Analis Perbedaan KUHP Baru dan KUHP Lama.
Abstrak
Indonesia mempunyai 2 (dua) sistem hukum pidana, yaitu hukum pidana yang berasal dari negara barat tepatnya dari Belanda yang dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pidana adat. Keduanya merupakan hukum yang berjalan secara beriringan. Akan tetapi, hukum pidana adat tidak termuat dalam peraturan baku baik itu dalam KUHP maupun peraturan perundang- undangan lainnya yang dibentuk secara khusus. Sehingga dalam pelaksanaannya, hukum pidana adat tidak mempunyai kepastian dan perlindungan hukum.
Akan tetapi, pemerintah sudah membuat Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang turut serta memuat tentang kepastian pelaksanaan hukum pidana adat dalam RUU KUHP tahun 2005 dan yang terbaru RUU KUHP tahun 2020. Hukum pidana barat (KUHP) dengan hukum pidana adat memiliki beberapa perbedaan yang mendasar baik segi materil maupun formil, sehingga dari perbedaan tersebut tentunya sangat menarik untuk dilakukan perbandingan (komparasi) lebih lanjut lagi tentang kedua sistem hukum pidana di Indonesia ini agar mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas.
Kata kunci: KUHP, Pidana, Hukum.
Pendahuluan
Pembaruan hukum pidana pada dasarnya melakukan perubahan yang fundamental dalam sistem hukum pidana baik mencakup perundang-undangan mekanisme kelembagaan, sampai perihal pembentukan budaya hukum yang mendukung usaha pembaruan. Usaha pembaharuan itu dilakukan, tidak hanya karena alasan bahwa KUHP yang sekarang ini diberlakukan karena
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat, tetapi juga karena KUHP tersebut tidak lebih dari produk warisan penjajahan Belanda dan karenanya tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan religious.
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, terjadi suatu perubahan sikap terhadap undang- undang yang merupakan keseimbangan antara keinginan dan dalam melaksanakan suatu proses pembaharuan. Hal ini karena KUHP yang berlaku saat ini dianggap sudah tidak lagi menjawab permasalahan hukum yang ada di Indonesia khususnya dalam perkembangan terkini yang sudah modern cenderung menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dalam dalam penegakan hukum Keadaan tersebut sejalan dengan pendapat Agustinus Pohan, bahwa pembaharuan hukum pidana Indonesia didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
1. KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia.
2. Perkembangan Hukum Pidana diluar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana administrasi telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP. Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana yang berlaku dalam sistem hukum pidana nasional.
3. Dalam beberapa hal telah juga terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP.
Peranan hukum adat dalam memberikan kontribusi terhadap pembaharuan hukum nasional juga mempunyai tiga ciri yang sangat substansial dalam kehidupan dalam masyarakat, pertama
kebersihan rohani yang bersifat ketuhanan, kedua kesopanan dalam bertindak dalam masyarakat, ketiga kesatuan ramah-tamah dalam bertutur.
Menurut Prof. Barda Nawawi Arief, latar belakang pembaharuan hukum pidana nasional adalah:
1. KUHP dipandang tidak lengkap atau tidak dapat menampung berbagai masalah dan aspirasi dan dimensi perkembangan bentuk bentuk tindak pidana baru.
2. Kurang sesuai dengan sosio-filosofis, sosio-politis, dan sosio kultural yang hidup dalam masyarakat.
3. Kurang sesuai dengan perkembangan dan pemikiran/ide dan aspirasi tuntutan/kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas sangat menarik untuk dibahas, sehingga penulis merumuskan judul:
“ANALISIS PERBEDAAN ANTARA KUHP BARU DAN KUHP LAMA”.
Hasil dan Pembahasan.
KUHP merupakan sumber utama hukum pidana Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat menjadi sumber lahirnya hukum pidana adalah pada KUHP mengenai ketentuan umum, KUHP tentang kejahatan dan KUHP tentang pelanggaran. KUHP atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. Baru baru ini telah terjadi pergantian Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, alasan filosofis pembaharuan KUHP lama ke KUHP baru menurut Prof Masruchin Rubai, SH., MS., dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan dalam rangkaian acara Brawijaya Law Fair, Jumat, 18 November 2016 adalah “KUHP lama tidak sesuai filosofi bangsa Indonesia, alasan politis, sebagai negara merdeka Indonesia harus
memiliki KUHP Nasional, banyak ketentuan yang out of date, terdapat pergeseran dari asas legalitas materiil pasal 1 (3) rancangan KUHP sebagai berikut: “Ketentuan sebagaimana pasal 1 (1), tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tsb tidak diatur dalam per UU”.
Ada beberapa perbedaan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lama dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama terdiri dari 3 (tiga) buku yang berisikan ketentuan umum, kejahatan dan pelanggaran sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru terdiri dari 2 (dua) Buku yang berisikan ketentuan umum dan tindak pidana. Terdapat pula perbedaan kejahatan dan pelanggar (KUHP lama) dan tidak ada perbedaan kejahatan dan pelanggaran (KUHP baru). Pada penafsiran
diserahkan pada hakim berdasarkan doktrin hukum pidana (KUHP lama) sedangkan, pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru Penafsiran analogi tidak diperbolehkan berdasarkan pasal 1 ayat (2). Perbedaan selanjutnya adalah pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama
Penentuan Locus Delicti (tempat terjadinya tindak pidana) & Locus Delicti (waktu terjadinya tindak pidana) diserahkan pada hakim berdasarkan doktrin hukum pidana. Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yaitu tempat Tindak Pidana merupakan tempat
dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana, Waktu tindak pidana merupakan saat dilakukannya perbuatan yang dapat.
Dalam hal pertanggungjawaban pula berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama dijelaskan bahwa, Pertanggungjawaban Pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault).
Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru Pertanggungjawaban pidana yang ketat (strict liability) dan pertanggungjawaban pidana pengganti Pasal 39 “Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan
kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual drajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan”. Selanjutnya perbedaan yaitu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama tidak dipisahkannya alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) sedangkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru memisahkan secara tegas adanya alasan pemaaf pada Pasal 37-47 dan alasan pembenar pada Pasal 32-36. Terdapat pula perbedaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama mengatur alasan dalam hal peringan pidana namun berbanding terbalik pada Kitab Undang- Undang Hukum Pidana baru yang memperluas jenis alasan peringan pidana bagi pelaku dengan kualifikasi tertentu pada Pasal 139-143.
Dalam hal kewenangan pula berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lama mengatur alasan gugurnya kewenangan melakukan penuntutan sedangkan, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang baru berganti menjadi adanya perubahan pada alasan gugurnya kewenangan melakukan penuntutan terdapat pada Pasal 152. Selanjutnya dalam pengaturan delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lama tidak mengatur delik adat namun, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru mengatur delik adat sebagai bagian dari tindak pidana, walaupun Tindakan yang dilakukan tidak diatur dalam KUHP tercantum pada Pasal 2. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lama mengatur manusia sebagai subjek hukum (natural person) sedangkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru mengatur manusia dan korporasi sebagai subyek hukum pidana, baik yang berbadan hukum maupun tidak tercantum pada Pasal 48-54.
Selanjutnya perbedaan yaitu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama tidak mengatur ada pidana kerja sosial sedangkan dalam pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru mengatur Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana paling banyak kategori II. Kemudian pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama jumlah pidana denda dimasukan ke dalam rumusan pasal sedangkan, pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru jumlah pidana denda tidak
dirumuskan kedalam Pasal-Pasal tetapi dirumuskan ke dalam kategori Pasal 79: Pidana Denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:
a) Kategori I : Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) b) Kategori II : Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) c) Kategori III : Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) d) Kategori IV : Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) e) Kategori V : Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) f) Kategori VI : Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) g) Kategori VI : Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
h) Kategori VIII : RP. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah)
Perbedaan terakhir pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama yaitu dimana pidana mati sebagai pidana pokok namun pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru menerangkan bahwa pidana mati dirumuskan sebagai pidana “istimewa” yang pelaksanaannya dapat ditunda dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun apabila terpidana “berkelakuan baik” maka pidana mati dapat dikonjungsikan atau diubah menjadi tindak pidana penjara seumur hidup.
Kesimpulan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional yang pada hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Salah baru yang diatur dalam RUU KUHP 2015 adalah asas legalitas. Dalam Rancangan KUHP ini, asas legalitas diatur secara berbeda. Pemaknaan Asas legalitas dalam KUHP lebih menekankan kepada aspek formil, sedangkan pada RUU KUHP lebih menekankan pada aspek materiil, dalam arti
mempertimbangkan pada hukum lain yang ada dimasyarakat atau mungkin kita kenal dengan hukum adat, dengan ketentuan" bahwasannya, menurut adat setempat seseorang patut di pidana walupun perbuatan tersebut tidak diatur dalm peraturan perundang-undangan". Tujuan penulisan ini adalah:Pertama, untuk mengetahui konsep dan implementasi Azas Legalitas dalam KUHP;
Kedua, untuk mengetahui konsep dan implementasi Azas Legalitas dalam Rancangan KUHP;
Ketiga, untuk mengetahui implikasi Perluasan Makna Azas Legalitas Berdasarkan Pasal 1 dan 2 Rancangan Undang-Undang KUHP. Adapun metode penulisan adalah menggunakan tipe penelitian yuridis normatif (normatif legal research), dengan menggunakan metode pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
D
aftar Pustaka.
1. Handoko, Duwi. 2018. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Pekanbaru: Penerbit Hawa dan Ahwa.
2. Gustiniati, Diah dan Budi Rizki. 2018. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia.
Bandarlampung: Penerbit Pusaka Media.
3.
Dokter law. 2022. Perbedaan Mendasar KUHP Lama VS KUHP Baru. Diakses pada 21 Mei 2023, dari https://dokterlaw.com/post/perbedaan-mendasar-kuhp-lama-vs- kuhp-baru.4.
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. 2016. Pembaharuan KUHP dalam Prespektif HAM. Diakses pada 21 Mei 2021, dari https://hukum.ub.ac.id/pembaharuan-kuhp- dalam-prespektif-ham.5. Sinulingga, Nur Shabrina. Analisis perbandingan efektifitas aturan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana lama dan Revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Diakses pada 21 Mei 2023.
6. Babiej, Ahmad. 2006. Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!. Diakses pada 21 Mei 2021.