• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Analisis Implementasi Akad Mudharabah pada Sistem Gaduh Sapi di Desa Bataal Timur Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of Analisis Implementasi Akad Mudharabah pada Sistem Gaduh Sapi di Desa Bataal Timur Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Implementasi Akad Mudharabah pada Sistem Gaduh Sapi di Desa Bataal Timur

Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep

A Washil

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep

a.washilh@gmail.com

Fitri Fatila

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep

fitrifatiha@gmail.com

Febri Sri Wahyuni

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep

febrisriwahyuni@gmail.com

Abstract

This study seeks to answer the question of the law of rowdy cows that occurred in the village of East Bataal whether it is in accordance with the mudharabah contract? This research was also conducted to find out how the practice as well as profit sharing and the risk of loss for cattle owners and keepers in East Bataal Village? This study uses a descriptive qualitative method and the subject of this research is the people of East Bataal Village who carry out the cooperation of rowdy cows.

Data collection techniques used are interviews and documentation. The data analysis that the author does is sorting the data generated from interviews and documentation as the main source while the supporting sources use journal articles, books, and research reports. The results showed that the practice of rowdy cows in Bataal Timur Village, Ganding District, Sumenep Regency followed the community's habits both in terms of methods, capital and equal profit sharing, namely the owner and keeper both get half of the proceeds from selling cattle. In the view of Islamic law, the cooperative

(2)

practice of rowdy cows in East Bataal Village, Ganding District, Sumenep Regency is in accordance with Islamic law, namely using a muḍharabah contract.

Keywords: Rowdy Cows; Mudharabah; Profit Sharing;

Practice;

Abstrak

Penelitian ini berusaha menjawab persoalan tentang hukum gaduh sapi yang terjadi di Desa Bataal Timur apakah sudah sesuai dengan akad mudharabah? Penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana praktik serta bagi hasil dan resiko kerugian bagi pemilik dan pemelihara sapi di Desa Bataal Timur? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan subjek penelitian ini adalah masyarakat Desa Bataal Timur yang melaksanakan kerja sama gaduh sapi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi. Analisis data yang penulis lakukan adalah memilah data yang dihasilkan dari wawancara dan dokumentasi sebagai sumber utama sementara sumber pendukung menggunakan jurnal artikel, buku,dan laporan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa praktik gaduh sapi di Desa Bataal Timur, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep mengikuti kebiasaan masyarakat baik dari segi cara, modal dan pembagian keuntungan yang sama rata, yaitu pemilik dan pemelihara sama-sama mendapatkan separuh dari hasil penjualan sapi. Dalam pandangan hukum Islam praktik kerja sama gaduh sapi di Desa Bataal Timur, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep telah sesuai dengan hukum Islam, yakni menggunakan akad muḍharabah.

Kata Kunci: Gaduh Sapi; Mudharabah; Bagi Hasil; Praktik;

Bataal Timur

Pendahuluan

Al-Qur‟an dan hadis merupakan sumber hukum umat Islam yang mempunyai aturan-aturan dan batasan-batasan dalam segala kegiatan yang diperbuat. Baik dalam hal keagamaan, politik, dan perekonomian. Dalam hal perekonomian Al-Qur‟an dan hadis dapat dikatakan sebagai kaidah ekonomi Islam yang berbeda dengan sistem ekonomi lainnya. Kegiatan ini dalam

(3)

syariat Islam dikenal dengan istilah muamalah yang di dalamnya terdapat akad pelaksanaan bagi hasil mudharabah. Mudharabah merupakan akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama dalam suatu usaha. Salah satu pihak menempatkan modal yang disebut dengan shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pemelihara usaha yang disebut dengan mudharib. Bagi hasil dari usaha yang dikerjakan dihitung sesuai dengan nisbah yang disepakati antara pihak-pihak yang bekerja sama.1

Bagi hasil mudharabah merupakan akad kerjasama yang sudah terjadi sejak zaman Rasulullah. Bahkan hal tersebut sudah dilakukan oleh masyarakat Arab sejak sebelum Islam, dalam kegiatannya dilakukan dengan cara memberi pinjaman berupa modal kepada orang lain agar modal tersebut digunakan untuk membuat suatu usaha, lalu keuntungannya dibagi dua antara pemilik modal dengan pemelihara usaha sesuai dengan perjanjiannya, karena akad kerjasama yang dilakukan ini terbebas dari unsur kejahatan, maka Islam mengadopsi kebiasaan tersebut dan para ahli hukum Islam sepakat atas keabsahan mudharabah, karena ditinjau dari segi kebutuhan dan manfaatnya sesuai dengan ajaran dan tujuan syari‟ah.

Dalam masyarakat pedesaan yang mayoritas petani, salah satu kerjasama bagi hasil yang dilakukan adalah begaduh.

1 Ismail, Perbankan Syari‟ah, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2011), hal. 83

(4)

Begaduh merupakan salah satu profesi tambahan atau sampingan untuk menambah penghasilan. Salah satu bentuk usaha pegaduhan yang dikembangkan di pedesaan adalah pengembangan usaha pegaduhan sapi dengan sistem gaduh.

Sistem gaduh ini merupakan sistem kerja sama antar masyarakat.

Namun, tidak semua kerjasama gaduh sapi mendapatkan keuntungan tapi juga bisa menimbulkan risiko kerugian. Risiko kerugian yang sering terjadi adalah induk sapi betina yang dipelihara oleh pemelihara tidak memiliki anak, sakit atau mati.

Apabila sapi tidak memiliki anak maka pemelihara hanya bisa mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga sapi, tetapi apabila sapi turun harga maka harus menanggung kerugian. Saat sapi sakit pemelihara harus mengeluarkan biaya untuk melakukan perawatan sapi. Tetapi apabila sapi mati, bukan kesengajaan dari pemelihara maka sapi tidak perlu diganti dengan sapi yang baru.

Lain halnya apabila sapi tersebut sakit kemudian mati, sedangkan pemelihara tidak meberitahukan kepada pemiliknya.

Maka yang bertanggung jawab terhadap ganti rugi tersebut adalah pemelihara.

Pada hakikatnya praktik mudharabah dilakukan sesuai dengan apa yang sudah disepakati pada akad, baik pada saat bagi hasil ataupun terjadi risiko kerugian. Penelitian ini dirasa penting karena melihat sistem akad gaduh sapi di tengah masyarakat Desa Bataal Timur dengan menggunakan akad mudharabah masih kurang jelas, baik dari segi akadnya ataupun dari segi bagi

(5)

hasilnya. Berdasarkan fakta tersebut peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang sistem gaduh sapi serta sistem bagi hasil di desa Bataal Timur tersebut untuk mengetahui kebenaran yang ada.

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode kualitatif-lapangan. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan yang menekankan bagaimana pikiran dan pengalaman sosial diciptakan dan diberi arti sesuai dengan situasi dan kondisi dalam masyarakat. Sebuah penelitian kualitatif berusaha menjelaskan dan memahami fenomena sosial atau tradisi masyarakat. Penelitian ini fokus pada sistem gaduh sapi di Desa Bataal Timur, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep.

Dalam tahap pengumpulan data di lapangan, penelitian ini menggunakan beberapa instrumen penting, diantaranya:

Pertama, metode observasi. Dalam pengumpulan data di lapangan, peneliti menggunakan observasi sebagai metode untuk mengamati sebuah peristiwa atau kondisi di lingkungan masyarakat yang menjadi lokasi penelitian. Sebagai instrumen pengumpulan data, observasi berupaya segenap alat indra untuk mengatasi objek yang sedang diteliti. Penelitian ini dilakukan di lima dusun Desa Bataal Timur; Panggung Daja, Panggung Laok, Sumber Tunggal, Sumber Nampoh, Sumber Duko. Pada lima

(6)

dusun ini peneliti mengambil dua puluh sampel dari setiap dusun yang ada.

Kedua, metode wawancara, wawancara adalah suatu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih yang bersangkutan yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Metode ini dilakukan oleh peneliti sendiri dengan mewawancarai masyarakat sekitar serta beberapa tokoh masyarakat setempat.

Ketiga, metode dokumentasi, dokumentasi adalah catatan peristiwa yang sudah terjadi. Dokumen ini bisa berbentuk tulisan, gambar, rekaman, atau karya-karya numental dari seseorang. Dokumentasi penelitian merupakan dokumen yang diambil atau yang dilihat oleh peneliti ketika melakukan penelitian.

Metode analisis data digunakan untuk mengolah data secara emperik di lapangan dengan bekal teknik pengumpulan data yang telah dicanangkan. Peneliti menggunakan analisis deskriptif berdasarkan data hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan analisis kualitatif yang bersifat deskriptif, karena penelitian deskriptif lebih relevan dengan objek penelitian.

(7)

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Mudharabah

Istilah mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak, sedangkan penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah muqaradah atau qirad. Sehingga dalam perkembangan lebih lanjut istilah mudharabah dan qirad juga mengacu pada makna yang sama. Secara terminologis mudharabah

mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamankan bepergian, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. An- Nisa‟ 4:101 yang berbunyi: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qhasarkan sholat.” Secara terminologis mudharabah adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal dan pengguna dana (mudarib) untuk digunakan untuk aktivitas yang produktif di mana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal”.

Menurut para fuqaha, Mudharabah ialah akad antara dua pihak yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Menurut Hanafiyah, Mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan atau laba, karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Menurut Malikiyah, mudharabah adalah akad perwalian, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya

(8)

kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang telah ditentukan seperti mas dan perak. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa, mudharabah ialah ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui. Sedangkan menurut Syafi‟iyah, mudharabah ialah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.2

Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan dapat disimpulkan bahwa mudharabah atau qirad ialah akad antara pemilik modal (harta) dengen pemelihara modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakata.3 Dengan demikian, dalam mudharabah ada unsur kerja sama, hanya saja bukan kerja sama antara harta dengan harta atau tenaga dengan tenaga, melainkan antara harta dengan tenaga.4

Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-Quran, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. Adapun antara lain Surah Al-Muzammil (73) ayat 20 yang berbunyi sebagai berikut

Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (salat) kurang dari

2 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal.136-137

3 Ibid

4 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah (Jakarta: AMZAH, 2017), hal.367

(9)

dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang- orang yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an; Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. ”. (QS. Al-Muzammil (72): 20.5

Maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang bepergian untuk berdagang dan mencari keuntungan, demi mengais rezeki yang dibutuhkan. Sedangkan hubungannya dengan akad mudharabah adalah mudharabah merupakan akad kerjasama yang dilakukan oleh orang-orang melalui cara berdagang dan sebagainya yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.

Artinya : “Dari Suhaib bahwa Nabi bersabda : Ada tiga perkara yang di dalamnya terdapat keberkahan : (1) jual beli tempo, (2)

5 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟anul Karim Terjemahan dan Tajwid, hal.575

(10)

muqaradah (3) mencampur gandum dengan jagung untuk makanan di rumah bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah).

Adapun dalil dari ijma‟, pada zaman sahabat sendiri banyak para sahabat yang melakukan akad mudharabah dengan cara memberikan harta anak yatim sebagai modal kepada pihak lain, seperti Umar, Ustman, Ali, Abdullah bin Mas‟ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir, dan Siti Aisyah dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu hal ini dapat disebut ijma‟.6

Adapun dalil Qiyas adalah bahwa mudharabah diqiyaskan kepada akad musaqah, karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Musaqah yaitu kerjasama antara pemilik kebun atau tanaman dan pemelihara atau penggarap untuk memelihara dan merawat kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam akad. Hal tersebut dikarenakan dalam realitas kehidupan sehari-hari, manusia ada yang kaya dan ada yang miskin. Kadang-kadang ada orang kaya yang memiliki harta.

Tetapi dia tidak memiliki keahlian untuk berdagang, sedangkan di pihak lain ada orang yang memiliki keahlian berdagang, tetapi dia tidak memiliki harta atau modal. Dengan adanya kerjasama antara kedua pihak tersebut, maka kebutuhan masing-masing bisa dipadukan, sehingga menghasilkan keuntungan.7

6ibid, hal.370

7 ibid

(11)

Sementra itu, rukun akad mudharabah menururt Hanafiah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan lafal yang menunjukkan kepada arti mudharabah. Lafal yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, muqaradah, dan muamalah, serta lafal-lafal lain yang artinya sama dengan lafal-lafal tersebut. Sebagaicontoh, pemilik modal mengatakan: “ambillah modal ini dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi di antara kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat, atau sepertiga.”

Menurut jumhur ulama, rukun mudharabah ada tiga, yaitu aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola, ma‟qud alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan, dan shighat, yaitu ijab dan qabul.8 Menurut ulama Shafi‟iyah, rukun qirad atau mudharabah ada enam yaitu: pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya, orang yang bekerja, yaitu mengelola harta yang diterima dari pemilik barang, akad mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang, ma‟al, yaitu harta pokok atau modal, dan Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba dan Keuntungan.9

Untuk keabsahan mudharabah harus dipenuhi beberapa syarat yang berkaitan dengan „aqid, modal dan keuntungan.

Pertama, syarat aqid. Adapun syarat-syarat yang berkaitan

8 Ibid

9 Rahma Ambo Masse, “Konsep Mudharabah Antara Kajian Fiqh dan Penerapan Perbankan” Jurnal Hukum Diktum, (Parepare : Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Parepare,.2010), hal.79.

(12)

dengan „Aqid adalah bahwa aqid baik pemilik modal maupun pengelola (mudarib) harus orang yang memiliki kecakapan untuk memberikan kuasa dan pelaksanakan wakalah. Di samping itu juga disyaratkan „Aqidain harus cakap melakukan tasarruf. Oleh karena itu, mudharabah tidak sah dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur, orang gila, atau orang yang dipaksa.

Kedua, syarat modal. Syarat yang berkaitan dengan modal adalah harus berupa uang tunai, seperti dinar, dirham, atau dolar dan sebagainya, sebagaimana halnya yang berlaku dalam shirkah „inan. Apabila modal berbentuk barang, baik tetap maupun bergerak, menurut jumhur ulama mudharabah tidak sah.

Alasan jumhur ulama adalah apabila modal mudharabah tidak berupa uang maka akan ada unsur penipuan, karena dengan demikian keuntungan menjadi tidak jelas ketika akan dibagi, dan hal ini akan menimbulkan perselisihan di antara pemilik modal dan pengelola. Akan tetapi, apabila barang tersebut dijual dan uang hasil penjualannya digunakan untuk modal mudharabah, menurut Imam Abu Hanifa, Malik, dan Ahmad hukumnya dibolehkan, karena modal sudah bukan barang lagi melainkan uang harga barang. Sedangkan menurut mazhab Shafi‟iyah, hal itu tetap tidak dibolehkan karena dianggap tetap ada ketidakjelasan dalam modal.

Ketiga, syarat keuntungan. Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan keuntungan adalah sebagai berikut keuntungan harus diketahui kadarnya. Tujuan diadakannya akad mudharabah

(13)

adalah untuk memperoleh keuntungan. Apabila keuntungannya tidak jelas maka akibatnya akad mudharabah bisa menjadi fasid dan keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama.10

Implementasi Akad Mudharabah pada Sistem Gaduh Sapi di Desa Bataal Timur Kecamatan Ganding Sumenep

Kegiatan gaduh sapi yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Bataal Timur, pada pelaksanaannya terdapat konsep kerjasama yang sudah jelas dan dibenarkan oleh syara selama kegiatan usaha tersebut tidak bertentangan kepada nilai-nilai syariat Islam. Pada konsepnya, dimana antar individu atau kelompok manusia yang melakukan kerjasama gaduh sapi tersebut terjalin ikatan ijab qabul yang menimbulkan akibat hukum dari kegiatannya, yakni pihak pemilik modal menyatakan kehendaknya dalam menyerahkan modalnya berupa hewan sapi kepada orang yang menjalankan kegiatan kerjasama gaduh sapi, kemudian dari perikatan tersebut menimbulkan akibat hukum dari perjanjian perikatan terhadap objeknya.

Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di lapangan, penulis mendapatkan data bahwa dalam pelaksanan kerjasama gaduh sapi pada prinsipnya semata-mata hanya sekedar tolong menolong sesama manusia dalam bidang ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

10 ibid,hal. 373-376

(14)

Kegiatan gaduh sapi ini dilakukan oleh para pihak atas dasar rela tidak ada paksaan oleh pihak lain, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berangkat dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem bagi hasil pada gaduh sapi menggunakan akad mudharabah.

Sedangkan berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan pada masyarakat Desa Bataal Timur yaitu Bapak Dili

“modal yang diberikan berupa Sapi, kemudian membagi keuntungan dari hasil penjualan sapi dan jika sapi betina yang digaduhkan mempunyai anak, maka bagi hasil tersebut sesuai perjanjian yang disepakati”. Antara lain dengan membagi anak dari hewan tersebut, atau dapat juga berupa dalam bentuk uang dari hasil penjualan anak sapi tersebut. Anak pertama diambil pemelihara sedangkan anak kedua diambil oleh pemilik, begitupun anak ketiga dan seterusnya.11 Hal demikian tentulah tidak dilarang oleh syariat Islam sebab banyak sekali sisi manfaat yang dapat diambil dari transaksi tersebut, seperti nilai tolong menolong antar sesama (ta‟awanu) dan nilai-nilai persaudaraan (ukhuwah).

Sistem bagi hasil (mudharabah) merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan usaha bersama dalam melakukan kegiatan usaha gaduh sapi. Di dalam usaha tersebut dibuat perjanjian adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan didapat antara pemilik dan pemelihara. Besarnya penentuan

11 Dili, Hasil Wawancara, Bataal Timur 10 Agustus 2022

(15)

porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.

Setiap prilaku manusia tidak pernah lepas dari bantuan orang lain, demikian juga praktik kerjasama gaduh sapi yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Bataal Timur Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak cukup dengan hanya mengandalkan usaha bertani dan berkebun saja. Melainkan masyarakat setempat menjalankan usaha lainya yakni usaha kerjasama gaduh sapi.

Akad mudharabah kerja sama antara pemilik dan pemelihara sapi dijelaskan dalam bentuk perjajian kerjasama yang telah disetujui oleh kedua belah pihak dalam bentuk tidak tertulis.

Isi yang dijelaskan dalam perjanjian tersebut dibuat oleh pemilik sapi kemudian dikatakan kepada pihak yang memelihara, setuju atau tidak. Kalau setuju dengan perjanjian tersebut maka pihak pemelihara dimohon untuk mengatakan qabul (penerimaan) yang berarti bahwa kerjasama tersebut terjalin. Harga pokok sapi adalah harga sapi dengan adanya perjanjian atau kesepakatan untuk memelihara. Harga pokok ditentukan oleh pemilik sapi yang diperoleh pedagang sapi dari pembelian sapi di pasar. Dan pemilik sapi dengan pemelihara sapi membuat kesepakatan sesudah kedua belah pihak mengetahui harga pokok dari pedagang sapi itu. Maka terjadilah akad (perjanjian) dalam bagi hasil itu.

(16)

Hubungan Antara manusia sebagai individu atau sebagai anggota kelompok masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhannya ada bermacam-macam bentuknya, ada yang berupa jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, kerjasama dan sebagainya. Dari penelitian yang penulis lakukan pada masyarakat di Desa Bataal Timur Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep, dalam memenuhi kehidupan sehari-hari tidak cukup dengan hanya mengandalkan usaha bertani dan berkebun saja, melainkan masyarakat setempat menjalankan usaha lainnya yakni usaha kerjasama bagi hasil gaduh sapi yang sudah lama dijalani oleh penduduk Desa Bataal Timur.

Secara teroritis sistem bagi hasil gaduh sapi berdasarkan pada konsep mudharabah karena dalam prakteknya sesuai dengan teori mudharabah, yaitu pemilik modal atau shahibul maal memberikan dana kepada pemelihara dana atau mudharib yaitu berupa sapi tersebut untuk dipelihara. Pelaksanaan akad mudharabah pada hewan gaduh sapi ada dua belah pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu: pemilik modal dan pemelihara sapi.

Pemilik modal adalah orang yang memiliki sapi.

Adapun pemelihara adalah orang yang melakukan pemeliharaan untuk membantu pemilik sapi untuk memelihara sapi. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik sapi, diperoleh suatu data bahwa ada beberapa alasan terjadinya kerjasama bagi hasil gaduh sapi, yaitu: Ibu Jayyidah (Ibu Jay) selaku pemilik sapi (shahibul mal) menjelaskan bahwa

(17)

“kerjasama ini dilakukan disebabkan karena timbulnya rasa ingin menolong pada orang yang kurang mampu serta keterbatasan waktu dan kemampuan untuk mengelolanya”.12

Akad dilakukan secara lisan, tidak ada batas waktu yang ditentukan saat akad berlangsung. Modal sepenuhnya ditanggung pemilik sapi. Kerjasama bagi hasil ini hanya didasarkan unsur tolong menolong dan kepercayaan. Begitu pula dengan Ibu Kayyimah selaku pemelihara sapi (mudarib), dimana keuntungan yang diperoleh dalam bagi hasil gaduh sapi sebenarnya sangat membantu perekonomian, namun lama dalam memperoleh hasilnya karena menunggu perkembangbiakan sapi terebut.13

Dengan demikian usaha gaduh sapi ini sangat saling membantu satu sama lain. Latar belakang kepentingan yang saling membutuhkan yaitu pemelihara membutuhkan modal dan pemilik sapi membutuhkan tenaga dan kemampuan pemelihara untuk memelihara sapi. Untuk memenuhi harapan tersebut maka kerjasama merupakan alternative yang baik dalam kegiatan kerjasama gaduh sapi.

Keadaan geografis Desa Bataal Timur Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep, wilayah ini sangat menunjang untuk memelihara dan bergaduh dikarenakan iklim cuaca yang cocok dan juga banyak tersedianya pakan gaduh, sehingga masyarakat setempat menyukai dalam menjalankan usaha

12 Jayyidah, Hasil Wawancara, Bataal Timur 9 Agustus 2022

13 Kayyimah, Hasil Wawancara, Bataal Timur 9 Agustus 2022

(18)

tersebut. Berdasarkan observasi penulis lakukan pada kepemilikan hewan sapi tersebut sebagian besar bukan milik sendiri, sebab sebagian besar penduduk setempat tidak cukup memiliki biaya atau modal untuk menjalankan usahanya sendiri yang melainkan sapi tersebut ialah kerjasama gaduh sapi.

Dalam pemeliharaan sapi juga terdapat resiko-resiko yang harus dihadapi oleh pemilik dan pmelihara. Risiko kerugian yang sering terjadi adalah induk sapi betina yang dipelihara oleh pengelola tidak memiliki anak, sakit atau mati. Apabila sapi tidak memiliki anak maka pengelola hanya bisa mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga sapi, tetapi apabila sapi turun harga maka harus menanggung kerugian. Saat sapi sakit pengelola harus mengeluarkan biaya untuk melakukan perawatan sapi. Tetapi apabila sapi mati, bukan kesengajaan dari pengelola maka sapi tidak perlu diganti dengan sapi yang baru. Lain halnya apabila sapi tersebut sakit kemudian mati, atas kelalayannya sendiri pemilik sapi tidak bertanggung jawab dan pengelola harus ganti rugi.

Para ulama seperti Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa keuntungan merupakan sesuatu yang menjadi inti dari akad mudharabah karena modal yang diberikan adalah kehendak untuk meraih keuntungan karena itu pembagian keuntungan harus jelas porsi antara pemodal dengan pemelihara. Selain itu, keuntungan itu hanya untuk pemodal dan pemelihara bukan

(19)

untuk orang lain karena itu keuntungan tersebut hanya terkait dengan pihak pemodal dan pemelihara saja.14

Mudarib berhak atas keuntungan yang disebutkan dalam akad, sebagai imbalan dari usahanya dalam mudharabah, apabila usahanya memperoleh keuntungan. Apabila kegiatan usahanya tidak menghasilkan keuntungan. maka mudarib tidak memperoleh apa-apa, karena ia bekerja untuk dirinya sendiri sehingga ia tidak berhak atas upah. Keuntungan tersebut akan jelas apabila diadakan pembagian. Untuk pembagian keuntungan ini, disyaratkan modal harus diterima oleh pemilik modal.

Dengan demikian, sebelum modal diterima kembali oleh pemilik modal dari tangan mudarib, maka keuntungan tidak boleh dibagi.15

Sekiranya terjadi kerugian maka menjadi tanggungan dari pemodal sedangkan pemelihara rugi dari segi aspek non-material seperti waktu, tenaga, dan pikiran. Dalam konsep fikih bahwa keuntungan mudharabah dibagi antara pemelihara dan pemilik modal sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Pola pembagian seperti ini dikarenakan pemilik harta memberikan hak hartanya untuk dikembangkan kepada pemelihara dengan harapan pemelihara dapat memberikan keuntungan kepadanya atau dikarenakan keinginan untung menolong ekonomi

14 Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah (Banda Aceh: PeNA, 2014), hal.107.

15 ibid, hal.384

(20)

pemelihara agar tidak kesulitan. Konsep tersebut hampir disepakati oleh seluruh madhab.16

Bila mendapat keuntungan tidak ada masalah untuk mengabsorpsi atau menikmati keuntungan. Karena sebesar apapun keuntungan yang terjadi, kedua belah pihak akan selalu dapat menikmati keuntungan itu. Lain halnya kalau mengalami kerugian. Kemampuan sahibul mal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudarib dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal, dan karena proporsi modal (finansial) ditanggung 100% pula oleh sahibul mal. Di lain pihak, proporsi modal (finansial) mudarib dalam kontrak ini adalah 0%, andaikata terjadi kerugian, mudarib akan menanggung kerugian (finansial) sebesar 0% pula.17

Praktik mudharabah ini sudah terjadi pada zaman dahulu.

Dimana pernah dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW dengan khadijah. Praktik mudharabah menggambarkan hubungan kerjasama antara mudharib dengan shahibul mal. Mudharib adalah orang yang memiliki keahlian, sementara shahibul mal orang yang memiliki dana, yang nisbahnya dibagi sesuai kesepakatan bersama.18

16 ibid hal.108

17 Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, (PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004) hal.207-208

18ibid, hal.190

(21)

Bentuk usaha mudharabah ini, ada pada masa Nabi Muhammad SAW, dan beliau mengakuinya kebijaksanaan Allah menuntut dibolehkannya kongsi mudharabah ini, karena orang- orag yang membutuhkan, selain itu, karena uang tidak akan berkembang kecuali diinvestigasi dan diniagakan Al-Alamah Ibnu Al-Qayyim berkata, Mudharib (pihak pekerja) adalah orang yang dipercaya, orang yang diupah, wakil dan mitra kongsi bagi pemilik modal (mudharib) sebagai orang yang dipercaya ketika memegang harta pemiliknya, ia sebagai wakil ketika mudharib ini megembangkan harta tersebut, dan sebagai orang yang diupah dalam melakukan pekerjaan-pekejaan untuk mengembangkan harta, dan mudharib sebagai mitra kongsi ketika ada laba dari harta yang dikembangkan tersebut.19 Keuntungan bersih pada mudharabah dibagi setelah segala pembelanjaan atau biaya perdagangan diperhitugkan, dan modal investor (shahibul al-mal) dikembangkan lagi, sekiranya akad atau transaksi berakhir.

Dapat diketahui bahwa modal berupa barang yang tidak dapat dibayarkan, seperti rumah, begitu pula tidak boleh berupa hutang. Pemilik modal memiliki hak untu mendapatkan laba sebab modal tersebut miliknya, sedangkan pekerja mendapatkan laba dari hasil pekerjaannya.20 Salah satu praktek mudharabah yang paling banyak dilakukan masyarakat bahkan sudah menjadi

19 Saleh Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakata:Gema Insani, 2006) hal.

468

20 Rachmad Syafe‟I, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Pustaka Setia, 2010) hal. 223

(22)

tradisi di sebagian besar Desa Bataal Timur adalah gaduh sapi.

Dimana gaduh tersebut merupakan sebuah istilah yang digunakan masyarakat untuk sebuah praktek kerjasama dalam perawatan hewan gaduh.

Orang yang menggaduh biasanya bapak-bapak atau ibi- ibu yang berprofesi sebagai petani karena beliau mempunyai banyak waktu dan tenaga untuk mengelola sapi karena sambil menunggu hasil panen mereka seperti padi, jagung, tembakau, dan sayur-sayuran. Mereka mencari kesibukannya supaya tidak menjadi pengangguran. Akan tetapi orang yang berprofesi sebagai petanipun juga banyak yang menggaduhkan sapinya karena jumlah sapinya yang lebih dari satu sehingga tidak mampu merawatnya sendiri karena semakin sulit mencari pakan sapi disawah apalagi bagi petani yang tidak mempunyai sawah akan lebih kesulitan mencari pakan sapi sehingga mereka kewalahan untuk mengurus sendiri.21

Mereka juga menetapkan kriteria sapi yang layak digaduhkan yaitu biasanya sapi yang sehat entah itu betina atau jantan yang sudah besar atau masih muda, dan banyak juga yang menggaduhkan sapi yang masih anakan, akan tetapi diantara mereka lebih banyak berminat menggaduh sapi betina, menurut mereka lebih menguntungkan karena sewaktu-waktu bisa

21 Musai, Hasil Wawancara, Bataal Timur, 12 Agustus 2022

(23)

mempunyai anak. Sebagian lainnya juga berminat menggaduh sapi jantan karena pertumbuhannya lebih cepat dari sapi betina22

Sistematika gaduh sapi cukup sederhana, yaitu pihak pemilik hewan gaduh menyerahkan hewan gaduhnya pada seseorang yang mau merawatnya. Yang harus dilakukan oleh perawat adalah merawat hewan gaduh tersebut. Akad gaduh sapi yang dilakukan tanpa adanya batasan waktu, sampai pengelola sudah tidak sanggup melakukan gaduh sapi. Seperti keterangan dari Bapak Karim, “Tidak ada batas waktunya, kami dibolehkan untuk merawat tanpa batasan waktu. Tetapi apabila sudah tidak sanggup untuk melanjutkan merawat atau membutuhkan uang maka sapi boleh dijual.”

Sedangkan terkait ongkos atau upah dikembalikan terhadap kesepakatan kedua belah pihak. Kaitannya dengan upah yang diberikan, biasanya dalam praktek nyata terdiri dari dua macam, yaitu membagi keuntungan dari hasil penjualan atau upah berupa anak sapi yang dihasilkan. Secara umum, kedua praktek upah yang dijanjikan tidak sah karena upahnya termasuk Majhul (tidak ada kejelasan). Dengan perincian, apabila yang dimaksud adalah menyewa orang dengan ongkos membagi hasil penjualan, maka termasuk akad Ijaroh Fasidah. Begitu juga apabila upah yang dijanjikan berupa pembagian anak hewan gaduh tersebut. Karena anak hewan gaduh tersebut bukan hasil dari pemeliharaan yang dilakukan oleh pihak perawat hewan

22 Karim, Hasil Wawancara, Bataal Timur, 10 Agustus 2022

(24)

gaduh. Dalam kitab Mughni al-Muhtaj, syekh Khotib as-Syirbini mengatakan:

“Apabila ada orang berkata kepada orang lain: Gemukkan kambing ini, nanti kamu saya beri komisi separuh dari laba penjualan. Atau seseorang berkata: Gemukkan dua kambing ini, nanti kamu saya beri yang satu, maka keduanya tidak sah. Dan pihak perawat berhak mendapat upah umum. Sedangkan hasilnya semua dimiliki yang punya kambing.”23

Selanjutnya, dalam kitab al-Bujairomi „ala al-Khotib disebutkan:“Jika seseorang memberikan hewan piaraannya kepada orang lain agar dipemeliharakan atau untuk dipelihara, dan hasilnya dibagi antara keduannya, maka akad tersebut tidak sah. Karena pada praktek pertama adalah menyewakan hewan, sehingga tidak ada keperluan mendatangkan akad lagi . Karena hal tersebut berpotensi mengandung penipuan. Adapun praktek kedua juga tidak sah karena perkara yang dihasilkan dari hewan piaraan itu bukan dari jerih payah pemeliharaannya.”24 Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa praktek gaduh sapi hukumnya tidak sah menurut madzhab Syafi‟iyah. Namun ada salah satu solusi yaitu dengan mengikuti salah satu pendapat dari madzhab Hanabilah.

23 Mughni al-Muhtaj, juz III hal.230

24 al-Bujairomi „ala al-Khotib, juz III, hal.231

(25)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa penerapan prinsip bagi hasil gaduh sapi di Desa Bataal Timur, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep bisa dikatakan termasuk dalam akad mudharabah. Hal ini dilihat dari rukun mudharabah yaitu terdapat pemilik dana (shahibul mal) yang menyerahkan modal berupa sapi dan atau uang ke pihak pengelola (mudharib), sedangkan pihak pengelola mengeluarkan modal berupa tenaga untuk perawatan sapi. Ketika tiba batas perjanjiannya, mereka melakukan bagi hasil secara adil. Metode bagi hasil ini dilaksanakan dengan membagi hasil keuntungan 50% dari hasil penjualan sapi kepada pemilik serta pemelihara.

Daftar Pustaka

Ambo Masse Rahma, “Konsep Mudharabah Antara Kajian Fiqh dan Penerapan Perbankan” Jurnal Hukum Diktum.

Parepare : Sekolah Tinggi Agama Islam .STAIN, Parepare, 2010.

Al-Bujairomi „ala al-Khotib, juz III.

Al-Mughni Li Ibni Qadamah, juz V.

Dili, Hasil Wawancara, Bataal Timur 10 Agustus 2022.

Fauzan Saleh, Fiqh Sehari-hari, Jakata, Gema Insani, 2006.

Ismail, Perbankan Syari‟ah, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2011.

Jayyidah, Hasil Wawancara, Bataal Timur 9 Agustus 2022.

(26)

Karim Adiwarman, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Karim, Hasil Wawancara, Bataal Timur, 10 Agustus 2022.

Kayyimah, Hasil Wawancara, Bataal Timur 9 Agustus 2022.

Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟anul Karim Terjemahan dan Tajwid

Musai, Hasil Wawancara, Bataal Timur, 12 Agustus 2022.

Muslich Ahmad Wardi, Fiqh Muamalah Jakarta: AMZAH, 2017.

Mughni al-Muhtaj, juz III.

Nurdin Ridwan, Fiqh Muamalah, Banda Aceh: PeNA, 2014.

Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Syafe‟I Rachmad, Fiqh Muamalah, Jakarta: Pustaka Setia, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Peran Ulama Tidak Berpengaruh terhadap Kesadaran Membayar Zakat Pertanian pada Masyarakat di Desa Ganding Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa variabel