• Tidak ada hasil yang ditemukan

Internalisasi dan Implementasi Sila Kedua Pancasila dalam Mengatasi Pelecehan Seksual di Indonesia

N/A
N/A
Ali chnnel for

Academic year: 2025

Membagikan "Internalisasi dan Implementasi Sila Kedua Pancasila dalam Mengatasi Pelecehan Seksual di Indonesia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Minimnya Internalisasi dan Implementasi Sila Kedua Pancasila dalam Kasus Pelecehan Seksual: Studi Kasus dan

Analisis Nilai Kemanusiaan

Muhammadhan MujahidHiro Ali NIM P124042 Program Studi Diploma Tiga Radiologi, Politeknik Muhammadiyah Makassar

1. Latar Belakang

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang menjadi landasan negara dalam berbagai aspek kehidupan, memiliki berbagai peran yang mendalam bagi kehidupan masyarakat di Indonesia, terutama pada nilai sila kedua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pada sila kedua menjadi landasan utama dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perlakuan yang bermartabat (BPIP, 2021). Nilai-nilai pada sila kedua tersebut menuntut kepada masyarakat untuk menghormati adanya perbedaan, menjujung tinggi keadilan, serta mengedepankan sikap empati dan kepedulian dalam berinteraksi. Kita sebagai masyarakat memiliki kewajiban dan hak, maka dari itu kewajiban kita sebagai warga negara ialah patuh kepada nilai-nilai pancasila. Namun, kenyataannya yang terjadi hingga kini sangat bertolak belakang, internalisasi dan implementasi sila kedua dalam kehidupan sosial sangat lemah, terumata pada konteks tindak kekerasan pelecehan seksual. Insiden pelecehan seksual ini bisa terjadi dimanapun dan kapanpun mulai dri fasilitas kesehatan, transportasi umu,, hingga pada ranah pendidikan agama, hal ini menjadi pertanda bahwa lemahnya internalisasi nilai kemanusiaan dan juga kurang tegas dalam mengimpelentasikan kebijakan dan norma yang berlandaskan pada sila kedua Pancasila.

2. Metodologi

Metode penelitian pada mini riset ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Data primer dikumpulkan melalui rilis resmi lembaga terkait berupa Kementrian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan KPPA. Data ini juga dikumpulkan melalui laporan media

(2)

seperti detik.com, Kompas.com, Antara News serta pernyataan publik dari instansi penegak hukum. Analisi ini dilakukan dengan menggunakan dua aspek utama: (1) mengukur sejauh mana nilai kemanusiaan dalam sila kedua pancasila dinternalisasikan oleh individu dan lembaga; (2) bagaimana implementasi kebijakan pemerintah mulai dari undang-undang yang berlaku, protokol institusional, mekanisme penangan mampu mencerminkan prinsip “adil dan beradab” dalam konteks penanganan tinakan kasus pelecehan seksual.

3. Deskripsi Kasus Tahun 2025

3.1. Kasus Pelecehan oleh Oknum Dokter di Garut (April 2025) Kasus pelecehan seksual ini terjadi di salah satu rumah sakit yang berada di Garut, Jawa Barat. Korban dengan inisial AED yang berusia 24 tahun mengklaim bahwa ia mengalami kekerasan seksual oleh seorang dokter kandungan berinisial MSF. “Tersangka secara paksa meraba-raba bagian tertentu korban dan bagian tertentu lainnya di dalam baju, sehingga korban melakukan perlawanan.” kata Kabid Humas Polda Jabar, Kamis (17/04).

Setelah beredar video di media sosial yang memperlihatkan saat tersangka memeriksa pasiennya di klinik, korban AED tersebut memberanikan diri untuk melaporkan tindakan cabul MSF ke polres Garut. Kemudian MSF menjadi tersangka kekerasan seksual dalam kasus tersbut pada kami (17/04).

Menanggapi hal tersebut, Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), drg Arianti Anaya menonaktifkan STR yang bersangkutan secara permanen dan akan menerima sanksi se. drg Arianti meminta kepada masyarakat untuk tidak ragu dalam melapor apabila mengalami tindakan pelecehan seksual maupun pelanggaran lain yang dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan.

(3)

3.2. Kasus Pelecehan di KRL Commuter Line Tanah Abang- Rangkasbitung (April 2025)

Berdasarkan video yang beredar, kejadian pelecehan yang dialami oleh seorang wanita dijelaskan bahwa terduga pelaku menggesekkan alat vitalnya ke arah bagian belakang korban. Kejadian ini terjadi pada tanggal 2 April 2025 yang dimana terjadi di dalam KRL Commuter Line jurusan Tanah Abang-Rangkasbitung. Insiden yang terjadi terekam kamera CCTV, menunjukkan bahwa pelaku telah mengikuti korban sjakturun kereta hingga hall bawah stasium, melakukan sentuhan tidak senonoh.

Kasus tersebut viral usai korban menceritakan pengalamannya kepada sopir taksi online. Pihak yang bersangkutan yaitu KAI Commuter berhassil mengidentifikasi dan menyerahkan pelaku ke Polres Metro Jakarta Pusat, dan juga mem-blacklist nama si pelaku pelecehan agar tidak dapat menggunakan layanan KRL lagi.

Kementrian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) mengawal kasus pelecehan ini dengan memfasilitasi pendampingan psikologis bagi si korban dan pelaku mendapatkan hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku, serta menghimbau kepada masyarakat terutama wanita agar tidak takut untuk melapor ke hotline SAPA 129 jika mengalami atau menyaksikan kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik.

3.3. Kasus Kekerasan Seksual oleh Guru Mengaji di Makassar (Mei 2025)

Pada awal Mei 2025, publik terutama media bagian makassar dikejutkan oleh kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru mengaji terhadap anak-anak di Makassar. Kasus ini menjadi heboh dan mencuat setelah seorang komika yaitu Eky Priyagung membagikan pengalaman pribadi dirinya bahwa ia pernah dicabuli saat masih berstatus santri pada tahun 2009. Tindakan seksual yang dilakukan si pelaku sudah berlangsung lama dan bertahun-tahun. Pelaku telah melakukan tindakan pelecehan seksual sejak tahun 2004.

(4)

Kementrian PPPA bergerak cepat dan langsung turun tangan serta memastikan korban mendapatkan pendampingan hukum dan psikologis.

Kini pelaku diproses berdasarkan ketentuan UU NO.17 Tahun 2016 tentang penetapan perpu No.1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang mampu memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan anak dibawah umur. Menterui PPPA Arifah Fauzi menyatakan bahwa negara wajib hadir untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan serta menekankan bahwa proses hukum berjalan secara adil, transparan, dan berpihak pada korban.

4. Analisis

4.1. Minimnya Internalisasi Nilai Kemanusiaan 4.1.1. Perspektif Individu (Pelaku dan Lingkungan)

Dari hasil analisis saya di atas bahwasanya dari ketiga kasus tersebut baik seorang dokter, penumpang KRL, maupun guru mengaji memperlihatkan bahwa mereka gagal dalam menghormati martabat dan privasi orang lain. Mereka tidak memiliki rasa ketidakpedulian terhadap hak-hak individu yang dimana mereka mencerminkan lemahnya pendidikan dan kurangnya penghayatan inti sila kedua yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Idealnya, setiap warga negara mampu memahami bahwa tindakan yang merendahkan martabat orang lain, terutama menyasarkan kepada kelompk yang rentan seperti perempuan dan anak- anak, hal ini secara tegas bertentangan dengan nilai Pancasila. Namun, hingga sekarang tahun 2025 kenyataannya nihil. Masih banyak tindakan yang melanggar hak asusila yang tidak mencerminkan nilai sila kedua.

Mulai dari kasus pelecehan oleh dokter di Malang yang menganggap dengan memiliki kekuasaan profesi medis di atas rasa kemanusiaan, kemudian pelecehan seksual kepada penumpang di KRL yang menganggap lingkungan bebas untuk melakukan tindakan cabul yang dimana bahwa ia tidak sadar bahwa setiap orang memiliki hak atas keamanan dan kehormatan di transportasi umum, hingga pelecehan yang

(5)

dilakukan oleh guru mengaji kepada santrinya yang memiliki rasa bahwa pola asuh agama untuk memanipulasi korban anak, hal tersebut menandakan absolutisai kuasa tanpa empati.

4.1.2. Persepsi Masyarakat dan Victim-Blaming

Di tahun 2025 ini tidak sedikit masyarakat yang bahkan malah menyalahkan kepada korban terkait kasus-kasus pelecehan yang terjadi.

Victim-Blaming ini biasa terjadi di komentar suatu media yang viral terkait kasus pelecehan seksual. Pada suatu postingan kasus pelecehan seksual yang viral, para warganet justru menyalahkan korban pelecehan seksual yang berpendapat bahwa korban lah yang membuat orang lain untuk melakuka tindakan pelecehan seksual seperti menggunakan baju yang ketat dan seksi. Sikap ini menunjukkan bahwa minimnya pemahaman bahwa korban memiliki hak atas perlindungan dan dukungan, bukan malah disalahkan dan dicurigai tanggung jawab atas tindakan apa yang dilakukan oleh si pelaku.

4.2. Minimnya Implementasi Nilai “Adil dan Beradab”

4.2.1. Kerangka Hukum dan Penegakan Hukum (UU TPKS dan Regulasi Terkait

Pada tanggal 9 Mei 2022, UU No 12 Tahun 2022 disahkan, diharapkan agar adanya perubahan yang signifikan dalam penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual. UU ini menegaskan tindakan pelecehan seksual baik di ruang publik maupun di ruang privat dapat dipidana hingga 4 tahun Penjara(Pasal 12 UU TPKS). Namun, implementasinya masih memiliki beberepa kendala seperti:

1. Proses pelaporan dan penyelidikan: Banyak korban yang enggan melaporkan tindakan kekerasan seksual yang ia alami dikarenakan adanya trauma yang dialami, dan ketakutan terhadap keluarga maupun institusi serta pengaruh proses penyelidikan dan proses hukum dianggap rumit. Pada kasus KRL, korban mempersiapkan dan

(6)

menguatkan diri terlebih dahulu sebelum mealporkan tindakan kekerasan seksual yang ia alami, hal ini disebabkan karena trauma yang ia alami.

2. Kualitas investigasi dan sanksi dan efek jera yang tidak tegas:

Investigasi yang dilakukan masih kurang terhadap pelaku pelecehan seksual yang dimana lambatnya para tim penyelidikan dalam menyelidiki kasus pelecehan seksual. Sanksi yang diberikan kepada pelaku masih belum cukup tegas, masih banyak yang hanya terkena sanksi sosial, seperti halnya pelaku pelecehan seksual di KRL hanya diblacklist dari commuter line. Pada kasus guru mengaji di Makassar, aparat menjanjikan proses hukum yang tegas, tapi dilapangan terdapat kekhawatiran tentang lamanya penyidikan dan putusan hakim.

5. Dampak Terhadap Korban dan Masyarakat 5.1. Dampak Terhadap Korban

Trauma Psikologis: Kasus pelecehan seksual ini tentunya memiliki dampak trauma psikologis yang sangat mendalam. Riset yang dilakukan oleh Kementrian PPPA menunjukkan bahwa banyak korban yang mengalami gangguan kecemasan, depresi, hingga stress pasca trauma.

Stigma Sosial: Kasus pelecehan yang terjadi pada penumpang KRL dan di rumah sakit, sering menghadapi keraguan terhadap keluarga ataupun kerabat dan tidak mendapatkan dukungan dari orang sekitarnya. Mereka malah menyarankan agar dapat diselesaikan dengan musyawarh informal ketimbang proses hukum yang formal dan berlaku, karena takut akan aib akan tersebar. Hal ini dapat memperpanjang ketidakadilan dan mempersulit korban dalam pemulihan.

5.2. Dampak Terhadap Masyarakat

Legitimasi Institusi: Kasus yang terjadi di lingkungan medis dan kasus ini terjadi berulang kali membuat publik meragukan standar etika profesi dokter. Masyarakat khawatir akan terjadi kembali di faskes yang lain.

(7)

Rasa Aman di Ruang Publik: Rasa aman di ruang publik menjadi terancam dikarenakan adanya oknum-oknum yang melanggar hak-hak kemanusiaan. Pada insiden KRL membuat efek traumatis kepada para perempuan, sehingga para perempuan takut dan khawatir untuk menaiki transportasi umum.

Citra Agama dan Pendidikan Agama: Zaman sekarang banyak orang yang malah menyalahkan ajaran agama karena tindakan yang dilakukan oleh sipelaku yang dimana justru agama mengajarkan yang baik dan melindungi kaum anak-anak. Tindakan yang dilakukan sesorang tidak mencerminkan ajaran agama yang dianut jika seseorang tersebut dapat memahami agamanya dengan baik dan lebih mendalam.

6. Kesimpulan

6.1. Lemahnya Internalisasi: Nilai sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab belum sepenuhnya dihayati dan diterapkan baik secara individu maupun dalam suatu lemabaga.

Adanya pengaruh Victim-Blaming dapat memengaruhi pola pikir masyarakat yang dimana hal ini menunjukkan kesenjangan antara nilai ideal dan praktik nyata.

6.2. Lemahnya Implementasi: Meskipun UU TPKS telah disahkan, pengangan kasus pelecehan yang terjadi pada tahun 2025, hal ini menujukkan bahwa prosedur penanganan kasus tersebut masih lambat, protokol konstitusi yang reaktif, dan kurangnya kordinasi lintas- lembaga. Hingga saat ini belum ada yang standar nasional yang mencegah pelecehan di titik-titik tertentu.

6.3. Kerusakan Sosial: Munculnya rasa trauma hingga stress pada korban, hilangnya kepercayaan kepada konstitusi atau pemerintah karena pelaku kekerasan pelecehan seksual tidak ditindaklajuti, serta hilangnya rasa aman di ruang publik. Hal ini menunjukkan bahwa harus ada keseriusan dalam menanggapi masalah ini.

(8)

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab secara metodologis kesesuaian antara nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam Pancasila, sila pertama dan ke dua dengan

Implementasi Nilai-Nilai Sila keempat Pancasila mengenai Kebebasan Berpendapat pada Kegiatan Karang Taruna (Studi Kasus di Desa Jumapolo Kecamatan Jumapolo tahun

enelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peranan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Madiun Dalam Mengimplementasikan Nilai-nilai Pancasila Sila Kedua serta manfaat

Dengan kata lain, jika dihubungkan dengan sila-sila lain dari Pancasila yang merupakan satu kesatuan, maka dapat disimpulkan bahwa hakekat nilai sila kemanusiaan

II/MPR /1978 tersebut sebagai petunjuk nyata dan jelas wujud pengamalan sila kedua dari Pancasila bagi bidang pendidikan, petunjuk pengamalan Pancasila tersebut dapat disebut sebagai

Berdasarkan pemaparan diatas, menyoroti citra Miss Universe dan dampaknya pada persepsi pelecehan seksual di kalangan masyarakt adalah sebuah langkah penting karena Sebagai kontes

Implementasi nilai Pancasila sila Persatuan Indonesia selama masa pembelajaran daring pada peserta didik kelas V SD Negeri 2 Wonogondo yang diukur menggunakan indikator yang telah

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis wacana kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dimuat pada portal berita online BBC News Indonesia tanggal 10 September 2021 dengan tajuk Korban Dugaan Pelecehan Seksual di KPI, Kasus yang Berulang di Lembaga Negara,’Kita Hanya Sibuk seperti Pemadam