• Tidak ada hasil yang ditemukan

ONLINE 7 REVIEW PERSIAPAN UTS

N/A
N/A
Abdul Basid Fuadi

Academic year: 2023

Membagikan "ONLINE 7 REVIEW PERSIAPAN UTS"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PERKULIAHAN HUKUM ADAT

Dosen: Henry Arianto, SH, MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

(2)

Pertemuan 01: PENDAHULUAN Tujuan Umum

Mahasiswa mengetahui macam-macam adat yang ada di Indonesia

Tujuan Khusus

Mahasiswa mengetahui

1. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Adat itu?

2. Apakah Manfaat Hukum Adat itu?

3. Lingkungan Hukum Adat.

4. Pengertian Hukum Adat.

PENGERTIAN HUKUM ADAT

Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam sesuatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadatkan. Adat dalah merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa. Tiap bangsa memiliki adat kebiasaan sendiri. Justru karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan bahwa adat merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan. Tingkatan peradaban, maupun penghidupan yang modern ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup di masyarakat.

Adat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika selalu berkembang, mengikuti perkembangan peradaban bangsanya.

Istilah Pancasila berasal dari bagian Kitab (Surga) ke-53 bait ke dua “Negarakertagama”

yaitu kitab yang digubah di masa pemerintahan Hayam Wuruk sebagai syair pujian tentang kemegahan Negara Majapahit oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 yang menyatakan “Yatnanggegwani Pancasila Kertasangskara bhisekakakrama.” (Raja melaksanakan dengan setia kelima pantangan, begitu juga upacara-upacara ibadah dan penobatan)

Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” berasal dari lontar Sutasoma karya Mpu Tantular yang menyatakan “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana Dharma mangrwa” (berbeda itu satu dan tidak ada kebenaran (agama) mendua.”

Prof. Dr. Supomo, SH:

Hukum adat merupakan sinonim dari hukum tidak tertulis dalam peraturan legislatif (unstatutory law), hukum yang timbul karena putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik dikota maupun di desa (customary law).

Dr. Sukanto, SH:

Hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi (akibat hukum).

Mr. JHP. Bellefroid:

Hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

(3)

Prof. Mr. C. van Vollenhoven:

Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hidhia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya.

Jasa van Vollenhoven terhadap Hukum Adat:

1. Menghilangkan kesalahpahaman seolah-olah hukum adat itu identik dengan Hukum Islam.

2. Membela hukum adat terhadap usaha-usaha penguasa untuk mendesak atau menghilangkan hukum adat.

3. Membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam 19 lingkungan hukum adat yaitu:

1) Aceh;

2) Gayo, alas, Batak, Nias & Batu;

3) Minangkabau & Mentawai;

4) Sumatera Selatan & Enggano;

5) Daerah Melayu;

6) Bangka dan Belitung;

7) Kalimantan;

8) Minahasa, Sangihe dan Talaud;

9) Gorontalo;

10) Toraja

11) Sulawesi Selatan;

12) Ternate;

13) Ambon / Maluku;

14) Irian;

15) Timor;

16) Bali dan Lombok;

17) Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura;

18) Daerah Swapraja;

19) Jawa Barat.

Hukum adat pada umumnya belum / tidak tertulis. Hanya adat yang bersanksi yang dapat dianggap hukum adat. Sanksinya berupa reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan.

Hukum adat mempunyai dua unsur:

1. Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat.

2. Unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.

Bidang-bidang hukum adat meliputi:

1. Hukum Negara 2. Hukum Tata Negara 3. Hukum Pidana 4. Hukum Perdata

5. Hukum Antar bangsa Adat.

Dari kesemua hukum di atas, hanya hukum Perdata Adat yang hingga kini masih berlaku.

Hukum Adat nampak dalam tiga wujud, yaitu sebagai berikut:

1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar.

Dimana tumbuh serta hidupnya hukum adat ada di dalam masyarakat. Hukum adat ini dapat diketahui dari keputusan-keputusan para pimpinan persekutuan, yang tentunya tidak boleh bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.

2. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh raja / sultan pada jaman dahulu.

Kitab Civacasana  Kitab Undang-Undang yang dibuat pada tahun 1000, pada zaman Hindu, atas perintah Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur.

(4)

Kitab Adigama  yang dibuat oleh Kanaka, Patih kerajaan Majapahit, pada tahun 1413 – 1430.

Kitab Hukum Kutaramanava di Pulau Bali pada tahun 1350.

Di Tapanuli:

1. Ruhut Parsaoran di Habatahon (Kehidupan sosial di tanah Batak)

2. Patik Dahot Uhum ni Halak Batak (Undang-undang dan ketentuan-ketentuan Batak)

Di Palembang:

Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-undang tentang tanah di dataran tinggi di daerah Palembang)

Di Bali: Awig-awig (peraturan subak dan desa)

3. Uraian-uraian hukum secara tertulis, seperti hasil penelitian para pakar hukum.

Istilah adat di masyarakat Minangkabau:

1. Adat yang sebenarnya adat.

Adat yang tidak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan, yaitu adat ciptaan Tuhan. Misalnya: Ikan adatnya berair, Air adatnya membasahi, pisau adatnya melukai.”

2. Adat istiadat.

Adat yang ditentukan oleh nenek moyang. Aturan kebiasaan ini pada umumnya tidak mudah berubah.

3. Adat nan diadatkan.

Adat sebagai aturan yang ditetapkan atas dasar mufakat para penghulu, tua-tua adat, cedik pandai dalam majelis. Ketentuan ini dapat berubah menurut keadaan, tempat dan waktu. Oleh karena itu lain negeri lain pandangannya.

4. Adat nan teradat.

Yang dimaksud adalah kebiasaan bertingkah laku yang dipakai karena tiru meniru di antara anggota masyarakat.

(5)

Pertemuan 02: CORAK dan SISTEM HUKUM ADAT Tujuan Umum

Agar Mahasiswa mengetahui bahwa hukum adat itu memiliki sifat dan corak

Tujuan Khusus

Agar mahasiswa dapat memberikan contoh-contoh corak hukum adat di beberapa wilayah Indonesia.

Hukum adat memiliki sifat sebagai berikut:

1. magis religius

Contoh: sesajen, percaya pada roh dan kekuatan dunia lain, selametan untuk anak.

2. kebersamaan (komunal) yang kuat.

Contoh: gugur gunung atau pepatah dudu sanak dudu kadang ning yen mati melu kelangan

3. pikiran dan penataan yang serba konkrit (terang dan nyata).

Contoh: jual beli adalah satunya perkataan dengan perbuatan, jadi harus nyata-nyata ada tinadkan pembayaran kontan dari si pembeli serta penyerahan barang dari si penjual.

4. visual (kontan / tunai).

Contoh: pemberian panjer dalam jual beli merupakan penegasan terhadap kehendak pembelian yang dalam waktu dekat akan dilakukan.

CORAK HUKUM ADAT 1. Tradisional

Hukum adat umumnya bersifat turun temurun dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang.

Contoh: di Lampung dalam hukum kewarisan berlaku sistem mayorat lelaki, artinya anak tertua lelaki menguasai seluruh harta peninggalan dengan kewajiban mengurus adik- adiknya sampai dewasa & mandiri. Harta peninggalan tetap (tidak terbagi-bagi) karena merupakan miliki keluarga bersama

2. Keagamaan (magic – religious)

Alam semesta dan segala bendanya adalah berjiwa (animisme) dan bergerak (dinamisme). Oleh karenanya segala perbuatan biasanya diawali dengan ritual keagamaan agar tidak melanggar pantangan (pamali) agar tidak timbul kutukan.

Contoh: orang Bali di sawahnya ada tugu tempat meletakkan sesajen.

3. Kebersamaan (komunal)

Artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama. “Satu untuk semua, semua untuk satu,” Hubungan hukum antara anggota masyarakat didasarkan rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong. Oleh karenanya kini kita masih dapat melihat rumah gadang dan tanah pusaka yang tidak terbagi secara individual melainkan tetap menjadi milik bersama untuk kepentingan bersama. Di desa Jawa ada istilah dudu sanak dudu kadang ning ten mati melu kelangan.

4. Konkret & Visual (terang & tunai)

Konkret artinya jelas, nyata & berwujud. Visual artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Jadi sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat itu “terang

& tunai” tidak samar-samar, terang disaksikan orang, diketahui, dilihat & didengar orang lain.

(6)

Contoh: dalam jual beli, berarti pada waktu yang bersamaan pembeli menyerahkan uang, penjual menyerahkan barang. Bila barang diterima pembeli tetapi harga belum dibayar namanya bukan jual beli tetapi hutang piutang. Kecuali sudah ada panjer sebagai tanda jadi. Begitu juga dalam peristiwa perkawinan yang didahului dengan peningset. Kemudian dalam masalah tanah hutan yang akan dibuka menjadi ladang, bila sudah ada tanda mebali (tanda silang di atas pohon), maka berarti tanah itu sudah ada yang akan membukanya.

5. Terbuka & Sederhana

Artinya dapat menerima unsur-unsur yang datang dari luar asalkan tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri.

Keterbukaannya dapat terlihat dari masuknya pengaruh hukum hindu dalam hukum perkawinan adat daerah tertentu. Atau masuknya pengaruh hukum Islam dalam waris adat (sepikul segendong atau pembagian waris 2:1 untuk pria dengan wanita)

Kesederhanaannya dapat terlihat dari transaksi-transaksi yang biasanya tanpa surat menyurat, cukup adanya kesepakatan para pihak.

6. Dapat berubah & menyesuaikan

Hukum adat dapat berubah menurut keadaan, waktu dan tempat. Pepatah Minangkabau mengatakan, “Sakali aik gadang sakali tapian beranja, sakali raja baganti, sakali adat berubah” (Begitu datang air besar, tempat pemandian bergeser. Begitu pemerintahan berganti, berubah pula adatnya). Dimasa sekarang hukum adat banyak yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Contoh: Di Minangkabau kekuasaan mamak berganti ke kekuasaan orang tua, dan dari sistem matrilinial berubah ke parental. Dulu orang Lampung enggan bermantukan orang Jawa, kini perkawinan campuran antara adat, suku, daerah, bahkan agama sudah membudaya.

7. Tidak dikodifikasi

Hukum adat pada umumnya tidak dikodifikasi, oleh karena itu hukum adat mudah berubah dan dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Namun tetap berdasarkan musyawarah mufakat dan alur kepatutan.

8. Musyawarah & Mufakat

Hukum adat mengutamakan adanya musyawarah & mufakat di dalam hubungan kekerabatan & ketetanggaan, baik untuk memulai pekerjaan atau untuk mengakhiri pekerjaan, apalagi yang bersifat peradilan, diutamakan diselesaikan rukun damai dengan cara musyawarah mufakat untuk bisa saling memaafkan, tidak buru-buru menyampaikan ke pengadilan negara.

(7)

SISTEMATIK HUKUM ADAT

Sistematika hukum adat mendekati sistem hukum Inggris (Anglo Saxon) yang disebut common law.

PERBEDAAN SISTEM HUKUM ADAT DENGAN SISTEM HUKUM BARAT

HUKUM BARAT HUKUM ADAT

Mengenal hak atas sesuatu barang (zakelijke rechten) dan hak seseorang atas sesuatu obyek (persoonlijk recht)

Tidak mengenal pembagian hak-hak dalam dua golongan seperti hukum barat.

Perlindungan hak-hak, menurut hukum adat ada di tangan hakim

Mengenal perbedaan hukum publik dan hukum privat

Tidak mengenal perbedaan hukum publik &

hukum privat, seandainya ada maka batas kedua lapangan itu di dalam hukum adat berlainan dari batas lapangan hukum publik

& hukum privat barat.

Perkara pidana diperiksa oleh hakim pidana, perkara perdata diperiksa oleh hakim perdata

Tiap-tiap pelanggaran hukum adat membutuhkan pembetulan hukum kembali dan semua diputuskan oleh kepala adat tanpa membedakan pidana atau perdata.

Perbedaan fundamental dalam sistem ini pada hakekatnya disebabkan karena:

1. Corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat & hukum barat.

2. Pandangan hidupnya berlainan.

Aliran Barat bersifat liberalistis dan bercorak rasionalistis intelektualistis.

Aliran Timur bersifat kosmis, tidak ada pembatasan dunia lahir dan gaib, manusia berhubungan erat dengan segala yang hidup di alam ini.

Adat kebiasaan yang diakui dalam perundangan misalnya:

Pasal 1571 KUH Perdata:

“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan setelah salah satu pihak memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”

Lihat juga 1578, 1583, 1586, 1602 KUH Perdata.

(8)

P A M A L I

eyakini pekerjaan yang dikerjakan orang lain itu dilhatnya kan mendatangkan akibat yang kurang baik entah disengaja atau tidak, w

Berselimut dengan tikar

Janganlah anda berselimut dengan tikar karena kelak anda akan digulung oleh ombak jika mandi di laut.

Berteriak-teriak mengucapkan kata-kata kotor dalam hutan.

Janganlah anda berteriak-teriak berkata-kata kotor pada saat berada di dalam hutan, karena anda tak lama lagi akan dimasuki roh halus jahat yang menguasai diri anda (kesurupan).

Berfoto bersama dalam jumlah ganjil

Janganlah berfoto dalam jumlah ganjil karena salah satu dari yang difoto akan cepat meninggal.

Biasanya yang ditengah.

Bangun Tidur terlalu siang

Jika anda bangun tidur terlalu siang hingga matahari hampir berdiri, akan berakibat segala bentuk rezeki yang akan datang akan selalu menjauh kembali.

Berlama-lama dikamar mandi

Janganlah anda berlama-lama dikamar mandi karena akan terlihat lebih tua dari usia anda sebenarnya.

Duduk dipintu

Anda dilarang duduk tepat didepan pintu, karena khawatirkan ada makhluk lewat yang melewati pintu tersebut dan anda akan jatuh sakit.

Kebiasaan bersedih pada waktu hamil

Janganlah selalu bersedih pada waktu hamil, karena kelak akan mendapatkan anak yang cengeng.

Kebiasaan duduk di tengah pintu waktu turun hujan lebat

Janganlah anda duduk ditengah pintu waktu turun hujan lebat karena suatu ketika anda dapat tersambar petir (yang sebenarnya petir tersebut, konon, mengincar setan).

Alau terkadang orang yang diingatkan merasa hal yang dikerjakan sesuatu yang wajar-wajar saja.

alau anjuran dari niat baik dari kata pamali ini kita telusuri.

Untuk melihat kegiatan atau perkerjaan apa saja yang termasuk katagori pamali? baiknya anda baca uraiannya dibawah ini yang dihimpun dari banyak narasumber yang tersebar dari seluruh pelosok nusantara.

Catatan: Page ini akan di update setiap hari. Setiap informasi baru yang berhubungan dengan makalah di page ini yang kami terima a

(9)

Pertemuan 03: SEJARAH HUKUM ADAT Tujuan Umum

Agar mahasiswa mengenal sejarah hukum adat Indonesia

Tujuan Khusus

Agar mahasiswa makin menghargai hukum adat Indonesia, karena telah mengetahui sejarah Indonesia yang mengagumkan.

I. ZAMAN HINDU

- Zaman Melayu Polinesia - Th.1500 SM – 300 SM

- Dari daratan ASIA menuju INDONESIA

- Gelombang I = Proto Malaio (Melayu Tua) Perilaku budaya dipengaruhi kesaktian

- Gelombang II =Deutoro Malaio (Melayu Muda) Budaya dipengaruhi Kong Hu Cu

II. ZAMAN SRIWIJAYA

- Negara Sriwijaya berpusat di Palembang - Hidup di Abad VII s.d. Abad XIII

- Prasasti – prasasti:

1. Prasasti Raja Sanjaya (732M) tentang Agama, Perekonomian, dan Pertambangan.

2. Prasasti Raja Dewasimha (760M) tentang Agama dan Kekaryaan.

3. Prasasti Raja Tulodong (784M) tentang Pertanahan dan Pengairan.

4. Prasasti Bulai dari Rakai Garung (860M) tentang Perkara Perdata.

III. ZAMAN MATARAM I

- Prasasti Guntur (907 M) tentang Peradilan oleh Hakim (samgat) Pu Gawel mengenai keputusan tentang Hutang Keluarga. Putusannya dikenal dengan nama Javapatra.

- Prasasti Raja Mpu Sindok (927 M) tentang Hutang Piutang dan Waris.

- Prasasti Raja Dharmawangsa (991 M) tentang Perintah Pembuatan Kitab Perundang-undangan Purwadigama (Syiwasyana) dan penerjemahan Mahabharata.

IV. ZAMAN MAJAPAHIT

Selama kekuasaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada dalam syair “Negara Kertagama”

terlihat peraturan hukum tentang:

a. Pemerintahan Umum seperti masalah Pertanahan, Pajak, Wajib Militer, Tentara dan Kepolisian.

b. Kehakiman dan Peradilan.

- Kutaramanawa (Kitab Undang-Undang)  salinan Kitab Manawa

Dharmasyastra dan Syiwasyana.

- Gajah Mada  Jaksa Penuntut Umum / Astapada dalam Perkara Pidana.

c. Politik Luar Negeri.

- Negara-negara sahabat = Siam, Birma, Campa, Kamboja, India & China.

- Wilayah Majapahit adalah Indonesia dan Malaysia yang sekarang.

(10)

V. ZAMAN ISLAM

1. Zaman Aceh Darussalam

- Islam masuk ke Indonesia akhir abad XII dari daerah Aceh (Kesultanan Perlak, Samudra Pasai, Aceh Darussalam)

- Hukum yang berlaku adalah Hukum Islam berdasarkan ajaran Imam Syafei dan Hukum Adat yang bersendi Hukum Islam.

- Dibuat “Kitab Makuta Alam”

- Memiliki mata uang, angkatan darat yang diperkuat pasukan Gajah dan angkatan laut yang dilengkapi bedil & meriam. Ada juga tentara wanita.

- Memiliki pabrik senjata.

- Menerima dan melayani duta negara asing.

- Di bidang ekonomi ada industri kecil, kerajinan, pertambangan, bea-cukai.

- Ilmu pengetahuan & agama Islam berkembang pesat.

- Hak wanita & pria sama dalam rumah tangga, harta, perdagangan serta olah raga.

- Kitab Hukum Acara Pidana atau Perdata

“Safinatul Hukkam fi Takhlisul Khassam”

(Bahtera bagi semua hakim dalam menyelesaikan orang-orang yang berperkara) Terdiri dari:

BAB I = tentang Hukum Perdagangan & Penyelesaian Perkara Perniagaan.

BAB II = tentang Hukum Keluarga, Perkawinan & Perceraian.

BAB III = tentang Hukum Pidana, ancaman hukuman BAB IV = tentang Kewarisan.

2. Zaman Demak

- Sekitar abad XV Demak masih dibawah kekuasaan Majapahit

- Menurut Babad Tanah Jawi (ditulis pd th.1625 & 1633), R. Patah, putra Raja Brawijaya, menundukkan Majapahit th.1478 & mendirikan Bintara Demak yang kerajaannya berpusat di Masjid Demak.

- Urusan pemerintahan & hukum berdasarkan Hukum Islam, namun dalam pelaksanaan peradilan masih dipengaruhi sistem yang berlaku di zaman Majapahit.

3. Zaman Mataram II

- Sultan yang berpengaruh adalah Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurahman (Sultan Agung)

- Merubah tahun Cakra menjadi Tarikh Islam Jawa & Sistem Peradilan Serambi.

4. Zaman Cirebon & Banten Sistem Peradilan yang berlaku:

1. Peradilan Agama

- Memeriksa perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan / hukuman mati karena sifat kejahatannya membahayakan negara.

- Mengurus perkara perkawinan, perceraian & pewarisan.

- Hukum yg digunakan adl Hukum Islam & pendapat para ahli agama.

2. Peradilan Drigama

Mengadili perkara-perkara pelanggaran adat yang diadili berdasarkan hukum adat jawa kuno dengan memperhatikan hukum adat yang berlaku setempat.

3. Peradilan Cilaga

- Memeriksa & mengadili perkara-perkara yang menyangkut perselisihan perekonomian atau perdagangan.

- Menggunakan sistem wasit / penengah.

(11)

 Masih ada pengaruh sisa-sisa hukum adat kuno dalam proses persidangan.

 Persidangan dilaksanakan di alun-alun, pedomannya Pepakem Cirebon yang bersumber dari kitab:

1. Raja Niscaya.

2. UU Mataram 3. Jaya Lengkara 4. Kutaramanawa 5. Adilulloh.

 Sifat Hakim  Chandra (bulan), Tirta(air),Cakra(dewa),Sari (harum).

VI. ZAMAN KOMPENI & HINDIA BELANDA

 Hukum Adat dibiarkan seperti sediakala.

 Hukum yg dipakai dlm pelaksanaan peradilan kejahatan dipakai acuannya adalah Hukum Adat setempat, apabila di pandang baik.

 Di Banten berlaku “Peradilan Penghulu” untuk menyelesaikan perkara kekeluargaan berdasarkan Hukum Islam.

 Dasar berlakunya Hukum Adat bagi gol. Pribumi & Timur Asing adalah Pasal 11 AB.

 Hukum Adat pernah hendak di unifikasi karena ada Asas Konkordansi, tetapi akhirnya yang terjadi tetap dualisme atau pluralisme hukum

VII. ZAMAN KEMERDEKAAN

 Hukum Adat adalag Hukum Indonesia Asli yang tidak tertulis yang disana-sini mengandung unsur agama.

 Kodifikasi & Unifikasi hukum dengan menggunakan bahan-bahan dari Hukum Adat dibatasi pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

Istilah hukum adat pertama kali diketengahkan oleh Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” (1893 – 1894). Kemudian istilah ini dipakai oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederland Indie. (1901 – 1928). Akhirnya, istilah hukum adat (adatrecht) baru dipergunakan secara resmi pada tahun 1929 oleh pemerintah kolonial Belanda.

Peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindhu. Lambat laun datanglah kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut. Kini hukum Adat yang hidup pada rakyat adalah merupakan hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat jaman pra-Hindu dengan peraturan-peraturan kultur Islam dan kultur Kristen.

Teori Receptio in Complexu (van den Berg)

Hukum suatu golongan masyarakat itu merupakan resepsi / penerimaan secara bulat dari agama yang dianut oleh golongan tersebut.

Teori Receptio (oleh Snouck Hurgronye)

Hukum agama belum merupakan hukum jika belum diterima oleh Hukum Adat.

Teori Receptio A Contrario

Teori ini dikembangkan oleh penulis Islam

Hukum Adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam pergaulan hidup masyarakat jika hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

(12)

Faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat:

1. Magi dan animisme.

Percaya bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini bernyawa. Percaya bahwa roh-roh hidup dalam dunia ini juga. Takut kepada pembalasan oleh kekuatan gaib.

2. Agama (Hindhu, Islam, Kristen)

Pengaruh agama Hindu yang terbesar terdapat di Bali. Agama Islam yang dibawa masuk oleh pedagang dari Malaka atau Iran berkembang di Sumatra, Jawa dan Madura.

3. Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat. Contohnya kekuasaan raja-raja dahulu sebelum Belanda masuk ke Indonesia.

4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing / barat.

Hukum adat yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing menjadi terdesak sedemikian rupa sehingga hukum adat tinggal meliputi bidang perdata material saja.

(13)

Pertemuan 04: MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA

Tujuan Umum

Agar mahasiswa mengetahui bahwa masyarakat Indonesia khususnya masyarakat adat Indonesia, terbagi menjadi beberapa bagian.

Tujuan Khusus

Agar mahasiswa mengetahui:

1. Masyarakat Hukum Teritorial 2. Masyarakat Hukum Genealogis 3. Masyarakat Adat Keagamaan 4. Masyarakat Adat di Perantauan 5. Kepengurusan Masyarakat Adat

a. Di Aceh

b. Di Sumatra Selatan c. Di Pulau Jawa

6. Kepengurusan Masyarakat Adat Keagamaan a. Di Lingkungan Masyarakat Hindu

b. Di Lingkungan Masyarakat Kristen c. Di Lingkungan Masyarakat Islam

MASYARAKAT HUKUM ADAT INDONESIA Masyarakat Hukum menurut Ter Haar adalah:

“Kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang berwujud atau tidak berwujud.”

Persekutuan Hukum merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun kekayaan imaterial.

Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat terikat oleh faktor Territorial dan Genealogis.

Faktor Teritorial (territorial constitution), yaitu faktor terikat pada suatu daerah tertentu, dimana merupakan faktor yang mempunyai peranan yang terpenting.

Masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur yang anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan dengan duniawi maupun dalam kaitannya dengan rohani / roh-roh leluhur.

Bila ada anggota masyarakat yang merantau hanya untuk waktu sementara, maka masih tetap merupakan anggota kesatuan territorial itu.

Menurut Van Dijk, Persekutuan Hukum Teritorial dapat dibedakan menjadi:

1. Persekutuan Desa.

Merupakan suatu tempat kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk beberapa pedukuhan yang terletak di sekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa.

(14)

Masyarakat hukum Desa (Persekutuan Desa), yaitu sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada tempat bersama. Anggota persekutuan ini tidak harus berkerabat.

2. Persekutuan Daerah.

Merupakan suatu daerah kediaman bersama dan menguasai hak ulayat bersama yang terdiri dari beberapa dusun atau kampung dengan satu pusat pemerintahan.

Masyarakat hukum Wilayah (Persekutuan Daerah), yaitu kesatuan sosial teritorial yang melindungi beberapa masyarakat hukum desa yang masing-masing tetap merupakan kesatuan yang berdiri sendiri.

Persekutuan Daerah  seperti kesatuan masyarakat “Nagari” di Minangkabau,

“Marga” di Sumatera Selatan & Lampung.

3. Perserikatan Desa.

Bila di beberapa desa atau marga yang letaknya berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri kemudian mengadakan perjanjian kerjasama untuk mengatur kepentingan bersama seperti pertahanan, ekonomi, pertanian. Misalnya di Lampung ada Perserikatan Marga Empat Tulangbawang yang terdiri dari Marga adat Buway Bolan, Tegamo’an, Sumway Umpu dan Buway Aji.

Faktor genealogis (tribal constitution), yaitu faktor yang melandaskan kepada pertalian darah suatu keturunan, dalam kenyataannya tidak menduduki peranan yang penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum.

Masyarakat / Persekutuan Hukum Genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung maupun secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.

Susunan Persekutuan Hidup:

Bersifat Genealogis (keturunan / kekerabatan), yaitu:

a. Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan dengan pertalian keturunan menurut garis laki-laki / bapak. Contoh di Batak, Bali dan Ambon.

Patrilinial, susunan masyarakat ditarik menurut garis keturunan bapak / lelaki.

Contohnya di Batak, mudah kita kenali dari nama marganya seperti Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar, dlsb.

b. Matrilineal, yaitu sistem kekerabatan dengan pertalian keturunan menurut garis perempuan / ibu. Contoh di Minangkabau, Kerinci dan Semendo di Sumatera Selatan.

c. Parental / Unilateral, yaitu sistem kekerabatan dengan memperhitungkan / menghubungkan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun bapak. Contoh: Jawa, Sunda, Aceh dan Dayak.

(15)

Orang luar dapat saja masuk ke dalam badan persekutuan hukum sebagai anggota, atau teman segolongan dengan cara:

1. Pada zaman dulu, dapat masuk dengan cara menjadi hamba / budak.

2. Karena pertalian perkawinan.

3. Dengan jalan pengambilan anak, sehingga yang semula bukan famili menjadi famili dan masuk sebagai anggota golongan tersebut.

Masuknya seseorang dalam suatu persekutuan terjadi dengan upacara menurut kepercayaan adat.

MASYARAKAT TERRITORIAL GENEALOGIS

- Kesatuan masyarakat yg tetap & teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat pd tempat kediaman pd suatu daerah tertentu, ttp juga terikat pd hubungan keturunan dlm ikatan pertalian darah dan/atau kekerabatan.

- Bentuk aslinya  “Marga” dengan “Dusun-dusun” di Sumatera Selatan. “Marga”

dengan “Tiyuh-tiyuh” dimana para anggota masyarakat terikat pada suatu daerah (marga/kuria) dan terikat pula pada suatu Marga keturunan.

- Bentuk campuran  Masyarakat asli yg bercampur dg masy.transmigran.

- Dg demikian di dalam suatu daerah territorial genealogis berlaku dualisme / pluralisme hukum.

MASYARAKAT ADAT-KEAGAMAAN

Di antara berbagai kesatuan masyarakat tersebut di atas akan terdapat kesatuan masyarakat adat yg khusus bersifat keagamaan di beberapa daerah tertentu. Contoh:

- Di Aceh, terdapat masyarakat adat keagamaan yg Islami.

- Di Batak, terdapat masyarakat adat keagamaan yg didominasi Kristen Protestan.

- Di Bali, sebagian besar adalah masyarakat adat keagamaan Hindu.

MASYARAKAT ADAT DI PERANTAUAN

- Masyarakat desa adat keagamaan Sadwirama merupakan bentuk baru bagi orang Bali untuk tetap mempertahankan eksistensi adat & agama Hindu di daerah perantauan.

- Masyarakat adat Jawa tdk pernah membentuk masy. desa adat tersendiri karena bersifat ketetanggan sehingga mudah membaur.

- Di kalangan orang Minangkabau di perantauan, bukan lagi ninik mamak yang berperanan, tetapi kepengurusan organisasinya. Struktur kemasyarakatan yg bersifat genealogis matrilinial pun bergeser ke arah parental.

MASYARAKAT ADAT LAINNYA

Selain dari adanya kesatuan masyarakat adat tersebut di atas, kita jumpai pula bentuk kumpulan organisasi yg bentuk ikatan anggotanya didasarkan pd ikatan kekaryaan sejenis yg tdk berdasarkan hukum adar yg sama atau daerah yg sama, melainkan pd rasa kekeluargaan yg sama & terdiri dari suku bangsa dan agama yg berbeda. Contohnya:

Dharmawanita.

(16)

Pertemuan 05: HUKUM ADAT KETATANEGARAAN

Tujuan Umum

Agar mahasiswa mengetahui mengenai adat ketatanegaraan di masyarakat adat Indonesia

Tujuan Khusus

Agar mahasiswa mengetahui

1. Bentuk Desa masyarakat adat 2. Susunan Masyarakat Desa

3. Pemerintahan Desa masyarakat adat 4. Harta Kekayaan Desa masyarakat adat

BENTUK DESA

Hukum Adat Ketatanegaraan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang tata susunan masyarakat adat, bentuk-bentuk persekutuan (masyarakat) hukum adat (desa), alat-alat (perangkat) desa, susunan jabatan dan tugas masing-masing anggota perlengkapan desa, majelis kerapatan adat desa, dan harta kekayaan desa.

Menurut UUNo.5/79 Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsug di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI.

Dusun adalah bagian wilayah dalam Desa yang merupakan lingkunhan kerja pelaksanaan pemerintahan desa.

Pada umumnya yang merupakan bentuk desa merupakan tempat kediaman penduduk yang terdiri dari perkampungan yang kecil-kecil yang hanya terdiri dari beberapa rumah dengan hak ulayat atas tanah perladangan dan hutan yang luas.

Kampung-kampung tersebut ada yang setengah berdiri sendiri, mengatur pemerintahan rumah tangganya sendiri dengan raja-raja adatnya masing-masing. Kebanyakan letak perkampungan jauh dari pusat desa. Bahkan masih ada yang penduduknya tidak menetap, sesuai dengan kehidupan pertanian ladang atau penggembalaan ternak.

SUSUNAN MASYARAKAT DESA

Susunan masyarakat desa dipengaruhi oleh latar belakanng sejarah terjadinya desa, harta kekayaan yang dimiliki / dikuasai oleh keluarga/kerabat tertentu, sehingga menimbulkan kebangsawanan desa.

Dikalangan masyarakat adat Jawa, susunan kemasyarakatannya dibedakan menurut harta kekayaan yang dimiliki setiap keluarga. Perbedaan itu adalah:

1. Tingkat Pertama, disebut Kuli Kenceng, mereka yang keturunan pembangun desa, dengan memiliki bangunan rumah dan tanah pekarangan serta tanah pertanian yang luas. Keturunan mereka kebanyakan menjadi penyelenggara pemerintahan desa.

2. Tingkat Kedua adalah Kuli Gundul, yaitu mereka yang hanya mempunyai bangunan rumah dan tanah pekarangan saja.

3. Tingkat Ketiga adalah Tiang Numpang, adalah mereka yang tidak mempunyai hak milik apa-apa dan hanya menjadi buruh tani atau membantu kehidupan keluarga majikan yang ditumpanginya.

(17)

Di Minangkabau yang susunan masyarakat nagarinya dipengaruhi oleh sistem kekerabatan genealogis matrilinial dengan hukum adatnya yang bermamak-kemenakan dan terikat pada satu kesatuan rumah gadang (rumah kerabat). Tingkat kedudukan para kemenakan itu dibedakan antara:

1. Kemenakan batali darah.

Kemenakan yang sekandung dari ibu asal yang berhak dan berperan sebagai mamak kepala waris dan penghulu.

2. Kemenakan batali adat.

Kemenakan yang diangkat dari keluarga lain dan hanya dapat menggantikan kedudukan sebagai mamak atau penghulu apabila kemenakan batali darah sudah tidak ada lagi.

3. Kemenakan batali emas atau batali budi.

Kemenakan yang diakui sebagai kemenakan karena baik budi.

4. Kemenakan di bawah lutut.

Kemenakan yang asal-usulnya tidak jelas, diasuh karena diperlukan tenaganya.

Di Masyarakat Dayak perbedaannya:

1. Kaum bangsawan (utus gantong) 2. Kaum kaya (utus tatau)

3. Kaum miskin (utus rendah / utus pehebelum) 4. Budak / warga desa yang tidak merdeka (Rewar)

5. Budak yang mengabdi pada orang lain karena hutangnya belum lunas (japen)

Di Sulawesi Selatan (Bugis & Makasar)

1. Golongan Bangsawan (anak karung / akan karaeng) 2. Golongan Menengah ( tomaradeka )

3. Golongan Bawah ( ata )

Di lingkungan masyarakat yang beragama Hindhu:

1. Brahmana 2. Ksatria 3. Waisya 4. Sudra

PEMERINTAHAN DESA

Kepala Desa adalah penduduk desa warga negara Indonesia yang dipilih oleh penduduk desa untuk masa jabatan 8 tahun. Jabatan kepala desa pada masyarakat Jawa yang lama disebut Lurah, Kuwu, Petinggi. Jabatan ini biasanya turun temurun. Kepala desa biasanya dipilih oleh warga karena dianggap berilmu tinggi, ahli agama, berilmu kebal, atau mempunyai banyak pengikut / murid.

Dalam menjalankan pemerintahan Desa, Kepala Desa dibantu oleh Carik (juru tulis), kamituwa (kepala dukuh), amil (pejabat agama & pencatat sipil), petugas keamanan, dan ulu-ulu (petugas pengairan). Para pembantu desa ini disebut Perabot desa atau Kokolot.

Di Minangkabau:

1. Untuk urusan pamong praja dibantu oleh manti 2. Untuk urusan polisi dibantu oleh dubalang 3. Untuk urusan agama dibantu oleh malim.

(18)

Di Jawa:

1. Wakil kepala (kamituwo) 2. Panitera (carik)

3. Pesuruh (kebayan)

4. Petugas keagamaan (alim, ketib) 5. Petugas kepolisian (jogo-boyo)

Kepala persekutuan adalah kepala rakyat dan bapak masyarakat, ia mengetuai persekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar. Aktivitas kepala rakyat pada pokoknya meliputi:

1. Tindakan mengenai urusan tanah.

2. Campur tangan dalam perkawinan.

3. Pembinaan hukum secara preventif.

4. Pembinaan hukum secara represif.

Peradilan perdamaian desa diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam UU Darurat No.1/51.

Untuk mengatur pemerintahan desa, kepala desa mengadakan kumpulan desa tiap 35 hari sekali bertempat di balai desa yang dihadiri oleh semua perabot desa dan para sesepuh desa. Begitu pula dalam melaksanakan peradilan desa. Kepala Desa dan staf pembantunya bertindak sebagai hakim desa. Untuk perkara yang menyangkut hukum adat, maka kepala desa bertindak pula sebagai kepala adat.

Penghasilan kepala desa dan perabot desa bersalah dari pemerintahan atasannya (Asisten Wedana / Camat) atau dari tanah yang disediakan oleh desa (tanah bengkok / tanah pekulen)

HARTA KEKAYAAN DESA

Sumber pendapatan desa terdiri dari:

A. Pendapatan Asli Daerah itu sendiri, yang terdiri dari:

1. Hasil tanah-tanah kas desa

2. Hasil dari swadaya dan partisipasi masyarakat desa 3. Hasil dari gotong royong masyarakat

4. Hasil dari usaha desa.

B. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang terdiri dari:

1. Sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat 2. Sumbangan dan bantuan dari pemerintah daerah

3. Sebagian dari pajak dan retribusi daerah yang diberikan kepada desa, C. Lain-lain pendapatan yang sah.

(19)

Pertemuan 06: HUKUM ADAT KEKERABATAN Tujuan Umum:

Agar mahasiswa mengetahui kekerabatan secara adat yang terjadi di masyarakat adat di Indonesia.

Tujuan Khusus:

Agar mahasiswa mengetahui:

1. Kedudukan Pribadi dalam masyarakat adat 2. Pertalian Darah dalam masyarakat adat 3. Pertalian Perkawinan dalam masyarakat adat 4. Pertalian Adat dalam masyarakat adat

HUKUM PERSEORANGAN ADAT

SUBYEKTUM YURIS 1. Manusia

2. Badan Hukum

Subyek Hukum Adat:

1. Manusia.

2. Badan hukum antara lain seperti desa, suku, nagari, wakaf.

Seseorang dianggap sudah dewasa dalam hukum adat apabila:

1. Dapat / mampu bekerja sendiri (kuwat gawe) 2. Cakap mengurus harta bendanya.

Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta dalam keputusannya tanggal 16 Oktober 1908 menetapkan cakap hukum adalah sebagai berikut:

1. Umur 15 tahun.

2. Masak untuk hidup sebagai istri.

3. Cakap untuk melakukan perbuatan sendiri.

I. KEDUDUKAN PRIBADI

 Sesungguhnya manusia pribadi dilahirkan ke muka bumi mempunyai hak-hak yang sama. Tetapi kehidupan masyarakat, adat budaya serta pengaruh agama menyebabkan penilaian terhadap manusia menjadi tidak sama.

Contoh dalam agama Hindu dibedakan antara golongan Brahmana (pendeta), Ksatria (bangsawan), Weisha (pengusaha) dan Sudra (rakyat jelata)

 Dengan adanya perbedaan pribadi maka berbeda pula hak dan kewajibannya.

II. PERTALIAN DARAH a. Kedudukan anak.

 Pasal 42-43 UUP, anak sah adalah anak yg dilahirkan akibat perkawinan yg sah. Anak yg dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dg ibunya &

keluarga ibunya.

 Menurut Hukum Adat anak kandung yang sah adalah anak yg dilahirkan dari perkawinan ayah & ibunya yang sah atau perkawinan itu merupakan perkawinan darurat.

(20)

 Mengenai anak lahir di luar perkawinan, di Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon, wanita yang melahirkan anak dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan, tanpa memperdulikan bagaimana kejadiannya dan siapa bapaknya.

 Ada pula tindakan adat yang memaksa si pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak itu. Tindakan lainnya adalah mengawinkan wanita yang sedang hamil itu dengan salah seorang laki-laki / laki-laki lain (nikah tambelan), namun anaknya masih tetap saja dianggap anak haram jadah (di Jawa) atau astra (di Bali)

 Kadang-kadang diperlukan adanya pembayaran (sumbangan adat) supaya diperbolehkan hidup tetap dalam persekutuan.

 Anak yg dilahirkan setelah bercerai menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu. Menurut hukum adat di Jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk membiayai penghidupan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya.

 Di Bali ada adat dimana anak tidak diakui lagi oleh orang tuanya (pegat mapianak).

Sementara di Jawa ada adat dimana anak diasuh oleh orang lain, namun setiap waktu anak ini dapat diambil orang tua aslinya.

b. Kedudukan Orang Tua

 Pasal 45 UUP mengatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara & mendidik anak-anak mereka sampai mereka dewasa / mandiri, kewajiban itu berlaku terus meski kedua orang tuanya telah bercerai

 Pasal 49 UUP menyatakan kekuasaan orangtua dapat dicabut bila ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya atau berkelakuan buruk terhadap anaknya.

Dalam hukum adat tidak berlaku karena dalam hukum adat yang disebut orang tua bukan saja dalam garis lurus ke atas tetapi juga dalam garis lurus ke samping (paman, saudara ayah atau ibu yang lelaki, kakek, buyut)

III. PERTALIAN PERKAWINAN

Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri dan juga menimbulkan hubungan kekerabatan antara menantu dan mertua, dan hubungan periparan. Kedudukan Suami Isteri dalam:

a. Perkawinan Bebas

Hak dan kewajiban suami isteri adalah sama.

b. Perkawinan Jujur

Suami bertanggung jawab penuh terhadap rumah tangga, sedangkan isteri hanya sebagai pendamping. Jadi kedudukan suami isteri tidak seimbang. Namun bukan berarti suami dapat berbuat sekehendak hatinya.

c. Perkawinan Semenda

Setelah perkawinan suami masuk ke dalam kekerabatan isteri atau hanya sebagai pemberi benih keturunan yang tidak bertanggung jawab penuh di dalam rumah tangga.

Hak dan kedudukan suami berada di bawah pengaruh isteri dan kerabatnya.

(21)

IV. PERTALIAN ADAT Hubungan hukum antara:

a. Anak tiri dengan orang tua dan kerabat.

Anak tiri = anak kandung bawaan isteri janda / bawaan suami duda yg mengikat tali perkawinan. Kedudukan anak tiri adalah tetap dari orang tua yang melahirkan. Hal ini berkaitan dengan masalah waris. Bila anak tiri adalah ahli waris dari orang tua yang melahirkannya kecuali anak tiri itu diangkat oleh bapak tiri (orang tua tiri) sebagai penerus keturunannya karena ia tidak mempunyai anak.

b. Anak angkat dengan orang tua dan kerabat.

a. Kedudukan anak angkat dapat dibedakan antara anak angkat sebagai penerus keturunan (anak angkat karena perkawinan) atau anak angkat untuk penghormatan.

b. Anak angkat karena perkawinan terjadi karena perkawinan campuran antar suku yang berbeda. Anak angkat karena perkawinan ini dilakukan hanya untuk memenuhi syarat perkawinan adat dan tidak menyebabkan si anak menjadi waris dari ayah angkatnya, melainkan hanya mendapatkan kedudukan kewargaan adat dalam kesatuan kekerabatan yang bersangkutan.

c. Anak angkat sebagai penghormatan adalah pengangkatan anak / saudara sebagai tanda penghargaan, misalnya mengangkat pejabat pemerintahan menjadi saudara angkat. Pengangkatan anak karena penghormatan ini juga tidak berakibat menjadi ahli waris.

c. Anak asuh dengan orang tua dan kerabat.

a. Anak asuh adalah anak orang lain yang diasuh oleh suatu keluarga sebagaimana anak sendiri.

b. Anak asuh ini tetap memiliki hubungan perdata dengan orang tua yang melahirkannya dan tidak langsung menjadi warga adat dari kerabat orang tua asuhnya kecuali kemudian diangkat menjadi anak angkat.

c. Di Minahasa bila orang tua asuh memberi hadiah (tanah) kepada anak asuh, maka kedudukan anak berubah menjadi seperti anak kandung dan berhak menjadi ahli waris.

(22)

Pertemuan 07: REVIEW PERSIAPAN UJIAN TENGAH SEMESTER

1. Berikan contoh dan penjelasan singkat mengenai teori-teori dibawah ini:

a. Teori Receptio.

b. Teori Receptio a contrario

2. Kita mengenal ada 8 macam corak hukum adat. Dalam perkawinan adat kedelapan corak hukum adat itu nampak terlihat. Seperti musyawarah untuk mufakat, dalam perkawinan adat bila biaya terlalu besar dapat dimusyawarahkan bagaimana sebaiknya upacara perkawinan dilangsungkan. Coba sebutkan empat corak hukum adat yang lainnya yang terlihat dalam perkawinan adat tersebut dan berikan penjelasan singkatnya.

3. Apakah makna dari adanya adat “Uang Panjampui” (uang jemputan) dalam perkawinan masyarakat adat Pariaman? Mengapa semakin ber-bobot si pria (misalnya sang calon suami ini adalah seorang Sarjana Hukum ataupun seorang dokter), maka uang jemputannya juga semakin mahal?

4. Apakah anak yang diadopsi memiliki hak atas harta warisan? Bila berhak atas dasar apa dan bila tidak berhak atas dasar apa?

5. Apakah yang dimaksud dengan Hak Ulayat, berikan pula contohnya.

= SELAMAT MENGERJAKAN =

Referensi

Dokumen terkait

The survey attempts to tease out of this evolving and steadily growing research base both the nature of algebraic thinking and the ways in which this thinking can be developed in the

me©bvg I wµqvc`¸wji †Kv‡bv iƒcvšÍi Ki‡Z bv cvi‡j - AMªMwZ cÖ‡qvRb... welqe¯‘i mwVKZv _vK‡jI avivevwnKZvi Afve