan secara pasti hukuman-hukuman dari berbagai kejahatan, mengingat di dalam agama Islam kejahatan itu berakar dalam jiwa si penjahat dan juga bahayanya sangat besar bagi masyarakat. Hukuman terhadap pelanggaran kehormatan dengan zina dan tuduhan berzina, ini di sebutkan oleh Allah dalam Surat IV ayat 15 dan 16 dan dalam Surat An- Nur Ayat 2 dan 3. Mengenai larangan terhadap perbuatan asusila sendiri tampak dalam beberapa ayat lain seperti: Surat An-Nur ayat 31, Surat Al Ahzab ayat 59, dan Surat Al- Isro ayat 32. Norma-norma agama Islam ini menjadi hal yang sangat penting mengingat norma-norma ini lahir dengan berdasarkan pada ajaran agama Islam itu sendiri49.

Kekristenan pun ikut mewarnai penghayatan akan nilai-nilai susila. Di dalam Alkitab di cantumkan dengan tegas larangan zinah sebagai salah satu perbuatan asusila, seperti dalam Amsal 6:32, Injil Matius 5:27, Markus 22:23, Surat I Timotius 1:10 dan I Tesalonika 4:3. Sedangkan secara normatif tampak dalam pemberlakuan Wetboek van Strafrecht untuk negeri Belanda tahun 1915 yang merupakan salinan dari Wetboek van StrafrechtBelanda tahun 1881. Setelah kemerdekaan beberapa ketentuan hukum pidana tersebut dicabut berdasarkan UU RI No. 1 (Berita RI tahun II No. 5 tanggal 15 maret 1946) dan UU RI 1946-20 tentang pidana tutupan (Berita RI No. 24 tahun ke II tanggal 1 dan 15 Nopember 1946) karena dianggap tidak sesuai dengan kepribadian dan tujuan bangsa Indonesia50.

49Ibid.

50Ibid. Hlm 7

(23)

Pengertian delik susila dalam KUHP pada hakikatnya dilarang oleh agama Kristen. Baik itu cabul atau pornografi, masalah perumusan ini ditinjau dari segi agama ialah masalahkesusilaan (aanstootelijk voor de eerbaarheid). Wirjono menjelaskan hal ini dengan “kesusilaan yang dirusak ini sebenarnya apa yang dirasakan sebagai kesusilaan oleh segenap orang biasa dalam suatu masyarakat tertentu. Maka dapat dikatakan, bahwa kini tersinggung rasa asusila kita.” (Prodjodikoro, 2008:108). Disinilah keberlakuan norma agama dari setiap ajaran itu begitu membawa pengaruh dan berinteraksi dengan norma adat yang ada sebelumnya membentuk suatu norma kesusilaan yang baku.

Kedudukan norma agama memberi dasar bagi keberlakuan norma lainnya sekaligus penguji bagi kebenaran norma yang lainnya (norma normans non normata). Sebagai standar hidup manusia norma agama mengandung nilai moral yang dibutuhkan bagi setiap anggota masyarakat sehingga tidak dapat berubah atau diubah oleh norma lain.51

Berdasarkan penjelasan historis di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa ketika masyarakat ada hukum pun sudah ada. Hal ini tepat seperti adigum yang mengatakan

“ubi societas ubi ius” yang lebih menekankan hubungan yang erat dan saling menjamin antara hukum dan masyarakat itu sendiri. Bagi bangsa Indonesia, pemahaman akan nilai susila ini sudah berumur ratusan tahun dan bahkan sudah dapat dikatakan menjadi satu bagian yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang sepanjang waktu terus mengalami perkembangan. Dalam hal inilahperwujudan nilai susila dilakukan secara lebih serius dalam bentuk norma susila yang berlaku di tiap golongan masyarakat, baik

51Ibid.

(24)

berbagai suku dan bangsa tetapi memiliki satu pengakuan yang sama tentang pentingnya perlindungan dan dijaganya nilai kesusilaan sebagai identitas bangsa Indonesia52.

5. Perbuatan Pencabulan Terhadap Anak a. Cabul menurut KUHP

Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang kejahatan kesusilaan (Pasal 281 sampai dengan Pasal 303). Misalnya, perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin (Pasal 284), Perkosaan (Pasal 285), atau membujuk berbuat cabul orang yang masih belum dewasa (Pasal 293). Dalam KUHP pencabulan yang dilakukan oleh seseorang, wujud perbuatannya adalah dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seseorang, membujuk seseorang, memberi atau menjanjikan uang atau barang dengan penyesatan, sengaja memudahkan dilakukannya perbuatan cabul, membiarkan dilakukan perbuatan bersetubuh diluar perkawinan. Pencabulan termasuk salah satu tindak pidana terhadap kesusilaan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu dan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus.

Landasan yuridis dalam KUHP mengenai pencabulan terhadap anak diatur dalam Pasal 289, 290 ayat (2) dan (3), Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294 ayat (1) dan Pasal 295 KUHP.

1. Pasal 289 KUHP berbunyi:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan, kesusiilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

52Ibid

(25)

Perbuatan cabul yang dimaksud adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu termasuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya meraba-raba anggota badan atau kemaluan.

Yang dilarang dalam pasal ini bukan saja sengaja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul.

2. Pasal 290 ayat (2) dan (3) berbunyi:

“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun,(2) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;(3) Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima tahun atau kalau umurnya tidakjelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain”.

3. Pasal 292 berbunyi:

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidanapenjara paling lama lima tahun”.

4. Pasal 293 berbunyi:

“Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakan seorang belum dewasa dan baik tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

5. Pasal 294 ayat (1) berbunyi:

“Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan, penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

(26)

6. Pasal 295 berbunyi:

(1) Diancam:

1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa yang dalam hal anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau dibawah pengawasannya, atau orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh pembantunya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan sengaja menyebabkan dan mempermudah dilakukan perbuatan cabul dengannya.

2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barangsiapa yang dalam hal dilakukannya perbuatan cabul oleh orang selain yang disebutkan dalam butir 1 tersebut di atas yang diketahui yang sepatutnya harus diduganya belum dewasa dengan orang lain, dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul tersebut.

(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka pidana dapat di tambah sepertiga.53

R. Soesilo di dalam buku KUHP serta komentar-komentarnya menyebut, “Segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semua itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan lain sebagainya. Pada umumnya yang menjadi pencabulan ini adalah anak-anak”54.

b. Cabul Menurut Pasal 82 UU RI No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Perlindungan anak ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan

53Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Grahamedia Press, April, 2016, Hlm 556

54R. Soesilo,Op. Cit, Hlm 212

(27)

perkembangan anak baik fisik, mental, spriritual maupun sosial55. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila. Tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang ini adalah menjamin terpenuhi dan terlindunginya hak-hak anak untuk mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera56.

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak untuk dirahasiakan. Bantuan hukum dan bantuan lainnya juga berhak didapatkan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Pencabulan terhadap anak diatur dalam Pasal 8257.

Dalam hukum pidana di Indonesia berlaku asas “Lex specialis derogat legi generalis”, dimana asas ini mengatakan bahwa aturan khusus mengesampingkan aturan umum. Hal ini untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan suatu peraturan perundang-undangan58.Dengan adanya Undang- Undang Perlindungan Anak khususnya Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 maka dapat dikatakan bahwa Pasal 289 s.d Pasal 296 KUHP sudah tidak dapat diterapkan lagi bagi pelaku pencabulan yang dilakukan terhadap anak, sebab dalam Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak telah diatur secara khusus mengenai ketentuan pidana materiil delik pencabulan yang dilakukan terhadap anak. Jadi dalam hal ini Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan “Lex spesialis derogat lex generalis”

55Siregar, Bismar dkk, Hukum Dan Hak-Hak Anak, CV Rajawali, Jakarta, Hlm 35.

56Ibid, Hlm 36-37.

57Ibid, Hlm 40-41.

58Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm 89.

(28)

dari Pasal 289 s.d Pasal 296 KUHP dimana dalam penerapan hukum bagi delik pencabulan yang dilakukan terhadap anak, penggunaan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak harus didahulukan dari Pasal 289 s.d 296 KUHP59.

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang perubahan ini mempertegas adanya sanksi pemberatan kejahatan terhadap anak baik sanksi pidana dan denda, serta mempertegas tambahan pidana apabila pelakunya adalah orang-orang terdekat yang sebelumnya belum diatur dalam Undang-Undnag No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun ketentuan pidana tentang pencabulan terhadap anak dalam pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) “Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.

5.000.000.000,00 (lima milliar rupiah)”. Adapun isi dari Pasal 76E tersebut, berbunyi “setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, dan membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pencabulan yang dilakukan oleh seseorang wujud perbuatannya adalah melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Korban dari pencabulan tersebut adalah anak-anak.

59Ibid, Hlm 91.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan korban dalam terjadinya tindak pidana pencabulan di Kabupaten Tana Toraja.dan upaya penanggulangan tindak pidana

Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

Disini tindak pidananya adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. Yang

“Faktor penyebab terjadinya tindak pidana perjudian online yaitu karena faktor ekonomi pelaku, faktor pendidikan yang rendah, serta faktor lingkungan yang mempengaruhi

Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestanddelen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan

Syarat untuk seseorang dapat dikatakan sebagai justice collaborator yaitu : Tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana yang serius dan atau terorganisir

Adapun delik formil merupakan tindak pidana yang dalam peraturan perundangan cukup disebut dengan perbuatan tertentu. 20 Janremmelink ,

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan tindak pidana adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan membuktikan seseorang dapat dipidana