• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kasus psikologi kode etik

N/A
N/A
Lia

Academic year: 2023

Membagikan "Analisis Kasus psikologi kode etik"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Kasus 1

1. kronologi kasus

Setelah menempuh pendidikan strata 1 dan 2 dalam bidang psikologi, seorang psikolog X kemudian membuka praktik psikologi dengan memasang plang di depan rumahnya. Padahal psikolog X belum memiliki izin praktik. Dalam 1 tahun, X telah melakukan beberapa praktik antara lain mendiagnosis, memberikan konseling dan psikoterapi terhadap kliennya. Namun ketika memberikan hasil diagnosis, ia justru menggunakan istilah-istilah psikologi yang tidak mudah dimengerti oleh kliennya, sehingga sering terjadi miss communication terhadap beberapa klien tersebut. Hal lain sering pula terjadi saat ia memberikan prognosis kepada klien, seperti menganalisis gangguan syaraf yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter. X juga sering menceritakan masalah yang dialami klien sebelumnya kepada klien barunya dengan menyebutkan namanya saat memberikan konseling. Psikolog X tersebut terkadang juga menolak dalam memberikan jasa dengan alasan honor yang diterima lebih kecil dari biasanya.

2. analisis kasus

Sebagai seorang psikolog yang sudah menempuh pendidikan di strata 1 dan 2, jika ingin membuka praktik sudah seharusnya mengajukan permohonan agar memiliki izin praktik sesuai kompetensinya. Namun yang dilakukan oleh psikolog X adalah salah. Ia tetap membuka praktik psikologi walaupun belum memiliki izin praktik yang sesuai kompetensinya. Hal ini melanggar kode etik psikologi dalam hal kompetensi. Kode Etik Psikologi BAB III tentang kompetensi, pasal 7 ayat (2) berbunyi

“Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan asesmen dan intervensi yang ditetapkan setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan/atau pengalaman profesional sesuai dengan kaidah- kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Selain itu psikolog X juga memberikan sebuah diagnosa yang bukan di ranah psikolog yaitu analisa gangguan saraf yang seharusnya masuk ranah dokter spesialis saraf. Bila kondisinya hanya sebagai partner kerja dari dokter maka bukan masalah, namun apabila ini tidak ada kaitannya sebagai bahan pertimbangan dokter, maka hal ini juga dapat dikatakan sebagai pelanggaran kode etik. Mestinya ia tidak melakukan hal itu karena gangguan saraf memang bukan di ranahnya psikolog, karena nanti akan memberikan hasil analisa yang kurang akurat. Hal ini melanggar kode etik psikologi dalam hal kompetensi. Kode Etik Psikologi BAB III tentang kompetensi, pasal 7 ayat (1) berbunyi “Ilmuwan Psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan/atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.”

3. pelanggaran kasus (kena pasal berapa aja)

 Pasal 7 ayat (1)

 Pasal 7 ayat (2)

(2)

4. sanksi 5. solusi

Berdasarkan dua pelanggaran dalam hal kompetensi tadi, seharusnya seorang psikolog harus memiliki izin praktik yang sesuai dengan kompetensinya agar bisa melakukan assesmen dan intervensi secara legal. Selain itu psikolog juga seharusnya melakukan assesmen, diagnosa dan intervensi sesuai kemampuan dan ranah pengetahuannya.

6. upaya pencegahan

Kasus 2

1. kronologi kasus

Salah satu organisasi daerah yang ada di kota Yogyakarta, berasal dari salah satu kabupaten di Sulawesi Utara mengadakan safari pendidikan sebagai program yang bertujuan untuk memperkenalkan pendidikan di kota Yogyakarta, termasuk PTN/PTS. Sasaran utamanya adalah mengunjungi SMA/SMK di kabupaten tersebut.

Pada saat melakukan safari, dilakukan test psikologi. Yang memberi intruksi, intervensi, dan supervisi adalah guru yang memiliki pendidikan strata 1 dalam bidang pendidikan, yang bergelar S.Pd.

Lembaga yang mengadakan tes tersebut merupakan biro Psikologi yang berkedudukan di ibukota provinsi. Biro ini melakukan kerja sama dengan pihak sekolah dalam bentuk pelaksanaan psikotes. Biro hanya mengirimkan alat tesnya dan kemudian hasilnya akan dikirim ulang. Bentuk intervensi dan supervisi selanjutnya diserahkan kepada guru BK.

2. analisis kasus

Kasus di atas melanggar kode etik dalam hal pendelegasian pekerjaan pada orang lain.

Pelanggaran ini dilakukan oleh psikolog yang memimpin Biro Layanan Psikologi. Berdasarkan pasal 10, psikolog selaku kepala biro layanan psikologi melakukan pelanggaran karena memberikan kewenangan kepada guru BK dengan latar belakang sarjana pendidikan yang tidak mempelajari lebih dalam mengenai psikologi, tidak adanya pelatihan ataupun pengalaman sebelumnya dalam melakukan assesmen, intervensi maupun supervisi. Selain itu juga psikolog yang mengepalai biro tersebut tidak bisa memastikan bahwa guru BK tersebut melaksanakan tugasnya secara kompeten karena tidak melihat langsung ataupun tidak mengenal langsung yang bersangkutan karena hanya mengirim alat tes.

3. pelanggaran kasus (kena pasal berapa aja) Pasal 10

4. sanksi

(3)

5. solusi

Seharusnya psikolog yang mengepalai biro layanan psikologi tersebut mendelegasikan tugasnya pada asisten, mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian maupun penerjemah yang memiliki pengetahuan dalam bidang psikologi, selain itu juga sudah mengikuti pelatihan dan berpengalaman dalam hal melakukan tes psikologi.

6. upaya pencegahan

Kasus 3

1. kronologi kasus

NN adalah seorang mahasiswa psikologi yang baru saja menyandang gelar sarjana psikologi dan bekerja pada salah satu biro psikologi di Kota JK bersama dengan beberapa ilmuan psikologi dan psikolog yang lain. Suatu hari, datang klien berinisial AB yang menderita depresi berat sehingga mencoba membunuh diri dan membutuhkan layanan darurat di biro tersebut, namun para psikolog senior sedang ke luar kota untuk melakukan perjalanan dinas selama beberapa minggu sehingga klien tersebut diberikan kepada NN dengan maksud pemberian layanan darurat untuk sementara waktu.

Beberapa hari kemudian, salah seorang psikolog senior berinisial SH kembali ke Kota JK untuk melakukan penanganan kepada klien AB, namun NN menolak untuk memberikan penanganan klien tersebut kepada psikolog SH karena menganggap bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah klien AB hingga selesai tanpa bantuan dari psikolog SH walaupun penanganan yang diberikan oleh NN ke AB tidak menunjukkan hasil yang signifikan.

2. analisis kasus

Sebagai seorang yang baru saja menyandang gelar sarjana psikologi, NN belum memiliki kompetensi yang cukup untuk melakukan assesmen dan intervensi pada klien yang datang untuk konsultasi. Namun karena keadaan darurat, NN diperbolehkan untuk memberikan layanan darurat kepada klien tersebut sesuai BAB III Kode etik psikologi pasal 12 ayat (1) dan (2) sampai psikolog atau ilmuwan psikologi yang berkompeten kembali. Namun NN melanggar kode etik karena setelah psikolog SH kembali dari tugasnya, NN menolak untuk memberikan penanganan kepada psikolog SH yang lebih berkompeten karena menganggap dirinya mampu menangani klien tersebut, walaupun tidak ada hasil yang signifikan. Hal ini melanggar kode etik psikologi dalam hal kompetensi. Kode etik psikologi BAB III tentang kompetensi, pasal 12 ayat (3) dan pasal 12 ayat (4).

Dari kasus di atas sudah jelas bahwa NN tidak segera mencari psikolog/ilmuwan psikologi yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi seperti yang sudah dijelaskan pada ayat (3), dan tidak bersedia mengalihkan layanan klien AB kepada psikolog SH walaupun tidak ada perubahan yang signifikan pada AB seperti yang dijelaskan pada pasal 4.

(4)

3. pelanggaran kasus (kena pasal berapa aja)

 Pasal 12 ayat (3)

 Pasal 12 ayat (4)

4. sanksi 5. solusi

6. upaya pencegahan

Kasus 4

1. kronologi kasus

Sebut saja namanya bapak L, ia lulusan S2 magister sains dalam bidang psikologi. Setelah beberapa bulan dari kelulusannya ia direkrut menjadi dosen di sebuah Sekolah Tinggi di salah satu lembaga pendidikan di tempat tinggalnya. Satu hari ia diminta oleh pihak pengelola SMA swasta di daerahnya untuk melakukan tes psikologi yang bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan kelas III (IPA, IPS dan Bahasa). Mendapat tawaran untuk melakukan pengetesan semacam itu, tanpa pikir panjang L langsung menerima dan melakukan tes psikologi serta mengumumkan hasil tes kepada pihak sekolah tentang siapa saja siswa yang bisa masuk di kelas IPA, IPS dan bahasa.

L melakukan tes psikologi tersebut ternyata tidak sendirian, ia bekerja sama dengan M (pr) yang memang seorang psikolog. Mereka berteman akrab sejak seperguruan waktu dulu mereka menempuh S2 hanya saja M adalah adik tingkat L dan dulu sempat terjalin hubungan dekat antara keduanya sehingga M merasa sungkan jika menolak kerja sama dengan L. Antara keduanya memang terjalin kerja sama akan tetapi yang memegang peranan utama dalam tes psikologi tersebut adalah L, sedangkan M sebagai psikolog sendiri hanya sebatas pendamping L mulai dari pemberian tes sampai pada penyampaian data dan hasil asesmen.

2. analisis kasus

Dari kasus di atas, apa yang dilakukan L sangat jelas melanggar kode etik psikologi, khususnya dalam hal kompetensi. L adalah lulusan Magister Sains (Ilmuwan Psikologi) bukan sebagai lulusan Magister Profesi (Psikolog). L hanya bisa melakukan pengadministrasian assesmen, bukan sebagai penyelenggara assesmen seperti kasus tersebut di mana L melakukan tes psikologi dengan menggunakan alat tes dan memberikan hasil assesmen meskipun L bekerja sama dengan rekannya yang lulusan Magister Profesi. Dalam kasus ini M selaku rekan L juga melanggar kode etik psikologi, namun dalam hal lain, bukan dalam hal kompetensi, karena M memang memiliki hak untuk menggunakan alat tes psikologi dan memberikan hasil assesmen. L melanggar kode etik psikologi BAB III tentang kompetensi pasal 7 ayat (1).

(5)

3. pelanggaran kasus (kena pasal berapa aja) Pasal 7 ayat (1)

4. sanksi 5. solusi

Dalam hal ini L seharusnya tidak melakukan penyelenggaraan tes dan memberikan hasil assesmen karena tidak sesuai dengan kompetensinya sesuai dengan yang tertera pada ayat (1). Kasus ini bisa legal dan tidak melanggar kode etik jika rekan L, yaitu M yang menyelenggarakan tes serta memberikan hasil assesmen, sementara L hanya melakukan administrasi assesmen.

6. upaya pencegahan

Kasus 5

1. kronologi kasus

IK adalah seorang Psikolog yang baru 3 bulan menyandang gelar psikolog. Ia mendapatkan izin praktik setelah lulus ujian kompetensi. Saat membuka praktik, datang seorang pasien berinisial DN yang menceritakan permasalahannya kepada psikolog IK. Setelah mendengar permasalahan tersebut, psikolog IK langsung mendiagnosa dan melakukan intervensi kepada pasien DN. Bahkan psikolog IK melakukan intervensi baru yang dibuatnya sendiri tanpa adanya penelitian terkait hal tersebut. Psikolog IK juga mengambil keputusan yang menurutnya benar.

2. analisis kasus

Pada kasus tersebut, psikolog IK melanggar kode etik karena langsung mendiagnosa bahkan langsung memberikan intervensi tanpa adanya proses assesmen yang mendalam terhadap klien. Selain itu juga, psikolog IK memberikan intervensi baru yang dibuatnya sendiri, padahal belum ada penelitian terkait intervensi yang diberikan. Hal ini jelas melanggar kode etik psikologi dalam hal kompetensi pasal 9. Dalam hal ini psikolog IK tidak mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji

3. pelanggaran kasus (kena pasal berapa aja) Pasal 9

4. sanksi 5. solusi

(6)

Seharusnya psikolog IK tidak memberikan intervensi yang dibuatnya sendiri karena tidak berdasar pengetahuan ilmiah. Psikolog IK harus memberikan intervensi yang sudah teruji dan diterima secara luas dalam disiplin ilmu psikologi.

6. upaya pencegahan

Kasus 6

1. kronologi kasus

Psikolog IZ sudah selama 12 tahun membuka praktik psikologi. Di kota tempat psikolog IZ praktik diadakan pelatihan terhadap penanganan baru dalam bidang psikologi dan panitianya berharap para psikolog yang ada di kota tersebut ikut serta karena pelatihan ini penting dalam proses penanganan terhadap kasus-kasus baru yang muncul saat ini. Namun psikolog IZ menolak untuk ikut pelatihannya dengan alasan sudah cukup mengetahui proses penanganan karena menganggap dirinya senior di kota tersebut. Bahkan dia berkata bahwa kasus-kasus yang baru muncul itu hanya pada segelintir orang dan dia tidak menemukan klien yang memiliki masalah tersebut, sehingga ia tidak mau mengikuti pelatihan tersebut.

2. analisis kasus

Pada kasus di atas, apa yang dilakukan oleh psikolog IZ merupakan pelanggaran kode etik karena tidak berusaha untuk menambah pengetahuannya dalam meningkatkan kompetensinya sebagai psikolog. Apa yang dilakukan oleh psikolog IZ melanggar pasal 8 karena tidak berusaha melakukan upaya peningkatan kompetensinya dalam bidang ilmu psikologi.

3. pelanggaran kasus (kena pasal berapa aja) Pasal 8

4. sanksi 5. solusi

6. upaya pencegahan

Kasus 7

1. kronologi kasus

Psikolog Z membuka sebuah praktik psikologi di sebuah kota. Ia tinggal bersama istri dan 2 orang anak. Pada suatu malam, terjadi konflik antara psikolog Z dengan istrinya sehingga membuat istri dari

(7)

psikolog Z memilih pergi dari rumah. Psikolog Z masih terus memikirkan masalahnya di tempat praktiknya. Hingga siangnya datang seorang klien yang berniat konsultasi pada psikolog Z. Pada saat klien menceritakan permasalahannya, psikolog Z merenung dan tidak mendengarkan cerita dari kliennya.

Klien tersebut akhirnya protes dan meminta psikolog Z untuk mendengarkan ceritanya. Namun psikolog Z malah memarahi kliennya dan mengusirnya dari tempat praktik.

2. analisis kasus

Apa yang dilakukan oleh psikolog Z jelas melanggar kode etik. Psikolog Z tidak profesional karena membawa masalah atau konflik yang terjadi dalam rumah tangganya ke tempat praktiknya. Psikolog Z juga tidak mendengarkan keluhan dari klien dan malah balik memarahi klien saat klien protes. Apa yang dilakukan oleh psikolog Z melanggar kode etik dalam hal kompetensi pasal 11 ayat (1) dan (2).

3. pelanggaran kasus (kena pasal berapa aja)

 Pasal 11 ayat (1)

 Pasal 11 ayat (2) 4. sanksi

5. solusi

Seharusnya psikolog Z bisa menyadari permasalahannya dan tidak membawa permasalahannya saat melakukan praktik psikologi. Psikolog Z harus bersikap profesional dengan cara menahan diri agar tidak muncul tindakan yang merugikan klien seperti yang dilakukannya pada klien dan seharusnya psikolog Z mengetahui tanda-tanda bahwa dirinya sedang dalam masalah dan berusaha mencari pertolongan, semisal dengan mendatangi rekan sejawat psikolog untuk melakukan konsultasi agar bisa kembali menjalankan tugasnya sebagai psikolog. Selain itu juga seharusnya psikolog Z menghentikan sementara praktik psikologinya sampai dia benar-benar bisa bersikap profesional.

6. upaya pencegahan

Referensi

Dokumen terkait

(3) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi telah melakukan layanan Psikologi sesuai prosedur yang diatur dalam Kode Etik dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah

(2) Psikolog dapat memberikan jasa sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan

Sesuai dengan pedoman kode etik psikologi Indonesia yang mengatur adanya batasan kompetensi bagi ilmuwan psikologi dan psikolog, maka lulusan Program Magister Psikologi

Mahasiswa menganalisa penerapan kode etik bagi profesi psikolog dan ilmuwan psikologi dalam pembuatan iklan dan memberikan pernyataan publik - Pembuatan iklan/pernyataan

Mahasiswa menganalisis kasus yang berkaitan dengan kode etik bagi profesi psikolog dan ilmuwan psikologi dalam memberikan intervensi psikologi, dengan sistematika sebagai

PRINSIP KODE ETIK PSIKOLOGI MENURUT APA American Psychological Association PRINSIP KODE ETIK PSIKOLOGI MENURUT APA American Psychological Association Prinsip 1: Mengenai

KODE ETIK PSIKOLOGI 02 03 04 “Ketentuan tertulis yang diharapkan menjadi pedoman dalam bersik ap dan berperilaku, serta pegangan teguh seluruh psikolog dan ilmu wan psikologi dalam

Mengenai penjelasan kode etik