1
Manusia dan Agama
MODUL PERKULIAHAN
U002100001
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Manusia dan Agama
Dosen: Vindy Oktaviani, S.Pd., M.Pd
Abstrak Sub-CPMK
Pada pertemuan ini akan dijelaskan mengenai pengertian agama dan manusia, latar belakang perlunya manusia terhadap agama, doktrin kepercayaan agama.
Memahami dengan baik hubungan manusia dengan agama dan hakikat manusia menurut pandangan agama.
Latar Belakang
Pendidikan Agama Islam merupakan mata kuliah umum yang diarahkan pada pengembangan kepribadian yang diberikan kepada semua mahasiswa yang beragama Islam pada semua jurusan dan program studi yang ada di Universitas Mercu Buana.
Selesai mengikuti perkuliahan ini, diharapkan mahasiswa memiliki kompetensi: (1) Memiliki wawasan pengetahuan tentang ajaran Agama Islam dengan berbagai fenomena dan permasalahannya yang muncul dalam kehidupan, (2) Mampu menjadikan Islam sebagai sumber nilai, pedoman hidup dan landasan berfikir dan berperilaku dalam menerapkan Ilmu dan Profesi.
Pengertian Manusia
Manusia adalah makhluk hidup yang berbadan tegak, kulitnya tampak (tidak tertutup bulu), mempunyai akal pemikiran, akhlak, emosi yang selalu berubah-ubah, perasaan yang benar, daya nalar yang sehat, serta perkataan yang fasih dan jelas. ( Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, 1995 :72-73) Allah memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani). Dia menciptakan Adam, manusia pertama dari tanah dengan tangan-Nya dan meniupkan roh (ciptaan-Nya), lalu darinya Dia ciptakan Istrinya, Hawa. Dia ajarkan kepadanya nama- nama, lalu menyuruh malaikat agar bersujud kepadanya, maka mereka semua bersujud kecuali iblis yang menolak. Dia melarangnya makan dari satu pohon, lalu dia lupa dan memakannya, maka dia telah berbuat maksiat dan durhaka karenanya. Lalu dia menerima beberapa kalimat dari Allah dan mengucapkannya, maka Allah menerima tobatnya, kemudian menurunkannya ke bumi sebagai khalifah setelah sebelumnya Dia
Manus ia dan Agama
Pengertian Manusia
Pengertian Agama
Doktrin Kepercayaan
Agama Latar Belakang
Perlunya manusia dengan Agama
Hubungan
Manusia
dan Agama
mempersiapkan bumi itu baginya, dan menyediakan segala apa yang ada di bumi untuk memenuhi kebutuhannya. Itulah manusia dalam keyakinan kita, di dalam Alquran diterangkan:
وْنُسْمَّ اٍمَحَ نْ!مَّ لٍاٍصَلْصَ نْ&مَّ نَاٍسْنْ&لْاِا اٍنُقْلْخَ دْقْلَوَ
نٍۚ
26. Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang dibentuk.(Q.S. Al-Hijr, 15:26)
Pengertian Agama
Pengertian agama secara umum dapat di lihat dari sudut kebahasaan (etmologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut kebahasaan akan terasa lebih mudah dari pada mengartikan agama dari sudut istilah, karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikanya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan agama. Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum ialah adanya perbedaan- perbedaan dalam memahami arti agama, di samping adanya perbedaan juga dalam cara memahami arti agama serta penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki interpretasi diri yang berbeda dan keluasan interpretasi diri itu juga berbeda-beda. (Abd. Rozak dan Ja’far, 2019:1)
Agama secara bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yang diartikan dengan haluan, peraturan, jalan, atau kebaktian kepada Tuhan. Agama itu terdiri dari dua perkataan, yaitu “A” berarti tidak, “Gama” berarti kacau balau, tidak teratur. (Abudin Nata, 2009:9) Adapun menurut istilah, agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah–
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya. Agama sebagai sistem– sistem simbol, keyakinan, nilai, perilaku yang terlambangkan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan–persoalan paling maknawi. ( Djamaludin Ancok dan Fuad Nasrhori Suroso, 1994: 74)
Selanjutnya karena demikian banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan para ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut:
1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang
2) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai manusia,
3) Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia,
4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu,
5) Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib, 6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber
pada suatu kekuatan gaib,
7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasza lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yaterdapat dalam alam sekitar manusia,
8) Ajaran yang diwariskan Tuhan kepada manusia melalu seorang rasul,
Kepercayaan pada adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam paham keagamaan.
Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama
Berikut beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Dan beberapa alasan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Latar Belakang Fitrah Manusia
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut untuk pertama kali ditegaskan dalam ajaran Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Adanya potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah insan yang digunakan Alquran untuk menunjuk manusia. Manusia secara fisik merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama.
Hal demikian sejalan dengan petunjuk Nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Karena demikian pentingnya menumbuh kembangkan dan memelihara potensi keagamaan yang ada di dalam diri manusia. Maka pada saat kelahiran yang pertama kali diperdengarkan kepada manusia adalah Allah dengan cara memperdengarkan suara azan pada telinga sebelah kanannya dan iqamat pada telinga sebelah kirinya.
2. Kelemahan dan kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatar belakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
Dalam literatur teologi Islam kita jumpai pandangan kaum Muktazilah yang rasional, karena banyak mendahulukan pendapat akal dalam memperkuat argumentasinya daripada pendapat wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang dapat mengetahui yang baik dan yang buruk, tetapi tidak semua yang baik dan yang buruk dapat diketahui akal. Dalam hubungan inilah, kaum Muktazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu'taziliah secara tidak langsung memandang manusia membutuhkan wahyu (agama).
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja.
Untuk itu, upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajarkan mereka agar taat beragama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini semakin meningkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.
Fungsi Agama Bagi Manusia
Menurut Hendro Puspito, fungi agama bagi manusia meliputi:
1) Fungsi Edukatif
Manusia mempercayakan fungsi edukatif pada agama yang mencakup tugas mengajar dan membimbing. Keberhasilan pendidikan terletak pada pendayagunaan nilai-nilai rohani yang merupakan pokok-pokok kepercayaan agama. Nilai yang diresapkan antara lain, makna dan tujuan hidup, hati nurani, rasa tanggung jawab dan Tuhan.
2) Fungsi Penyelamatan
Agama dengan segala ajarannya memberikan jaminan kepada manusia keselamatan dunia dan akhirat.
3) Fungsi Pengawasan Sosial
Agama ikut bertanggung jawab terhadap norma-norma sosial sehingga agama menyeleksi kaidah-kaidah social yang ada, mengukuhkan yang baik dan menolak yang kaidah yang buruk agar selanjutnya ditinggal dan dianggap sebagai larangan. Agama juga memberi sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggar larangan dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.
4) Fungsi Memupuk Persaudaraan
Persamaan keyakinan merupakan salah satu persamaan yang bisa memupuk rasa persaudaraan yang kuat. Manusia dalam persaudaraan bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja, melainkan seluruh pribadinya juga dilibatkan dalam suatu keintiman yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercaya bersama.
5) Fungsi Transformatif
Agama mampu melakukan perubahan terhadap bentuk kehidupan masyarakat lama ke dalam bentuk kehidupan baru. Hal ini dapat berarti pula menggantikan nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru. Transformasi ini dilakukan pada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi.
Klasifikasi Agama
Ditinjau dari sumbernya, agama yang dikenal manusia terdiri atas 2 jenis agama, yakni sebagai berikut:
1. Agama wahyu, yaitu agama yang diterima oleh manusia dari Allah melalui malaikat Jibril yang disebarkan oleh Rasul-Nya kepada manusia. Agama
wahyu disebut juga sebagai agama samawi atau agama langit. Agama Islam termasuk agama wahyu, agama samawi atau agama langit.
2. Agama budaya, yaitu agama yang bersumber dari ajaran seorang manusia yang dipandang mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan.
Agama budaya disebut juga sebagai agama ardhi atau agama bumi. Contoh agama budaya adalah agama Budha yang merupakan ajaran Budha Gautama.
Ciri-ciri agama wahyu, yaitu sebagai berikut:
1. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama, melainkan menyampaikannya.
2. Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
3. Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi, atau sesuai dengan kemampuan rasio, kecerdasan, dan kepekaan.
4. Konsep ketuhanannya bersifat monoteisme mutlak (tauhid).
5. Kebenarannya bersifat universal, yaitu berlaku untuk setiap manusia, masa dan keadaan.
Sedangkan ciri-ciri agama budaya, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak disampaikan oleh utusan Allah (Rasul), melainkan tumbuh secara kumulatif dalam masyarakat penganutnya.
2. Umumnya tidak memiliki kitab suci, kalaupun ada akan mengalami perubahan- perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
3. Ajarannya dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan akal pikiran masyarakat penganutnya.
4. Konsep ketuhanan bukan monoteisme, bisa animisme, dinamisme, politeisme, dan yang paling tinggi menganut monoteisme nisbi.
5. Kebenaran ajaran agamanya tidak bersifat universal, sehingga pada keadaan dan masa tertentu dapat berubah-ubah.
Jika kita perhatikan ciri-ciri dan kelompok agama tersebut nyatalah hanya agama Islam yang memenuhi syarat sebagai agama wahyu sedang yang selain Islam tidak, terutama bila dilihat dari segi ketuhanan dan keaslian kitab sucinya.'' Asumsi ini dikuatkan oleh firman Allah dalam QS. Ali-Imran(3): 19.
اوْتُوَا نْيْ&ذِلَا فَلْتَخَا اٍمَّوَ مُلَاسْ&لْاِا &هِ9:لْلَا دْنُ&عِ نْيْ!دْلَا نَ&ا ۗ رْفُكْيْ نْمَّوَ مْهُنُيْبَ Cيْغْبَ مْلْ&عِلَا مْهُءَ جَ اٍمَّ &دْعِبَ &مَّ لْاِ&ا بَ9تَ&كْلَا ۗ اۢ اۤ اۢ
&بِاٍسْ&حِلَا عُيْ&رْسْ هِ9:لْلَا نَ&اٍفَ &هِ9:لْلَا &تِ9يْ9اٍ&بَ
19. Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam. Orang-orang yang telah diberi kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan(-Nya).
(Muhammad Daud Ali, 2018: 68) Manusia dan Alam Semesta
Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur, rapi, dan serasi. Keteraturan,kerapian dan keserasian alam semesta dapat dilihat pada dua kenyataan.
Pertama, berupa keteraturan, kerapian, dan keserasian dalam hubungan alamiah antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi dan mendukung.
Perhatikan, misalnya, apa yang diberikan matahari untuk kehidupan alam semesta. Selain berfungsi sebagai penerang di waktu siang, matahari juga berfungsi sebagai salah satu sumber energi bagi kehidupan. Dari pancaran dan gerak edarnya yang bekerja menurut ketentuan Allah, manusia dapat menikmati pertukaran musim, perbedaan suhu antara satu wilayah dengan wilayah lain. Semua keteraturan dan ketentuan yang disebabkan sistem kerja matahari itu, pada perkembangannya kemudian membentuk sistem keteraturan dan ketentuan lain yang telah ditetapkan oleh Allah. Ingatlah, misalnya, iklim suatu daerah yang berpengaruh pada keanekaan potensi alam, jenis flora dan fauna yang tumbuh dan ada di daerah itu.
Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada malaikat untuk menjaga dan melaksanakannya. Kedua hal itulah yang kemudian membuat berbagai keserasian, kerapian dan keteraturan yang kita yakini sebagai Sunnatullah yakni ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Melalui Sunnatullah inilah, bumi dan alam semesta dapat bekerja secara sistemik (menurut suatu cara yang teratur rapi) dan berkesinambungan, tidak berubah- ubah, tetap saling berhubungan, berketergantungan dan sekaligus secara dinamis saling melengkapi. Perhatikanlah, misalnya, bagaimana matahari bekerja menurut ketentuan Allah. Sejak diciptakan sampai akhir zaman, insya Allah, matahari tetap berada pada titik pusat tata surya yang berputar mengelilingi sumbunya. Dalam
proses itu, menurut penelitian para ahli, gerak matahari selalu ketinggalan 3 menit 56 detik dari bintang-bintang yang ada di tata surya. Karena keterlambatan itu, dalam waktu 365 hari (jumlah hari dalam satu tahun) matahari sudah melintasi sebuah lingkaran besar penuh di langit.
Setiap waktu, secara teratur dan tetap matahari menyiramkan energinya kepada alam semesta, tanpa bergeser dari posisi yang ditetapkan Allah baginya. Bumi, sebagai bagian alam semesta, menyerap sinar matahari yang turun secara tetap, tidak berubah- ubah. Menurut para ahli, sebesar seperdua milyar bagian dari seluruh pancaran matahari yang meluncur ke bumi.
Dari satu bagian tata surya saja dapat dilihat kenyataan, begitu luar biasanya keteraturan, kerapian, keserasian, dan keseimbangan yang ada pada ciptaan Allah.
Tanpa ketepatan (presisi) yang sangat cermat (akurat), mustahil bumi, sebagai bagian tata surya, dapat mendukung kehidupan dengan keseimbangan yang serasi. Sistem kerja seperti inilah secara faktual membuat para ahli ilmu falak dapat meramalkan berbagai peristiwa alam seperti gerhana matahari dan bulan, pergantian musim, curah hujan, prakiraan cuaca, dan sebagainya yang sangat bertautan dengan ketentuan-ketentuan yang telah menjadi hukum dalam sistem alam semesta Dalam lingkup yang lain, bisa pula dilihat bagaimana Sunnatullah (ketetapan atau ketentuan-ketentuan Allah) berlaku pada benda atau makhluk lain yang, sepintas lalu, dianggap tidak berguna, namun ternyata bermanfaat dan mempengaruhi benda atau makhluk lain. Lihatlah, bagaimana tumbuh- tumbuhan yang membusuk atau kotoran hewan yang memiliki Sunnatullah pada dirinya berguna sebagai pupuk untuk menumbuhsuburkan tanaman.
Demikianlah kekuasaan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya yang menyebabkan masing-masing bagian alam ini berada dalam ketentuan yang teratur rapi, hidup dalam suatu sistem hubungan sebab akibat. Sampai ke benda yang sekecil apa pun, ketentuan Allah ada dan berlaku, baik secara mikrokosmetik (berlaku terbatas pada zat benda kecil itu) maupun dalam skala makrokosmetik (sistem yang menyeluruh) suatu benda atau zat membentuk Sunnatullah baru melalui jalinan hubungan yang dibentuknya.
Sunnatullah atau hukum Allah yang menyebabkan alam semesta selaras, serasi dan seimbang dipatuhi sepenuhnya oleh partikel atau zarrah yang menjadi unsur alam semesta itu. Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang disinggung dalam al-Quran yang dapat ditemukan oleh ahli ilmu pengetahuan dalam penelitian. Ketiga sifat itu adalah (1) pasti, (2) tetap dan (3) objektif.
1. Sunnahtullah yang pertama, pasti atau tentu disebut pada ujung ayat 2 Al- Qur’an surat 25 (Al-Furqan) yang berbunyi sebagai berikut, “Dia telah menciptakan sesuatu, dan Dia (pula yang) memastikan (menentukan) ukurannya dengan sangat rapi.” Di penghujung ayat 3 surat 65 (at-Talaq) Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu".
Sifat Sunnatullah yang pasti, tentu itu menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana. Seseorang yang memanfaatkan Sunnatullah dalam merencanakan satu pekerjaan besar, tidak perlu ragu akan ketepatan perhitungannya. Karena, kalau dia bekerja menurut Sunnatullah, Allah menjamin kebenaran perhitungannya. Dan, setiap orang yang mengikuti dengan cermat ketentuan-ketentuan yang sudah pasti itu, bisa melihat hasil pekerjaan yang dilakukannya. Karena itu pula, keberhasilan suatu pekerjaan (usaha atau amal) dapat diperkirakan lebih dahulu. Jika dalam pelaksanaan suatu rencana atau pekerjaan ternyata orang itu kurang atau tidak berhasil, dapat dipastikan perhitungannyalah yang salah bukan kepastian atau ketentuan yang terdapat dalam Sunnatullah. Manusia yang salah membuat suatu perhitungan atau perencanaan dengan mudah dapat menelusuri kesalahan perhitungan dalam perencanaannya.
2. Kenyataan tersebut di atas didukung oleh sifat Sunnatullah kedua yaitu tetap, tidak berubah-ubah. Sifat ini terdapat dalam bagian ayat 115 surat al-An'am (6) yang terjemahannya sebagai berikut,..."Tidak ada yang sanggup mengubah kalimat-kalimat Allah". Dalam bagian ayat 77 surat al-Isra' (17) Allah menyatakan sebagai berikut “Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah Kami...." Sifat itu selalu terbukti dalam praktik, sehingga seorang perencana dapat menghindarkan kerugian yang mungkin terjadi kalau suatu rencana dilaksanakan. Dengan sifat Sunnatullah yang tidak berubah- ubah itu, seorang ilmuwan dapat memperkirakan gejala alam yang akan terjadi dan memanfaatkan gejala alam itu. Seorang ilmuwan, karena itu, dengan mudah memahami gejala alam yang satu dikaitkan dengan gejala alam lain yang senantiasa mempunyai hubungan yang konsisten (taat asas).
3. Sifat Sunnatullah yang ketiga adalah objektif. Sifat ini tergambar pada firman Allah SWT dalam bagian ayat 105 surat al-Anbiya (21). Disebutkan
”bahwasanya dunia ini akan diwarisi oleh hamba hamba-Ku yang saleh”. Saleh
artinya baik atau benar. Orang yang baik dan benar adalah orang yang bekerja menurut Sunnatullah yang menjadi ukuran kebaikan dan kebenaran itu. Orang yang berkarya sesuai atau menuruti Sunnatullah adalah orang yang saleh atau orang yang baik dan benar. Kebenaran yang terdapat dalam Sunnatullah adalah kebenaran objektif, berlaku bagi siapa saja di mana saja. Barangsiapa yang mengikuti atau mematuhi Sunnatullah apa pun pertimbangannya akan mendapat kejayaan dalam hidup dan usahanya di dunia ini. Sebaliknya akan terjadi kalau orang melanggar atau tidak mengikuti Sunnatullah.Ia pasti tidak akan berhasil.
Demikianlah alam semesta diciptakan Allah dengan hukum-hukum yang berlaku baginya yang (kemudian) diserahkan-Nya kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan. Pengelolaan dan pemanfaatan alam semesta beserta semua isinya dipercayakan Allah kepada manusia yang merupakan bagian alam semesta itu sendiri.
Manusia yang diberi "wewenang" mengelola dan memanfaatkan alam semesta diberi kedudukan "istimewa" sebagai khalifah. Khalifah arti harfiahnya adalah pengganti atau wakil. Menurut ajaran Islam, manusia, selain sebagai abdi diberi kedudukan sebagai khalifah mengelola dan memanfaatkan alam semesta terutama 'mengurus' bumi ini.
Agar dapat menjalankan kedudukannya itu, manusia diberi bekal berupa potensi di antaranya adalah akal yang melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta mengurus bumi ini. Ketika Adam sebagai manusia diangkat menjadi khalifah di bumi, Allah mengajarkan kepadanya ilmu pengetahuan tentang "nama-nama (benda)." Dalam bagian pertama ayat 31 surat al-Baqarah (2) Allah menyatakan, “Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya ...."
Pengetahuan yang diajarkan Allah kepada Adam ini merupakan keunggulan komparatif manusia dari makhluk- makhluk lainnya.
Dengan akal dan ilmu yang dikuasainya manusia akan mampu menjalankan kedudukannya sebagai khalifah mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta mengurus bumi ini untuk kepentingan hidup dan kehidupan manusia serta makhluk lain di lingkungannya. Dan, untuk pelaksanaan kedudukannya itu, manusia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Manusia akan ditanya apakah dalam menjalankan 'amanat' yang dipercayakan kepadanya itu, ia mengikuti dan mematuhi pola dan garis- garis besar kebijaksanaan yang diberikan kepadanya melalui para nabi dan rasul yang termuat dalam ajaran Islam. Renungan
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya
Hubungan Manusia dengan Agama
Dalam masyarakat sederhana banyak peristiwa yang terjadi dan berlangsung di sekitar manusia dan di dalam diri manusia, tetapi tidak dipahami oleh mereka. Yang tidak dipahami itu dimasukkan ke dalam kategori gaib. Karena banyak hal atau peristiwa gaib ini menurut pendapat mereka, mereka merasakan hidup dan kehidupan penuh dengan keghaiban. Menghadapi peristiwa gaib ini mereka merasa lemah tidak berdaya. Untuk menguatkan diri, mereka mencari perlindungan pada kekuatan yang menurut anggapan mereka menguasai alam gaib yaitu Dewa atau Tuhan. Karena itu hubungan mereka dengan para Dewa atau Tuhan menjadi akrab. Keakraban hubungan dengan Dewa-Dewa atau Tuhan itu terjalin dalam berbagai segi kehidupan: sosial, ekonomi, kesenian dan sebagainya.
Kepercayaan dan sistem hubungan manusia dengan para Dewa atau Tuhan itu membentuk agama. Manusia, Karen itu, dalam masyarakat sederhana mempunyai hubungan erat dengan agama. Gambaran ini berlaku di seluruh dunia. Dalam masyarakat modern yaitu masyarakat yang telah maju, masyarakat yang telah memahami peristiwa- peristiwa alam dan dirinya melalui ilmu pengetahuan, ketergantungan kepada kekuatan yang dianggap menguasai alam gaib dalam masyarakat sederhana, menjadi berkurang bahkan di beberapa bagian dunia menjadi bilang, Perkembangan pemikiran manusia terhadap diri dan alam sekitarnya menjadi berubah.
Timbullah berbagai teori mengenai hubungan manusia dengan diri dan alam sekitarnya. Salah satu teori (pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa) yang banyak mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan sosial, adalah teori August Comte yang terdapat dalam bukunya yang masyhur: Course de la Philosophie Positive(1842).
Dalam buku yang terdiri dari enam jilid itu, August Comte menyebut tiga tahap perkembangan pemikiran manusia de lois des trois etat (terjemahan bebasnya, lebih
kurang tiga hukum perkembangan). Menurut August Comte dalam bukunya itu, sepanjang sejarah, sejak dahulu sampai sekarang, pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap, yaitu (a) tahap teologik, (b) tahap metafisik dan (c) tahap positif. Kerangka berpikir ini melahirkan filsafat positivisme di abad XIX, yang seperti telah disebut di atas, mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora (ilmu pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam pengertian membuat manusia lebih berbudaya, dengan teologi, filsafat, hukum, sejarah, bahasa, kesusasteraan, dan kesenian) di seluruh dunia, terutama social sciences. Menurut Comte, yang gaung pemikirannya sangat bergema dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, perkembangan pemikiran manusia selalu berangkat dari tahap yang paling rendah ke tahap yang paling tinggi atau kompleks.
Menurut dia, tahap pemikiran yang paling rendah ialah (a) tahap pemikiran teologik yaitu tahap pemikiran manusia yang percaya kepada Tuhan, percaya pada ajaran agama. Menurut Comte, dalam pemikiran teologik ini manusia belum tahu tentang sebab musabab kejadian di alam ini, tidak tahu mengenai hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Karena itu ia selalu hidup dalam ketakutan terhadap, misalnya, bencana alam seperti banjir, gunung meletus dan sebagainya. Untuk menghindari ketakutan itu, manusia lalu melindungkan dirinya pada Tuhan atau Dewa, menyerahkan dirinya pada Yang Maha Kuasa. Tahap ini adalah tahap yang paling bawah dalam tingkat pemikiran manusia. Oleh karena itu, katanya lebih lanjut, bila pemikiran manusia berkembang, karena pertambahan pengalaman dan pengetahuan, manusia akan meninggalkan tahap teologik atau tahap percaya pada ajaran agama dan pada Tuhan yang melindunginya, pindah ke tahap yang lebih tinggi yaitu (b) tahap metafisik (tahap percaya pada kekuatan atau hal-hal nonfisik, yang tidak kelihatan). Untuk keselamatan dirinya, dalam tahap ini manusia berusaha menjinakkan kekuatan-kekuatan nonfisik itu dengan saji-sajian. Dan apabila pengalaman serta pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang lebih lanjut, tahap pemikirannyapun meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi.
Pada tingkat atau tahapan ini seperti di zaman modern sekarang, manusia telah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang alam dan dirinya sendiri. Manusia telah mengetahui hukum-hukum alam, telah mampu memanfaatkan bahkan 'menundukkan alam untuk kepentingan manusia. Dari ajaran ini, lahirlah filsafat positivisme (aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti) seperti telah disebut di atas, yang mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi zaman sekarang.
Sejarah ummat manusia di Barat menunjukkan kepada kita bahwa dengan mengenyampingkan agama dan menempatkan ilmu dan akal manusia semata-mata sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai segala-galanya (anthropocentrisme yaitu paham yang menjadikan manusia menjadi pusat), telah menyebabkan berbagai krisis dan malapetaka. Dan karena pengalaman itu, kini perhatian manusia di bagian dunia itu dan di seluruh dunia kembali kepada agama. Ini disebabkan karena beberapa hal. Di antaranya adalah karena (1) para ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali berpaling pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) karena harapan manusia kepada otak manusia untuk memecahkan segala masalah yang dihadapinya pada abad-abad yang lalu, ternyata tidak terwujud.
Beberapa paham (isme-isme) atau aliran filsafat yang dilahirkan oleh otak manusia di abad yang lampau, seperti teori Comte di atas, perkembangan sains dan teknologi di abad ini, ternyata tidak mampu memecahkan berbagai masalah asasi manusia dan kemanusiaan. Akibatnya, orang menjadi ragu atau tidak sepenuhnya lagi percaya kepada kemampuan manusia untuk membentuk kehidupan yang bahagia tanpa agama. Memang, sains dan teknologi telah memudahkan dan menyenangkan kehidupan manusia, namun bersamaan dengan itu teknologi itu sendiri telah mengancam kehidupan manusia yang membuatnya. Dengan sains dan teknologi, memang kehidupan manusia menjadi senang, tetapi perkembangan sains dan teknologi, terutama teknologi perang, menyebabkan kehidupan manusia, seluruhnya, menjadi tidak tenang.
Perang dunia pertama dan kedua yang terjadi di abad ini telah membuktikan bahwa teknologi (perang) yang amat maju dengan mudah memusnahkan kehidupan manusia dan kemanusiaan. Untuk mengendalikan teknologi yang maju itulah, kini manusia memerlukan kembali, lebih dari di masa yang lampau, pedoman dan pegangan hidup yang sejati, yaitu agama yang mampu mengendalikan dan mengarahkan penggunaan teknologi untuk kepentingan ummat manusia secara keseluruhan. Dengan panduan agama, terutama agama yang berasal dari Allah subhanahu wata'ala, teknologi dapat dikembangkan dan diarahkan untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi kehidupan, membawa keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa agama, sangat perlu bagi manusia terutama bagi orang yang berilmu, apa pun disiplin ilmunya. Sebabnya, karena dengan agama ilmunya akan lebih bermakna. Bagi kita ummat Islam, agama yang dimaksud adalah agama yang kita peluk yaitu agama Islam.
Kenapa Islam? Sebabnya, karena agama Islam adalah agama akhir yang tetap mutakhir, agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan memahami ayat-ayat qur'aniyah yang terdapat di dalam al-Quran, yang menurut penelitian Dr. Maurice Bucaille (1976) (seperti telah disebut di muka), mengandung pernyataan ilmiah yang sangat modern.
Agama Islam adalah agama keseimbangan dunia akhirat, agama yang mempertentangkan iman dan ilmu, bahkan, menurut sunnah Rasulullah, agama yang mewajibkan manusia, baik pria maupun wanita, menuntut ilmu pengetahuan mulai dari buaian sampai ke liang lahat: minalmahdi ilal lahdi, yang kemudian dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan life long education, dan diterjemahkan ke dalam bahasa kita dengan pendidikan seumur hidup, menuntut ilmu selama hayat dikandung badan. Simpul kata, dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna. Dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia. Karena itu pula, dalam masyarakat moderen pun agama tetap diperlukan manusia, bahkan di tanah air kita ilmu pengetahuan dan teknologi (akan) dipadukan menjadi satu dengan agama.
Di kalangan cendekiawan muslim Indonesia ada pemikiran untuk memadukan ilmu dengan agama, mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan agama agar ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, terutama pada abad XXI yang akan datang. Ini juga menjadi kehendak bangsa Indonesia.
Di kalangan ilmuwan Islam pun penyatuan agama dan ilmu itu telah menjadi cita- cita. Dengan mengikuti tradisi yang dikembangkan oleh Ghazali dengan ilmu fardu ‘ain, yaitu ilmu yang wajib dituntut, diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim dan muslimat dan ilmu fardu kifayah yaitu ilmu yang kalau sudah dituntut orang lain tidak diwajibkan yang lain menuntutnya pula, Ibnu Khaldun dengan ladunnî atau ilmu yang diperoleh dari Allah tanpa usaha manusia dan insani yaitu ilmu hasil penalaran manusia.
Ilmu pengetahuan dibagi dua. Pembagian ilmu ke dalam dua kelompok ini dipertegas oleh Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977 dengan nama (1) revealed knowledge, yaitu ilmu pengetahuan yang diwahyukan, dan (2) acquired knowledge, yaitu ilmu pengetahuan penalaran manusia. Di kurikulum Universitas Islam Antar Bangsa Kuala Lumpur, ilmu yang terdapat di dalam al-Quran (revealed knowledge)
(acquired knowledge) disebut ilmu insani (ilmu manusia), Di dalam kepustakaan Islam ilmu jenis pertama disebut ilmu yang bersumber dari wahyu, sedang ilmu jenis kedua disebut ilmu yang bersumber dari ra'yu. Kedua macam ilmu pengetahuan ini perlu dibedakan tetapi tidak boleh dipisahkan, seperti tradisi ilmu yang berasal dari Barat (semata-mata insani) yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi, juga di perguruan tinggi di tanah air kita. Dalam kebangkitan Islam dan untuk kejayaan ummat Islam di masa yang akan datang, kedua ilmu itu seyogyanya dipergunakan. Ilmu Ilahi atau ilmu yang datang dari Allah yang terdapat dalam ajaran agama menjadi dasar atau titik tolak pengembangan ilmu insani atau ilmu yang dikembangkan oleh penalaran manusia. Ilmu insani tidak boleh bertentangan dengan ilmu Ilahi. (Muhammad Daud Ali, 2018: 40-48) Doktrin Kepercayaan Agama Islam
Doktrin merupakan ajaran tentang asas-asas suatu aliran politik, keagamaan, pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan, keagamaan, pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan. Istilah Doktrin berkaitan dengan suatu kebenaran dan ajaran. Keduanya tidak dapat dipisahkan sebab menegaskan tentang kebenaran melalui ajaran, sedangkan yang diajarkan biasanya dengan kebenaran. Dengan demikian, doktrin berisi tentang ajaran kebenaran yang sudah tentu memiliki "balutan" filosofis. Doktrin banyak ditemukan dalam banyak agama seperti Kristen dan Islam, di mana doktrin dianggap sebagai prinsip utama yang harus dijunjung oleh semua umat agama tersebut. Dalam konteks doktrin, agama selalu menjadi akidah, yakni sebagai suatu kepercnyaan kepada Tuhan, suatu ikatan, kesadaran, dan penyembuhan secara spiritual kepada-Nya. Sebagai suatu akidah, agama memiliki prinsip-prinsip kebenaran yang dituangkan dalam bentuk doktrin.
a. Iman Kepada Allah
Kalimat tauhid yang berlafal lailaha illa Allah atau sering disebut kalimat Thoyyibah adalah suatu pernyataan pengakuan terhadap keberadaan Allah yang Maha Esa, tiada tuhan selain Din (Allah). Ia merupakan bagian lafaz dari syahadatain yang harus diucapkan ketika akan masuk Islam yang merupakan refleksi dari tauhid Allah yang menjadi inti ajaran Islam.
1. Argumen Keberadaan Allah
Pengakuan terhadap keberadaan Allah berarti menolak keberadaan tuhan- tuhan lainnya yang dianut oleh para pengikut agama lain. Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan tuhan.
Pertama, paham yang menyatakan bahwa alam semesta ini ada dari yang tidak ada, ia terjadi dengan sendirinya. Kedua, paham yang menyatakan bahwa alam
semesta ini berasal dari sel yang merupakan inti. Ketiga, paham yang mengatakan bahwa alam semesta itu ada yang menciptakan
2. Kemustahilan Menemukan zat Allah
Akal yang merupakan ciri keistimewaan manusia, sekaligus sebagai pembeda antara manusia dan makhluk lainnya, belum bisa digunakan untuk mengetahui persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh akal yaitu menemukan zat Allah, karena pada hakikatnya manusia berada dalam dimensi yang berbeda dengan Allah.
b. Iman kepada Malaikat, Kitab dan Rasul Allah
1) Malaikat Allah merupakan makhluk tuhan yang diciptakan dari nur cahaya, ia adalah makhluk langit yang mengabdi kepada Allah dengan bermacam-macam tugas yang diembannya, jumlahnya sangatlah banyak, namun yang harus kita imani hanyalah 10 (nama) malaikat beserta tugas- tugasnya.
2) Kitab-Kitab Allah, iman kepada kitab Allah adalah wajib dan itu merupakan konsekuensi logis dari pembenaran terhadap adanya Allah, oleh karena itu tidak sepantasnya seorang mukmin mengingkari kitab-kitab Allah yaitu Alquran, Injil, Taurat, dan Zabur.
3) Rasul-Rasul Allah, doktrin Islam mengajarkan agar setiap muslim beriman kepada rasul yang diutus oleh Allah tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya. Rasul sebagai utusan Allah di muka bumi untuk innama bu istu li utammima makarimal akhlak. yaitu sesungguh Rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak seluruh manusia, sebagai penegak agama Allah mencegah kemungkaran berbuat kebenaran dan menebarkan kebaikan. ( Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, 1999: 190)
Kisah Inspiratif
KISAH SEORANG LAKI-LAKI DI DALAM GUA
Muhammad bin Abi Abdillah Al-Khuza'i bercerita kepada kami, bahwa ada seorang laki-laki dari Syam pernah bercerita kepadanya; Suatu hari, saya masuk ke dalam gua di sebuah gunung yang terletak di sebelah jalan. Di dalam gua, saya mendapati seorang laki-laki tua sedang tertelungkup sujud. Dia berkata, "Jika Engkau membuat saya bersusah payah dalam waktu lama di dunia ini dan memperpanjang kesengsaraan saya di akhirat kelak, maka berarti Engkau telah mengabaikan saya dan menghinakan saya di mata-Mu, wahai Yang Maha Pemurah."
Kemudian, saya menyapanya dengan mengucapkan salam. Lantas, dia mengangkat kepalanya. Ternyata, air matanya telah membasahi tanah di mana dia sedang bersujud.
"Bukankah dunia ini luas dan penduduknya adalah manusia yang tidak asing buat kalian?!” kata orang itu kepadaku, karena merasa terganggu dengan kehadiranku.
"Semoga Allah merahmatimu. Engkau menghindar dari manusia dan mengasingkan diri di tempat ini?" Kataku kepadanya ketika melihat bahwa dia adalah sosok yang arif dan bijaksana.
"Engkau, wahai saudaraku, apa pun yang engkau yakini bisa membuat engkau lebih dekat kepada Allah, maka carilah jalan untuk melakukannya, karena tidak ada hal lain yang bisa menggantikannya," katanya kepadaku.
"Dari mana engkau mendapatkan makanan?” Tanyaku kepadanya.
"Jika sedang butuh makanan dan menginginkannya, maka saya makan tumbuh-tumbuhan dan bagian dalam pohon yang lunak” jawabnya.
"Maukah engkau saya bawa pergi dari tempat ini ke daerah kampung di mana tanahnya subur?" Kataku kepadanya.
Lalu, dia menangis, kemudian berkata, "Kampung dan tanah yang subur adalah tempat di mana ketaatan kepada Allah dijalankan. Saya sudah lanjut usia dan
Daftar Pustaka
Abd. Rozak dan Ja’far, 2019, Studi Islam di Tengah Masyarakat (Islam Rahmatan lil
‘Alamin), Tangerang: Yasmi
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi,1985, Aqidah Mukmin, Cet.1, (Madinah: Maktabah Al-Ulum wal Hikam, 1995) dalam Harun Nasution, Islam dalam Berbagai Aspeknya, Jakarta Abudin Nata, 2009, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok,1999, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Djamaludin Ancok dan Fuad Nasrhori Suroso, 1994, Psikologi Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Fadlan Kamali Batubara, 2019, Metodologi Studi Islam, CV Budi Utama: Yogyakarta, Ibnu Ibnul Jauzi, 2017, 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar
Muhammad Daud Ali, 2018, Pendidikan Agama Islam,Cet-15, Depok: Rajawali Pers