KASUS PELANGGARAN UU ITE
“PENDISTRIBUSIAN INFORMASI ELEKTRONIK YANG MELANGGAR KESUSILAAN DENGAN SENGAJA DAN TANPA HAK”
OLEH :
UTRUJJAH VIOLETA VERNANDO 2021.2440.2.02
PRODI ADMINISTRASI KEIMIGRASIAN C POLITEKNIK IMIGRASI
I. PENDAHULUAN
Pada bulan Agustus 2012, Baiq Nuril Maknun merekam percakapan rahasia pribadi Haji Muslim dengan seorang wanita menggunakan handphone miliknya. Pada bulan Desember 2014, rekaman tersebut diserahkan oleh Baiq Nuril Maknun kepada Haji Imam Mudawin untuk digunakan sebagai bukti pelaporan terhadap Haji Muslim ke DPRD Kota Mataram.
Rekaman tersebut kemudian diserahkan oleh Haji Imam Mudawin kepada beberapa orang guru di SMAN 7 Mataram, yang menyebabkan tersebarnya rekaman tersebut.
Baiq Nuril Maknun didakwa dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang mengatur mengenai mendistribusikan informasi elektronik yang melanggar kesusilaan.
Pengadilan Negeri Mataram memutuskan bahwa Baiq Nuril Maknun tidak terbukti melakukan tindak pidana dan membebaskannya. Penuntut Umum mengajukan kasasi atas putusan tersebut, dan Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram dan menghukum Baiq Nuril Maknun dengan pidana penjara selama 6 bulan dan denda sejumlah Rp. 500.000.000,-. Kuasa hukum Baiq Nuril Maknun mengajukan Peninjauan Kembali (PK) melalui Pengadilan Negeri Mataram, namun PK ditolak oleh Majelis Hakim PK. Putusan Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril Maknun tetap berlaku.
Dasar hukum dalam kasus ini adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terutama Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Pasal tersebut mengatur mengenai pidana bagi orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. Penentuan putusan oleh pengadilan didasarkan pada pertimbangan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan, termasuk saksi-saksi, keterangan korban dan terdakwa, serta pendapat ahli ITE. Perbedaan tafsir dan pertimbangan dalam menerapkan pasal tersebut antara Pengadilan Negeri Mataram dan Mahkamah Agung menyebabkan perbedaan putusan dalam kasus ini.
Kasus yang dimaksud adalah kasus Baiq Nuril Maknun, yang melibatkan tindak pidana siber sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peristiwa ini terjadi di Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan putusan pengadilan dalam kasus ini menjadi perhatian nasional karena adanya perbedaan interpretasi antara Pengadilan Negeri Mataram, Mahkamah Agung dalam putusan kasasi, dan putusan peninjauan kembali.
II. ANALISIS
Pada tanggal 27 Juli 2017, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan kasus ini dengan Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.MTR. Dalam putusan tersebut, terdakwa Baiq Nuril Maknun dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana siber yang dituduhkan oleh Penuntut Umum. Oleh karena itu, terdakwa dibebaskan oleh pengadilan.
Perbedaan interpretasi dalam kasus ini terkait dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Baiq Nuril Maknun. Pengadilan Negeri Mataram memutuskan untuk membebaskan terdakwa karena tidak terbukti melakukan tindak pidana secara sah dan meyakinkan. Namun, Mahkamah Agung dalam putusannya menganggap bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana siber.
Dalam tindak pidana siber, kecermatan dalam memberikan tafsir atas unsur kesengajaan dan unsur mendistribusikan/mentransmisikan/dapat diaksesnya menjadi aspek penting. Perbedaan interpretasi ini menunjukkan pentingnya memiliki norma yang jelas dan tidak multitafsir terkait dengan tindak pidana siber. Hal ini dapat membantu pengadilan dalam memutuskan kasus-kasus serupa di masa depan dan meminimalkan perbedaan interpretasi yang mungkin timbul.
Dalam kasus Baiq Nuril Maknun, perbedaan interpretasi ini menghasilkan putusan yang kontroversial dan memicu perdebatan di masyarakat. Hal ini menunjukkan pentingnya pengembangan hukum yang lebih jelas dan terperinci terkait dengan tindak pidana siber, sehingga dapat menghindari perbedaan interpretasi yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus serupa di masa depan.
Terdapat perbedaan putusan antara Putusan Pengadilan Negeri Mataram dengan Putusan Kasasi yang dibuat oleh Mahkamah Agung, yang kemudian dikuatkan melalui Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung. Perbedaan ini terutama berkaitan dengan tafsir dan penerapan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam kasus ini, Baiq Nuril Maknun didakwa telah merekam percakapan pribadi Haji Muslim tanpa sepengetahuan dan izin dari Haji Muslim. Rekaman tersebut kemudian diserahkan kepada Haji Imam Mudawin sebagai bahan untuk melaporkan Haji Muslim ke DPRD Kota Mataram. Rekaman tersebut akhirnya menyebar ke banyak orang di Kota Mataram, yang menyebabkan Haji Muslim merasa nama baiknya tercemar.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram, hakim memutuskan bahwa Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum. Pertimbangan hakim adalah bahwa yang melakukan tindakan mendistribusikan dan mentransmisikan rekaman tersebut bukan Terdakwa, melainkan Haji Imam Mudawin. Oleh karena itu, Terdakwa dibebaskan dan hak-haknya dipulihkan.
Namun, Putusan Mahkamah Agung melalui Putusan Kasasi menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Mataram keliru dalam mengambil keputusan. Mahkamah Agung menyatakan bahwa Terdakwa, meskipun awalnya tidak bersedia menyerahkan rekaman tersebut, namun akhirnya dengan menyerahkan rekaman tersebut ke Haji Imam Mudawin, Terdakwa menyadari bahwa rekaman tersebut kemungkinan besar akan didistribusikan dan/atau mentransmisikan oleh Haji Imam Mudawin. Oleh karena itu, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Terdakwa telah memenuhi unsur delik dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Sebagai hasilnya, Terdakwa dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dan denda sejumlah Rp.
500.000.000,-. Putusan Mahkamah Agung ini kemudian dikuatkan melalui Putusan Peninjauan Kembali (PK) setelah penasehat hukum Terdakwa mengajukan PK, namun permohonan PK tersebut ditolak.
Dalam analisis putusan ini, terdapat perbedaan tafsir dan pertimbangan dalam menerapkan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Perbedaan tersebut terutama terkait dengan makna “kesengajaan” (unsur subjektif) dan “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya” (unsur objektif).
Dalam konteks Hukum Siber, perbedaan tafsir dan pertimbangan dalam menerapkan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memiliki implikasi yang penting. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan pengaturan tentang tindakan melanggar privasi dan menyebarkan informasi elektronik yang merugikan melalui media elektronik.
Dalam kasus yang disajikan, perbedaan tafsir terutama berkaitan dengan unsur subjektif
“kesengajaan” atau “kesalahan”. Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram berpendapat bahwa terdakwa tidak memiliki kesengajaan dalam tindakan tersebut karena yang melakukan tindakan mendistribusikan dan mentransmisikan rekaman tersebut bukan terdakwa, melainkan pihak lain. Namun, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdakwa telah memenuhi unsur kesengajaan karena terdakwa menyerahkan rekaman tersebut dengan
sadar dan menyadari kemungkinan akan didistribusikan dan/atau mentransmisikan oleh pihak lain.
Penerapan Pasal-pasal tersebut dalam konteks hukum siber dapat mengindikasikan pentingnya mempertimbangkan tindakan melanggar privasi dan penyebaran informasi elektronik yang merugikan melalui media elektronik. Dalam era digital dan internet, penyebaran informasi dapat dilakukan dengan cepat dan luas, sehingga perlindungan privasi dan penanganan tindakan yang merugikan melalui media elektronik menjadi hal yang krusial.
Unsur objektif seperti “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya” juga memiliki implikasi yang signifikan dalam konteks hukum siber. Hal ini berkaitan dengan penyebaran dan akses informasi elektronik yang melanggar privasi atau merugikan orang lain. Undang-undang harus mempertimbangkan dengan cermat definisi dan batasan tindakan tersebut untuk melindungi individu dari penyebaran informasi yang tidak sah atau merugikan melalui platform digital.
Dalam rangka menghadapi tantangan hukum siber, perlu adanya peninjauan dan penyesuaian hukum yang relevan agar dapat mengatasi permasalahan yang timbul di era digital. Hal ini meliputi peningkatan kesadaran tentang privasi dan keamanan informasi, pengembangan regulasi yang efektif untuk mengatasi tindakan melanggar privasi dan penyebaran informasi yang merugikan, serta pendekatan yang seimbang antara perlindungan privasi dan kebebasan berbicara dalam konteks digital.
Penting untuk dicatat bahwa analisis ini didasarkan pada informasi yang terbatas yang diberikan dan dapat bervariasi tergantung pada kasus dan interpretasi hukum yang berlaku di yurisdiksi tertentu. Sebaiknya selalu berkonsultasi dengan ahli hukum yang kompeten untuk penjelasan dan panduan yang lebih tepat mengenai masalah hukum spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Laksana, Andri Winjaya. “Cybercrime Comparison Under Criminal Law In Some Countries.” Jumal Pembaharuan Hukum 5, no. 2 (2018): 217-226.
Napitupulu, Darmawan. “Kajian Peran Cyber Law Dalam Memperkuat Keamanan Sistem Informasi Nasional.” Deviance Jumal Kriminologi 1, no. 1 (2017): 107.
Nugraha, Riko. “Perspektif Hukum Indonesia (Cyberlaw) Penanganan Kasus Cyber Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 11, no. 2 (2021): 44-56.
Nur, Fajrina Hani. “Tujuh Poin Penting Yang Diubah Di Revisi UU ITE.” CNN Indonesia Jakarta, 2016. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20161027153408- 213- 168454/tujuh-poin-penting-yang-diubah-di-revisi-uu-ite.