• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Implementasi UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Pemerataan Tenaga Kesehatan di Daerah 3T

N/A
N/A
salsa Suci

Academic year: 2025

Membagikan "Analisis Implementasi UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Pemerataan Tenaga Kesehatan di Daerah 3T"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/387296329

Analisis Implementasi Pemerataan Tenaga Kesehatan Di Daerah 3T: UU Nomor 17 Tahun 2023 (Analysis of the Implementation of Health Worker Equity in 3T Areas: Law Number 17 of 2023)

Article · December 2024

CITATIONS

0

READS

136 3 authors, including:

Putri Wulandari University of Indonesia 2PUBLICATIONS   0CITATIONS   

SEE PROFILE

Zahra Syahrani University of Indonesia 4PUBLICATIONS   0CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Putri Wulandari on 21 December 2024.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

(2)

Analisis Implementasi Pemerataan Tenaga Kesehatan Di Daerah 3T: UU Nomor 17 Tahun 2023

(Analysis of the Implementation of Health Worker Equity in 3T Areas: Law Number 17 of 2023)

A.A.I. Jayantri Kusuma Wardhani,Putri Wulandari,& Zahra Syahrani Email:[email protected],[email protected],[email protected]

Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kampus FKM UI, Jl. Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat – 16424

Abstrak

Pemerataan tenaga kesehatan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) masih menjadi tantangan dalam sistem kesehatan Indonesia. Penelitian ini menganalisis implementasi UU Nomor 17 Tahun 2023 terkait pemerataan tenaga kesehatan di daerah 3T menggunakan metode literature review. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi undang-undang ini mencakup tiga aspek utama: kebijakan penempatan tenaga kesehatan melalui program khusus, sistem insentif dan fasilitas, serta kolaborasi lintas sektor. Namun, implementasi tersebut menghadapi berbagai tantangan meliputi keterbatasan sumber daya, faktor sosial budaya, infrastruktur yang belum memadai, serta kompleksitas kebijakan.

Penelitian ini mengidentifikasi perlunya penguatan koordinasi antar pemangku kepentingan dan peningkatan dukungan infrastruktur untuk mengoptimalkan pemerataan tenaga kesehatan di daerah 3T.

Kata kunci: tenaga kesehatan, daerah 3T, implementasi kebijakan, pemerataan kesehatan, UU Nomor 17 Tahun 2023

Abstract

The equitable distribution of healthcare workers in Disadvantaged, Frontier, and Outermost (3T) regions remains a challenge in Indonesia's healthcare system. This study analyzes the implementation of Law Number 17 of 2023 regarding the distribution of healthcare workers in 3T regions using a literature review method. The results show that the law's

(3)

implementation encompasses three main aspects: healthcare worker placement policies through special programs, incentive and facility systems, and cross-sector collaboration.

However, this implementation faces various challenges including resource limitations, socio-cultural factors, inadequate infrastructure, and policy complexity. This study identifies the need for strengthened stakeholder coordination and enhanced infrastructure support to optimize the distribution of healthcare workers in 3T regions.

Keywords: healthcare workers, 3T regions, policy implementation, health equity, Law Number 17 of 2023

PENDAHULUAN

Dalam melakukan peningkatan kesehatan, pusat-pusat pelayanan kesehatan perlu melakukan Sistem Kesehatan Nasional (SKN), salah satunya pada bidang Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan. SDM Kesehatan terdiri atas tenaga kesehatan dan tenaga pendukung kesehatan, seperti kader, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lainnya. Kuantitas SDM kesehatan di Indonesia pada tahun 2020 terdiri atas 1.464.453 individu yang terdiri dari 1.073.678 tenaga kesehatan (74,30%) dan 391.773 tenaga pendukung kesehatan (27,71%) (Primadi &

Ma’ruf, 2020). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan 2014, tenaga kesehatan adalah semua yang didedikasikan untuk sektor kesehatan dan memiliki pengetahuan serta

keterampilan melalui pendidikan di sektor kesehatan yang untuk jenis tertentu membutuhkan kewenangan melakukan upaya kesehatan.

Perbandingan jumlah tenaga kesehatan, yaitu tenaga medis dengan jumlah masyarakat yang tidak seimbang.

Fenomena ini kian marak terjadi terutama di daerah Tertinggal, Terdepan, Dan Terluar (3T), hal tersebut menjadikan adanya kesenjangan antara penyetaraan dalam proses pemberian pelayanan Kesehatan bertujuan untuk memperbaiki standar kualitas pelayanan, mengembangkan sumber daya manusia yang tersedia dan membantu mendorong inovasi Kesehatan serta perbaikan sistem pada bidang Kesehatan. Padahal sejatinya, kesehatan adalah hak fundamental bagi setiap warga negara Indonesia yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh pemerintah. Pemerintah

(4)

Republik Indonesia menjamin hak atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada Bab X yang membahas Hak Asasi Manusia (Amelia & Santoso, 2024).

Oleh karena itu, seharusnya seluruh wilayah memiliki tenaga kesehatan yang memadai untuk pemenuhan HAM dan mengutamakan kesejahteraan warga negara dimanapun tempat tinggalnya, walaupun di daerah 3T sekalipun.

Meskipun telah ada upaya-upaya untuk meningkatkan efektivitas penempatan tenaga kesehatan di daerah terpencil, tantangan tersebut tetap ada dan memerlukan solusi yang inovatif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, penelitian yang mendalam tentang dinamika implementasi kebijakan penempatan tenaga kesehatan di daerah terpencil menjadi penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan kebijakan tersebut dan merumuskan rekomendasi yang relevan bagi praktisi dan pembuat kebijakan kesehatan (Pomeo & Winarti, 2024).

METODE

Penelitian ini menggunakan metode literature review sebagai sumber data dan informasi mengenai subjek penelitian dari berbagai jurnal, artikel

ilmiah, dan sumber lain yang relevan.

Selain itu, penelitian ini merujuk pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 sebagai rujukan utama mengenai pemerataan tenaga kesehatan di Indonesia khususnya daerah 3T.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi UU No. 17 Tahun 2023 Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 adalah tonggak penting dalam reformasi kesehatan Indonesia.

Tujuan undang-undang ini adalah untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan bagi semua orang, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau geografis mereka (Kemenkes, 2023).

Transformasi kesehatan yang terjadi setelah undang-undang ini mencakup banyak hal, termasuk pendanaan kesehatan, yang merupakan dasar penting untuk meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan. Fakta lapangan masih menunjukkan ketidakseimbangan yang signifikan dalam pelayanan kesehatan, meskipun telah ada komitmen untuk pemerataan. Di daerah perkotaan, layanan kesehatan berkualitas seringkali lebih mudah diakses daripada di daerah pedesaan, sementara masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah seringkali menghadapi kesulitan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Angka

(5)

kesehatan yang tidak merata menunjukkan disparitas di Indonesia, seperti angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi di beberapa daerah (Kemenkes, 2023). Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 untuk mengubah sistem kesehatan untuk memberikan pelayanan yang lebih merata dan berkualitas.

a. Kebijakan Penempatan

UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pada Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat, termasuk daerah 3T. Pemenuhan tenaga kesehatan melalui perencanaan strategis, seperti program khusus penempatan tenaga kesehatan di daerah 3T melalui pengadaan kontrak, ikatan dinas, dan wajib kerja (Indonesia, 2023).

PP Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS), sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap akses layanan kesehatan spesialistik. Implementasi PGDS sejak tahun 2019, terdapat peningkatan persentase pemerataan

dokter spesialis di berbagai provinsi di Indonesia, Persentase Rumah Sakit Kabupaten/Kota Kelas C yang memiliki 4 (empat) Dokter Spesialis Dasar dan 3 (tiga) Dokter Spesialis Penunjang mengalami peningkatan sejak tahun 2019 ke tahun 2021 sebesar 13%. (Herlina et al., 2022)

Prioritas pemerintah pada kebutuhan spesifik daerah terpencil dan tertinggal diwujudkan melalui pemetaan kebutuhan tenaga kesehatan dan penempatan dokter spesialis. Langkah ini diharapkan dapat mengatasi ketimpangan akses layanan kesehatan dan memastikan seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di daerah 3T, memperoleh pelayanan kesehatan spesialistik memadai. (Priyatmoko et al., 2014)

b. Insentif dan Fasilitas

Tenaga kesehatan yang ditugaskan di daerah tertinggal akan mendapatkan insentif dan fasilitas khusus yang diberikan oleh pemerintah. Pemilihan bentuk insentif didasarkan pada karakteristik daerah dan kemampuan pemda masing masing daerah. Hal ini disebutkan dalam

(6)

pasal 235 ayat 2 Undang Undang No. 17 tahun 2023 yang diperjelas pada PerMenKes RI No. 80 tahun 2015. Insentif dan fasilitas khusus tersebut antara lain :

a. memperoleh penghasilan berupa insentif sebesar Rp7.500.000 bagi peserta PPDS/PPDGS dan

Rp2.500.000 bagi

Perawat/Bidan/Sanitarian/Tenaga Gizi/ Analis Lab dan Tenaga Kesehatan lainnya yang memiliki status pendidikan lulusan D III;

b. memperoleh biaya perjalanan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan;

c. memperoleh uang duka apabila tewas/wafat ketika melaksanakan tugas;

d. memperoleh cuti tahunan selama 12 (dua belas) hari kerja, bagi tenaga kesehatan dengan pendidikan Diploma III yang telah melaksanakan tugas secara terus menerus selama 1 (satu) tahun;

e. memperoleh Surat Keterangan Selesai Penugasan sebagai Tenaga Kesehatan Penugasan Khusus yang diterbitkan oleh Direktur Rumah Sakit untuk Residen;

f. memperoleh Surat Keterangan Selesai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan Penugasan Khusus yang

diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi untuk tenaga kesehatan dengan pendidikan Diploma III;

g. memperoleh

insentif/tunjangan/fasilitas lainnya yang diberikan oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai kemampuan masing-masing daerah di luar insentif yang diberikan oleh Pemerintah Pusat; dan

h. memperoleh perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan pendampingan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi tenaga kesehatan yang telah bekerja sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.

i. Tenaga Kesehatan Penugasan Khusus yang wafat pada waktu menjalankan masa penugasan, kepada ahli warisnya diberikan uang duka wafat sebesar 6 (enam) kali penghasilan terakhir dan dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

j. Tenaga Kesehatan Penugasan Khusus yang tewas dalam melaksanakan tugas kewajibannya, kepada ahli warisnya diberikan uang duka tewas sebesar 12 (dua

(7)

belas) kali penghasilan terakhir dan dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

c. Kolaborasi Lintas Sektor

Implementasi kolaborasi

lintas sektor dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan di Indonesia mengedepankan kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta berbagai kementerian dan lembaga terkait. Salah satunya adalah penguatan kerja sama dengan Non-Govermental Organization (NGO), seperti yang dilakukan CISDI (2019) berfokus pada program Pencerah Nusantara (PN) yang mempertimbangkan kolaborasi antarprofesi, pada tahun 2012 Kantor Utusan Khusus Presiden (KUKP)-RI MDGs kemudian menginisiasi program pengiriman tenaga kesehatan ke Puskesmas berbasis tim yang kemudian dikenal dengan nama Pencerah Nusantara (PN). Model Pencerah Nusantara mendorong kolaborasi interprofesi yang telah terbukti dapat meningkatkan

efektivitas pelayanan kesehatan (D'Amour, et al., 2005). Model ini

dirancang untuk bisa

mengakomodasi peningkatan kualitas tenaga kesehatan di daerah, task-sharing, skillmixing, dan kolaborasi lintas sektor (Saminarsih, et al., 2014).

Selain itu, peningkatan pendayagunaan tenaga kesehatan juga perlu diupayakan untuk

memenuhi kebutuhan

pembangunan kesehatan di semua lini dari daerah sampai pusat secara lintas sektor. Pendayagunaan tenaga kesehatan perlu memperoleh perhatian khusus, terutama dalam pemenuhan pelatihan berbasis kompetensi.

Kementerian Kesehatan bersama stakeholder perlu terus berkolaborasi dalam pemenuhan tenaga Kesehatan. Sebagai gambaran, terkait dengan ketersediaan SDM Kesehatan, paling tinggi celahnya di wilayah Indonesia timur yang mana 63 persen puskesmas di wilayah tersebut dilaporkan kosong (Kemenkes, 2023).

Dari segi kelengkapan tenaga kesehatan, menurut data SISDMK Kemenkes, puskesmas yang belum lengkap 9 jenis tenaga

(8)

kesehatan paling banyak di wilayah Jawa Barat. Kemudian dari segi kategori wilayah, Puskesmas yang belum lengkap didominasi di wilayah pedesaan. Kementerian Kesehatan perlu terus mendorong pemerintah daerah untuk dapat memenuhi kebutuhan SDM kesehatan di berbagai wilayah 3T.

Tantangan Implementasi UU Nomor 17 Tahun 2023

a. Faktor Sumber Daya

Jumlah dokter spesialis dan tenaga kesehatan profesional di daerah 3T sangat minim karena ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan; sebagian besar lebih memilih bekerja di kota besar yang memiliki infrastruktur lengkap.

Kemudian, terbatasnya pendidikan dan pelatihan dokter berkelanjutan di daerah 3T, sehingga regenerasi tenaga kesehatan menjadi masalah.

Dokter spesialis yang ditempatkan melalui program pemerintah sering menghadapi beban kerja tinggi karena jumlah tenaga yang terbatas dibanding kebutuhan masyarakat.

(Priyatmoko et al., 2014)

Pemerintah daerah di wilayah 3T memiliki anggaran terbatas untuk mendukung penempatan dokter spesialis.

Insentif yang diberikan bagi tenaga kesehatan terkadang tidak memadai untuk mengimbangi beban kerja dan biaya hidup di daerah terpencil. Keterbatasan dana ini juga mempengaruhi pemeliharaan fasilitas kesehatan, pengadaan obat-obatan, dan penyediaan rumah dinas. (Yufi et al., 2015)

b. Faktor Sosial Budaya

Persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di daerah 3T menunjukkan kurangnya pengetahuan, kepercayaan pada faskes rendah, dan ketergantungan pada praktik tradisional. Hal ini menghambat pemerataan tenaga kesehatan karena masyarakat kurang memanfaatkan layanan yang tersedia, bahkan jika fasilitas dan tenaga kesehatan sudah disediakan (Angkasawati & Arifin, 2006). Masyarakat di daerah 3T cenderung lebih menerima tenaga kesehatan dari kalangan lokal dibandingkan tenaga kesehatan pendatang. Hal ini seringkali memunculkan ketidakpercayaan dan mempersulit adaptasi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas. (Soewondo et al., 2019)

Selain itu, terdapat barrier bahasa antara tenaga kesehatan

(9)

(yang umumnya berasal dari luar daerah) dan masyarakat lokal yang masih menggunakan bahasa daerah. Kesulitan komunikasi ini dapat menghambat penyuluhan kesehatan, konsultasi medis, dan pemahaman terhadap pentingnya layanan kesehatan.

c. Faktor Infrastruktur

Implementasi UU Kesehatan

Nomor 17 Tahun 2023

menghadapi berbagai tantangan, termasuk faktor infrastruktur yang merupakan elemen kunci pendukung pencapaian tujuan kebijakan. Salah satu tantangan utamanya adalah terbatasnya infrastruktur kesehatan di berbagai daerah, terutama di daerah terpencil. Fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan peralatan medis masih belum memadai di banyak daerah, sehingga masyarakat sulit mengakses layanan kesehatan yang berkualitas.

Selain itu, keterbatasan anggaran juga merupakan tantangan utama.

Membangun dan meningkatkan infrastruktur kesehatan memerlukan sumber daya keuangan yang besar, namun pemerintah harus mengelola

sumber daya yang terbatas. Hal ini menimbulkan kendala pada pelaksanaan berbagai program undang-undang, sehingga efisiensi dan inovasi dalam pengelolaan anggaran menjadi sangat penting.

Digitalisasi perawatan kesehatan memiliki tantangan tersendiri.

Penerapan teknologi seperti telekesehatan memerlukan infrastruktur teknologi informasi yang tepat. Namun, banyak wilayah Indonesia yang masih kekurangan akses internet yang stabil dan perangkat pendukung yang memadai, sehingga sulit menerapkan digitalisasi secara merata. Sementara itu, kurangnya sistem informasi kesehatan nasional yang terpadu memperburuk situasi. Sistem yang terfragmentasi antara pusat dan daerah menimbulkan inefisiensi dalam pengelolaan data dan layanan kesehatan, dan penciptaan sistem yang terintegrasi memerlukan investasi yang besar.

d. Faktor Kebijakan

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Kartini (2017), terdapat beberapa tantangan utama dalam implementasi kebijakan

(10)

penempatan tenaga kesehatan di daerah terpencil adalah bagaimana memastikan bahwa dukungan infrastruktur dan pelaksanaan kebijakan cukup untuk meningkatkan produktivitas kerja pegawai Puskesmas. Untuk mencapai tujuan, hal-hal seperti perencanaan yang tidak memadai, keterbatasan sumber daya, dan koordinasi antar sektor yang kurang efektif dapat menjadi hambatan utama.

Tergantung pada faktor ekonomi, sosial, dan budaya, tiap daerah di Indonesia, memiliki cara yang berbeda untuk menerapkan kebijakan penempatan tenaga kesehatan di daerah terpencil.

Perbedaan ini dapat berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan, termasuk tingkat produktivitas kerja karyawan Puskesmas. Untuk meningkatkan efektivitas penempatan tenaga kesehatan di daerah terpencil, telah dilakukan berbagai upaya, termasuk peningkatan perumusan dan perencanaan, perpanjangan kesepakatan dengan penyedia jasa, keterlibatan semua pihak terkait, dan peningkatan kerja sama lintas sektor. Evaluasi hasil upaya ini dapat memberikan rekomendasi

untuk perbaikan lebih lanjut.

(Kartini, 2017).

Beberapa daerah terpencil seringkali rentan terhadap konflik sosial, bencana alam, atau situasi politik yang tidak stabil. Kondisi seperti ini dapat mengganggu operasional fasilitas kesehatan dan meningkatkan risiko keamanan bagi para tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah tersebut yang mana hal tersebut masih menjadi kekurangan dari penempatan di daerah terpencil karena belum adanya kebijakan atas hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, lemahnya kebijakan dalam proses koordinasi antara berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga kesehatan, dan masyarakat setempat. Kurangnya koordinasi dapat mengakibatkan tumpang tindih dalam program dan kebijakan, pemborosan sumber daya, dan kesenjangan dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang lebih terkoordinasi dan terintegrasi

dalam merencanakan,

mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan penempatan tenaga kesehatan di

(11)

daerah terpencil (Pomeo dan Winarti, 2024).

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis implementasi pemerataan tenaga kesehatan di daerah 3T terkait UU Nomor 17 Tahun 2023, dapat disimpulkan bahwa upaya pemerataan tenaga kesehatan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) masih menghadapi berbagai tantangan kompleks meskipun telah ada kerangka hukum yang mengaturnya. Implementasi undang-undang ini telah mencakup tiga aspek utama yaitu kebijakan penempatan tenaga kesehatan melalui program khusus, sistem insentif dan fasilitas, serta kolaborasi lintas sektor.

Dalam aspek kebijakan penempatan, pemerintah telah mengupayakan berbagai program seperti pengadaan kontrak, ikatan dinas, dan wajib kerja. Program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS) yang diatur dalam PP Nomor 31 Tahun 2019 telah menunjukkan peningkatan persentase pemerataan dokter spesialis sebesar 13% dari tahun 2019 ke 2021.

Sementara itu, kolaborasi lintas sektor telah diimplementasikan melalui program seperti Pencerah Nusantara yang mendorong kolaborasi interprofesi untuk meningkatkan efektivitas pelayanan kesehatan.

Namun demikian, implementasi kebijakan ini masih menghadapi beberapa tantangan signifikan. Dari segi sumber daya, masih terdapat ketimpangan distribusi tenaga kesehatan dimana sebagian besar lebih memilih bekerja di kota besar dengan infrastruktur yang lebih lengkap. Faktor sosial budaya juga menjadi tantangan tersendiri, termasuk rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap fasilitas kesehatan modern dan preferensi terhadap tenaga kesehatan lokal. Hambatan bahasa dan komunikasi antara tenaga kesehatan dengan masyarakat setempat juga menjadi kendala dalam pemberian layanan kesehatan yang optimal.

Kompleksitas implementasi kebijakan juga terlihat dari perbedaan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya di berbagai daerah yang mempengaruhi efektivitas penempatan tenaga kesehatan. Tantangan infrastruktur dan keamanan di beberapa daerah 3T juga menjadi pertimbangan penting dalam implementasi kebijakan. Koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga masyarakat setempat masih memerlukan penguatan untuk menghindari tumpang tindih program dan pemborosan sumber daya.

Untuk mengoptimalkan implementasi UU Nomor 17 Tahun 2023, diperlukan pendekatan yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan. Hal ini mencakup

(12)

penguatan koordinasi antar pemangku kepentingan, peningkatan dukungan infrastruktur, serta evaluasi dan perbaikan berkelanjutan terhadap implementasi kebijakan. Dengan demikian, diharapkan pemerataan tenaga kesehatan di daerah 3T dapat terwujud secara lebih efektif dan memberikan dampak positif bagi peningkatan kesehatan masyarakat di daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, T. and Santoso, B. (2024)

“Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Asing dalam Sistem Kesehatan di Indonesia”, UNES Law Review, 7(1), pp. 238-245. doi:

10.31933/unesrev.v7i1.2256.

Kementerian Kesehatan RI. (2014).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Pomeo, W. R. R. and Winarti, S. (2024) Dinamika Implementasi Kebijakan Penempatan Tenaga Kesehatan Di Daerah Terpencil : Tantangan Dan Realitas Lapangan: Jurnal Kesehatan Tambusai.

Kartini, W. (2017). Pengaruh pelaksanaan kebijakan tentang puskesmas dan dukungan sarana prasarana terhadap manajemen pelayanan kesehatan untuk meningkatkan

produktivitas kerja. Jurnal Publik:

Jurnal Ilmiah Bidang Ilmu Administrasi Negara, 11(2), 146-156.

CISDI. (2019). TRANSFORMASI

PENGELOLAAN TENAGA

KESEHATAN UNTUK

MENINGKATKAN PELAYANAN

KESEHATAN DASAR DI

PUSKESMAS DTPK: Makalah Kebijakan.

Kementerian Kesehatan RI. (2023).

Kemenkes Luncurkan Integrasi Layanan Primer Untuk Perkuat Pemenuhan dan Kompetensi SDM Kesehatan di Fasyankes. [online]

[Accessed 15 Dec. 2024].

Angkasawati, T. J., & Arifin, A. (2006).

Perspektif Petugas Kesehatan Tentang Kinerja Puskesmas di Daerah Terpencil. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 9(1), 23–30.

https://lib.fkm.ui.ac.id/detail?id=75 902&lokasi=lokal

Herlina, S., & Oktamianti, P. (2022).

Analisis Kebijakan Pemerataan Dokter Spesialis Di Indonesia:

Sebuah Tinjauan Naratif. 10(7).

https://doi.org/10.36418/syntax-lite rate.v7i10.13365

Priyatmoko, H., Lazuardi, L., &

Hasanbasri, M. (2014). KOTA INDONESIA (ANALISIS DATA

(13)

RIFASKES 2011)

DETERMINANTS OF

AVAILABILITY OF SPECIALIST

DOCTORS AND HOSPITAL

FACILITIES IN PUBLIC

HOSPITAL AT

DISTRICT/MUNICIPALITY IN INDONESIA(RIFASKES DATA ANALYSIS 2011). In Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

(Vol. 03, Issue 4).

https://github.com/citation-style-lan -

Soewondo, P., Johar, M., Pujisubekti, R., Halimah, H., & Irawati, D. O.

(2019). Kondisi Kesehatan Masyarakat yang Bermukim di Daerah Tertinggal : Kasus dari Bengkulu, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Media Penelitian Dan Pengembangan

Kesehatan, 29(4).

https://doi.org/10.22435/mpk.v29i4 .945

Yufi Arumning Melati, K., Asmita Wigati, P., Pawelas Arso Bagian Administrasi Kebijakan Kesehatan, S., & Kesehatan Masyarakat, F.

(2015). ANALISIS BEBAN KERJA BIDAN DESA DI PUSKESMAS

DUREN KABUPATEN

SEMARANG (Vol. 3, Issue 3).

http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.

php/jkm

View publication stats

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “Analisis Mas}lah}ah Mursalah terhadap Implementasi UU nomor 11 tahun 2016 tentang Tax Amnesty di KPP Pratama Surabaya Wonocolo” ini merupakan hasil

Objek dalam penelitian ini adalah implementasi UU Nomor 17 Tahun 2012 dalam aspek permodalan koperasi dan subjek penelitian ini adalah Koperasi Simpan Pinjam

Dengan demikian dapat disimpulkan oleh penulis bahwa legalisasi tindakan aborstus provocatus karena perkosaan seperti yang diatur dalam Pasal 75 UU Kesehatan

Terkait dengan hal tersebut diatas, pihak manajerial Rumah Sakit Umum Bhakti Yudha Depok mempunyai perhatian untuk mengetahui kompetensi tenaga kesehatan rumah sakit saat

Tenaga Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak Balita yang selanjutnya disebut Tenaga KIBBLA adalah setiap orang yang mempunyai kompetensi dalam melakukan pelayanan

Karya tulis ilmiah berupa Tesis dengan judul “Analisis Perspektif Tenaga Kesehatan Tentang Implementasi Akreditasi dan Kualitas Pelayanan Puskesmas di Kota Palembang”

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat keberhasilan implementasi program Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) pada Proyek

(2) Tenaga kesehatan perawat, refraksionis optisien, akupunktur dan radiografer yang menyelenggarakan praktik profesi di sarana kesehatan wajib memiliki SIK paling banyak