• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tinjauan Tentang Masyarakat Hukum Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "A. Tinjauan Tentang Masyarakat Hukum Adat"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

21

A.

Tinjauan Tentang Masyarakat Hukum Adat

1.

Pengertian Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin

socius

yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab

syaraka

yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi.26

Masyarakat merupakan suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.

26 Dikutip dari http://eprints.umm.ac.id/38855/3/BAB%20II.pdf, pada tanggal 27 Agustus 2020.

(2)

Masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggotaanggotanya.

Masyarakat sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada beberapa unsur yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:27

1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;

2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;

3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;

4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.

Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik-akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari -hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional.28

27Ibid

28 Taqwaddin, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat(Mukim) di Provinsi Aceh, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), hlm. 36

Dalam(

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/47878/Chapter%2520II.pdf?sequence=3

&isAllowed=y) diakses pada tanggal 27 Agustus 2020.

(3)

Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masingmasing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.29 Sedangkan, para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.30

Definisi lain tentang masyarakat adat juga dikemukakan oleh Maria Rita Ruwiastuti, bahwa masyarakat adalah kelompok masyarakat yang leluhurnya merupakan orang – orang pemula di tempat itu, yang hubungannya dengan sumber – sumber agraria diatur oleh hukum adat setempat. Dalam kesadaran mereka, sumber – sumber agraria selain merupakan sumber ekonomi, juga adalah perpangkalan budaya. Artinya, kalau sumber – sumber tersebut lenyap (atau berpindah penguasaan kepada

29 Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010), hlm. 30

30Ibid, hlm 31

(4)

kelompok lain), maka yang ikut lenyap bukan saja kekuatan ekonomi mereka, melainkan juga identitas kultural.31

2.

Karakteristik Masyarakat Hukum Adat

Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven

,

F.D. Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai berikut:32

1)

Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral.

Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan. Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahan.

2)

Sifat komunal (

commuun

), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan

31 Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, (Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000), hlm. 177.

32 Husen Alting, Op.Cit., hlm. 46.

(5)

masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.

3)

Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.

4)

Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika.

Lebih lanjut, H. M. Koesnoe menyatakan bahwa masyarakat adat hendaknya memperhatikan hal – hal yang menjadi pertanyaan yang jawabannya akan menjadi kriteria ada atau tidaknya masyarakat hukum adat sebagai berikut :33

1)

Apakah dalam territori yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan satu kesatuan yang terorganisir.

2)

Sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati oleh para anggotanya.

3)

Sejak kapankah kelompok itu ada dalam lingkungan tanah yang bersangkutan (seperti sudah berapa generasi).

4)

Apakah kelompok itu mengakui suatu tradisi yang hegemony dalam kehidupannya sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan hukum.

33 H. M. Koesnoe, Prinsip-Prinsip Hukum Adat tentang Tanah, (Ubaya Press, Surabaya, 2000), hlm. 34.

(6)

5)

Bagaimana menurut tradisinya asal – usul kelompok itu sehingga merupakan satu kesatuan dalam lingkungan tanahnya.

Pengertian masyarakat adat secara konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang diterbitkan oleh Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional diatur bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.34

B.

Tinjauan Tentang Masyarakat Hukum Adat

1. Pengertian hak ulayat

Pengertian terhadap istilah hak ulayat sebagaiamana yang ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan-kawan dalam bukunya Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, menyatakan bahwa ;

“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.

Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak

34 Husen Alting, Op.Cit., hlm. 14

(7)

dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk dalam bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut.

Sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala Adat/Tetua Adat.35

Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang kehidupan itu berlangsung. Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat dapat mempunyai kekuatan berlaku kedalam dan keluar. Kedalam berhubungan dengan para

35 G. Kertasapoetra, Dkk, Hukum Tanah, Jaminan Undang- Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina aksara, 1985), hlm. 88.

(8)

Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber pada hak ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Sedangkan untuk hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke luar hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang-orang yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya.36

Menurut Boedi Harsono subyek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang mendiami suatu wilayah tertentu. Masyarakat hukum adat terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:37

a)

Masyarakat hukum adat teritorial disebabkan para warganya bertempat tinggal di tempat yang sama.

b)

Masyarakat hukum adat geneologik, disebabkan para warganya terikat oleh pertalian darah.

Sedangkan, Bushar Muhamad mengemukakan obyek Hak Ulayat meliputi:38

36Ibid

37Ibid., hlm 190-191

38 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1983), hlm 109

(9)

a)

Tanah (daratan)

b)

Air (perairan seperti: kali, danau, pantai, serta perairannya)

c)

Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya).

d)

Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan.

Dengan demikian hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan tanah/wilayah tertentu (objek hak).

Berdasarkan kajian sejarah, ternyata eksistensi hak adat (hak ulayat) sudah lebih dahulu diakui dibandingkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Maria W Sumardjono menyatakan pengakuan hak ulayat adalah wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuk Negara Republik Indonesia tanggal 17 agustus 1945. Menurut Maria W Sumardjono untuk menentukan ukuran hak ulayat perlu ditentukan tiga cirri pokok yaitu :

1. adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi cirri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat;

2. tanah/wilayah dengan batasan-batasan tertentu yang merupakan subjek hak ulayat; dan

3. adanya kewenangan masyarakat hukum untuk melakukan tindakan- tindakan tertentu sebagaimana yang telah ditentukan.40

2.

Penguasaan tanah ulayat oleh masyarakat hukum adat

40 Maria. W. Sumardjono, Loc Cit, 15

(10)

Adat-istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikat tergantung pada masyarakat yang mendukung adat-istiadat tersebut, terutama berpangkal tolak pada perasaan kebersamaan, idealisme dan keadilan. Sulit untuk dibayangkan bahwa adat- istiadat walaupun dipelihara terus-menerus, dengan sendirinya akan mewujudkan kepastian hukum jika terdapat kaidah-kaidah mengikat yang mengatur tata kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.41

Masyarakat hukum adat di Indonesia telah secara jelas di akui didalam UUD 45, yakni dalam ketentuan pasal 18B ayat (2) yang berbunyi

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Tanah merupakan salah satu asset Negara Indonesia yang sangat mendasar, karena Negara dan bangsa hidup dan berkembang di atas tanah, masyarakat Indonesia memposisikan tanah pada kedudukan yang sangat penting, karena merupakan factor utama dalam peningkatan produktivitas agrarian. Masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang secara harfiah memiliki kedaulatan dan kekuasaan terutama atas tanah kekuasaan dan batasan wilayah hukum adat, tanah adat yang dikuasai masyarakat adat merupakan suatu hal yang memang menjadi dasar atas terbentuknya kekuasaan oleh masyarakat hukum adat, tanah adat bagi masyarakat hukum adalah merupakan suatu lahan yang religius dan dikuasai secara tidak

41 Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Eresco, Bandung, 1995), hlm 61

(11)

langsung untuk menunjang kehidupan kelompoknya.42

Menurut Rustandi Ardiwilaga, bahwa lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepada kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanda itu akan digarap. Tanda itu, merupakan tanda pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam yang ada hanya untuk yang berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan mengambil hasilnya. Bentuk usaha seperti ini bersifat sementara, merupakan hak memungut hasil (genotsrecht ), setelah panen ditinggalkan dan menggarap tanah di tempat yang lain yang belum pernah dibuka. Walaupun hak memungut hasil hanya satu sampai dua musim saja, hal ini tidak menghilangkan hubungan antara penggarap dengan tiap-tiap ladang yang pernah digarap, biasanya setelah tiga tahun penggarap kembali ke ladang yang ditinggalkan sehingga hubungan ini dapat diwariskan ke anak cucunya. Ladang berpindang bersifat ladang milik. Dengan demikian hak milik diperoleh dengan pembukaan tanah, setelah lebih dulu dibuat tanda-tanda batasnya.43

Masyarakat adat dalam menguasai tanah wilayah kekuasaannya telah diberi pengakuan oleh pemerintah Indonesia, sebagaimana tercantum di dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) peraturan Menteri Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 (PM 5/1999) yang berbunyi,

42(

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/47878/Chapter%2520II.pdf?sequence=3

&isAllowed=y) diakses pada tanggal 27 Agustus 2020.

43 Rustandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia, (Masa Baru, Jakarta, 1962), hlm 47- 48

(12)

“Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebuthak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”

.

Dalam memberikan pengkuan dan hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat, dalam penguasaannya terhadap tanah oleh masyarakat hukum adat pemerintah juga memberikan batasan dalam penguasaannya agar keseimbangan ini dimaksudkan untuk menyeleraskan tujuan dari negara untuk dimasa mendatang.

Sebagaimana yang dijelaskan didalam buku Fifik Wiryani44, yang memaparkan bahwa Hak Ulayat adalah merupakan Induk dari hak pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat. Yang dimaksud degan hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentigan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya, atau guna kepentingan orang- orang luaran (pendatang atau orang asing) akan tetapi dengan ijinnya dan senantiasa dengan pembayaran pengakuan (rekognisi) dalam pada itu persekutuan hukum tetap bercampur tangan, secara keras atau tidak, juga

44 Fifik Wiryani, Reformasi Hak Ulayat, 2009, Malang : Setara Press Malang, hlm. 28

(13)

atas tanah-tanah yang telah diusahakan orang yang terletak didalam lingkungan wilayahnya.

Dalam masa yang modern ini telah diberikan kebijakan-kebijakan kepada para masyarakat hukum adat dalam penguasaannya terhadap tanah, dimana pemerintah bersama menteri lingkungan hidup, hutan dan menteri Agraria telah memberikan pengakuan penguasaan tanah adat melalui surat keterangan atau sejenis sertifikat yang isinya penjelasan peraturan terhadap tanah adat yang dikuasai oleh masyarakat adat, sehingga pengakuan ini sebagai dasar dan acuan dari kepemilikan tanah secara legal dan merupakan suatu bentuk pengesahan dari pemerintahan kepada masyarakat adat yang menguasai tanah tersebut.

C.

Tinjauan Tentang Masyarakat Hukum Adat

1. Pengertian Sengketa

Menurut Nurnaningsih Amriani, Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa.45 Sedangkan, menurut Takdir Rahmadi, sengketa adalah situasi dan kondisi dimana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat factual maupun perselisihan menurut persepsi mereka saja.

45 Nurnaningsih Amriani. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan . Jakarta. (Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada) 2012, hlm 13.

(14)

2. Penyelesaian Sengketa

Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dan/atau biasanya dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu penyelesaian sengketa melalui “Lembaga litigasi” (melalui pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui “non-litigasi” (di luar pengadilan). Untuk penjelasannya adalah sebagau berikut :

a.

Penyelesaian Sengketa Litigasi (Melalui Pengadilan)

Dalam peraturan perundang-undangan tidak ada yang memberikan definisi mengenai litigasi, namun dapat dilihat di dalam Pasal 6 ayat 1 UU 30/1999 tentang Arbitrase yang pada intinya mengatakan bahwa sengketa dalam bidang perdata dapat diselesaikan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa litigasi merupakan proses menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan yang mana setiap pihak bersengketa memiliki hak dan kewajiban yang sama baik untuk mengajukan gugatan maupun membantah gugatan melalui jawaban.46

46 Yessi Nadia, Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non-Litigasi (Tinjauan Terhadap Mediasi dalam Pengadilan sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,

https://www.academia.edu/29831296/Penyelesaian_Sengketa_Litigasi_dan_NonLitigasi_Tinjauan _terhadap_Mediasi_dalam_Pengadilan_sebagai_Alternatif, diakses tanggal 26 Agustus 2020.

(15)

Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui pengadilan atau yang sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa yang dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim. Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution

.

47

Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui Lembaga pengadilan. Menurut Frans Hendra Winarta, dalam bukunya yang berjudul Hukum Penyelesaian Sengketa mengatakan bahwa litigasi merupakan penyelesaian sengketa secara konvensional dalam dunia bisnis seperti dalam bidang perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya. Proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain. Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium

)

setelah upaya-upaya alternatif penyelesaian sengketa tidak membuahkan hasil.48

Penyelesaian sengketa melalui litigasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan

47 Nurnaningsih Amriani, Op. Cit, hlm 35.

48 Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional. Jakarta. (Penerbi : Sinar Grafika) 2012, hlm 1 dan 2.

(16)

menghasilkan suatu keputusan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama karena menghasilkan suatu putusan win-lose solution. Sehingga pasti akan ada pihak yang menang pihak satunya akan kalah, akibatnya ada yang merasa puas dan ada yang tidak sehingga dapat menimbulkan suatu persoalan baru di antara para pihak yang bersengketa. Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang lambat, waktu yang lama dan biaya yang tidak tentu sehingga dapat relatif lebih mahal.49

Proses yang lama tersebut selain karena banyaknya perkara yang harus diselesaikan tidak sebanding dengan jumlah pegawai dalam pengadilan, juga karena terdapat tingkatan upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak sebagaimana dijamin oleh peraturan perundang- undangan yang ada di Indonesia yaitu mulai tingkat pertama di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan Tinggi, Kasasi di Mahkamah Agung dan yang terakhir Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum terakhir. Sehingga tidak tercapai asas pengadilan cepat, sederhana dan biaya ringan.50

b.

Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi (di luar Pengadilan)

Terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan (di Indonesia dikenal dengan nama APS) telah memiliki landasan hukum yang diatur dalam UU 30/1999 tentang Arbitrase. Meskipun pada prakteknya penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan nilai-nilai budaya,

49 Ibid, hlm 2-3

50 Yessi Nadia, Loc. Cit

(17)

kebiasaan atau adat masyarakat Indonesia dan hal ini sejalan dengan cita-cita masyarakat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Cara penyelesaian tersebut adalah dengan musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan.

Misalnya dalam forum runggun adat yang menyelesaikan sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan, dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat dikenal adanya Lembaga hakim perdamaian yang secara umum berperan sebagai mediator dan konsiliator tepatnya di Batak Minangkabau. Oleh sebab itu, masuknya konsep ADR di Indonesia tentu saja dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.51

Pembahasan mengenai APS semakin ramai dibicarakan dan perlu dikembangkan sehingga dapat mengatasi kemacetan dan penumpukan perkara di Pengadilan. Istilah APS merupakan penyebutan yang diberikan untuk pengelompokan penyelesaian sengketa melalui proses negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Ada yang mengartikan APS sebagai Alternative to Litigation yang mana seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, termasuk arbitrase merupakan bagian dari APS. Pasal 1 Angka (10) UU 30/1999 tentang Arbitrase merumuskan bahwa APS sendiri merupakan Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang

51 Rika Lestari. Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi di

Pengadilan dan di Luar Pengadilan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No. 2, hll. 219. dalam ( http://eprints.umm.ac.id/51082/3/3_BAB%20II.pdf). Diakses pada tanggal 26 Agustus 2020.

(18)

disepakati para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sedangkan APS sebagai Alternative to Adjudication meliputi penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif.

(19)

Dalam perkembangan dan pemberlakuan khususnya di Indonesia terdapat 6 (enam) APS diuraikan sebagai berikut:

a)

Arbitrase

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.

b)

Negosiasi

Menurut Ficher dan Ury sebagaimana dikutip oleh Nurnaningsih Amriani52, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda.

c)

Mediasi

52 Nurnaningsih Amriani, Op. Cit, hlm 23.

(20)

Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif dalam proses tawar menawar.53

Mediasi juga dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.54

d)

Konsiliasi

Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution. Kesepakatan yang terjadi bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi.55

e)

Penilaian ahli

53Ibid, hlm 28

54Ibid, hlm 28-29

55 Ibid, hlm 34

(21)

Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi.56

f)

Pencari Fakta (fact finding

)

Pencari fakta adalah sebuah cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta bantuan sebuah tim yang biasanya terdiri atas para ahli dengan jumlah ganjil yang menjalankan fungsi penyelidikan atau penemuan fakta-fakta yang diharapkan memperjelas duduk persoalan dan dapat mengakhiri sengketa.57

56 Takdir Rahmadi, Op. Cit, hlm 19

57 Ibid, hlm 17

Referensi

Dokumen terkait

Duringthematurephase,bunchproductionstabilisessomewhat belowthepeakachievedatsixYAP,withtypicalcommercialyields of 25–30tfruit bunchesha−1 inwell-managed plantationsNg,