MAKALAH
ADAB DAN TATA CARA MENGKAFANI JENAZAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “social religious skill”.
Dosen pengampu:
Dr. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil.I NIP: 196110111991031001
INA ISLAMIA 03030223103
ANANDA AHMAD I. S. 03040223061
AHMAD SHOHIBUL FADIL 03040223059
PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan kenikmatan serta mencurahkan rahmatnya kepada kita semua. Tak lupa shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. penulis juga berterima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah “SOCIAL RELIGIOUS SKILL” bapak Dr.
Achmad Zuhdi Dh, M.Fil.I yang telah memberikan kesempatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “ADAB DAN TATA CARA MENGKAFANI JENAZAH”.
Penulis juga menyadari bahwa ada ketidaksempurnaan dalam penulisan makalah ini.
Maka dari itu penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila ada salah kata atau terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini maupun dalam penguasaan materi. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk penulis agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih sempurna lagi.
Semoga dengan makalah ini, diharapkan kita mendapatkan ilmu yang belum kita ketahui sebelumnya dan menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya, Aamiin.
Surabaya, 22 Februari 2025
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...ii
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 latar belakang... 1
1.2 Rumusan masalah... 1
1.3 Tujuan masalah... 1
BAB II PEMBAHASAN...2
2.1 Adab mengkafani jenazah... 2
2.2 tata cara mengkafani jenazah...4
BAB III PENUTUP... 7
KESIMPULAN... 7
DAFTAR PUSTAKA... 8
BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar belakang
Kematian merupakan suatu peristiwa yang pasti terjadi dalam kehidupan semua makhluk tidak terkecuali manusia. Meski tak seorangpun yang tau pasti kapan datangnya. Jika ajal sudah menjemput, maka tidak ada yang bisa meminta untuk ditangguhkan. Segala urusan yang ada di dunia terhenti seketika dan tanggung jawab pelaksanaan terhadap orang yang sudah meninggal dunia tersebut menjadi kewajiban bagi orang yang masih hidup. Allah SWT telah menetapkan hukum Fardhu Kifayah, artinya apabila disuatu tempat sudah ada orang yang telah melaksanakannya maka semua orang yang berada di daerah tersebut tidak berdosa. Ini merupakan bentuk tanggung jawab umat Islam terhadap sesama, terutama bagi orang yang sudah meninggal dunia. Nabi Muhammad Saw melalui risalah yang dibawanya telah memberikan pedoman komprehensif yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Salah satu aturan yang ditetapkannya adalah tentang cara menghadapi jenazah, mulai dari cara menghadapi orang yang sedang sakaratul maut, sampai pada proses menguburkan jenazah ke liang lahat. Semua itu dijelaskan secara lengkap agar memudahkan umat Islam dalam memberikan hak kepada mayit untuk mendapatkan penyelenggaraan terbaik. Fenomena yang terjadi di dalam kehidupan sehari- hari masih banyak di antara umat Islam yang belum mengetahui tata cara penyelenggaraan jenazah dengan baik dan benar serta sesuai dengan ajaran Islam, maka dibutuhkan panduan sebagai acuan dalam proses praktikum penyelenggaraan jenazah yang sistematis dan komprehensif serta mudah diterapkan.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa saja adab yang harus diperhatikan dalam proses mengkafani jenazah?
2. Bahan apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum mengkafani?
3. Bagaimana tata cara mengkafani jenazah yang benar menurut ajaran Islam?
1.3 Tujuan masalah
1. Mengetahui bagaimana tata cara mengkafani jenazah
2. Mengetahui bahan Bahan apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum mengkafani
3. Mengetahui Bagaimana tata cara mengkafani jenazah yang benar menurut ajaran Islam.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Adab mengkafani jenazah
Kata “alkafanu” berarti : tsiyaabun yulaffu bihal mayyitu : kain yang digunakan untuk membungkus mayit (Almu‟jamul wasiith). 1
Mengkafankan jenazah adalah fardhu kifayah bagi seorang muslim yang menghadirinya, mengkafankannya itu dilakukan langsung setelah jenazah dimandikan. Sebaiknya orang yang mengkafankan jenazah adalah orang yang terdekat dengannya. Hikmah dari mengkafankan jenazah adalah untuk menutupinya dari pandangan mata dan sebagai penghormatan padanya.
Karena menutupi auratnya dan menghormatinya adalah wajib selagi ia masih hidup, begitu pula ketika ia telah meninggal. Kafan diambil dari harta si mayat sendiri jika ia meninggalkan harta.
Kalau ia tidak meninggalkan harta, maka kafannya menjadi kewajiban orang yang wajib member belanjaannya ketika ia hidup. Kalau yang wajib memberi belanja itu juga tidak mampu, hendaklah di ambilkan dari baitul-mậl,dan diatur menurut hukum islam. Jika baitul-mậl tidak ada atau tidak teratur, maka hal itu menjadi kewajiban muslim yang mampu. Demikian pula keperluan lainnya yang bersangkutan dengan mayat.2
Adapun adab yang harus kita lakukan ada beberapa hal;
1. Setelah jenazah selesai dimandikan, sebaiknya segera dikafani
2. Kain kafan dan biaya yang digunakan hendaknya diambilkan dari harta si jeanzah itu sendiri,( meskipun hartanya sampai habis).
3. Sebaiknya, Kain kafan harus menutupi semua anggota tubuhnya.
1Kahar Masyhur, Fikih Sunnah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet. ke-2, h.127.
2 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam), (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
4. Jika seandainya kain kafan tidak mencukupi seluruh tubuh, maka di utamakaan menutup bagian kepala sampai bagian badannya, lalu sisanya ditutup dengan daun daunan yang wangi.
5. Jika kain kafan kurang tapi jenazah jumlahnya banyak, maka boleh megkafani mereka secara massal.
نْعَ
سِنَأَ
نْبْ
كٍلِامَ
نَّأَ
لَوسُرَ
هِلَّلِا ىلَّصَ
هِلَّلِا هِيْلَّعَ
مَلَّسُوَ
ىتَأَ
ىلَّعَ
ةَزَمْحَ
فَقَوفَ
هِيْلَّعَ
هُآرَفَ
دْقَ
لَثْمَ
هِبْ
لَاقَفَ
لَاولِ
نَّأَ
دْجِتَ
ةُيْفِصَ
يفَ
اهَسِفِنَ
هِتُكْرَتُلِ
ىتُحَ
هِلَّكْأْتَ
ةُيْفَاعَلِا لَاقَوَ
دْيْزَ
نْبْ
بِابَحُلِا هِلَّكْأْتَ
ةُهَاعَلِا
ىتُحَ
رَشَحُيْ
نْمَ
اهَنَوطُبْ
مَثُ
لَاقَ
اعَدَ
ةَرَمْنَبْ
هِنَفِكَفَ
اهَيْفَ
لَاقَ
تْنَاكْوَ
اذَإِ
تْدْمَ
ىلَّعَ
هِسُأَرَ
تْدْبْ
هُامَدْقَ
اذَإِوَ
تْدْمَ
ىلَّعَ
هِيْمَدْقَ
ادْبْ
هِسُأَرَ
لَاقَ
رَثْكْوَ
ىلَّتُقَلِا تْلَّقَوَ
بِايْثْلِا لَاقَ
نَّاكْوَ
نْفِكَيْ
وَأَ
نْHفِكَيْ
نْيْلَّجُرَلِا
Jكٍشَ
نَّاوفِصَ
ةُثُلَاثْلِاوَ
يفَ
بِوثْلِا دْحَاولِا
لَاقَ
نَّاكْوَ
لَوسُرَ
هِلَّلِا ىلَّصَ
هِلَّلِا هِيْلَّعَ
مَلَّسُوَ
لَأْسِيْ
نْعَ
مَهَرَثْكْأَ
اMنَآرَقَ
هِمَHدْقَيْفَ
ىلِإِ
ةُلَّبَقَلِا لَاقَ
مَهَنَفَدْفَ
لَوسُرَ
هِلَّلِا ىلَّصَ
هِلَّلِا هِيْلَّعَ
مَلَّسُوَ
مَلِوَ
Hلَصَيْ
مَهَيْلَّعَ
لَاقَوَ
دْيْزَ
نْبْ
بِابَحُلِا نَّاكَفَ
لَجُرَلِا نَّلَاجُرَلِاوَ
ةُثُلَاثْلِاوَ
نَّونَفِكَيْ
يفَ
بِوثُ
دْحَاوَ
Dari Anas bin Malik berkata; Rasulullah Saw mendatangi jenazah Hamzah, sedang jasadnya telah disayat-sayat. Beliau lalu bersabda: "Sekiranya tidak akan terjadi apa-apa pada diri Shafiyyah, sungguh aku akan tetap membiarkan jenazahnya hingga ia dimakan oleh burung, "
Zaid Ibnul Hubbab menyebutkan; "hingga jasadnya dimakan oleh ahah (burung perusak padi), sehingga perutnya terburai." Kemudian Anas berkata; "Beliau meminta untuk diambilkan
kain (semacam daster), lalu beliau mengafani jasadnya dengan kain tersebut." Anas berkata:
"Jika kain itu ditutupkan pada bagian kepala maka kakinya terlihat, dan jika ditutupkan pada bagian kaki, maka kepalanya terlihat." Anas berkata; "Kurban yang terbunuh waktu itu sangat banyak, sedangkan kain yang tersedia sedikit." Anas berkata; "Setiap dua orang laki-laki, " atau Anas mengatakan; "tiga orang laki-laki dikafani dalam satu kain kafan, " Shafwan masih ragu.
Anas berkata; "Rasulullah Saw bertanya siapa diantara mereka yang hafalan Al Qur'annya paling banyak, maka dialah yang paling depan untuk dibaringkan menghadap kiblat." Anas berkata; "Lalu Rasulullah Saw menguburkan mereka tanpa menyalatinya terlebih dahulu." Zaid Ibnul Khubab menyebutkan; "Setiap tiga orang laki-laki dibungkus dalam satu kain kafan." (HR.
Ahmad No. 11852). -Syekh al-Albani menilai hadits ini hasan.-3 6. Tidak boleh membuka pakaian orang yang mati syahid
7. Dianjurkan mengkafani orang yang mati syahid dengan selembar kain kafan atau lebih di atas pakaian yang sedang dipakai.
8. Orang yang mati dalam keadaan ber-ihram dikafani dengan pakaian ihramnya.
2.2 tata cara mengkafani jenazah
Sebelum ke tata caranya, kita juga harus mengetahui apa saja yang perlu disiapkan sebelum mengkafani jenazah dan dan hal yang dianjurkan dalam pemkaian kain kafan:
A. Hal hal yang dianjurkan dalam pemakaian kain kafan:
1. Dianjurkan Warna putih.
نْعَ
نْبْا سٍابَعَ
لَاقَ
لَاقَ
لَوسُرَ
هِلَّلِا ىلَّصَ- هِلَّلِا هِيْلَّعَ
مَلَّسُوَ
اوسِبَلِا « - نْمَ
مَكَبْايْثُ
ضَايْبَلِا اهَنَإِفَ
نْمَ
رَيْخَ
مَكَبْايْثُ
اونَHفِكْوَ
اهَيْفَ
مَكْاتَومَ
نَّإِوَ
رَيْخَ
مَكَلِاحُكْأَ
دْمْثُلإِا ولَّجِيْ
رَصَبَلِا تْبَنَيْوَ
رَعَشَلِا ».
Dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah Saw bersabda: "Pakailah pakaian yang putih, sebab ia adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah jenazah kalian dengannya. Sesungguhnya sebaik-baik celak kalian adalah itsmid (sejenis tumbuhan), itsmid dapat mempertajam pandangan dan menumbuhkan rambut." (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan lain- lain). Al-Albani menilai hadits ini shahih.4
2. Kain yang di gunakan 3 helai
3. Satu diantara 3 helai itu, hendaknya menggunakan warna putih dan bergaris.
4. Memberi wangi wangian dengan parfum sebanyak 3 kali.
5. Tali sebanyak 7 diletakan untuk mengikat; ujung kepala, leher, pada lengan tengan ( pinggang), perut, lutut, pergelangan kaki, ujung kaki.
6. Kain yang berukuran sesuai tubuh jenazah, dan ditaburi kabur barus.
8. Tutup dada yang bentang.
9. Selain penutup aurat yang memanjang dan melebar.
10. Mukenah dan kain basahan bagi wanita, sesuai letaknya.
B. Cara mengkafani jenazah:
1. Letakkan janazah membujur di atas kain kafan, dalam keadaan tertutup kain selubung (jangan sampai mayat telanjang secara terbuka).
2. Tutuplah tujuh lubang yaitu, 2 mata, 2 telinga, 2 hidung dan 1 pusar dengan bulatan kapas yang ditaburi serbuk kapur barus;
3. Tutuplah lembaran kapas yang ditaburi serbuk kapur barus pada:
a) Wajah muka b) Leher kanan & kiri c) Ketiak kanan & kiri
d) Lengan siku kanan dan kiri
e) Di bawah dan atas peregelangan tangan.
f) Kedua pergelangan kakinya.
g) Kedua lingkaran mulut.
Bagi jenazah pria :
a) Tutuplah segitiga kain putih di bagian rambut kepala dengan ikatan pada jidat.
b) Katupkan tutup dada melalui lubang pada lehernya c) Katupkan lipatan tutup Celana dalamnya
Bagi jenazah Wanita :
a) Letakkan tiga pintalan rambut ke bawah belakang kepala b) Tutupkan kain mukena pada rambut kepala.
c) Tutupkan belahan kain baju pada dada.
d) Lipatkan kain basahan melingkar badan perut dan auratnya, di atas penutup Celdamnya.
4. Katupkan dengan melingkar tubuh badannya kain kafan yang rapat, tertib, menyeluruh.
5. Ikatkan tujuh tali yang telah disipakan tadi ke bagian:
a) Ujung Kepala b) Leher
c) Pinggang/pada lengan tangan d) Perut
e) Lutut
f) Pergelangan kaki g) Ujung kaki.
BAB III PENUTUP KESIMPULAN
Dalam Islam, tanggung jawab terhadap jenazah menjadi kewajiban bagi orang yang masih hidup sebagai bentuk kepedulian dan penghormatan terakhir. Islam telah menetapkan aturan mengenai penyelenggaraan jenazah sebagai hukum Fardhu Kifayah, yang berarti jika sudah ada sebagian orang yang melaksanakannya, maka yang lain terbebas dari kewajiban tersebut.
Dalam praktik penyelenggaraan jenazah, khususnya dalam proses mengkafani, masih banyak umat Islam yang belum memahami tata cara yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, diperlukan panduan yang sistematis dan mudah diterapkan untuk membantu umat Islam dalam menjalankan kewajiban ini dengan benar.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini mencakup adab dalam mengkafani jenazah, bahan yang harus dipersiapkan, serta tata cara yang benar dalam mengkafani jenazah menurut ajaran Islam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat mengenai tata cara mengkafani jenazah secara benar, sesuai dengan tuntunan agama.
Dengan memahami dan menerapkan tata cara yang benar dalam mengkafani jenazah, diharapkan umat Islam dapat menjalankan kewajiban ini dengan baik, memberikan penghormatan yang layak kepada jenazah.
DAFTAR PUSTAKA
Kahar Masyhur, Fikih Sunnah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet. ke-2, h.127.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1986), cet.
ke-4, h. 167-168.
Muhammad Nashiruddin Al Albani, shahih Wa Dhoif Sunan Abi Dawud, VII\136.
Muhammad bin Abdullah al-Khathib al-Tibrizi, Misykat al-Mashabih, Takqiq al-Albani (Bairut: al- Maktab al-Islami, 1985), 370.