• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Internalisasi dan Implementasi Sila Kedua Pancasila dalam Kasus Pelecehan Seksual Tahun 2025

N/A
N/A
Ali chnnel for

Academic year: 2025

Membagikan "Analisis Internalisasi dan Implementasi Sila Kedua Pancasila dalam Kasus Pelecehan Seksual Tahun 2025"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Berikut mini riset dengan pembahasan lebih rinci dan analitis mengenai minimnya internalisasi dan implementasi sila kedua Pancasila (“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”) dalam konteks kasus pelecehan seksual yang terjadi pada tahun 2025 di Indonesia.

Setiap pernyataan penting disertai dengan sumber terpercaya dari periode tersebut.

---

1. Latar Belakang

Sila kedua Pancasila mengandung dua dimensi utama:

penghormatan terhadap martabat manusia (nilai kemanusiaan) dan penerapan prinsip keadilan serta peradaban dalam interaksi sosial.

Idealnya, masyarakat yang menghayati sila ini akan menjunjung tinggi hak asasi individu, memberikan perlindungan bagi kelompok rentan, dan bertindak adil saat menghadapi masalah kemanusiaan.

Namun, sepanjang tahun 2025, berbagai insiden pelecehan—mulai dari fasilitas kesehatan, transportasi umum, hingga ranah

pendidikan agama—terus terungkap, menandakan lemahnya internalisasi nilai kemanusiaan sekaligus kurang tegasnya

implementasi kebijakan dan norma yang berlandaskan sila kedua Pancasila.

---

2. Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Data primer dikumpulkan melalui rilis resmi lembaga terkait (Kementerian Kesehatan, KPPPA, Konsil Kedokteran Indonesia), laporan media (detik.com, Kompas.com, Antara News), serta

(2)

pernyataan publik dari instansi penegak hukum. Analisis dilakukan dengan memetakan dua aspek utama: (1) sejauh mana nilai

kemanusiaan dalam sila kedua Pancasila diinternalisasi oleh individu dan lembaga; (2) bagaimana implementasi kebijakan (undang-

undang, protokol institusional, mekanisme penanganan) mencerminkan prinsip “adil dan beradab” dalam konteks penanganan kasus pelecehan.

---

3. Deskripsi Kasus Tahun 2025

3.1. Kasus Pelecehan oleh Oknum Dokter di Malang (April 2025)

Pada pertengahan April 2025, ramai diberitakan kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter rumah sakit swasta di Kota Malang. Korban, seorang perempuan pasien yang tengah menjalani pemeriksaan, mengaku dokter tersebut melakukan tindakan asusila saat sesi cek fisik di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Setelah viral di media sosial, Satreskrim Polresta Malang Kota mendatangi lokasi dan memeriksa CCTV, ruang rawat, serta

memanggil terduga pelaku berinisial AYP untuk pemeriksaan awal.

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dokter tersebut, mengingat pelanggaran etika ini menodai sumpah dokter dan kepercayaan publik.

Pemerintah pusat, melalui Wakil Menteri Kesehatan Prof. Dante Saksono Harbuwono, menegaskan bahwa tindakan asusila oleh tenaga medis merupakan pelanggaran kode etik profesi kedokteran dan akan ditindak secara serius baik dari sisi etik maupun hukum pidana. Sejak awal 2025, tercatat setidaknya tiga kasus pelecehan serupa oleh tenaga medis di berbagai daerah (Bandung, Garut, dan Malang), yang memicu sorotan publik terhadap lemahnya

pengawasan disiplin profesi medis.

(3)

---

3.2. Kasus Pelecehan di KRL Commuter Line Tanah Abang–

Rangkasbitung (April 2025)

Pada 2 April 2025, seorang perempuan pengguna KRL Commuter Line jurusan Tanah Abang–Rangkasbitung menjadi korban pelecehan seksual oleh pria berinisial HU (29). Insiden ini terekam CCTV,

menunjukkan pelaku mengikuti korban sejak turun kereta hingga hall bawah stasiun, melakukan sentuhan tidak senonoh. Kasus ini viral setelah korban menceritakan pengalamannya kepada sopir taksi online. Pihak KAI Commuter berhasil mengidentifikasi dan

menyerahkan pelaku ke Polres Metro Jakarta Pusat, sekaligus mem- blacklist namanya agar tidak dapat menggunakan layanan KRL lagi.

Respon instansi terkait berlangsung cepat:

Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) mengawal kasus ini dengan memfasilitasi pendampingan psikologis dan hukum bagi korban, serta mengimbau masyarakat untuk melapor ke hotline SAPA 129 jika mengalami atau

menyaksikan kekerasan seksual di ruang publik.

Komnas Perempuan menegaskan bahwa pelecehan seksual di angkutan umum merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana

Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan mengingatkan perlu adanya upaya pencegahan sistemik untuk memastikan keamanan ruang publik.

(4)

---

3.3. Kasus Kekerasan Seksual oleh Guru Mengaji di Makassar (Mei 2025)

Pada awal Mei 2025, publik dikejutkan oleh kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru mengaji terhadap anak-anak di Makassar, Sulawesi Selatan. Kasus ini pertama kali mencuat setelah seorang komika, Eky Priyagung, membagikan pengalaman pribadi dirinya dan mendorong korban lain buka suara. Kementerian PPPA langsung turun tangan, memastikan korban (yang sebagian masih di bawah umur) mendapatkan pendampingan hukum dan psikologis.

Pelaku diproses berdasarkan ketentuan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2016 (perubahan UU No. 23 Tahun 2002) tentang Perlindungan Anak, yang memperberat

hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Menteri PPPA Arifah Fauzi menyatakan bahwa negara wajib hadir untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan, serta menekankan bahwa proses hukum harus adil, transparan, dan berpihak pada korban. Dalam beberapa hari setelah laporan publik, pihak berwenang telah memanggil saksi-saksi, menyelidiki TKP (tempat kejadian perkara) di rumah mengaji, dan menyiapkan tim forensik khusus untuk menangani trauma korban.

---

4. Analisis

4.1. Minimnya Internalisasi Nilai Kemanusiaan

(5)

4.1.1. Perspektif Individu (Pelaku dan Lingkungan)

Dari ketiga kasus di atas, terlihat pola yang sama: pelaku (dokter, penumpang KRL, guru mengaji) gagal menghormati martabat dan privasi korban. Ketidakpedulian terhadap hak-hak individu ini mencerminkan lemahnya pendidikan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab—inti sila kedua Pancasila. Idealnya, setiap warga negara memahami bahwa tindakan merendahkan martabat orang lain, apalagi menyasar kelompok rentan (korban perempuan dan anak), secara tegas bertentangan dengan nilai Pancasila. Namun, realitas 2025 menunjukkan sebaliknya:

Dokter di Malang: Menempatkan kekuasaan profesi medis di atas rasa kemanusiaan korban, memanfaatkan situasi pasien yang tengah rentan.

Pelaku di KRL: Menganggap ruang publik sebagai “zona bebas” bagi tindakan cabul, tanpa kesadaran bahwa korban juga memiliki hak atas keamanan dan kehormatan di transportasi umum.

Guru Mengaji: Menggunakan posisi otoritas dalam pola asuhan agama untuk memanipulasi korban anak, menandakan absolutisasi kuasa tanpa empati.

Kesemua ini menandakan internalisasi sila kedua belum mencapai level yang seharusnya—yaitu kesadaran bahwa setiap tindakan harus memperhatikan kehormatan dan hak asasi manusia lain.

4.1.2. Persepsi Masyarakat dan Victim-Blaming

Lebih lanjut, masyarakat kerap terjebak dalam budaya victim-

blaming—menyalahkan korban atas pelecehan yang dialami. Contoh:

pada kasus dokter di Malang, beberapa komentar awal di media sosial melebihkan keraguan terhadap kredibilitas korban (“pakaian

(6)

terlihat ketat,” “kenapa tidak ada saksi lain?”). Sikap ini

menunjukkan masih kuatnya stigma dan minimnya pemahaman bahwa korban berhak atas perlindungan dan dukungan, bukan dicurigai atau dilekati tanggung jawab atas tindakan pelaku.

---

4.2. Minimnya Implementasi Nilai “Adil dan Beradab”

4.2.1. Kerangka Hukum dan Penegakan (UU TPKS dan Regulasi Terkait)

Sejak disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), diharapkan ada perubahan signifikan dalam penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual. UU ini menegaskan bahwa setiap bentuk pelecehan seksual—di ruang

privat maupun publik—dapat dipidana hingga 4 tahun penjara (Pasal 12 UU TPKS). Namun, implementasinya di lapangan menghadapi berbagai kendala:

1. Proses Pelaporan dan Penyelidikan: Banyak korban masih enggan melapor karena stigma, ketakutan akan reaksi keluarga/institusi, atau karena proses hukum dianggap rumit. Kasus KRL, misalnya, sempat terhambat karena korban harus menguatkan diri terlebih dahulu sebelum melapor.

2. Kualitas Investigasi: Pada kasus dokter di Malang, tim penyidik memerlukan waktu untuk menelusuri jejak bukti forensik di ruang IGD dan rekaman CCTV. Sementara, dalam kasus guru mengaji di Makassar, penanganan awal memfokuskan pada pendampingan korban, tetapi koordinasi antar-lembaga (polisi, Kemen PPPA, kejaksaan) belum sepenuhnya terintegrasi.

(7)

3. Sanksi dan Efek Jera: Pelaku dokter di Malang dicabut STR-nya, menandakan sanksi administratif cukup tegas. Namun, hukuman pidana masih diproses dan belum selesai pada Mei 2025. Kasus KRL menghasilkan blacklist pelaku dari KAI Commuter, tetapi hukuman pidana final masih menunggu putusan pengadilan. Pada kasus guru mengaji, aparat menjanjikan proses hukum tegas, tapi di lapangan terdapat kekhawatiran tentang lamanya penyidikan dan simpulan hakim. Hal ini memperlihatkan bahwa aspek “beradab dan adil”

belum sepenuhnya terejawantahkan dalam penegakan norma hukum.

4.2.2. Protokol dan Respons Institusional

Setiap institusi (rumah sakit, operator transportasi, lembaga pendidikan agama) seharusnya memiliki protokol internal untuk mencegah dan menangani pelecehan seksual:

Rumah Sakit: Rumah sakit swasta di Malang sempat dinonaktifkan sebagian stafnya dan kerahasiaan alur pemeriksaan pasien

diperketat pasca kasus. Namun, belum ada kebijakan nasional yang mengatur standarisasi body checking oleh tenaga medis (misalnya, keharusan ada perawat pendamping saat pemeriksaan rawat inap pasien perempuan).

Operator KRL: KAI Commuter sudah meningkatkan patroli petugas di gerbong, menempatkan poster edukasi antikelecehan, dan

memasang tombol darurat. Meski demikian, ruang publik yang luas tetap rentan terjadi pelecehan sebelum petugas dapat turun tangan.

Lembaga Keagamaan: Pesantren dan majelis taklim di Sulawesi Selatan pada Mei 2025 belum serentak mengeluarkan pedoman

(8)

pencegahan kekerasan seksual oleh ustaz/guru ngaji. Baru setelah kasus tersebut viral, Kemen PPPA mendorong standar pendampingan anak dalam kegiatan belajar agama—seperti larangan tes fisik

tertentu tanpa pendamping dewasa.

Secara keseluruhan, implementasi kebijakan (baik nasional maupun institusional) masih reaktif, muncul setelah kasus terjadi, bukan proaktif mencegah lebih awal.

---

5. Dampak terhadap Korban dan Masyarakat

5.1. Dampak pada Korban

Trauma Psikologis: Riset awal Kemen PPPA menunjukkan banyak korban mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) pasca kejadian pelecehan. Anak korban guru ngaji di Makassar memerlukan terapi jangka panjang karena pelaku menggunakan posisi kekuasaan untuk memperdaya.

Stigma Sosial: Korban pelecehan di rumah sakit dan KRL sering menghadapi keraguan dari kerabat/lingkungan. Banyak keluarga mengancam akan mengambil jalan musyawarah informal ketimbang proses hukum formal, karena takut “aib” tersebar. Hal ini

memperpanjang ketidakadilan dan mempersulit pemulihan korban.

5.2. Dampak pada Kepercayaan Publik

(9)

Legitimasi Institusi: Kasus berulang di lingkungan medis membuat publik meragukan standar etika profesi dokter. Masyarakat khawatir bahwa perilaku serupa bisa terjadi di faskes lain tanpa terdeteksi.

Rasa Aman di Ruang Publik: Insiden di KRL meningkatkan ketakutan perempuan untuk menggunakan transportasi umum tanpa

didampingi. Hasil survei awal Dinas PPAPP DKI (Jabodetabek) mencatat peningkatan 15% laporan kekhawatiran terkait

keselamatan di transportasi umum pada kuartal I 2025 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Citra Agama dan Pendidikan Agama: Kekerasan oleh guru mengaji merusak persepsi masyarakat tentang lembaga keagamaan yang seharusnya melindungi anak. Setelah kasus, orang tua dipaksa lebih waspada dan mempertanyakan peran lembaga keagamaan dalam memastikan keselamatan peserta didik.

---

6. Kesimpulan

1. Lemahnya Internalisasi: Nilai Sila Kedua Pancasila—“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”—belum sepenuhnya dihayati oleh individu dan lembaga di Indonesia. Pola pikir pelaku dan budaya victim- blaming menunjukkan kesenjangan antara nilai ideal dan praktik nyata.

2. Lemahnya Implementasi: Meskipun UU TPKS telah disahkan, penanganan kasus pelecehan pada tahun 2025 masih menunjukkan prosedur yang lambat, protokol institusional yang reaktif, dan

(10)

kurangnya koordinasi lintas-lembaga. Belum ada standar nasional yang mencegah pelecehan di titik-titik rentan (fasilitas kesehatan, transportasi, ranah keagamaan) secara proaktif.

3. Kerusakan Sosial: Dampak trauma pada korban, menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi, serta retaknya rasa aman di ruang publik menegaskan perlunya perbaikan serius dalam

internalisasi dan implementasi nilai kemanusiaan Pancasila.

---

7. Rekomendasi

1. Penguatan Pendidikan Nilai Pancasila

Kurikulum Inti: Integrasikan pembelajaran tentang hak asasi manusia dan nilai kemanusiaan sila kedua sejak pendidikan dasar, dengan studi kasus riil (misalnya, simulasi penanganan pelecehan).

Pelatihan Profesi: Wajibkan pelatihan etika dan hak asasi untuk tenaga medis, petugas keamanan transportasi, dan pendidik agama secara berkala.

2. Protokol Pencegahan Proaktif

(11)

Fasilitas Kesehatan: Terapkan kebijakan “pendampingan pasien”

(minimal satu perawat) saat pemeriksaan dokter terhadap pasien perempuan di ruang tertutup.

Transportasi Umum: Tingkatkan jumlah petugas pengawas (security patrol) selama jam sibuk, pasang tombol panik, serta kampanye antitindakan cabul dengan poster dan audio di gerbong KRL.

Lembaga Agama: Kembangkan pedoman baku bagi

pesantren/TPA/TPQ tentang tata cara interaksi fisik dengan anak (misalnya, larangan memanggil atau meletakkan tangan pada bagian sensitif tubuh anak tanpa pendamping).

3. Perbaikan Penegakan Hukum

Fast-Track Court: Bentuk “pengadilan cepat” khusus untuk kasus kekerasan seksual agar proses penyidikan dan persidangan

berlangsung maksimal 6 bulan, mengurangi beban trauma korban.

Proteksi Korban: Pastikan sistem perlindungan saksi dan korban (anak-anak) berfungsi efektif—termasuk ruang pendengaran special dan pendamping psikologis selama proses hukum.

4. Pelibatan Masyarakat dan Budaya Kolektif

(12)

Kampanye Publik: Luncurkan gerakan “Jaga Martabat Sesama” di media elektronik dan sosial untuk menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan pelecehan bertentangan dengan Pancasila.

**Forum Komunitas **: Fasilitasi dialog berkala antara pemangku kepentingan (korban, LSM, tokoh agama, aparat, dan masyarakat) untuk membahas kasus-kasus pelecehan, hambatan penegakan, dan solusi bersama.

---

Dengan upaya terpadu antara pendidikan, pencegahan proaktif, perbaikan penegakan hukum, dan penguatan budaya kolektif, diharapkan nilai “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam sila kedua Pancasila dapat diinternalisasi lebih dalam dan

diimplementasikan lebih efektif—sehingga kasus-kasus pelecehan serupa di masa depan dapat diminimalisir, bahkan dicegah

sepenuhnya.

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi Nilai-Nilai Sila keempat Pancasila mengenai Kebebasan Berpendapat pada Kegiatan Karang Taruna (Studi Kasus di Desa Jumapolo Kecamatan Jumapolo tahun

Pemilihan reaksi antara lain dipengaruhi oleh evaluasi!penilaian kognitif tentang makna situasi pelecehan seksual bagi diri individu, sumber daya yang meliputi:

APA Citation: Utami, P. Hegemoni dan Resistensi dalam Kasus Pelecehan Seksual: Analisis Simbol dalam Film Penyalin Cahaya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian

II/MPR /1978 tersebut sebagai petunjuk nyata dan jelas wujud pengamalan sila kedua dari Pancasila bagi bidang pendidikan, petunjuk pengamalan Pancasila tersebut dapat disebut sebagai

Pengertian sila ke-2 pancasila Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mempunyai pengertian yaitu kesadaran sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai moral dalam kehidupan sehari –

https://bajangjournal.com/index.php/JPDSH ANALISIS WACANA KASUS PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN PADA BERITA ONLINE DALAM PERSPEKTIF SARA MILLS Studi Pemberitaan Media

Beberapa jenis Kasus pelecehan seksual anak yaitu serangan persetubuhan yang dapat berupa sodomi, hubungan seks sedarah, dan lainnya.4 Perilaku pelecehan seksual anak merupakan bentuk

Jurnal Pendidikan Tambusai 3685 Analisis Framing Berita Mengenai Kasus Pelecehan Seksual Pada Media Online Suara.Com Dan Tribun News Lilis Lisda Suryani1, Hendra Setiawan2