• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN PDF

N/A
N/A
AB Siddik

Academic year: 2023

Membagikan "AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN PDF"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Makalah

Mata kuliah : Pelaporan Koorporat

Dosen : Dr. Mukhtaruddin, S.E., M.Si., Ak., CA Disadurkan Kembali oleh : Abu Bakar Siddik

NPM : 01044822326003

Kelas PPAK regular sore tahun 2022/2023

PAJAK PENGHASILAN 1 DEFINISI TERMINOLOGI DALAM AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN

Agar dapat memahami akuntansi pajak penghasilan, terlebih dahulu harus dipahami pengertian dari terminologi yang digunakan, baik terminologi yang berkaitan dengan perhitungan dalam akuntansi komersial maupun perhitungan secara fiskal. Berikut adalah definisi terminologi yang digunakan dalam akuntansi pajak penghasilan:

• Aset pajak tangguhan: jumlah pajak penghasilan yang dapat dipulihkan pada periode masa depan sebagai akibat adanya (i) perbedaan temporer dapat dikurangkan; (ii) akumulasi rugi pajak belum dikompensasi; dan (iii) akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan, dalam hal peraturan pajak mengizinkan.

• Beban pajak (penghasilan pajak): jumlah gabungan pajak kini dan pajak tangguhan yang diperhitungkan dalam menentukan laba rugi pada suatu periode.

• Laba akuntansi: laba atau rugi selama suatu periode sebelum dikurangi beban pajak.

• Laba kena pajak atau laba fiskal (rugi pajak atau rugi fiskal): laba (rugi) selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas perpajakan untuk menghitung pajak penghasilan yang terutang.

• Liabilitas pajak tangguhan: jumlah pajak penghasilan terutang pada periode masa depan sebagai akibatnya adanya perbedaan temporer kena pajak.

• Pajak kini: jumlah pajak penghasilan yang terutang (dipulihkan) atas laba kena pajak (rugi pajak) untuk suatu periode.

• Perbedaan temporer dapat dikurangkan: perbedaan temporer yang menimbulkan jumlah yang dapat dikurangkan dalam penentuan laba kena pajak (rugi pajak) periode masa depan Ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas dipulihkan atau diselesaikan.

• Perbedaan temporer kena pajak: perbedaan temporer menimbulkan jumlah kena pajak dalam penentuan laba kena pajak (rugi pajak) periode masa depan ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas dipulihkan atau diselesaikan.

2 PAJAK DALAM LAPORAN KEUANGAN A. Pajak Penghasilan

Pos terkait pajak penghasilan dapat dikatakan menjadi pos yang paling banyak tersebar dalam laporan keuangan. Bukan hanya dalam Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain, pos- pos terkait pajak penghasilan juga terdapat dalam Laporan Posisi Keuangan dan Laporan Arus Kas.

Hasil perhitungan pajak penghasilan perusahaan di akhir tahun, disajikan dalam Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain pada pos Beban / Manfaat Pajak Penghasilan Kini dan Beban / Manfaat Pajak Penghasilan Tangguhan.

Pengakuan pajak penghasilan tangguhan juga akan memunculkan pos Aset Pajak Tangguhan atau Deferred Tax Asset (DTA) dan/atau Liabilitas Pajak Tangguhan atau Deferred Tax

(2)

Liability (DTL) yang akan disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan. Aset Pajak Tangguhan dan Liabilitas Pajak Tangguhan boleh disajikan secara saling hapus (off-set) dalam laporan keuangan tersendiri, namun penyajian Aset Pajak Tangguhan dan Liabilitas Pajak Tangguhan secara saling hapus tersebut tidak diperkenankan dalam laporan keuangan konsolidasian.

Pajak penghasilan yang dipotong / dipungut oleh pihak lain (witholding taxes) yang dapat dikreditkan dalam penghitungan pajak penghasilan perusahaan di akhir tahun dan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) 25 yang dibayar oleh perusahaan juga akan disajikan sebagai asset dalam Laporan Posisi Keuangan pada pos Pajak Penghasilan Dibayar Dimuka (prepaid tax).

Bila perusahaan mengalami lebih bayar pembayaran pajak dan berhak memperoleh restitusi, pos Piutang Restitusi pajak juga akan disajikan sebagai aset dalam Laporan Posisi Keuangan. Sementara bila perusahaan melakukan pemotongan pajak penghasilan atau mengalami kurang bayar pajak yang belum dilunasi akan dilaporkan sebagai liabilitas dalam Laporan Posisi Keuangan pada pos Utang Pajak Penghasilan (PPh 29). Adapun nilai kas yang telah dikeluarkan perusahaan untuk membayar pajak akan disajikan pada bagian arus kas keluar untuk aktivitas operasi dalam Laporan Arus Kas.

Banyaknya pos terkait pajak penghasilan dalam laporan keuangan tidak lepas dari status perusahaan sebagai Wajib Pajak (WP) Badan. Sebagai WP Badan, perusahaan memiliki kewajiban memotong pajak atas penghasilan yang diterima pihak lain (misalnya PPh 21, PPh 23, PPh 26). Pajak-pajak yang dipotong oleh perusahaan dengan cara seperti ini tidak dicatat sebagai beban pajak penghasilan pada pos tersendiri, melainkan disajikan sebagai utang pajak dalam Laporan Posisi Keuangan sampai dengan saat perusahaan melakukan pembayaran ke kas negara. Di sisi lain sebagai WP Badan, perusahaan juga dapat memiliki kredit pajak dari pajak penghasilan yang dipotong/dipungut pihak lain (misalnya PPh 22 dan PPh 23) disamping perusahaan juga memiliki kewajiban untuk membayar langsung PPh Badan-nya sendiri (misalnya PPh 25 dan PPh 29). Kredit pajak dan pajak penghasilan yang telah dibayar sendiri oleh perusahaan tersebut disajikan sebagai prepaid tax (aset) dalam Laporan Posisi Keuangan.

B. Pajak Lainnya

Selain pajak penghasilan, perusahaan sebenarnya juga memiliki transaksi terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Daerah. Pemenuhan kewajiban perusahaan untuk melunasi Pajak Daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), akan dilaporkan langsung sebagai beban (di luar pos Beban Pajak Penghasilan) dalam Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain.

Sedangkan terkait PPN, perusahaan akan mencatat PPN Masukan yang dapat dikreditkan dari perolehan barang / jasa kena pajak seolah sebagai prepaid tax terlebih dahulu. Di sisi lain, perusahaan akan mencatat PPN Keluaran dari penyerahan barang / jasa kena pajak seolah sebagai utang pajak terlebih dahulu. Pada akhir masa pajak, perusahaan akan menutup PPN Keluaran pada PPN Masukan dimaksud dan mencatat selisihnya sebagai Utang PPN (bila kurang bayar) atau Piutang PPN (bila lebih bayar).

C, Jurnal Standar Akuntansi Pajak Penghasilan

Pencatatan akuntansi terkait pajak penghasilan sebenarnya dapat dilakukan menggunakan serangkaian ayat jurnal standar pada Ilustrasi 9.2. Jurnal standar tersebut hanya perlu disesuaikan nilainya dengan ketentuan tarif pajak penghasilan yang berlaku untuk transaksi yang menjadi objek pajak.

Jurnal Standar Akuntansi Pajak Penghasilan:

Saat perusahan sebagai pemberi kerja mengakui beban (membayar penghasilan)

Beban (Gaji, Sewa, jasa) XXX

Utang PPh (Ps. 21, 23, 26) XXX

(3)

Kas/Utang Usaha XXX Saat perusahaan mengakui pendapatan (menerima penghasilan)

Kas XXX

PPh Dibayar Dimuka (Ps. 22,23) XXX

Pendapatan XXX

Saat perusahaan membayar angsuran PPh 25

PPh Dibayar Dimuka (Ps. 25) XXX

Kas XXX

Saat perhitungan PPh Badan akhir tahun

Piutang Restitusi PPh XXX

Beban Pajak Penghasilan - KINI XXX

PPh Dibayar Dimuka (Ps 22,23) XXX

PPh Dibayar Dimuka (Ps 25) XXX

Utang PPh 29 XXX

Saat pengakuan Pajak Tangguhan

Beban Pajak Penghasilan - TANGGUHAN XXX

Aset Pajak Tangguhan XXX

Liabilitas Pajak Tangguhan XXX

Manfaat Pajak Penghasilan - TANGGUHAN XXX

Bila menggunakan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP), proses pencatatan akuntansi terkait pajak penghasilan cukup sampai saat penghitungan PPh Badan akhir tahun, tanpa perlu mencatat pengakuan pajak tangguhan. Namun, bila mengikuti ketentuan dalam PSAK 46, maka perusahaan perlu membuat satu jurnal tambahan untuk mencatat pengakuan pajak tangguhan.

D. Perbedaan Penghitungan Pajak Secara Komersial dan Fiskal

Penghitungan pajak penghasilan secara komersial (secara akuntansi) berbeda dengan fiskal.

Penghitungan pajak penghasilan secara komersial didasarkan pada PSAK, sedangkan penghitungan pajak penghasilan secara fiskal didasarkan pada Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (UU No. 36 / 2008).

Pajak penghasilan secara akuntansi dihitung dari laba komersial sebelum pajak (earnings before tax) yang merupakan penjumlahan dari seluruh pendapatan (revenues) maupun keuntungan (gains) dikurangi dengan seluruh beban (expenses) yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan maupun kerugian (losses) selama satu tahun buku, tanpa terkecuali. Sementara pajak penghasilan secara fiskal dihitung dari laba fiskal (laba kena pajak) yang merupakan penjumlahan dari seluruh penghasilan yang menjadi objek pajak (taxable income) dikurangi seluruh biaya yang dapat dikurangkan (deductible expenses) atau dalam pengertian fiscal dikenal sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya 3M).

Selanjutnya, seluruh perbedaan yang dirangkum dalam koreksi fiskal dimaksud dapat dipisahkan menjadi perbedaan permanen dan temporer. Perbedaan permanen tidak menimbulkan konsekuensi tambahan dalam pencatatan akuntansi. Sedangkan perbedaan temporer dapat menimbulkan konsekuensi pencatatan akuntansi lanjutan berupa pengakuan aset dan/atau liabilitas pajak tangguhan serta beban atau manfaat pajak penghasilan tangguhan.

(4)

Bila merujuk pada UU Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya terdapat empat sumber perbedaan yang membuat diperlukannya penyesuaian atau koreksi fiskal.

Keempat sumber tersebut adalah:

1. Penghasilan objek PPh final;

2. Penghasilan yang bukan objek pajak;

3. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (nondeductible expenses); dan

4. Penyesuaian atas perbedaan cara pengukuran secara komersial (akuntansi) dengan fiskal.

3 DASAR PENGENAAN PAJAK

Terminologi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) memiliki pengertian yang berbeda antara fiskal dan akuntansi komersial. Pengertian DPP secara fiskal adalah total jumlah yang akan dikalikan dengan tarif pajak terkait untuk memperoleh nilai pajak terutang. Sedangkan pengertian DPP secara akuntansi komersial adalah jumlah nilai buku fiskal (fiscal book value) dari suatu aset atau liabilitas,yang dapat berbeda dengan jumlah tercatat atau nilai buku komersial (accounting book value) dari aset atau liabilitas tersebut.

Pemahaman terhadap DPP secara akuntansi komersial ini sangat penting dalam akuntansi pajak penghasilan berdasarkan PSAK 46. Dalam penghitungan pajak tangguhan, PSAK 46 membandingkan nilai DPP (fiscal book value) dengan jumlah tercatat (accounting book value) untuk menghitung nilai beda temporer yang mengakibatkan timbulnya pajak tangguhan.

Contoh perbandingan antara DPP aset dengan jumlah tercatat aset adalah mesin dengan biaya perolehan sebesar Rp100 memiliki akumulasi penyusutan sebesar Rp20. Namun untuk tujuan pajak, akumulasi penyusutan mesin adalah sebesar Rp30. Sehingga DPP mesin adalah sebesar Rp70sementara jumlah tercatat mesin adalah sebesar Rp80. Dengan demikian terdapat perbedaan temporer sebesar Rp10. Contoh perbandingan antara DPP liabilitas dengan jumlah tercatat liabilitas adalah utang gaji sebesar Rp100 dan beban gaji yang masih harus dibayar dapat dikurangkan untuk tujuan pajak (deductible expense) juga sebesar Rp100. Sehingga baik DPP maupun jumlah tercatat utang gaji memiliki nilai yang sama sebesar Rp100. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan temporer.

A. Aset dan Liabilitas Pajak Tangguhan

Sesuai dengan konsep akuntansi terkait pajak tangguhan yang dirumuskan dalam PSAK 46, pajak tangguhan timbul dari perbedaan temporer. Aset pajak tangguhan timbul dari perbedaan temporer dapat dikurangkan (deductible temporary differences). Sementara liabilitas pajak tangguhan timbul dari perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences).

Konsep pajak tangguhan yang timbul dari perbedaan temporer di atas dikecualikan untuk perbedaan temporer yang berasal dari pengakuan awal aset atau liabilitas dari suatu transaksi yang bukan transaksi kombinasi bisnis dan pada saat transaksi tidak memengaruhi laba atau rugi baik secara komersial (akuntansi) maupun fiskal (pajak). Dengan kata lain, perbedaan temporer yang menimbulkan konsekuensi pajak tangguhan pada saat pengakuan awal asset atau liabilitas, dapat muncul ketika aset atau liabilitas diperoleh dari transaksi kombinasi bisnis. Sementara pengakuan awal aset yang diperoleh dari pembelian biasa atau pengakuan awal liabilitas yang ditimbulkan dari pencairan pinjaman tidak memiliki konsekuensi pajak tangguhan.

Meskipun pajak tangguhan pada saat awal pengakuan aset dapat muncul ketika aset diperoleh dari transaksi kombinasi bisnis, namun konsep ini perlu disesuaikan untuk pengakuan awal goodwill. PSAK 46 mengatur bila pengakuan awal goodwill menimbulkan perbedaan temporer, maka pengakuan pajak tangguhan hanya dilakukan untuk aset pajak tangguhan atau bila pengakuan awal goodwill

(5)

menimbulkan perbedaan temporer dapat dikurangkan. Sementara bila pengakuan awal goodwill menimbulkan perbedaan temporer kena pajak, maka tidak dilakukan pengakuan untuk liabilitas pajak tangguhan yang muncul.

B. Penghitungan Aset dan Liabilitas Pajak Tangguhan

a. Pendekatan Penentuan Aset dan Liabilitas Pajak Tangguhan

Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa dalam penghitungan pajak tangguhan, PSAK 46 membandingkan nilai DPP (fiscal book value) dengan jumlah tercatat (accounting book value)untuk menghitung nilai beda temporer yang mengakibatkan timbulnya pajak tangguhan.

Bila nilai DPP aset lebih besar daripada jumlah tercatat aset maka akan timbul beda temporer dapat dikurangkan, sebaliknya bila nilai DPP aset lebih kecil daripada jumlah tercatat aset maka akan timbul beda temporer kena pajak. Sedangkan bila nilai DPP liabilitas lebih besar daripada jumlah tercatat liabilitas maka akan timbul beda temporer kena pajak, sebaliknya bila nilai DPP liabilitas lebih kecil daripada jumlah tercatat liabilitas maka akan timbul beda temporer dapat dikurangkan.

Beda temporer dapat dikurangkan yang timbul, setelah dikalikan dengan tarif pajak yang relevan akan menghasilkan nilai Aset Pajak Tangguhan atau Deferred Tax Asset. Sedangkan beda temporer kena pajak yang timbul, setelah dikalikan dengan tarif pajak yang relevan akan menghasilkan nilai Liabilitas Pajak Tangguhan atau Deferred Tax Liability.

Selain menggunakan pendekatan perbandingan DPP dengan jumlah tercatat di atas, penentuan pajak tangguhan juga dapat dilakukan menggunakan pendekatan koreksi fiskal. Sebelumnya telah diuraikan bahwa perbedaan dasar penghitungan laba antara akuntansi komersial dengan fiskal menyebabkan dibutuhkannya suatu proses untuk menyesuaikan laba sebelum pajak komersial menjadi laba fiskal (laba kena pajak). Proses tersebut menggunakan mekanisme koreksi positif dan koreksi negatif yang dikenal sebagai proses rekonsiliasi fiskal.

b. Ilustrasi Penghitungan Aset Pajak Tangguhan

Sesuai dengan standar akuntansi, perusahaan menghitung beban piutang taktertagih secara komersial menggunakan metode penyisihan (allowance), namun beban piutang taktertagih secara fiskal dihitung menggunakan metode direct write-off.

Perusahaan menghitung beban dan penyisihan piutang taktertagih menggunakan persentase penjualan (percentage of sales). Dengan demikian, nilai penyisihan piutang taktertagih setiap tahunnya akan diakumulasi menjadi jumlah tercatat penyisihan piutang taktertagih.

c. Ilustrasi Penghitungan Liabilitas Pajak Tangguhan

Pada awal tahun 20X1, perusahaan membeli peralatan dengan biaya berolehan senilai Rp1.000.

Peralatan tersebut memiliki masa manfaat komersial selama 5 tahun, namun secara pajak dikategorikan dalam kelompok dengan masa manfaat fiskal selama 4 tahun.

Perusahaan menghitung beban depresiasi menggunakan metode garis lurus (straight line) dengan nilai depresiasi komersial = Rp1.000 / 5 = Rp200 per tahun dan nilai depresiasi fiskal = Rp1.000 / 5 = Rp250 per tahun. Dengan demikian, pada akhir tahun 20X1 sampai dengan tahun 20X4 terdapat koreksi fiskal negatif sebesar Rp50 per tahun. Koreksi fiscal tersebut merupakan perbedaan temporer karena hanya berasal dari perbedaan cara pengukuran (estimasi masa manfaat) untuk menghitung beban dan akumulasi depresiasi, sementara baik akuntansi komersial maupun fiskal tetap sama-sama mengakui pos depresiasi itu sendiri. Oleh karena itu, bila menggunakan pendekatan koreksi fiskal, maka beda temporer yang berasal dari koreksi fiskal negatif merupakan beda temporer kena pajak.

(6)

C. Aset Pajak Tangguhan Dari Kompensasi Kerugian

Selain dari perbedaan temporer dapat dikurangkan, Aset Pajak Tangguhan juga dapat berasal dari kompensasi kerugian (akumulasi rugi pajak belum dikompensasi). Peraturan pajak di Indonesia saat ini membolehkan perusahaan sebagai wajib pajak badan yang mengalami rugi fiskal pada tahun berjalan untuk melakukan kompensasi atas kerugian tersebut terhadap laba komersial hingga 5 tahun ke depan (tax loss carry-forward) atau hingga maksimal 10 tahun ke depan bila memenuhi kriteria pajak tertentu. Dengan demikian, sampai dengan nilai kerugian pada tahun berjalan habis dikompensasikan dalam jangka waktu tertentu di masa depan, maka perusahaan tidak perlu membayar PPh Badan.

Dalam hal saldo kompensasi kerugian tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan perusahaan sebelum kedaluwarsa, terdapat ketentuan dalam PSAK 46 yang perlu mendapat perhatian. PSAK 46 mengatur bahwa Aset Pajak Tangguhan dapat diakui apabila besar kemungkinan laba kena pajak masa depan akan memadai untuk dimanfaatkan dengan rugi pajak belum dikompensasi. Dengan demikian, bila perusahaan memperkirakan bahwa tidak seluruh nilai kompensasi kerugian dapat dimanfaatkan sebelum kedaluwarsa maka nilai kompensasi kerugian yang boleh menjadi dasar pengakuan Aset Pajak Tangguhan hanya sebesar estimasi nilai kompensasi kerugian yang dapat dimanfaatkan.

D Pajak Tangguhan Untuk Aset Yang Dinilai Pada Nilai Wajar

Penilaian aset pada nilai wajar, khususnya aset non-keuangan, dilakukan melalui proses revaluasi.

Pengakuan pajak tangguhan dari revaluasi untuk menilai aset pada nilai wajar bergantung pada apakah DPP aset disesuaikan sehingga memengaruhi laba kena pajak (rugi pajak) atau tidak.

Bila revaluasi aset dilakukan tanpa menyesuaikan DPP sehingga tidak memengaruhi laba kena pajak, maka akan terdapat perbedaan temporer yang dapat menimbulkan liabilitas atau asset pajak tangguhan. Sedangkan bila revaluasi aset dilakukan dengan menyesuaikan DPP sehingga memengaruhi laba kena pajak, maka tidak ada perbedaan temporer dan pajak tangguhan yang akan diakui. Gambaran revaluasi aset yang akan atau tidak akan menyebabkan pengakuan pajak tangguhan dapat dilihat pada kondisi ketika terjadi kombinasi bisnis atau Ketika perusahaan memilih untuk menggunakan model revaluasi dalam pencatatan aset tetapnya, termasuk properti investasi.

Perhatian perlu diberikan terhadap penggunaan model revaluasi untuk aset tetap yang tidak disusutkan. Bila aset tetap tidak disusutkan diukur dengan menggunakan model revaluasi, maka perbedaan temporer akan terpulihkan saat aset tersebut dijual. Oleh karena itu, tarif pajak yang berlaku atas penjualan aset diterapkan dalam mengukur liabilitas atau aset pajak tangguhannya. Hal serupa juga diterapkan untuk properti investasi.

E. Perubahan Dalam Status Pajak Entitas Atau Para Pemegang Sahamnya

Perubahan dalam status pajak entitas atau para pemegang sahamnya dapat mengakibatkan baik peningkatan maupun penurunan aset atau liabilitas pajak tangguhan. Hal ini mungkin terjadi pada saat pendaftaran instrumen ekuitas entitas di bursa, restrukturisasi ekuitas entitas, atau bila pemegang saham pengendali pindah ke negara asing. Sebagai contoh, sebuah perusahaan di Indonesia dapat mengalami penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 20% bila minimal 40%

instrumen ekuitasnya diperdagangkan di bursa. Dengan demikian, sebuah perusahaan di Indonesia yang melakukan penjualan sahamnya kepada publik hingga minimal mencapai 40% dapat menyebabkan penurunan pada aset atau liabilitas pajak tangguhannya.

Referensi

Dokumen terkait

– Perbedaan temporer dapat dikurangkan – aset - menimbulkan jumlah yang dapat dikurangkan dalam penentuan laba (rugi) kena pajak pada periode masa depan jika jumlah tercatat aset

Aset dan liabilitas pajak tangguhan diakui berdasarkan berdasarkan perbedaan temporer antara aset dan liabilitas untuk tujuan komersial dan untuk tujuan perpajakan

Tidak ada aset pajak tangguhan yang dibentuk untuk akumulasi rugi fiskal dan perbedaan temporer antara dasar pengenaan pajak aset atau liabilitas dengan

Grup menggunakan metode liabilitas neraca (balance sheet liability method) pada akuntansi pajak tangguhan yang timbul akibat perbedaan temporer yang ada antara aset

Grup menggunakan metode liabilitas neraca ( balance sheet liability method ) pada akuntansi pajak tangguhan yang timbul akibat perbedaan temporer yang ada antara aset

46 dan Hamanto (2003'1 menyatakan bahwa kewajiban pajak tangguhan diakui apabila perbedaan temporer kena pajak timbul sebagai akibat dari: (I) pemulihan suatu

atas goodwill tersebut, maka jumlah perbedaan temporer kena pajak berkaitan pada goodwill berkurang dari Rp10.000 menjadi Rp8.000, dengan menimbulkan penurunan pada nilai liabilitas

Langkah awal yang harus dilakukan untuk menentukan besarnya aktiva/kewajiban pajak tangguhan yaitu dengan mengidentifikasi perbedaan temporer antara dasar akuntansi