ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMA MENGGUNAKAN METODE DEFRAGMENTING
Skripi
Diajukan Kepada Ilmu Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
MUHIMATUL IFADAH 11160170000056
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020
ABSTRAK
Muhimatul Ifadah (11160170000056), “Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA menggunakan Metode Defragmenting”, Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Juni 2021.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesalahan struktur berpikir pada kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan metode defragmenting.
Penelitian ini dilakukan di di 5 Sekolah Menengah Atas di Jakarta Selatan, yaitu SMAN 34 Jakarta, SMAN 66 Jakarta, SMAN 49 Jakarta, SMAN 38 Jakarta, dan SMAN 97 Jakarta pada tahun ajaran 2020/2021. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei, instrumen tes yang diberikan berupa 6 butir soal essai/uraian sebagai tes kemampuan berpikir kritis kepada 297 siswa sebagai subjek penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes essai/uraian kemampuan berpikir kritis pada siswa.
Hasil penelitian ini adalah: 1) Kemampuan berpikir kritis siswa masih tergolong sangat rendah dengan rata-rata 2,86 dari skor ideal 24, 2) Kemampuan berpikir kritis yang memiliki skor paling rendah yaitu indikator clarify dengan persentase rata-rata 0,25%, 3) Kesalahan struktur berpikir kritis matematis yang paling banyak terjadi pada siswa adalah berupa mislogical construction dan misconstruction, 4) Metode defragmenting yang paling banyak dilakukan adalah tahap disequilibrasi dan conflict cognitive.
Kata Kunci: defragmenting, kesalahan struktur berpikir, kemampuan berpikir kritis
ii
ii
ABSTRACK
Muhimatul Ifadah (11160170000056), "Analysis of Critical Thinking Ability of High School Students using Defragmenting Method", Thesis department of Mathematics Education Faculty of Tarbiyah and Teaching of Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, June 2021.
The purpose of this study was to analyze the structure of thinking errors in students' critical thinking abilities using defragmenting methods. This research was conducted in 5 high schools in South Jakarta, namely SMAN 34 Jakarta, SMAN 66 Jakarta, SMAN 49 Jakarta, SMAN 38 Jakarta, and SMAN 97 Jakarta in the 2020/2021 school year.The method used in this study is the survey method, the test instrument given in the form of 6 points of essay / description as a test of critical thinking ability to 297 students as a research subject. Data collection is done using essay test / description of critical thinking ability in students.
The results of this study are: 1) Students' critical thinking ability is still very low with an average of 2.86 out of an ideal score of 24, 2) Critical thinking ability that has the lowest score is clarify indicator with an average percentage of 0.25%, 3) The most mathematical critical thinking structure errors that occur in students are mislogical construction and misconstruction, 4) The most common defragmenting method is the disequilibration and conflict cognitive.
Keywords: defragmenting, thingking structure’s errors, critical thinking ability
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang menjadi suri tauladan bagi seluruh umat manusia.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan pada jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik bantuan berupa materi, semangat, maupun doa. Oleh karena itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Gusni Satriawati, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan ketersediaannya untuk menjadi validator instrumen.
4. Bapak Otong Suhyanto, M.Si., selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk membimbing dan memotivasi penulis dengan sabar sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
5. Ibu Eva Musyrifah, M.Si. dan Ibu Khamida Siti Nur Atiqoh, M.Pmat.
selaku Dosen Pembimbing Skripsi I dan II yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyusunan skripsi sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya.
iv
iv
6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan serta staf Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan dalam proses administrasi.
8. Bapak Ahmad Dimyati, M.Pd., Ibu Dedek Kustiawati, M.Pd., Ibu Dra.
Hj. Endang Murwani Wahyuning, Ibu Roslani Supinah, S.Pd., Ibu Siti Maryam Noer Azizah, S.Pd., dan Ibu Prinasti Ayu Anggarsari, S.Pd.
yang telah membantu penulis untuk menjadi validator instrumen dari penelitian ini.
9. Kepala SMAN 34 Jakarta, Kepala SMAN 49 Jakarta, Kepala SMAN 66 Jakarta, Kepala SMAN 97 Jakarta, Kepala SMAN 38 Jakarta, serta guru-guru dan staf dari kelima sekolah yang telah menerima, memberikan izin, serta membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.
10. Seluruh siswa kelas XI SMAN 34 Jakarta, SMAN 49 Jakarta, SMAN 66 Jakarta, SMAN 97 Jakarta, dan SMAN 38 Jakarta yang telah bersikap kooperatif selama penulis melakukan penelitian.
11. Teristimewa untuk kedua orangtua penulis, Ibu Hj. Ely Hayatin dan Ustadz H. Mustain yang selalu memberikan dukungan, baik secara materi, mental, maupun doa yang tak henti-hentinya untuk kelancaran penulis dalam menyusun skripsi.
12. Terkasih kakak kandung dan teman hidup penulis, Wulan Anggraini S.KM dan Anugrah Perkasa S.kom yang selalu memberikan support dalam bentuk apapun pada mental health penulis selama penyusunan skripsi hingga saat ini.
13. Sahabat-sahabat penulis, Yanita, Fenny, dan Raden serta teman-teman PMTK B dan PMTK angkatan 2016 atas ketersediannya memberikan dukungan kepada penulis.
Ucapan terimakasih juga ditunjukan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima sebagai suatu kebaikan yang diberkahi oleh Allah SWT. Aamiin yaa robbal’alamin.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis maupun bagi para pembaca pada umumnya.
Jakarta, 29 Juni 2021
vi
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ixx
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I ... 1
PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Pembatasan Masalah ... 9
D. Perumusan Masalah ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II ... 12
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR ... 12
A. Kajian Teoritis ... 12
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 12
2. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis... 15
3. Kesalahan Struktur Berpikir ... 19
4. Metode Defragmenting ... 22
B. Penelitian yang Relevan ... 26
C. Kerangka Berpikir ... 28
BAB III ... 31
METODOLOGI PENELITIAN ... 31
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
1. Tempat Penelitian ... 31
2. Waktu Penelitian ... 31
B. Metode Penelitian... 32
C. Populasi dan Sampel ... 33
1. Populasi ... 33
2. Sampel ... 33
D. Teknik Pengumpulan Data ... 34
E. Instrumen Penelitian... 34
F. Teknik Analisis Data ... 41
BAB IV ... 48
HASIL PENELITIAN ... 48
A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 48
B. Penyajian Data ... 49
1. Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa ... 49
2. Analisis Kesalahan Struktur Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 53
3. Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa menggunakan Metode Defragmenting ... 55
C. Pembahasan Hasil Penelitian (Deskripsi Hasil Tes dan Wawancara Siswa dengan Metode Defragmenting) ... 57
2. Analisis Kesalahan Struktur Berpikir Subjek 2 ... 66
D. Keterbatasan Penelitian ... 94
viii
viii
BAB V ... 96
Kesimpulan dan Saran... 96
A. Kesimpulan ... 96
B. Saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 99
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Keterampilan Berpikir Kritis...16
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian...31
Tabel 3.2 Klasifikasi Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis...32
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis...33
Tabel 3.4 Nilai Minimum CVR Berdasarkan Jumlah Validator...36
Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Isi Instrumen Tes...37
Tabel 3.6 Kriteria Koefisien Korelasi Reliabilitas...38
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa...47
Tabel 4.2 Data Statistik Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa...48
Tabel 4.3 Data Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa...49
Tabel 4.4 Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Berdasarkan Indikator...50
Tabel 4.5 Persentase Hasil Analisis Kesalahan Struktur Berpikir Kritis Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis...51
Tabel 4.6 Persentase Hasil Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa menggunakan Metode Defragmenting...53
Tabel 4.7 Hasil Analisis S1...64
Tabel 4.8 Hasil Analisis S2...77
Tabel 4.9 Hasil Analisis S3...94
x
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Komponen-Komponen dalam Proses Berpikir...19
Gambar 2.2 Contoh Struktur Berpikir...20
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir...29
Gambar 3.1 Struktur Berpikir Permasalahan...40
Gambar 4.1 Persentase Kesalahan Struktur Berpikir Kritis Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis...52
Gambar 4.2 Persentase Hasil Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa menggunakan Metode Defragmenting...54
Gambar 4.1.1 Jawaban Soal 1 oleh S1...55
Gambar 4.1.2 Jawaban Soal 2 oleh S1...56
Gambar 4.1.3 Jawaban Soal 3 oleh S1...56
Gambar 4.1.4 Jawaban Soal 4 oleh S1...57
Gambar 4.1.5 Jawaban Soal 5 oleh S1...57
Gambar 4.1.6 Jawaban Soal 6 oleh S1...58
Gambar 4.1.7 Struktur (1)...59
Gambar 4.1.8 Struktur (2)...61
Gambar 4.2.1 Jawaban Soal 1 oleh S2...65
Gambar 4.2.2 Jawaban Soal 2 oleh S2...66
Gambar 4.2.3 Jawaban Soal 3 oleh S2...66
Gambar 4.2.4 Jawaban Soal 4 oleh S2...67
Gambar 4.2.5 Jawaban Soal 5 oleh S2...68
Gambar 4.2.6 Jawaban Soal 6 oleh S2...68
Gambar 4.2.7 Struktur (4)...73
Gambar 4.3.1 Jawaban Soal 1 oleh S3...79
Gambar 4.3.2 Jawaban Soal 2 oleh S3...79
Gambar 4.3.3 Jawaban Soal 3 oleh S3...80
Gambar 4.3.4 Jawaban Soal 4 oleh S3...81
Gambar 4.3.5 Jawaban Soal 5 oleh S3...81
Gambar 4.3.6 Jawaban Soal 6 oleh S3...82
Gambar 4.3.7 Struktur (6)...83
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1....107xii
xii
Lampiran 2...109
Lampiran 3...119
Lampiran 4...120
Lampiran 5...121
Lampiran 6...122
Lampiran 7...127
Lampiran 8...132
Lampiran 9...137
Lampiran 10...140
Lampiran 11...142
Lampiran 12...146
Lampiran 13...151
Lampiran 14...155
Lampiran 15...159
Lampiran 16...160
Lampiran 17...162
Lampiran 18...170
Lampiran 19...172
Lampiran 20...173
Lampiran 21...174
Lampiran 22...175
Lampiran 23...176
Lampiran 24...177
Lampiran 25...178
Lampiran 26...179
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang penting untuk dipelajari.
Hal ini dikarenakan matematika berperan sangat penting bagi ilmu lain, khususnya sains dan teknologi. Menurut Cokroft, akan sangat sulit atau tidaklah mungkin jika seseorang hidup di abad ke-20 ini tanpa memanfaatkan matematika sedikitpun.1 Oleh karena itu, matematika dapat dikatakan berguna bagi seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Matematika merupakan mata pelajaran formal yang diberikan kepada siswa pada setiap jenjang dalam kurikulum pendidikan nasional. Pembelajaran matematika yang dilaksanakan mulai dari sekolah dasar (SD/MI) hingga sekolah menengah atas (SMA/SMK) sederajat memiliki karateristik tersendiri.2 Misalkan, terdapat perbedaan ruang lingkup matematika sekolah di setiap jenjang karena disesuaikan oleh kompetensi yang harus dicapai siswa.3 Standar kompetensi ini dirancang sesuai kemampuan dan kebutuhan siswa dengan memerhatikan struktur keilmuan, tingkat kedalaman materi, serta keterpakaiannya dalam kehidupan sehari-hari.4
Dalam Permendikbud no. 21 tahun 2016, kompetensi inti keterampilan di tingkat menengah pada pembelajaran di sekolah adalah menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara: a) efektif, b) kreatif, c) produktif, d) kritis, e) mandiri, f) kolaboratif, g) komunikatif, dan h) solutif, dalam ranah konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari yang
1 Muhammad Daut Siagian, “Kemampuan Koneksi Matematik dalam Pembelajaran Matematika”, MES (Journal of Mathematics Education and Science), Vol. 2, No, 2016, h. 60.
2 Nasaruddin, “Karakteristik dan Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di Sekolah”, Jurnal Al-Khwarizmi, Vol. 1, 2013, h. 63.
3 Ibid., h. 68
4 Ibid., h. 70
dipelajarinya di sekolah, serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah keilmuan.5 Isi kompetensi ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh Piaget bahwa anak yang berumur 12 tahun ke atas berada pada tingkat perkembangan intelektual ditahap operasional formal, yaitu sudah mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak dan mampu memahami bentuk argumen.6 Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kompetensi yang harus dikembangkan.
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang penting dimiliki oleh siswa. Sejalan dengan pendapat Maifalinda dan Tita, bahwa berpikir kritis merupakan salah satu aspek penting dalam proses pembelajaran.7 Kemampuan berpikir kritis ini penting karena dapat melatih kemampuan berpikir logis, sistematis, kritis, kreatif, dan cermat serta berpikir objektif, terbuka untuk menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari.8 Selain itu, berpikir kritis membuat seseorang tidak dengan mudah menerima sesuatu yang diterimanya tanpa mengetahui asalnya, namun ia dapat mempertanggungjawabkan pendapatnya disertai dengan alasan yang logis.9 Aizikovitsh-Udi & Cheng menyatakan bahwa manfaat berpikir kritis dalam jangka panjang dapat mendukung siswa untuk mengelola keterampilan mereka dan memberdayakan individu untuk berkontribusi secara kreatif pada profesi yang mereka pilih.10
5 Republik Indonesia, Permendikbud No. 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: Kemendikbud, 2016), h. 10.
6 Fatimah Ibda, “Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget”, INTELEKTUALITA, Vol. 3, No.1, 2015, h. 34.
7 Maifalinda Fatra dan Tita Khalis Maryati, “Implementasi K13 pada Pembelajaran Matematika dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif”, Journal pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2018, h .2.
8 Heris Hendriana, Euis Eti Rohaeti, dan Utari Sumarmo, Hard Skills dan Soft Skills Matematik Siswa, (Bandung: Reflika Aditama, 2017), h. 95.
9 Ibid.
10 E Sulistiani, S B Waluya, dan Masrukan, The analysis of student’s critical thinking ability on discovery learning by using hand on activity based on the curiosity, IOP Conf. Series:
Journal of Physics: Conf. Series 983, 012134, 2018, h. 1.
3
Berpikir kritis yaitu dengan bernalar atas suatu kejadian yang terjadi disekitarnya juga disebutkan dalam Al-Quran sebagai tanda kekuasaan Allah swt.11 Salah satu contohnya ada di dalam Surah Al-Baqarah ayat 164:
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan Siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Q.S. Al- Baqarah [2]: 164)
Berdasarkan ayat di atas, alam semesta merupakan objek berpikir kritis yang berarti manusia memiliki potensi untuk berpikir atas proses penciptaan alam semesta supaya mendapatkan kesimpulan kalau proses penciptaan tersebut adalah hikmah.12 Oleh karena itu, sebagai umat agama yang berbakti dan sebagai siswa generasi masa depan bangsa Indonesia di mana Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan salah satu landasan idiil Pancasila, maka seharusnya dapat menjalankan perintah agamanya dengan benar yaitu memanfaatkan akal yang sudah dikaruniakan oleh-Nya agar memahami betapa besar kekuasaan Allah swt.
11 Syamsul Huda Rohmadi, “Pengembangan Berpikir Kritis (Critical Thingking) dalam Al-Qur’an: Perspektif Psikologi Pendidikan”, Jurnal Psikologi Islam, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Vol 5, No. 1, 2018, h. 30.
12 Ibid.
Namun kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis masih tergolong rendah. Berdasarkan laporan PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018, peringkat siswa Indonesia pada bidang matematika berada di posisi 73 dunia dari 79 negara dengan skor 374.13 Rendahnya peringkat Indonesia pada PISA 2018 mengindikasi bahwa kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah. Hal ini sejalan dengan Hidayanti dalam Fuji Lestari yang mengatakan bahwa soal PISA merupakan soal yang diawali dengan permasalahan sehari-hari, kemudian siswa diminta untuk berpikir dengan kritis, bebas menggunakan berbagai cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, termasuk belajar memberikan alasan, membuat kesimpulan, serta mengeneralisasi formula.14
Selain itu, rendahnya rata-rata hasil UN Matematika di mana 10 persen soal UN dikategorikan sebagai soal kemampuan tingkat tinggi pada tingkat SMA di tahun 2019 yang hanya mencapai 39,33.15 Penelitian Retno Aulia dan Mukhni dengan kesimpulan bahwa tidak ada subjek penelitian yang berada pada tingkat kemampuan berpikir kritis tinggi.16 Selain itu, Rizal dan Guntur yang mengatakan bahwa siswa MAN 2 Cianjur yang mengalami kesulitan pada mata pelajaran matematika dalam memberikan alasan atas jawaban yang telah mereka temukan.17
Berdasarkan wawancara dengan salah satu guru yang mengajar matematika di kelas XI SMAN 49 Jakarta, menjelaskan bahwa hanya beberapa siswa saja yang bertanya kepada guru matematika di sekolah
13 OECD, PISA 2018 Assesment and Analytical Framework, (Paris: OECD Publishing, 2019)
14 Fuji Lestari, Agustiany Dumeva Putri, dan Ambarsari Kusuma Wardani, “Identifikasi kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII Menggunakan Soal Pemecahan Masalah”, Jurnal Riset Pendidikan dan Inovasi Pembelajaran Matematika, Vol 2, No. 2, 2019, h. 63.
15 Hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id, diakses pada tanggal 10/01/2020, pukul 2:09 WIB.
16 Retno Aulia dan Mukhni, “Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik Kelas XI MIPA SMA Negeri 2 Padang”, Jurnal Edukasi dan Penelitian Matematika FMIPA UNP, Vol.7 No.4, 2018, h.132.
17 Sadikin, R.L dan Muhammad, G.M, “Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Matematis Siswa SMA dengan Model Brain Based Learning”, Triple S: Journals on Mathematics Education, 2018, h. 16.
5
mengenai jawaban-jawaban salah yang mereka kerjakan setelah dilaksanakan ujian, baik Ujian Tengah Semester, maupun Ujian Akhir Semester. Di kelaspun masih banyak siswa menerima mentah-mentah materi yang diajarkan oleh guru. Hal ini menyebabkan siswa kebingunan dalam menjelaskan alasan mengapa mereka menggunakan rumus-rumus tersebut.
Misalkan, ada salah satu siswa yang ditanya mengapa menggunakan rumus tan(𝛼 + 𝛽) = 𝑡𝑎𝑛𝛼+𝑡𝑎𝑛𝛽
1−𝑡𝑎𝑛𝛼.𝑡𝑎𝑛𝛽 , jawaban siswa adalah tidak tahu karena rumus yang diberi guru memang seperti itu. Selanjutnya, saat ditanya pengertian tan 𝛼 itu apa, jawaban siswa hanya “Tangen adalah depan dibagi samping”.
Padahal penjelasan yang tepat adalah perbandingan sisi segitiga yang ada di depan sudut dengan sisi segitiga yang terletak di sudut. Hasil wawancara ini dapat menjelaskan bahwa tingkat refleksi siswa atau evaluasi siswa terhadap kesalahan-kesalahan dari hasil jawaban siswa sangat rendah dan kebingungan siswa cukup tinggi dalam memberikan argumen serta menjelaskan istilah/simbol matematika.
Rendahnya kemampuan berpikir kritis matematis siswa menunjukkan bahwa terdapat kesalahan yang siswa lakukan dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Biasanya kesalahan-kesalahan yang siswa lakukan berada pada tahap penyelesaian masalah yang siswa kerjakan. Namun, kesalahan-kesalahan yang siswa lakukan dapat juga disebabkan oleh struktur berpikir siswa yang berantakan. Seperti yang dijelaskan oleh Subanji bahwa dalam proses menyelesaikan masalah, ketika struktur masalah yang dihadapi oleh siswa jauh lebih kompleks dibanding struktur berpikirnya, maka akan mengalami kesulitan dalam proses kontruksi18. Kesulitan ini biasanya ditemukan pada saat siswa ingin memahami kunci dari sebuah permasalahan yang berakibat pada penyelesaian masalah. Penyelesaian masalah tidak akan benar jika siswa salah dalam memahami kunci dari permasalahan tersebut.
Hal ini sejalan dengan Azrina Purba yang menyatakan bahwa tanpa adanya
18 Mukhammad Ali Bahrudin, Nonik Indrawatiningsih, dan Zuhrotun Nazihah,
“Defragmenting Struktur Berpikir Siswa SMP dalam Menyelesaikan Masalah Bangun Datar”, Jurnal UTS Jogja, Vol 2 (2), 2019, h. 127.
pemahanan terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak akan mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar.19
Kesalahan struktur berpikir siswa juga dapat disebabkan karena salahnya perencanaan strategi penyelesaian masalah oleh siswa. Niskha menyebutkan bahwa kesalahan pada tahap ini dapat dilihat dari ketepatan siswa menentukan model matematika berdasarkan permasalahan, rumus atau konsep-konsep yang digunakan tidak tepat, strategi yang dibuat kurang relevan, atau menggunakan suatu strategi tetapi tidak dilanjutkan/salah langkah. Niskha juga menyebutkan kesalahan bisa terjadi pada saat siswa melaksanakan strategi yang telah dibuat, kebanyakan dari kesalahan siswa dalam proses perhitungan dari model matematika yang telah dibuat.
Kesalahan terakhir yang Niskha sebutkan adalah pada tahap pengecekan kembali, yaitu siswa tidak mengecek kembali kebenaran atas proses, hasil, dan kesimpulan yang dibuat secara teliti.20
Terdapat salah satu metode yang digunakan untuk mengkontruksi ulang/reorganisasi struktur berpikir. Proses rekontruksi/reorganisasi struktur berpikir siswa disebut dengan defragmenting. Menurut Wibawa dan Maag, defragmenting adalah restrukturasi proses berpikir, yaitu teknik yang sering digunakan untuk mengubah pola pikir yang kurang adaptif pada individu.
Struktur berpikir peserta didik yang salah dapat diperbaiki sehingga siswa dapat mengurangi kesalahan yang dilakukan dan bahkan mempertahankan proses berpikirnya.21 Defragmenting ini merupakan terobosan baru untuk lebih mudah menstrukturasi kerja otak dalam berpikir.22 Menganti dalam
19 Azrina Purba, Pengembangan Perangkat Pembelajaran Materi Perbandingan menggunakan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP, Tesis pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan, Medan, 2015, h. 7.
20 Niskha Nurul Fitriyah, Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kesalahan Siswa Kelas VII Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Materi Segi Empat Melalui PBL, Skripsi pada UNNES, Semarang ,2016, h. 3.
21 Kadek Adi Wibawa, Defragmenting Struktur Berpikir Pseudo Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, (Malang : Deepubish, 2016), h. 39.
22 Suci Haryanti, “Pemecahan Masalah Matematika melalui Metode Defragmenting”, Jurnal Kajian Pendidikan Matematika, Vol 3(2), 2018, h. 201.
7
Haryanti mendefinisikan defragmenting struktur berpikir merupakan proses restrukturisasi struktur berpikir siswa menjadi struktur berpikir yang lebih luas sesuai dengan struktur masalah yang dihadapi. Sedangkan Sakif dalam Haryanti juga mendefinisikan defragmenting struktur berpikir sebagai penataan ulang struktur berpikir siswa ketika melakukan kesalahan dalam menyelesaikan permasalahan matematika melalui proses disequilibrasi, conflict cognitive, dan scaffolding.23
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMA menggunakan metode defragmenting. Peneliti menggunakan metode Defragmenting ini dikarenakan selain dapat menganalisis kemampuan berpikir kritis siswa berdasarkan sktruktur berpikirnya, peneliti juga akan menemukan kesalahan yang terjadi dalam struktur berpikir siswa sehingga metode ini hanya dapat diaplikasikan kepada siswa yang mengalami kesalahan dalam struktur berpikirnya. Sebelum menggunakan metode defragmenting, harus dianalisis terlebih dahulu kesalahan-kesalahan dalam struktur berpikir siswa. Dalam menganalisis kesalahan struktur berpikir siswa, peneliti menggunakan acuan teori kesalahan konstruksi konsep menurut Subanji yang meliputi pseudo-construction, miscontruction, misanalogical construction, mislogical construction, dan misconnection.24 Analisis kesalahan ini juga beracuan dengan indikator kemampuan berpikir kritis matematis siswa menurut Ennis yang disebut dengan FRISCO (Focus, Reason, Inference, Situation, Clarify, dan Overview).25 Analisis kesalahan sangat berguna agar guru tepat sasaran memperbaiki kesalahan-kesalahan
23 Mukhammad Ali Bahrudin, Nonik Indrawatiningsih, dan Zuhrotun Nazihah,
“Defragmenting Struktur Berpikir Siswa SMP dalam Menyelesaikan Masalah Bangun Datar”, Jurnal UTS Jogja, Vol 2 (2), 2019, h. 128.
24 Latifah Mustofa Lestyanto, dkk, “Kesalahan Konstruksi Konsep Mahasiswa Pada Materi Himpunan dan Defragmentasi Struktur Berpikirnya”, Jurnal Review Pembelajaran Matematika, Vol 4 (2), 2019, h. 129.
25 Avinda Fridanianti, Heni Purwati, dan Yanuar Heri Murtianto, “Analisis Kemampuan Berpikri Kritis dalam Menyelesaikan Soal Aljabar kelas VII SMP Negeri 2 Pangkah Ditinjau dari Gaya Kognitif Reflektif dan Kognitif Impulsif”, Aksioma, Vol. 9, No.1, 2018, h. 12.
yang siswa lakukan dalam menyelesaikan permasalahan matematika.
Selanjutnya, ketika selesai menganalisis kesalahan siswa, maka selanjutnya metode Defragmenting dapat dilakukan guna memperbaiki struktur berpikir siswa melalui proses disequilibrasi, conflict cognitive, dan scaffolding.26
Oleh karena itu, sebagai salah satu motivasi pendidik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa sehingga model, strategi, atau metode yang dipilih pendidik dapat tepat sasaran, maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMA menggunakan Metode Defragmenting”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan, maka dapat diidentifikasi masalah yang didapatkan adalah banyaknya kesalahan struktur berpikir siswa diantaranya sebagai berikut:
1. Kurangnya kemampuan siswa dalam memahami kunci suatu permasalahan matematika.
2. Kurangnya kemampuan siswa dalam merumuskan suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah matematika
3. Siswa kurang bisa membuat keputusan yang tepat dalam menyelesaikan masalah.
4. Siswa kurang bisa memberikan alasan rasional atau argumen terhadap keputusan yang diambil .
5. Kurangnya pemahaman siswa dalam menjelaskan istilah-istilah atau simbol-simbol yang digunakan dalam keputusan yang diambil.
6. Kurangnya evaluasi siswa terhadap kebenaran atas keputusan yang diambil.
Fokus penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan kesalahan-kesalahan struktur berpikir siswa berdasarkan tingkat kemampuan
26 Suci Haryanti, “Pemecahan Masalah Matematika melalui Metode Defragmenting”, Jurnal Kajian Pendidikan Matematika, Vol 3(2), 2018, h. 202.
9
berpikir kritis siswa serta metode defragmenting yang digunakan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan struktur berpikir siswa tersebut.
C. Pembatasan Masalah
Dalam memfokuskan masalah agar penelitian ini terarah dengan tepat, maka dibuatlah batasan-batasan masalahnya sebagai berikut:
1. Indikator-indikator yang digunakan untuk menganalisis struktur berpikir siswa berdasarkan tingkat kemampuan berpikir kritis matematis siswa disini adalah sebagai berikut:
a. Situation, yaitu memahami kunci permasalahan matematika dengan baik untuk merumuskan sebuah tindakan.
b. Focus, yaitu memusatkan perhatian dalam merumuskan suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah matematika.
c. Inference, yaitu membuat keputusan yang tepat dalam menyelesaikan masalah yang akan menjadi sebuah simpulan.
d. Reason, yaitu memberikan argumen atau alasan rasional terhadap keputusan yang diambil.
e. Clarify, yaitu menjelaskan istilah-istilah atau simbol-simbol yang digunakan dalam membuat keputusan.
f. Overview, yaitu melakukan refleksi atau evaluasi terhadap keputusan yang diambil.
2. Metode Defragmenting yang digunakan untuk menganalisis struktur berpikir kritis matematis siswa disini terdiri dari tiga tahap, yaitu disequilibrasi, conflict cognitive, dan scaffolding.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang masalah, terdapat beberapa rumusan masalah yang dapat dihasilkan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana hasil kemampuan berpikir kritis siswa SMA berdasarkan indikator kemampuan berpikir kritis matematis?
2. Bagaimana kesalahan struktur berpikir siswa berdasarkan tingkat kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMA?
3. Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMA menggunakan Metode Defragmenting?
E. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat berpikir kritis matematis siswa jika dianalisis dengan metode defragmenting. Sedangkan, tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk:
1. Mengetahui hasil kemampuan berpikir kritis siswa SMA berdasarkan indikator kemampuan berpikir kritis matematis.
2. Mendeskripsikan kesalahan struktur berpikir siswa berdasarkan tingkat kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMA.
3. Mendeskripsikan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan menggunakan metode defragmenting.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi guru; sebagai informasi bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswanya sehingga tidak salah arah dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dan memperbaiki kesalahan- kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah sehingga model, strategi, atau metode yang dipilih pendidik dapat tepat sasaran.
2. Bagi siswa; dapat dijadikan bahan evaluasi siswa sehingga sadar akan pentingnya kemampuan berpikir kritis.
3. Bagi sekolah; sebagai infomasi untuk meningkatkan motivasi dalam pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa, bukan hanya dalam matematika tetapi juga pada mata pelajaran lain.
4. Bagi peneliti lain; sebagai salah satu gambaran dan pemaparan kemampuan berpikir kritis matematis sehingga dapat dijasikan
11
pembanding dengan hasil penelitian lainnya; dan juga sebagai salah satu sumber dalam melakukan penelitian selanjutnya.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teoritis
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan berarti kesanggupan, kecakapan, kekuatan.1 Menurut Stephen P.
Robbins & Timonthy A. Judge, kemampuan (ability) berarti kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan.2 Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kecakapan seorang individu dalam mengerjakan beragam tugas.
Wilson mengutarakan bahwa kemampuan berpikir merupakan bagian dari intelektual manusia dalam proses kognitif.3 Proses kognitif yang dimaksud adalah memungkinkan sesorang untuk memahami informasi, menerapkan pengetahuan, mengeritik dan merevisi hasil kontruksi, mengekspresikan konsep dari yang sederhana hingga yang kompleks serta memecahkan masalah dengan membuat keputusan.4
Terkait hal tersebut, terdapat tiga kemampuan penting yang dikenal sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking Skills
1 https://kbbi.web.id/mampu.html, diakses pada tanggal 23 Agustus 2020 jam 22.10 WIB.
2 Askolani dan Ressi J Machdalena, “Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Kerja terhadap Kinerja Karyawan PT. Inti (Persero) Bandung”, Jurnal Riset Manajemen, Vol. 1, No. 1, 2012, h.
37.
3 Zulmy Faqihuddin Putera dan Nurul Shofiah, “Model Kurikulum Kompetensi Berpikir pada Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi Vokasi”, METANGILUA Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 6, No. 1, 2021, h. 33.
4 Ibid.
13
(HOTS), yaitu kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan memecahkan masalah.5 Berdasarkan revisi Taksonomi Bloom Anderson dan Krathwol, Putu Manik mengelompokkan tiga indikator yang terdiri dari menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6) ke dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thingking Skills).6
Dari indikator-indikator tersebut jelas bahwa kemampuan berpikir tingkat tingkat tinggi tidak hanya sekedar menghafal, menyampaikan kembali informasi yang sebelumnya didapat, menerapkan konsep sederhana, tetapi juga kemampuan seseorang dalam menghubungkan, memanipulasi, dan mentransformasi pengetahuan serta pengalaman yang sudah dimiliki untuk berpikir secara kritis dan kreatif dalam menetukan upaya keputusan dan memecahkan masalah pada situasi yang sedang dihadapi. Sehingga, kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu aspek dalam berpikir tingkat tinggi.7
Berpikir kritis menurut John Dewey adalah pertimbangan yang aktif, terus menerus, dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan dengan menyertakan alasan-alasan yang mendukung dan kesimpulan- kesimpulan yang rasional.8 Hal ini berarti dalam berpikir kritis, siswa harus selalu berhati-hati dan sabar dalam menyelesaikan masalah, mulai dari identifikasi masalah hingga pengambilan kesimpulan. Selain John Dewey, Johnson pun mendefinikan berpikir kritis sebagai sebuah proses yang
5 Putu Manik Sugiari Saraswati dan Gusti Ngurah Sastra Agustika, “Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi dalam Soal HOTS Mata Pelajaran Matematika”, Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar, Vol.4, No.2, h. 257.
6 Ibid., h. 259.
7 Emi Rofiah, Nonoh Siti Aminah, Elvin Yusliana Ekawati, “Penyusunan Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Pada Siswa SMP”, Jurnal FKIP Universitas Sebelas Maret ,Vol.1, No. 2, 2013, h. 18.
8 Mauliana Wayudi, Suwatno, dan Budi Santoso, “Kajian Analisis Keterampilan Berpikir Siswa Sekolah Menengah Atas”, Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 5, No. 1, 2020, h. 68.
terorganisir dan jelas yang digunakan dalam pemecahan masalah, pembuatan keputusan, menganalisis asumsi-asumsi, dan penemuan secara ilmiah.9
Tidak hanya memahami dan mengaplikasikan konsep yang didapat, berpikir kritis juga harus menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi atau pengetahuan yang didapat. Pengertian ini tidak berbeda dengan yang didefinisikan oleh Gokhale , yaitu istilah berpikir kritis sebagai berpikir yang melibatkan kegiatan menganalisis, menyintesa, dan mengevaluasi konsep.10
Seseorang yang menggunakan kemampuan berpikir kritisnya pasti selalu menganalisis dengan lengkap informasi yang didapat, sehingga semua keputusannya dalam memecakan masalah memiliki argumen yang kuat. Sama halnya seperti yang di sampaikan oleh Peter Facione bahwa berpikir kritis adalah kemampuan kognitif dalam pengambilan kesimpulan berdasarkan alasan logis dan bukti empiris.12
Dari pengertian di atas, jelas bahwa seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik akan selalu teliti dalam mengambil keputusan.
Ketelitian yang dimaksud antara lain selalu memeriksa suatu permasalahan secara cermat sebelum menyimpulkan sesuatu sehingga tidak terburu-buru dalam menerima suatau hal karena informasi yang didapat selalu diperiksa berdasarkan bukti-bukti pendukungnya. Dengan kata lain, berpikir kritis membuat seseorang tidak semata-mata menerima informasi dan kesimpulan secara mentah.
Dalam suatu kondisi tertentu, seseorang pasti pernah atau mungkin sering diminta untuk membuat suatu keputusan yang terbaik dari beberapa
9 Tatag Yuli Eko Siswono, “Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif Sebagai Fokus Pembelajaran Matematika”, SENATIK Semarang, 13 Agustus 2016, h. 14.
10 Heris Hendriana dkk, Hard Skills dan Soft Skills Matematik Siswa, (Bandung: Reflika Aditama, 2017), h. 96.
12 Retno Aulia dan Mukhni, “Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik Kelas XI MIPA SMA Negeri 2 Padang”, Jurnal Edukasi dan Penelitian Matematika FMIPA UNP, Vol.7 No.4, 2018, h. 127.
15
kemungkinan yang ada. Misalkan, guru dalam membuat soal ujian sekolah tidak hanya melihat atau menggunakan patokan dari suatu kurikulum saja, tetapi juga harus mempertimbangkan tingkat kesulitan soal berdasarkan kemampuan berpikir siswanya. Dengan demikian, jika suatu keputusan didasarkan atas asumsi dan bukti yang benar, maka akan menghasilkan suatu kesimpulan yang benar juga. Pernyataan ini sama halnya dengan definisi berpikir kritis menurut Robert Ennis yang menyatakan berpikir kritis sebagai suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang dengan tujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang beralasan dan difokuskan pada apa yang dipercayai dan apa yang dilakukan.13
Selanjutnya berpikir kritis dalam matematika disebut berpikir kritis matematis. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis adalah kecakapan seorang individu dalam merumuskan, menyintesa, dan mengevaluasi keyakinan dan pendapatnya sendiri berdasarkan alasan logis dan bukti empiris.
2. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis siswa berbeda-beda, sehingga diperlukan indikator-indikator untuk menentukan kemampuan berpikir kritis siswa. Ada banyak sekali ahli atau peneliti yang merumuskan indikator berpikir kritis.
Salah satunya adalah menurut Edward Glaser yang mengemukakan terdapat dua belas indikator berpikir kritis, yaitu:14
1. Mengenal Masalah
2. Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah- masalah
3. Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan 4. Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan 5. Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas
13 Anwar dan Sofiyan, “Teoritik Tentang Berpikir Reflektif Siswa dalam Pengajuan Masalah Matematis”, Jurnal Numeracy, Vol.5, No. 1, 2018, h. 92.
14 Hardika Saputra, “Kemampuan Berpikir Kritis Matematis”, Perpustakaan IAI Agus Salim, April 2020, h. 5-6.
6. Menganalisis data
7. Mengevaluasi pernyataan-pernyataan
8. Mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah 9. Menarik kesimpulan
10. Menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil
11. Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas
12. Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari
Selanjutnya, agar lebih teratur, Ennis mengelompokkan indikator-indikator berpikir kritis menjadi lima kelompok, yaitu:15
1. Memberikan penjelasan sederhana (Elementary Clarification) 2. Membangun keterampilan dasar (Basic Support)
3. Membuat Inferensi (Inferring)
4. Membuat penjelasan lebih lanjut (Anvanced Clarification) 5. Mengatur strategi dan taktik (Strategies and Tactics)
Adapun penjelasan untuk masing-masing indikator di atas, diuraikan pada tabel berikut ini :16
Tabel 2.1 Keterampilan Berpikir Kritis
Keterampilan Berpikir Kritis Sub Keterampilan Memberikan penjelasan
sederhana (Elementary Clarification)
1. Memfokuskan pernyataan 2. Menganalisis argumen 3. Bertanya dan menjawab
pertanyaan klasifikasi dan pertanyaan yang menentang Membangun keterampilan 4. Mempertimbangkan kredibilitas
15 Ika Rahmawati, Arif Hidayat, dan Sri Rahayu, “Analisis Keterampilan Berpikir Siswa SMP pada Materi Gaya dan Penerapannya”, Pros. Semnas Pend. IPA Pascasarjana UM, Vol. 1, 2016, h. 1113
16 Ibid.
17
dasar (Basic Support) (kriteria) suatu sumber 5. Mengobservasi dan
mempertimbangkan hasilobservasi
Membuat Inferensi (Inferring) 6. Membuat deduksi dan
mempertimbangkan hasil dedusi 7. Membuat induksi dan
mempertimbangkan hasil indukdi
8. Membuat dan
mempertimbangkan nilai keputusan
Membuat penjelasan lebih lanjut (Anvanced Clarification)
9. Mengindentifikasi istilah dan mempertimbangkan keputusan 10. Mengidentifikasi asumsi Mengatur strategi dan taktik
(Strategies and Tactics)
11. Merumuskan suatu tindakan
Untuk mempersingkat indikator sehingga mudah dipahami dan dihafal, Ennis membuat enam unsur dasar dalam berpikir kritis matematis dikenal dengan nama FRISCO (Focus, Reason, Inference, Situation, Clarify, dan Overview).17 Enam unsur ini pula yang digunakan peneliti dalam menentukan tingkat kemampuan dasar siswa. FRISCO digunakan dalam penelitian ini karena indikator ini cukup singkat, padat, dan jelas sebagai patokan dalam mengukur kemampuan berpikir kritis matematis siswa sehingga tidak mempersulit penelitian yang akan dilakukan pada sampel yang tidak sedikit.
Adapun penjelasan dari FRISCO adalah sebagai berikut:18
a. Focus (fokus), yaitu menentukan suatu konsep dalam menyelesaikan suatu masalah. Mengidentifikasi suatu masalah merupakan langkah awal dalam menyelesaikan masalah tersebut.
17 Caroline Nilson, Developing Children’s Critical Thinking through Creative Arts Exposure, The International Journal of Arts Education, (USA: Champaign, Ilinois, 2014), p. 37.
18 Dyani Primaningsih, “Media CCT (Card of Critical Thingking) dalam Pembelajaran Matematika”, Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education Volume 7 Number 1, 2020, h. 3-4.
Siswa dapat menemukan fokus dari suatu masalah dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada diri sendiri, misalkan
“Ada apa di sini?”, “Apa yang sebenarnya terjadi?”, “Berhubungan dengan apa saja masalah ini?”, “Hal apa yang akan terjadi selanjutnya?”, “Apakah aku harus membuktikan?”, dan lain sebagainya.
b. Reason (alasan), memberikan alasan rasional terhadap keputusan yang diambil. Bukan hanya sekedar menyelesaikan suatu masalah, siswa juga harus memahami apa saja yang sudah ia kerjakan dengan alasan-alasan yang masuk akal, misalnya memberikan argumen mengapa ia menggunakan suatu konsep dalam menyelesaikan masalah.
c. Inference (simpulan), yaitu membuat keputusan yang tepat dalam menyelesaikan masalah yang akan menjadi sebuah simpulan dengan sebuah langkah-langkah yang prosedural. Siswa yang berpikir kritis, akan dapat membuat kesimpulan dengan mempertimbangkan informasi-informasi yang ada. Informasi tersebut dibuat dengan langkah-langkah yang prosedural.
d. Situation (situasi), yaitu memahami serta mengungkapkan situasi dari suatu permasalahan dengan menggunakan bahasa matematika dan menjawab soal-soal matematika aplikasi. Siswa dapat mengomunikasikan suatu masalah dengan menggunakan bahasa matematika, baik itu istilah, simbol, ataupun definisi. Selain itu, siswa juga dapat menyelesaikan soal-soal matematika sederhana.
e. Clarify (kejelasan), yaitu menjelaskan istilah-istilah atau simbol- simbol yang digunakan dalam membuat keputusan atau menghubungkan keterkaitan dengan konsep yang lain. Selain memahami istilah-istilah ataupun sibol-simbol yang digunakan, orang yang berpikir kritis akan dapat memberikan kejelasan lebih lanjut baik dalam hal definisi maupun keterkaitan konsep lain dari suatu masalah.
19
f. Overview (memeriksa kembali), yaitu melakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh untuk mengetahui ketepatan keputusan yang sudah diambil. Tahap akhir dari kemampuan berpikir kritis seseorang adalah mengecek kembali semua hal yang telah dikerjakan, mulai dari memahami masalah sampai membuat kesimpulan dari penyelesaian masalah.
3. Kesalahan Struktur Berpikir
Saat siswa sedang melakukan aktivitas berpikir, maka kegiatan itulah yang disebut proses berpikir. Rany Widyastuti menyatakan bahwa proses berpikir terdiri dari 3 proses, yaitu penerimaan informasi, pengolahan informasi, dan penyimpulan informasi sehingga informasi tersebut dapat dipanggil kembali saat ingin dipergunakan.19 Sementara itu, Danar menguraikan proses berpikir ke dalam tiga langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan.20 Selain itu, menurut Marzano, dkk dalam Buku Kadek Adi Wibawa, proses berpikir memiliki delapan komponen utama yang digolongkan menjadi dua kategori, yaitu perolehan pengetahuan dan produksi atau aplikasi pengetahuan seperti gambar berikut.21
Gambar 2.1 Komponen-Komponen dalam Proses Berpikir
19 Rany Widyastuti, “Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Teori Polya ditinjau dari Adversity Quotient Tipe Climber”, Al-Jabar Jurnal Pendidikan Matematika, Vol. 6, No. 2, 2015, h. 183.
20 Danar Supriadi, Mardiyana, dan Sri Subanti, “Analisis Proses Berpikir Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Langkah Polya ditinjau dari Kecerdasan Emosional Siswa Kelas VIII SMP Al-Azhar Syifa Budi Tahun Pelajaran 2013/2014”, Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika, Vol. 3, No. 2, 2015, h. 205-206.
21 Kadek Adi Wibawa, Defragmenting Struktur Berpikir Pseudo Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, (Malang : Deepubish, 2016), h. 19.
Berdasarkan Gambar 3.1, komponen proses berpikir dalam perolehan pengetahuan adalah pemahaman, pembentukan konsep, dan pembentukan prinsip, sedangkan komponen dalam produksi atau aplikasi pengetahuan adalah penyusunan, pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan, serta memiliki irisan berwacana secara oral dan penelitian. Komponen-komponen proses berpikir yang akan digunakan peneliti untuk menggambar proses berpikir siswa dengan menggunakan skema adalah pemahaman, pembentukan konsep, pembentukan prinsip, penyusunan, pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan.
Proses berpikir yang sudah terlihat jelas dengan skema dapat disebut sebagai struktur berpikir. Pengertian ini sejalan dengan definisi struktur dalam KBBI, yaitu cara sesuatu disusun atau dibangun atau sesuatu yang disusun dengan pola tertentu.22 Dalam penelitian ini, proses berpikir siswa akan dibangun dan disusun dalam bentuk skema, seperti contoh berikut.
Gambar 2.2 Contoh Struktur Berpikir
Gambar 3.2 merupakan contoh struktur berpikir siswa sebelum dan setelah defragmenting. Komponen-komponen dari struktur berpikir siswa tersebut dibuat berdasarkan jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah. Huruf-
22 https://kbbi.web.id/struktur.html. Diakses pada tanggal 17 Juni 2021 jam 03.00.
21
huruf yang digunakan dalam skema tersebut mewakili proses berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah agar terlihat lebih ringkas dalam satu struktur.
Pada saat menyelesaikan suatu permasalahan, jika siswa mengalami kesalahan, maka pada saat itulah siswa mengalami yang namanya kesalahan struktur berpikir. Latifah, dkk mengatakan bahwa kesalahan pada saat menyelesaikan soal kemungkinan besar diakibatkan oleh kesalahan kontsruksi konsep.23 Subanji dalam Latifah mengkaji kesalahan struktur berpikir yang diakibatkan kesalahan kontruksi konsep menjadi 5 bentuk, yaitu pseudo construction, misconstruction, misanalogical construction, misconnection, dan mislogical construction.24 Kelima bentuk ini yang akan digunakan peneliti dalam menganalisis kesalahan struktur berpikir siswa pada penelitian ini.
Pseudo construction terjadi ketika siswa menjawab suatu permasalahan seolah-olah benar namun konsep yang dibangun salah atau seolah-olah salah tetapi siswa dapat menyampaikannya dengan benar setelah melalui proses refleksi.25 Oleh karena itu, pseudo construction dapat dikatakan terjadi apabila jawaban yang dituliskan siswa seringkali berbeda dengan yang dipikirkan siswa.26
Misconstruction terjadi bila konsep yang dikonstruksi siswa terbentuk dengan tidak sempurna atau dengan kata lain ada bagian-bagian dari konsep yang tidak terkonstruksi. Jika digambarkan dalam skema struktur berpikir siswa, maka terdapat bagian-bagian skema yang belum terbentuk.27
Misanalogical construction terjadi jika siswa mengalami penyimpangan pada penggunaan berpikir analogi sehingga menyebabkan kesalahan pada
23 Latifah Mustofa Lestyanto, dkk, “Kesalahan Konstruksi Konsep Mahasiswa Pada Materi Himpunan dan Defragmentasi Struktur Berpikirnya”, Jurnal Review Pembelajaran Matematika, Vol 4 (2), 2019, h. 129.
24 Ibid.
25 Taufiq Hidayanto, Subanji, dan Erry Hidayanto, “Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa SMP dalam Menyelesaikan Masalah Geometri serta Defragmentingya: Suatu Studi Kasus”, Jurnal Kajian Pembelajaran Matematika, Vol. 1 No.1, 2017, h. 73.
26 Latifah. loc. cit.
27 Taufiq. loc. cit.
saat mengkonstruksi konsep.28 Kesalahan ini akan berakibat pada penyelesaian masalah sehingga jawabannya tidak tepat.
Misconnection terjadi di mana siswa telah mengkonstruksi konsep-konsep namun tidak ada koneksi antar konsep tersebut.29 Dalam skema struktur berpikir kritis, bagian-bagian skema sudah tergambar namun belum ada koneksi antar bagian skema.
Terakhir adalah mislogical construction yang tidak jauh berbeda dengan misanalogical construction. Perbedaannya adalah dalam mislogical construction kesalahan konstruksi konsep yang terjadi diakibatkan karena penyimpangan pada saat penggunaan berpikir logika.30
4. Metode Defragmenting
Metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu “metha” yang artinya melalui dan “hodos” yang artinya cara atau jalan, sehingga metode merupakan cara atau jalan yang harus dilalui dalam mencapai tujuan tertentu.31 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “metode” adalah suatu cara kerja yang tersistem digunakan untuk mempermudah dalam melakukan berbagai pelaksanaan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.32 Sementara dalam kajian keislaman, metode berarti juga “Thariqah”, yaitu langkah-langkah strategis yang disiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.33 Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara kerja yang tersistem untuk memudahkan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Selanjutnya, defragmenting menurut Wahono (2009) merupakan proses menghubungkan atau menata data kembali sehingga memudahkan untuk mengambil dan menjelaskan setiap data yang dipanggil. Sedangkan menurut
28 Latifah. loc. cit.
29 Ibid.
30 Ibid.
31 Zulkipli Nasution, “Metode Pembelajaran Pendidik Profesional dalam Alquran”, Jurnal Benchmarking, Vol. 3, No.1, 2019, h. 110.
32 https://kbbi.web.id/metode.html. Diakses pada tanggal 12 September 2020 jam 22.20 WIB.
33 Zulkipli. loc. cit.
23
Wibawa dan Maag, defragmenting adalah restrukturasi proses berpikir, yaitu teknik yang sering digunakan untuk mengubah pola pikir yang kurang adaptif pada individu.33 Menganti mendefinisikan defragmenting struktur berpikir merupakan proses restrukturisasi struktur berpikir siswa menjadi struktur berpikir yang lebih luas sesuai dengan struktur masalah yang dihadapi.
Sedangkan Subanji dalam Sakif mendefinisikan defragmenting struktur berpikir sebagai penataan ulang struktur berpikir siswa ketika melakukan kesalahan dalam menyelesaikan permasalahan matematika melalui proses disequilibrasi, conflict cognitive, dan scaffolding.34
Struktur berpikir siswa yang salah dapat dikontruksi ulang sehingga siswa dapat mengurangi kesalahan yang dilakukan dan bahkan mempertahankan proses berpikirnya. Defragmenting ini merupakan terobosan baru untuk lebih mudah menstrukturasi kerja otak dalam berpikir.35 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa defragmenting merupakan restrukturasi (menyusun ulang) proses berpikir agar lebih baik dan rapih sehingga ketika diperlukan akan lebih mudah diambil untuk digunakan. Jadi, Metode Defragmenting adalah proses yang digunakan untuk mengukur tingkat mengkontruksi ulang struktur pikir agar lebih baik dan rapih sehingga ketika diperlukan akan lebih mudah diambil untuk digunakan.
Tahap dalam metode defragmenting ada tiga berdasarkan pendapat Subanji, yaitu disequilibrasi, conflict cognitive, dan scaffolding.
Disequilibrasi merupakan kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan atau kebingungan.36 Disequilibrasi dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang
33 Suci Haryanti, “Pemecahan Masalah Matematika melalui Metode Defragmenting”, Jurnal Kajian Pendidikan Matematika, Vol 3(2), 2018, h. 202.
34 Mukhammad Ali Bahrudin, Nonik Indrawatiningsih, dan Zuhrotun Nazihah,
“Defragmenting Struktur Berpikir Siswa SMP dalam Menyelesaikan Masalah Bangun Datar”, Jurnal UTS Jogja, Vol 2 (2), 2019, h. 128-129.
35 Haryanti, op.cit., h.201.
36 Bahrudin, op.cit., h.. 128.
akan memancing siswa untuk bingung atau ragu pada jawabannya sendiri.
37Disequilibrasi dapat dicontohkan seperti percakapan berikut ini:38
Siswa : “Benar karna tanda negatif kalau ketemu negatif kan jadinya positif. “
Peneliti : “ Kenapa negatif ketemu negatif kok jadi positif? “
Selanjutnya, Conflict Cognitive merupakan kondisi dimana subjek mengalami kesalahan yang memerlukan contoh untuk memunculkan suatu konflik berpikir subjek sehingga subjek akan berpikir ulang tentang jawabannya.39 Contoh diberikan oleh guru berupa pernyataan atau pertanyaan, seperti berikut ini:40
Peneliti : “Kamu memisalkan -4 sebagai hutang 4, -3 sebagai hutang 3, begitupula dikurangi 3 sebagai hutang 3. Itu ide bagus, namun bagaimana jika “dikurangi negatif 3 atau –(- 3)” apa artinya?”
Siswa : “Ehmm, kalau hutang hutang 3 kok jadi tambah 3 ya, saya bingung. “
Terakhir adalah Scaffolding yang merupakan kondisi dimana guru memberikan bantuan/dukungan secara langsung kepada subjek, dimana bantuan/dukungan ini akan dikurangi sedikit demi sedikit sampai menghilangkan dukungan hingga meminta subjek bertanggung jawab begitu ia
37 Kadek Adi Wibawa, Toto Nusantara, Subanji, dan I Nengah Parta, Defragmentation of Student’s Thinking Structure in Solving Mathematical Problems based on CRA Framework, Journal of Physics IOP Conf. Series: Journal of Physics: Conf. Series 1028 (2018) 012150, p. 2.
38 Subanji, Teori Defragmentasi Struktur Berpikir dalam Mengkonstruksi Konsep dan Pemecahan Masalah Matematika, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2016), h. 71-72
39 Mukhammad Ali Bahrudin, Nonik Indrawatiningsih, dan Zuhrotun Nazihah,
“Defragmenting Struktur Berpikir Siswa SMP dalam Menyelesaikan Masalah Bangun Datar”, Jurnal UTS Jogja, Vol 2 (2), 2019, h. 128.
40 Subanji, Teori Defragmentasi Struktur Berpikir dalam Mengkonstruksi Konsep dan Pemecahan Masalah Matematika, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2016), h. 73
25
sanggup meneruskan.41 Scaffolding dapat dicontohkan seperti percakapan berikut:42
Peneliti : “Bagaimana kalau kamu membuat pengurangan seperti ini
-4 -2 = 6 -4 -1 = 5 -4 -0 = -4
-4-(-1) = ... bisa dilanjutkan?
Siswa : “ Oh ya, -4-(-1) = -3 (karena bertambah 1 dari -4) -4-(-2) = -2 (karena bertambah 2 dari -4)
-4-(-3) = -1 (karena bertambah 3 dari -4)
Tahap-tahap dalam metode defragmenting dapat dilakukan berkali-kali hingga defragmentasi struktur berpikir dapat selesai.
Selain itu, menurut Wibawa dalam Suci Haryanti, mengemukakan langkah-langkah dalam defragmenting struktur berpikir sebagai berikut:43
1. Scanning; pada tahap ini, pendidik membuat struktur berpikir siswa dalam bentuk skema berdasarkan hasil jawaban siswa dan hasil penjelasan siswa melalui wawancara.
2. Check some errors; pendidik memeriksa jawaban siswa pada bagian- bagian yang salah, sehingga pendidik dapat menyusun perencanaan
41 Ibid., h. 128
42 Subanji, Teori Defragmentasi Struktur Berpikir dalam Mengkonstruksi Konsep dan Pemecahan Masalah Matematika, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2016), h. 74
43 Suci Haryanti, “Pemecahan Masalah Matematika melalui Metode Defragmenting”, Jurnal Kajian Pendidikan Matematika, Vol 3(2), 2018, h. 202-203.
mengenai pertanyaan-pertanyaan yang kemudian akan diberikan ke siswa guna memperbaiki struktur berpikir siswa.
3. Repairing; dilakukan penataan kembali struktur berpikir siswa berdasarkan kesalahan yang telah dilakukan. Langkah ini adalah langkah utama dalam men-defrag struktur berpikir siswa.
4. Give a chance to re-works; pendidik memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan kembali permasalahan yang telah diberikan.
5. Certain the result; pendidik memastikan bahwa jawaban siswa sudah benar.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti akan menggunakan langkah- langkah defragmenting struktur berpikir menurut Subanji dengan proses tahap disequilibrasi, conflict cognitive, dan scaffolding. Hal ini dikarenakan proses defragmenting struktur berpikir akan lebih jelas dengan menggunakan ketiga tahap ini.
B. Penelitian yang Relevan
Berikut merupakan penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu:
1. Penelitian Yusuf Ahmadi (2016) yang berjudul “Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Pada Materi Segitiga”. Penelitian ini menunjukkan hasil analisis kemampuan berpikir kritis berdasarkan empat indikator, yaitu menentukan konsep, merumuskan penyelesaian, memberikan argumen, dan mengevaluasi hasil penyelesaian. Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian analisis dan kemampuan yang dianalisis, yaitu kemampuan berpikir kritis, sedangkan perbedaan dengan penelitian ini adalah indikator yang digunakan peniliti, yaitu FRISCO (focus, reason, inference, situation, clarify, dan overview)
2. Penelitian Mukhammad Ali Bahrudin, dkk (2019) yaitu
“Defragmenting Struktur Berpikir Siswa SMP dalam Menyelesaikan Masalah Bangun Datar”. Penelitian ini menunjukkan bahwa