Al-Ibriz, Tafsir Jawa Untuk Umat
Para ulama Indonesia baik di masa kini maupun masa lampau amat gemar menuangkan ide- ide mereka dalam berbagai disiplin keilmuan baik agama maupun di luar itu. Sudah barang tentu kajian tafsir juga menjadi kajian yang diminati para ulama Indonesia. Di Aceh kita mengenal Syaikh Abdurrauf as-Singkil dengan karya besarnya Tarjuman al-Mustafid. Beliau mengarang kitab tersebut dengan tujuan memudahkan masyarakat Aceh dalam memahami isi dari kandungan-kandungan Alquran. Pengabdian para ulama Indonesia tidak hanya terjadi hanya di satu daerah. Jika Aceh memiliki Syaikh Abdurrauf as-Singkil sebagai ulama tafsirnya, maka orang Jawa memiliki Kiai Bisri Mustofa dengan karya luar biasanya juga, yaitu kitab tafsir Al-Ibriz.
Latar Belakang Penulisan
Al-Ibriz merupakan karya Kiai Bisri Mustofa yang dikarang sekitar tahun 1957-1960 M.
Beliau sendiri adalah seorang kiai yang gemar mengabdikan dirinya dengan menerjemahkan kitab-kitab Arab ke dalam bahasa Jawa Pegon maupun Indonesia. Hal ini dilakukan agar memudahkan mayoritas masyarakat Jawa yang saat itu masih belum terlalu mengenal pendidikan selain pendidikan pesantren.
Alasan penulisan kitab tafsir ini pun tidak lain untuk memudahkan masyarakat Jawa dan pesantren dalam memahami Alquran. Anak beliau, Kiai Mustafa bisri menguatkan pendapat ini dengan mengatakan kitab ini dikarang untuk menjadi bacaan masyarakat yang memahami tulisan Jawa Pegon dan menjadi kitab pegangan guru-guru pesantren. Kebiasaan unik selama penulisan kitab ini adalah beliau selalu konsisten berziarah ke makam para walisongo bersama para santrinya setiap selesai mengarang 1 juz.
Pola Kepenulisan Tafsir
Bentuk fisik kitab ini memiliki dua model. Model pertama yang diterbitkan oleh menara kudus berjumlah 30 jilid mengikuti jumlah juz di dalam Alquran. Adapun jilid yang kedua diterbitkan Lembaga Kajian Strategi Indonesia hanya dalam bentuk 1 jilid. Bentuk penyajian kitab ini pun cukup memudahkan para pembaca. Ayat Alquran disajikan di sebuah kotak lengkap dengan makna per katanya. Tafsirannya dari ayat-ayat tersebut diletakkan diluar kotak sebagaimana metode penyajian kitab kuning di pesantren. Martin van Bruinesen berpendapat bahwa kitab ini lebih cocok disebut kitab terjemahan dibanding kitab tafsir.
Dalam penafsirannya terhadap Alquran, Mahbub Ghazali berpendapat dalam tulisannya di jurnal Al-Banjari bahwa Kiai Bisri menggunakan metode ijmali. Hal ini dikarenakan tafsiran
Kiai Bisri terhadap ayat Alquran hanya secara umum atau tidak terlalu diperinci. Mengingat bahwa Kiai Bisri memang menulis hanya sebatas untuk memudahkan masyarakat Jawa dalam memahami makna ayat-ayat Alquran, tidaklah heran jika beliau tidak perlu memberikan penjelasan panjang lebar sebagaimana kitab tafsir ulama-ulama kharismatik zaman dahulu.
Corak tafsir kitab tafsir Al-Ibriz adalah corak umum. Sementara itu, Sumber dominan yang dipakai Kiai Bisri dalam menafsirkan ayat Alquran adalah hasil dari ijtihadnya sendiri. Dari sini kita bisa menilai bahwa karya tafsir Al-Ibriz masuk dalam kategori tafsir bi al-ra’yi.
Meskipun begitu, Kiai Bisri masih mencantumkan beberapa riwayat dalam penafsirannya akan tetapi tidak banyak. Periwayatan yang beliau pakai pun merupakan penguatan atau taukid atas hasil ijtihadnya. Beberapa kitab para ulama terdahulu juga digunakan sebagai sumber penafsiran kitab ini. Di antara kitab-kitab tersebut sebagaimana diterangkan oleh beliau dalam muqaddimah kitabnya adalah tafsir Jalalain, tafsir Baidhawi, dan tafsir Khazin.
Unsur Lokalitas Kitab Al-Ibriz
Beberapa peneliti kitab ini telah berhasil menampilkan sisi keunikan tersendiri dalam kitab ini. Sisi keunikan tersendiri itu adalah penggunaan hieraki bahasa Jawa dalam menafsirkan Alquran. Seperti kita ketahui bahwa beberapa bahasa di Indonesia dan salah satunya bahasa Jawa memiliki hieraki bahasa. Contoh hieraki bahasa dalam bahasa Jawa adalah terdapatnya bahasa Jawa Kromo dan bahasa Jawa Ngoko. Kedua hieraki ini dipakai oleh beliau pada tempatnya masing-masing.
Contoh penggunaan bahasa Jawa Kromo pada tempatnya dapat dilihat oleh pembaca dalam karya beliau ketika sedang menampilkan dialog antara malaikat dan Allah saat pristiwa penciptaan manusia. Adapun penggunaan bahasa Jawa Ngoko dapat dilihat dalam tafsiran yang menampilkan dialog-dialog yang berasal dari jin, syaitan, dan iblis. Kedua contoh tersebut dapat kita simpulkan bahwa Kiai Bisri sangat membedakan antara kedua golongan tersebut dimana yang satunya sangat mulia sementara yang lainnya sebaliknya.
Keunikan lain dari penggunaan hieraki dalam kitab ini juga adalah penggunaan hieraki bahasa Jawa Ngoko sebagai hieraki yang dominan dipakai. Hieraki bahasa Jawa Ngoko adalah hieraki yang biasa dipakai oleh masyarakat Jawa. Hieraki ini tidaklah dianggap sebagai hieraki bahasa yang sopan untuk digunakan dalam masyarakat Jawa. Hieraki ini digunakan oleh masyarakat Jawa sehari-harinya jika berbicara dengan yang sebaya mereka.
Penggunaan hieraki ini nampaknya dilakukan oleh Kiai Bisri untuk menghilangkan jarak
antara para pembaca dengan penulis. Dengan begitu para pembaca akan lebih mudah untuk memahami ini kandungan dari kitab tersebut.
Kiai Bisri dalam karyanya Al-Ibriz juga sebenarkan mengajarkan satu hal penting pada kita.
Satu hal penting tersebut dapat kita lihat dari petikan tafsiran beliau terhadap ayat 112 surat Al-Anbiya’.
Pungkasane surat Anbiya’ iki Allah ta’ala perintah marang Nabi Muhammad saw supoyo perang – masrahake sekabehane perkoro marang Allah ta’ala, lan ngarep-ngarep marang Allah ta’ala supoyo karupekan-karupekan inggal disirnaake. Mulo kebeneran iki dino Seloso tanggal 19 Desember 1961 – dinane Presiden Sukarno panglima tertinggi angkatan perang Republik Indonesia lan iyo Bapak Revolusi lan panglima besar dewan pertahanan pembebasan Irian Barat paring komando terakhir ngenani pembebasan Irian Barat sangking kota sejarah (Jogjakarta) lan iyo dhene cobane Allah ta’ala muncak sarana mundaake rego- rego barang kang edan-edanan. Nganti beras sak kilo rego telung puluh limo rupiyah. Ono ing dino kang bersejarah iki, kejobo kito bareng-bareng ngadu kekuatan, musuh Londo, lan ihtiyar liyo liyone murih katekan opo kang dadi cita-citane bongso Indonesia. Kejobo iku, ora keno ora, kito kabeh kudu duwe ati sumeleh, tawakkal lan pasrah, serto arep-arep peparinge Allah ta’ala kang ora ka kirokiro. Insya Allah menowo bongso Indonesia inggal- inggal eling lan bali marang Allah ta’ala. Allah ta’ala bakal enggal ngeluarake bongso Indonesia sangking kasusahan. Lan bakal nyembadani opo kang dadi pengarep-arep. Amin 3x.
Dalam tafsirannya di atas, Kiai Bisri berhasil mengkorelasikan kandungan suatu ayat dengan keadaan yang benar-benar terjadi di sekitarnya. Mengaitkan harga sembako dan masalah memperebutkan Papua dari belanda dalam kitab tafsirnya harusnya menyadarkan kita bahwa implementasi kandungan ayat-ayat Alquran sangatlah sederhana. Hal-hal kehidupan sehari- hari kita juga sebenarnya merupakan ranah persoalan yang harus diselesaikan dengan berdasarkan nilai-nilai Alquran. Kitab tafsir tidaklah harus melulu menerangkan tentang surga-neraka, malaikat, dan kiamat. Harus ada beberapa ulama yang juga menafsirkan Alquran dalam ranah sosial kemasyarakatan sehingga problematika umat dapat diselesaikan berdasarkan nilai-nilai kandungan Alquran. Wallahu A’lam
Referensi
Khumaidi. “Implementasi Dakwah Kultural Dalam Kitab Al Ibriz Karya KH. Bisri Mustofa.”
Jurnal An-Nida. Vol. 10, No. 2 (Juli-Desember 2018): 181-188.
Ghozali, Mahbub. “Kosmologi Dalam Tafsir Al-Ibriz Karya Bisri Mustafa: Relasi Tuhan, Alam dan Manusia.” Al-Banjari. Vol. 19, No. 1 (Januari-Juni 2020): 112-133.