• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM PENGEMBALIAN SPDP OLEH PENUNTUT UMUM

N/A
N/A
Bayu N Dinata

Academic year: 2024

Membagikan "AKIBAT HUKUM PENGEMBALIAN SPDP OLEH PENUNTUT UMUM"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

AKIBAT HUKUM PENGEMBALIAN SPDP OLEH PENUNTUT UMUM A. Faktor Penyebab Dikembalikannya SPDP Oleh Penuntut Umum

Pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik kepada penuntut umum akan ditindaklanjuti oleh penuntut umum dengan menunjuk seorang jaksa peneliti yang di dalam literature disebut dengan the screening prosecutor yang bertugas untuk mengikuti jalannya penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik.

Setelah hasil penyidikan dianggap lengkap oleh penuntut umum, barulah penuntut umum akan memulai tahapan selanjutnya yang dimulai dengan menerima tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dari penyidik, dilanjutkan dengan menyusun surat dakwaan, dan kemudian menentukan apakah perkara tersebut sudah memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan. Rangkaian proses tersebut secara sederhana terlihat tidak mengandung permasalahan apapun. Namun, bila dicermati lagi secara lebih mendalam, maka akan ditemukan suatu permasalahan struktural. Akan ditemukan suatu permasalahan struktural yang disebabkan dari kelemahan desain sistem peradilan pidana Indonesia yang diejawantahkan dalam norma- norma dalam KUHAP yang belum maksimal dan efektif untuk mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana.

Terbentuknya sistem yang ada saat ini atau yang lebih khusus mengenai pola koordinasi Penyidik dan penuntut umum dalam KUHAP, tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan KUHAP sendiri. KUHAP menginisiasi konsep diferensiasi fungsional dari organ-organ yang ada dalam sistem peradilan pidana. Penyidik bertugas melakukan penyidikan, penuntut umum melakukan penuntutan, pengadilan memeriksa dan mengadili perkara, dan lembaga pemasyarakatan bertugas menjalankan proses pemidanaan.

(2)

Pembidangan tegas ini yang dapat dikatakan juga sebagai pengkotak-kotakan.

Pengkotak-kotakan fungsi penyidikan dan penuntutan dirasa dapat berakibat pada ketidaksinambungan proses peradilan terhadap suatu perkara dan akan menimbulkan akibat negatif terhadap seorang tersangka dan terlanggarnya hak asasi seorang pencari keadilan karena ada potensi penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaannya. Sistem acara pidana secara global terdiri dari dua tahap. Tahap pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan sidang tahap penyidikan dan penuntutan adalah bagian dari pemeriksaan pendahuluan, penyidikan dan penuntutan dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan.1

Pengiriman SPDP adalah pemberitahuan formal kepada Jaksa Penuntut Umum bahwa Penyidik telah melaksanakan tindakan penyidikan terhadap sebuah dugaan perbuatan pidana. Pada saat yang sama Jaksa Penuntut Umum mulai melakukan kegiatan Pra penuntutan, dengan menunjuk jaksa peneliti untuk mengikuti perkembangan kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik.

Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan kemudian Penyidik membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dan dikirimkan kepada Penuntut Umum, Pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan. Pimpinan dalam lingkup kejaksaan menunjuk Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan Penyidikan. Hal tersebut secara eksplisit pada Pasal 8 Peraturan Jaksa Agung Republik indonesia Nomor: PER-036/A/JA/09/2011.

Penuntut Umum yang ditunjuk untuk mengikuti perkembangan penanganan perkara bertugas diantaranya melaksanakan penelitian berkas perkara sesuai dengan Hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan yang terkait, menentukan sikap apakah berkas

1 Andi Hamza, Keterangan Ahli dalam persidangan Mahkama Konstitusi untuk perkara Nomor 130/PUU- XIII/2015, Mahkama Konstitusi.

(3)

yang diteliti merupakan perkara pidana atau bukan, dan menentukan sikap tentang kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

Pengaturan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya SPDP, Penyidik belum menyampaikan hasil Penyidikan, Penuntut Umum meminta perkembangan hasil Penyidikan kepada Penyidik.

Setelah 30 (tiga puluh) hari sejak meminta perkembangan hasil penyidikan kepada Penyidik belum ditindaklanjuti dengan penyerahan berkas tahap I, maka SPDP dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik.

Dalam praktek penyidikan, secara empirik ditemukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan SPDP dikembalikan karena Penyidik tidak mengirimkan berkas perkara (tahap I) sesuai waktu yang ditentukan selama 90 (sembilan puluh) hari adalah2 :

a. Belum ditemukannya tersangka.

Suatu perkara dapat ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan setelah penyidik teryakini bahwa telah ditemukan perbuatan pidana lewat hasil penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik, pada bagian ini tidak jarang ditemukan bahwa benar telah terjadi dugaan tindak pidana namun tersangka atau pihak yang dapat diminta pertanggung jawaban pidana belum ditemukan, dan juga tidak jarang dalam fase penyidikan pun lewat alat bukti yang diperoleh penyidik belum bisa menemukan tersangka. Kondisi ini adalah contoh dari salah satu penyebab kenapa penyidikan bisa lebih dari 90 (sembilan puluh) hari.

b. Para saksi dan terlapor/tersangka berdomisili diluar daerah.

Alasan lain yang juga membuat masa penyidikan menjadi lama ialah terkait domisili saksi dan tersangka diluar daerah. Hal ini makin diperparah dengan sikap

2 Hasil wawancara penyidik subdit I Dit Reskrimum Polda Maluku, pada tanggal 1 Maret 2023.

(4)

tidak kooperatif dari para saksi dan tersangka, yang membuat pemanggilan harus lebih dari satu kali dan apabila tidak kooperatif harus ditempuh cara perintah membawa atau penangkapan. Kondisi ini membutuhkan waktu dan tidak jarang waktu yang dibutuhkan melebihi 90 (Sembilan puluh) hari.

c. Tersangka sakit dan tidak dapat memberikan keterangan (dibuktikan dengan keterangan dokter).

Satu fenomena yang dialami oleh penyidik dalam pengalaman empirik menjalani proses penyidikan dimana tersangka dalam keadaan sakit keras dan ada keterangan dokternya. Dalam penanganan tidak umum dengan acara pemeriksaan biasa, tidak ada landasan yuridis untuk dilakukan pemeriksaan in absentia, sehingga mengakibatkan waktu penyidikan menjadi lama konsekuensinya SPDP dapat dikembalikan.

d. Keberadaan tersangka tidak diketahui (DPO).

Kendala yang jamak ditemui oleh penyidik ialah tersangka tidak kooperatif, melarikan diri sehingga penyidik harus menerbitkan DPO. Kondisi ini adalah salah satu faktor proses penyidikan menjadi lama.

B. Akibat Hukum Pengembalian SPDP Oleh Penuntut Umum

Konsekuensi dari diperjelasnya pengaturan mekanisme pengiriman dan pengembalian SPDP maka ditemukan sebuah celah hukum yang dapat membuat legalitas tindakan penyidik dapat dipersoalkan. Momen yang menjadi celah hukum dimaksud ialah ketika penyidik tengah melakukan penyidikan dimana waktu penyidikannya telah melewati 90 hari dan Jaksa penuntut umum mengembalikan SPDPnya. Sebagian kalangan menginterpretasi sebagai suatu kondisi dimana penyidik juga kehilangan legalitas untuk

(5)

menyidik perkara tersebut dikarenakan jaksa sudah tidak lagi melakukan kegiatan pra penuntutan terhadap perkara tersebut. Sehingga perkara tersebut harus dihentikan penyidikannya.

Pengembalian SPDP dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu yang mengedepankan diferensiasi fungsional, memberi gambaran akan disharmoni bekerjanya sistem peradilan pidana dalam hal ini sub sistem penyidikan dan penuntutan. Pengembalian SPDP menunjukan mekanisme koordinasi antara sub sistem tidak berjalan dengan baik.

Pada hakekatnya keterpaduan kerja antara sub sistem mestinya mampu meminimalisasi terjadinya dispute dalam proses penegakan hukum pidana.

Pengembalian SPDP dari Jaksa Penuntut Umum kepada Penyidik karena telah melewati tenggak waktu 90 hari sebagaimana diatur dalam Pedoman Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dengan konsekuensi penghentian penyidikan. Dalam implementasinya terdapat kontradiksi. Kontradiksi dimaksud adalah ketika SPDP dikembalikan maka perkara tersebut harus dihentikan penyidikannya, sementara dalam KUHAP secara eksplisit ditegaskan bahwa pengembalian SPDP bukan merupakan bagian dari alasan penghentian penyidikan. Kontradiksi ini melahirkan akibat hukum yaitu munculnya ketidakpastian hukum yang berujung pada pengujian lewat lembaga pra peradilan.

Konsekuensi hukum munculnya alasan untuk pengujian lewat lembaga pra peradilan sesungguhnya merupakan hal yang lumrah karena merupakan bagian dari kontrol horizontal terhadap proses penyidikan, namun dari perspektif peradilan cepat dan berbiaya ringan ini sungguh tidak sejalan. Karena sesungguhnya sebab ini tidak datang karena

(6)

kekeliruan tindakan atau Abuse of Power tetapi karena disharmoni dalam perumusan regulasi.

Salah satu contohnya pada tahun 2019, Direktorat Reserse Kriminal Umum melakukan penyelidikan dan Penyidikan terhadap laporan polisi yang dilaporkan oleh Amelia Abrahams terkait dengan tindak pidana Penipuan dan Penggelapan, dan berdasarkan hasil penyidikan, Penyidik menetapkan Dessy Winda Yolanda Rupilu sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana Penipuan dan Penggelapan tersebut.

Akibat dari adanya laporan dan penetapan tersangka kepada Dessy Winda Yolanda Rupilu oleh Penyidik, Putusan Perkara Pidana Nomor: 8/Pid.Pra/2019/PN.Amb. Pada tanggal 10 Oktober 2019 melalui kuasa hukumnya, Dessy Winda Yolanda Rupilu mendaftarkan Praperadilan terkait penetapan tersangka ke Pengadilan Negeri Ambon dan berkedudukan sebagai termohon dalam permohonan praperadilan tersebut adalah Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Maluku. adapun yang menjadi keberatan sehingga didaftarkannya Praperadilan tersebut adalah mengenai penetapannya sebagai tersangka yang dinyatakan tidak sah sebagaimana yang disebutkan dalam permohonan praperadilan yang menjadi pokok permasalahan dalam permohonan pemohon adalah “bahwa dengan pengembalian SPDP oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku melalui Surat Nomor: B - 1036/Q.1.4/Eoh.1/06/2019 tertanggal 11 Juni 2019, atas Pemohon maka menurut hukum, belum adanya bukti permulaan yang cukup atau masih terdapat kekurangan alat bukti dalam menentukan tersangka, oleh karena itu tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan dan turut serta melakukan tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 372 KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP dan Pasal 56 KUHP, yang ditetapkan

(7)

oleh termohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat, oleh karena itu harus dibatalkan”.

Dalam sanggahannya Termohon, bahwa berdasarkan ketentuan normatif terkait SPDP, setelah Jaksa Penuntut Umum mengembalikan SPDP dengan Surat Nomor:

B/1036/Q.1.4/Eoh.1/06/2014 tanggal 11 Juni 2019 kepada termohon, maka termohon mengirimkan kembali SPDP dengan merujuk pada SPDP pertama dengan surat Nomor:

SPDP/38.a/VII/2019/Ditkrimum tanggal 24 Juli 2019 dan selanjutnya Penyidik segera merampungkan hasil Penyidikan dan melakukan pengiriman berkas perkara tahap pertama kepada jaksa penuntut umum. Bahwa pengiriman SPDP kembali oleh Jaksa Penuntut Umum ialah merupakan bagian dari mekanisme control terhadap proses Penyidikan yang dilakukan oleh termohon, sehingga pengembalian SPDP oleh Jaksa Penuntut Umum tidak berimplikasi pada penghentian Penyidikan atau menganulir SPDP yang telah dikirimkan kepada Jaksa Penuntut Umum.

Terkait dengan permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon atas nama Dessy Winda Yolanda Rupilu terkait dengan SPDP yang dikembalikan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku yang menurut pemohon dengan pengembalian SPDP tersebut maka penetapan tersangka atas diri pemohon yang dilakukan oleh termohon dikatakan tidak sah. Namun didalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER- 036/A/JA/09/2011 terkait SOP Penanganan Perkara tindak pidana umum pada bagian 4 tentang Jangka Waktu SPDP dan Penelitian Berkas Perkara tidak mengatur mengenai apabila SPDP tidak dikirim kembali kepada Penuntut Umum maka SPDP tersebut dinyatakan tidak sah. Namun dalam Pasal 12 ayat (5) menegaskan bahwa “apabila dalam

(8)

waktu 14 hari, Penyidik belum menyampaikan kembali berkas perkara yang telah dilengkapi sesuai petunjuk penuntut umum, maka Penyidikan tambahan yang dilakukan oleh Penyidik dinyatakan tidak sah, karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP” dan Pasal 12 ayat (6) “dalam hal Penyidik belum menyerahkan tersangka dan barang bukti (tahap II) dalam waktu 30 hari sejak perkara dinyatakan lengkap, Penuntut Umum membuat pemberitahuan susulan bahwa Penyidikan sudah lengkap, dan apabila dalam waktu 30 hari sejak pemberitahuan susulan bahwa Penyidikan sudah lengkap Penyidik belum melakukan Penyidikan tahap II, maka demi kepastian hukum Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Penyidik”.

Selain itu, dalam putusan perkara Nomor: 8/Pid.Pra/2019/PN.Amb, dalam pertimbangan Hakim. Menimbang, bahwa selanjutnya saksi ahli berpendapat Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang berbunyi dalam hal Penyidik telah mulai melakukan Penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, Penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, ini merupakan pintu masuk pengawasan Penuntut Umum terhadap tugas penyelidikan dan Penyidikan. Dan ahli menerapkan bahwa KUHAP juga tidak mengatur berapa kali SPDP boleh diajukan oleh Penyidik, dan juga tidak mengatur tentang pengembalian SPDP oleh Kejaksaan dapat menjadikan seluruh proses penyelidikan dan Penyidikan menjadi tidak sah. Oleh karena itu menurut Hakim Pengadilan Negeri Ambon bahwa pengembalian SPDP oleh Kejaksaan dalam perkara pemohon dapat menjadikan seluruh proses penyelidikan dan Penyidikan oleh termohon menjadi sah, dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sehingga dalam amar putusan, permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon ditolak untuk seluruhnya. Menyatakan tindakan termohon menetapkan pemohon

(9)

sebagai tersangka, dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan/atau 372 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP oleh termohon terhadap diri pemohon adalah sah dan berdasarkan hukum.

Dalam peraturan perundang-undangan hanya mengatur mengenai waktu 30 hari sejak Penyidik mengirim SPDP, Penyidik harus menyampaikan hasil Penyidikan, dan apabila Penuntut Umum selama 30 hari sejak diterimanya SPDP tersebut meminta hasil Penyidikan kepada Penyidik dan Penyidik belum menindaklanjuti dengan penyerahan berkas tahap I, maka Penuntut Umum akan mengembalikan SPDP kepada Penyidik.

Pengembalian SPDP oleh Penuntut Umum kepada Penyidik namun dalam waktu berjalan melebihi waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, maka Penyidik harus menerbitkan SPDP baru dan melengkapi berkas-berkas sesuai dengan petunjuk Penuntut Umum.

Oleh karena dalam peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai batas maksimal Penyidik mengajukan SPDP kepada Penuntut Umum, maka sah penetapan tersangka yang dilakukan terhadap Pemohon Dessy Winda Yolanda Rupilu karena sudah sesuai dengan prosedur dan Penyidik telah membuktikannya dengan mengirim kembali SPDP dengan merujuk pada SPDP pertama dengan surat Nomor:

SPDP/38.a/VII/2019/Ditkrimum.

Selain konsekuensi, yang disebutkan di atas, yaitu potensial akan diuji legalitas tindakan penyidikan lewat mekanisme Pra Peradilan. Konsekuensi lain yang bisa terjadi ialah penyidik dapat dimintakan pertanggungjawaban kode etik profesi akibat dugaan tidak professional dalam melaksanakan tugas penyidikan dan juga merupakan bagian dari catatan kinerja buruk bagi penyidik.

(10)

Dalam fungsi pengawasan terhadap kegiatan penyidikan, secara internal polri memilik system pengawasan yang diawaki oleh beberapa lembaga. Antara lain:

1. Pengawas Penyidikan.

Pengawas penyidikan adalah sub sistem yang merupakan bagian integral dari organ penyidikan itu sendiri. Yang secara internal diemban oleh Badan Reserse Kriminal Polri ditingkat Mabes Polri dan Direktorat Reserse ditingkat Mabes Polri.

Organ ini bertugas untuk memastikan mekanisme penyidikan berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. Tugas utamanya dari Pengawas penyidikan adalah melakukan mitigasi terhadap potensi pelanggaran dalam penyidikan.

2. Propam

Secara struktural Bagian Profesi dan Pengamanan ada disemua jenjang organisasi Polri. Ditingkat Mabes Organnya disebut Devisi Profesi dan Pengamanan, ditingkat Polda disebut Bidang Profesi dan Pengaman ditingkat Polres Disebut Kepada Seksi Profesi dan Pengamanan serta dilevel Polsek disebut Kanit Provos.

Bagian Profesi dan Pengamanan ini bertugas melakukan pengawasan terhadap tidakan petugas kepolisian secara umum untuk memastikan semua tindakan anggota polri tidak bertentangan dengan code of conduct yang telah disepakati secara internal yaitu Kode Etik Profesi Polri.

3. Inspektorat Pengawasan.

Layaknya inspektorat pada umumnya, tugas inspektorat di institusi Polri pun bertugas memastikan pelaksanaan program dan kegiatan operasional berjalan secara efektif dan efisien.

(11)

Selain Lembaga pengawasan internal tersebut di atas, dari sisi eksternal juga terdapat Lembaga pengawasan antara lain. Kompolnas, Ombudsmen, Komnas HAM, Komnas perlindungan anak, Komnas Perempuan dan juga kantor staf kepresidenan yang juga beberapa kali melakukan pengawasan dalam bentuk permintaan keterangan terkait progress penanganan perkara pidana.

Hadirnya banyak lembaga pengawasan seperti disebutkan di atas, dampak positifnya adalah makin tertutupnya cela untuk perilaku negative yang subjektif dari penyidik dapat dilakukan. Sudah barang tentu hal tersebut terjadi karena dibatasi oleh sistem dan bekerjanya lembaga-lembaga pengawasan tersebut di atas. Namun dampak negatifnya yaitu Lembaga-lembaga tersebut akan dengan mudah memberi penilaian buruk atau memberi statement unprofessional terhadap kinerja polri terkait dengan pengembalian SPDP. Hal ini disebabkan oleh regulasi yang dikeluarkan yang mewajibkan 90 hari sejak diterimanya SPDP oleh Jaksa Penuntut Umum berkas perkara sudah harus diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan regulasi tersebut maka secara normatif penyidik akan disebut unprofessional apabilah perkaranya dikembalikan.

Regulasi yang dimaksud di atas adalah Pedoman Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung, yang implementasinya berhubungan erat dengan kewenangan penyidikan. Memang disadari sungguh bahwa hal ini merupakan konsekuensi dari sistem peradilan pidana terpadu, dimana aktifitas dari satu sub sistem akan berdampak pada sub sistem yang lain. Namun yang hendak disoroti disini ialah aspek harmonisasi dari perumusan regulasi. Diharapkan untuk mewujudkan sistem peradilan yang terpadu maka diharapkan dirumuskan pula

(12)

mekanisme pembentukan regulasi yang oleh masing-masing sub sistem yang harmonis dan memastikan terjadinya keterpaduan sistem.

Perumusan regulasi terkait pengembalian SPDP, yang sudah barang tentu membawa konsekuensi hukum, maka diharapkan juga memperhatikan dinamika dan problematika yang konkrit dihadapi oleh penyidik, sehingga regulasi tersebut tidak hanya dapat dilaksanakan tetapi juga tidak memunculkan konsekuensi hukum terhadap sub sistem yang lain.

Pada bagian ini, yang menjadi critical point adalah bukan tidak setuju terkait penentuan batas waktu penyidikan, namun pembatasan yang rasional.

C. Upaya Mengatasi Pengembalian SPDP Oleh Penuntut Umum

Dalam Pedoman Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum menegaskan bahwa Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan Penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya Penyidikan dari Penyidik, untuk memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh Penyidik agar dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

Definisi dari prapenuntutan itu sendiri adalah suatu tindakan jaksa untuk memantau perkembangan Penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh Penyidik mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari Penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi Penyidik untuk dapat

(13)

menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.3

Substansi dari memberikan petunjuk untuk menyempurnakan Penyidikan pada hakikatnya merupakan bagian dari penyidikan lanjutan, dan adanya pra penuntutan menegaskan bahwa penyidikan dan penuntutan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.4

Terhadap beberapa faktor penyebab lamanya waktu penyidikan yang telah diungkapkan pada sub bab sebelum, penulis dengan mempelajari berbagai regulasi yang mengatur terkait penyidikan, SPDP dan kegiatan Prapenuntutan serta beberapa literatur yang dapat diakses penulis. Penulis mencoba merekomendasikan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai langkah atau upaya untuk meminimalisir5 pengembalian SPDP antara lain:

a. Sudah saatnya pembentuk Undang-Undang lewat pembentukan KUHAP baru mereformulasikan definisi dari konsep penyelidikan. Dimana pada KUHAP yang eksisting saat ini definisi Penyelidikan adalah “serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Penulis menyarankan agar redaksinya di rubah dengan definisi baru yaitu ”serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak

3 Angga Nugraha, Jurnal: Koordinasi Kepolisian dan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pada Tahap Prapenuntutan, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal. 9.

4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hal. 158

5 Kata minimalisir dipakai karena penulis mennyadari bahwa, dengan pengaturan 90 hari masa penydikan berkas perkara harus sudah dikirim ke kejaksaan maka sangat mungkin masih ada perkara yang SPDPnya dikembalikan.

(14)

pidana serta kejelasan identitas saksi dan pihak-pihak yang terlibat guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Kata “serta kejelasan identitas saksi dan pihak-pihak yang terlibat” apabila dinormakan akan memberi efek imperatif kepada penyelidik untuk tidak hanya menemukan peristiwa pidana saja tetapi juga kejelasan akan saksi dan pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut, dalam pandangan penulis konsekunsi logis dari kebijakan reformulasi yang diusulkan oleh penulis ini berdampak pada minimnya perkara-perkara yang ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan tanpa kejelasan identitas pihak-pihak yang terlibat. Dan apabila perkara yang ditingkatkan ke penyidikan adalah perkara yang identitas pihak-pihak yang terlibat jelas, maka proses penyidikannya tidak akan memakan waktu yang lama.

b. Solusi lain yang lebih praktis, yaitu merumuskan Peraturan Kepolisian terkait penyidikan tindak pidana dengan pengaturan terkait peningkatan status penanganan dari penyelidikan ke penyidikan dengan yang mengisyaratkan tidak hanya ditemukannya perbuatan pidana tetapi juga mengharuskan ditemukannya identitas semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.

c. Penguatan institusional Penyidik sangat dibutuhkan, kendala berupa keberadaan saksi dan tersangka diluar daerah dan tersangka yang ditetapkan dalam DPO, pananganannya membutuhkan daya dukung institusional yang memadai, daya dukung dimaksud adalah ketersediaan tenaga (sumber daya manusia) Penyidik yang memadai dan dukungan anggaran cukup untuk itu. Jumlah laporan polisi dan ketersediaan

(15)

Penyidik tidak sebanding, hal tersebut berdampak secara langsung pada penyelesaian perkara6.

d. Hal lain yang tidak kalah penting yang harus menjadi perhatian menurut penulis adalah terkait harmonisasi dalam perumusan regulasi yang dibuat oleh masing- masing Lembaga dalam system peradilan pidana. Peraturan Kejaksaan Agung terkait penuntutan perkara pidana hendaknya proses penyusunannya, khususnya pada tahap harmonisasi agar juga memperhatikan masukan dan kendala yang dihadapi oleh Penyidik dalam proses penyidikannya. Sehingga semua regulasi yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang berada dalam system peradilan pidana dapat simultan berkontribusi untuk menciptakan system peradilan pidana yang efektif dan efisien.

6 Sebagai catatan Diterkrimum Polda Maluku pada tahun 2022 menangani 328 Laporan Polisi yang diproses hingga tuntas sebanyak 129 laporan polisi dan yang masih menunggak sebanyak 199 laporan polisi. Data diperoleh Binops Ditreskrimum Polda Maluku pada tanggal 3 Maret 2023.

Referensi

Dokumen terkait

Berkas acara penyidikan yang diserahkan oleh Penyidik kepada Jaksa penuntut umum tidak menguraikan secara lengkap dan jelas mengenai peranan korban dalam

Apabila hasil dari penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk

Dalam penanganan perkara tindak pidana perusakan hutan, fungsi prapenuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari

diatur dalam pasal 14, yakni dalam hal penuntut umum merasa penyidikan yang dilakukan penyidik kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas tersebut kepada

Penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum, jika penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi sesuai dengan Pasal 110 Ayat (3)

Pasal 14 KUHAP menentukan, penuntut umum mempunyai wewenang: (a) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; (b)

Kelemahan Pasal tersebut adalah adanya ketidakpastian hukum terhadap berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik kepada penuntut

Penyidikan Lanjutan pada perkara tindak pidana kehutanan dapat dimaknai bahwa apabila Penuntut Umum melakukan penyidikan namun, Penyidik baik kepolisian maupun PPNS belum melengkapi