Analisis Kondisi Pariwisata di Kawasan Pantai Pandanan, Kabupaten Lombok Utara, pada aspek Overcrowding (kepadatan), Timbulan
sampah Pantai (Marine Debris) dan Usulan Solusinya.
Oleh:
Tomi Oktapian C1N021089 KELOMPOK 5
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2025
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan praktikum Statistika ini telah selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti acara selanjutnya, laporan ini disusun oleh:
Nama : Tomi Oktapian
NIM : C1N021089
Kelas : A
Kelompok : 5
Mataram,4 Mei 2025
Mengetahui:
Asisten Praktikum
Karinta Pupi Utami NIM. C1N021076
Praktikan
Tomi Oktapian NIM.C1N021089
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI... 3
DAFTAR TABEL...4
BAB I PENDAHULUAN...6
1.1. Latar Belakang... 6
1.2. Tujuan...7
1.3. Manfaat... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...9
BAB III METODOLOGI...11
3.1. Waktu dan Tempat...11
3.2. Alat dan Bahan... 11
3.3 Prosedur Kerja... 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...13
4.1. Hasil... 13
4.2. Pembahasan...15
BAB V PENUTUP... 19
5.1. Kesimpulan... 19
5.2. Saran ... 19
DAFTAR PUSTAKA...20
LAMPIRAN...22
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ekowisata merupakan suatu pendekatan pariwisata yang mengutamakan konservasi alam, pelibatan aktif masyarakat lokal, serta pendidikan lingkungan bagi wisatawan. Konsep ini muncul sebagai respons terhadap dampak negatif pariwisata massal terhadap ekosistem dan budaya lokal. Ekowisata bertujuan untuk menciptakan interaksi yang harmonis antara manusia dan alam, sehingga kegiatan wisata tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi tetapi juga menjaga keberlanjutan ekologi dan sosial.
Dalam praktiknya, ekowisata mendorong wisatawan untuk menjadi agen konservasi melalui pengalaman yang beretika dan edukatif di alam terbuka, sambil mendorong pembangunan ekonomi berbasis komunitas. (Mullick, et al., 2019).
Salah satu cabang penting dari ekowisata adalah ekowisata bahari, yaitu bentuk wisata berbasis laut dan pesisir yang berfokus pada konservasi sumber daya kelautan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Aktivitas dalam ekowisata bahari meliputi snorkeling, menyelam, pengamatan kehidupan laut, penjelajahan mangrove, dan pengenalan budaya bahari. Keunikan ekowisata bahari terletak pada penggabungan aspek ekologi kelautan dan dinamika sosial komunitas pesisir, menjadikannya sebagai salah satu sektor unggulan dalam pengembangan wisata berkelanjutan di negara kepulauan seperti Indonesia (Stronza, A, et al., 2022) . Dengan garis pantai lebih dari 95.000 km dan ekosistem laut yang sangat beragam seperti terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam industri ekowisata bahari global.
(Papageorgiou, 2016).
Namun, potensi besar ini juga diiringi tantangan serius. Eksploitasi wisata laut yang tidak terkendali telah menimbulkan berbagai tekanan terhadap lingkungan pesisir. Praktik wisata yang tidak ramah lingkungan, seperti pembuangan limbah kapal, kerusakan karang akibat aktivitas snorkeling yang tidak diawasi, serta pembangunan infrastruktur yang merusak habitat alami, telah menyebabkan degradasi ekosistem laut di berbagai destinasi populer. Selain itu, ketidakseimbangan manfaat ekonomi dari sektor pariwisata kerap menimbulkan ketimpangan sosial, di mana masyarakat lokal hanya menjadi objek tanpa
memperoleh keuntungan yang layak. Ketergantungan pada sektor wisata juga memperbesar kerentanan sosial-ekonomi komunitas pesisir saat terjadi krisis seperti pandemi COVID-19 atau bencana alam. (Hastuti, 2018).
Urgensi dari kajian ini terletak pada pentingnya menilai dampak pariwisata terhadap dua aspek utama, yaitu lingkungan pesisir dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Penilaian ini bertujuan untuk mengidentifikasi risiko lingkungan akibat pembangunan wisata yang tidak terkendali serta dampaknya terhadap struktur sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Selain itu, kajian ini penting untuk menghimpun solusi berbasis stakeholder, baik dari pemerintah, sektor swasta, akademisi, maupun komunitas lokal, dalam rangka menyusun strategi pengelolaan ekowisata bahari yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Upaya ini sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama poin 14 (Ekosistem Laut) dan 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi). (Nawawi, 2017)
Lebih jauh lagi, pengembangan ekowisata bahari yang terencana dapat menjadi strategi diplomasi lingkungan dan ekonomi biru (blue economy) yang membawa Indonesia menjadi aktor utama dalam pengelolaan laut secara global. Keberhasilan dalam model ekowisata bahari yang partisipatif dan berbasis konservasi dapat direplikasi di berbagai kawasan pesisir, mendorong transformasi sektor pariwisata dari eksploitatif menuju regeneratif. Maka, studi ini tidak hanya memiliki nilai praktis, tetapi juga strategis dalam mendukung arah pembangunan nasional yang lebih hijau dan inklusif. (Ren, 2021).
1.2. Tujuan
Menganalisis dampak pariwisata terhadap lingkungan pesisir dan sosial ekonomi serta mengumpulkan solusi dari stakeholder.
1.3. Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Memberikan pemahaman ilmiah mengenai kondisi lingkungan pesisir akibat pariwisata.
b. Menyediakan data empiris tentang dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat lokal.
c. Menjadi referensi bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan regulasi ekowisata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sejak beberapa dekade terakhir, pengembangan ekowisata sebagai alternatif untuk pariwisata massal telah menjadi perhatian utama di seluruh dunia. Ekowisata menawarkan pendekatan pariwisata yang berkelanjutan dengan fokus pada konservasi lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal, dan pemahaman wisatawan tentang nilai-nilai ekologi.
Ekowisata bukan hanya rekreasi yang menikmati alam, tetapi juga sistem yang dapat secara adil mendanai upaya konservasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi komunitas (Hastuti, 2018). Konsep ini kemudian berkembang menjadi pendekatan untuk membangun kawasan konservasi yang menggabungkan pelestarian dengan sumber pendapatan alternatif.
Ekowisata bahari adalah bentuk nyata dari ekowisata di lingkungan perairan. Ini berlaku untuk ekosistem laut dan pesisir. Aktivitas seperti menyelam, snorkeling, dan pendidikan konservasi laut tidak hanya meningkatkan pendapatan lokal tetapi juga meningkatkan kesadaran wisatawan dan masyarakat umum tentang pentingnya ekosistem laut. Dalam ekowisata bahari, pendekatan berbasis ekosistem dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam. Selain itu, Jayantri & Ridlo. (2021) menyatakan bahwa komunitas lokal dapat lebih terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Akibatnya, ekowisata bahari adalah cara yang bagus untuk mengimbangi pembangunan ekonomi dan konservasi ekosistem.
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa tata kelola yang baik dan inklusif sangat memengaruhi keberhasilan pengelolaan ekowisata. Ini termasuk partisipasi aktif masyarakat lokal dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan, dan pembagian manfaat.
menemukan bahwa konflik sosial dan persepsi negatif terhadap pembangunan wisata di Raja Ampat disebabkan oleh kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan wisata. Dalam kasus terbaik, telah terbukti bahwa pendekatan kolaboratif antar- stakeholder dapat meningkatkan efisiensi konservasi dan memberikan legitimasi sosial bagi kebijakan pengelolaan wisata. (Kusyanda & Masdiantini, 2021).
Pariwisata juga dapat berdampak buruk pada lingkungan laut. Pembangunan resort di kawasan pesisir sering kali menyebabkan abrasi dan pencemaran air laut, sedangkan aktivitas menyelam tanpa regulasi dapat merusak terumbu karang. menyatakan bahwa tanpa pengawasan yang baik, tempat wisata laut dapat mengalami kerusakan ekosistem yang besar dalam waktu singkat. Oleh karena itu, agar pariwisata tidak menjadi beban bagi lingkungan, sistem pemantauan yang kuat, peraturan yang jelas, dan pelatihan yang berkelanjutan diperlukan untuk wisatawan dan operator wisata. (Mulyana & Yulianto, 2018)
Secara teoretis, ekowisata bahari terkait erat dengan konsep pembangunan berkelanjutan dan ekonomi biru, juga dikenal sebagai "ekonomi biru". Untuk mencapai pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan, ekonomi biru mengutamakan keseimbangan antara produktivitas dan konservasi. menyatakan bahwa ekonomi biru harus didasarkan pada kehati-hatian dan inklusi sosial agar pengelolaan laut menghasilkan keuntungan ekonomi serta menjaga ekosistem dan keadilan antar generasi6. Oleh karena itu, bagi negara kepulauan seperti Indonesia, salah satu solusi strategis adalah memasukkan konsep ekowisata ke dalam kerangka ekonomi biru.(Suteja & Wahyuningsih, 2019).
BAB III METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilakukan tanggal 28 Mei 2025 yang berlokasi di Taman Laut Pandanan, Desa Malaka, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini sebagai beriku:
Tabel 3.2. 1 Alat
No Alat Fungsi
1 Pulpen Digunakan untuk mencatat hasil
wawancara atau mengisi kuesioner secara manual.
2 Handphone Digunakan untuk mendokumentasikan
kegiatan.
3.2.2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini sebagai beriku:
Tabel 3.2. 2 Bahan
No Bahan Fungsi
1 Kertas Kuesioner Sebagai instrumen tertulis berisi pertanyaan untuk menggali data dari narasumber.
2 Narasumber Sebagai subjek yang memberikan informasi
atau data primer melalui proses wawancara.
3.3 Prosedur Kerja
Kegiatan praktikum dimulai dengan menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan, yaitu pulpen, kertas kuesioner, dan handphone. Setelah itu, satu orang narasumber yang relevan dengan topik dipilih untuk diwawancarai. Praktikan melakukan pendekatan dengan sopan, menjelaskan tujuan wawancara, dan meminta izin untuk mendokumentasikan menggunakan handphone.
Wawancara dilakukan berdasarkan pertanyaan yang ada di kuesioner. Jawaban narasumber dicatat menggunakan pulpen dan juga di dokumentasi. Setelah wawancara selesai, hasilnya dianalisis dan disusun ke dalam laporan praktikum.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 28 Mei 2025 dengan salah satu responden yaitu seorang pelajar kelas 9 SMP yang sedang berkunjung ke Taman Laut Pandanan, diperoleh data sebagai berikut:
A. Identitas Responden :
1. Jenis responden: Wisatawan (pelajar) 2. Lama berkunjung: < 1 hari
B. Dampak Overcrowding (kepadatan wisatawan)
1. Seberapa sering saya melihat kepadatan wisatawan di kawasan Pandanan?
a. Jawaban: c. Kadang-kadang
b. Alasannya : "Saya baru pertama kali berkunjung ke sini, tapi menurut saya pantainya lumayan ramai. Ada beberapa area yang banyak pengunjungnya terutama di tempat yang bagus untuk foto-foto."
2. Dampak overcrowding yang paling terasa?
a. Jawaban : a. Fasilitas umum (toilet, tempat parkir dan lainnya) tidak memadai dan c. Lingkungan jadi bising
b. Alasannya : "Tadi saya mau ke toilet harus antre lumayan lama, dan beberapa tempat jadi berisik karena banyak orang."
3. Setuju dengan pembatasan jumlah pengunjung?
a. Jawaban : a. Ya
b. Alasannya: "Biar pantainya tetap bersih dan tidak rusak. Kalau terlalu banyak pengunjung, nanti alamnya bisa rusak."
C. Sampah Pantai dan Polusi
1. Jenis sampah yang paling banyak dilihat?
a. Jawaban : a. Plastik (botol, gelas, kemasan makanan dll) dan d. Puntung rokok b. Alasannya : "Banyak botol plastik minuman dan bungkus makanan yang
berserakan, juga puntung rokok di pasir."
2. Sumber utama sampah?
a. Jawaban : a. Wisatawan
b. Alasannya : "Menurut saya pengunjung yang buang sampah sembarangan, soalnya mereka bawa makanan dan minuman tapi tidak buang sampahnya di tempat yang benar."
3. Program pengelolaan sampah yang diketahui?
a. Jawaban : c. Tidak tahu
b. Alasannya : "Saya tidak tahu ada program khusus, tapi saya lihat ada petugas yang membersihkan pantai tadi pagi."
D. Usulan Solusi
1. Solusi untuk mengurangi overcrowding?
a. Jawaban : d. Edukasi wisatawan tentang kunjungan bertanggung jawab b. Alasannya : "Kalau pengunjung diberitahu cara menjaga pantai dengan baik,
mungkin mereka akan lebih bertanggung jawab."
2. Solusi untuk mengurangi sampah laut?
a. Jawaban : a. Penyediaan lebih banyak tempat sampah terpilah dan b.
Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai
b. Alasannya : “Perlu lebih banyak tempat sampah yang dibedakan jenisnya dan pengunjung sebaiknya tidak menggunakan plastik sekali pakai.”
3. Kesediaan terlibat dalam program pengembangan ekowisata?
a. Jawaban : a. Ya (sebagai relawan)
b. Alasannya : "Saya mau ikut membersihkan pantai kalau ada kegiatan seperti itu. Di sekolah saya juga ada program peduli lingkungan."
4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 28 Mei 2025 di Taman Laut Pandanan, Desa Malaka, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat dengan responden seorang siswa SMP kelas 9 yang berkunjung sebagai wisatawan, dapat dianalisis beberapa aspek penting terkait kondisi ekowisata bahari di kawasan tersebut.
4.2.1 Aspek Overcrowding (Kepadatan Wisatawan)
Berdasarkan pengamatan responden, tingkat kepadatan pengunjung di Taman Laut Pandanan dikategorikan ke dalam kategori "kadang-kadang". Meskipun responden baru berkunjung ke taman, mereka dapat melihat bahwa ada beberapa titik dengan tingkat pengunjung yang cukup tinggi, terutama di area dengan nilai estetika tinggi yang ideal untuk foto. Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung tersebar tidak merata di kawasan wisata.
Overcrowding menyebabkan keterbatasan fasilitas umum dan kebisingan yang mengganggu. Antrean yang panjang di toilet menunjukkan bahwa infrastruktur pendukung tidak cukup untuk menampung jumlah pengunjung yang ada. Manning (2017) menyatakan bahwa fenomena ini sejalan dengan teori daya dukung wisata, atau daya bawa wisata, yang menekankan bahwa jumlah pengunjung yang melebihi kapasitas akan menyebabkan pengalaman wisata dan lingkungan yang lebih buruk . Tanggapan responden terhadap pembatasan jumlah pengunjung menunjukkan bahwa generasi muda menyadari pentingnya mempertahankan keseimbangan ekologis di wilayah pantai. Prinsip dasar ekowisata yang menekankan konservasi lingkungan terungkap dalam keinginan untuk menjaga kebersihan alam dan mencegah kerusakan.
4.2.2 Permasalahan Sampah Pantai (Marine Debris)
Ditunjukkan bahwa masalah sampah di wilayah ini terutama disebabkan oleh konsumsi wisatawan, karena sampah yang paling umum terdiri dari plastik, seperti botol,
kemasan makanan, dan puntung rokok. Hasil ini sejalan dengan penelitian Suteja et al.
(2019), yang menemukan bahwa sampah plastik adalah penyebab utama pencemaran laut di daerah wisata pantai, dengan jumlah sampah yang diperkirakan antara 4,8 dan 12,6 juta ton plastik yang masuk ke ekosistem laut setiap tahunnya.
Persepsi responden bahwa wisatawan adalah sumber utama sampah menunjukkan bahwa mereka menyadari bahwa perilaku pengunjung berdampak langsung pada kondisi lingkungan. Selain itu, fakta bahwa responden tidak tahu tentang program pengelolaan sampah di wilayah tersebut menunjukkan bahwa pengunjung, terutama wisatawan baru, tidak tahu tentang program lingkungan.
4.2.3 Analisis Usulan Solusi
Menurut responden, solusi overcrowding dengan mengajarkan wisatawan tentang kunjungan bertanggung jawab lebih disukai daripada pembatasan fisik. Ini sejalan dengan gagasan manajemen kunjungan berkelanjutan yang menekankan pada perubahan perilaku wisatawan melalui edukasi.
Responden mengusulkan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai dan lebih banyak tempat sampah terpilah untuk mengatasi masalah sampah laut. Ini adalah saran yang mencerminkan pendekatan integrasi untuk pengelolaan sampah yang menggabungkan fasilitas fisik dan perubahan perilaku konsumsi. Strategi ini sesuai dengan struktur pengelolaan sampah yang mengutamakan pencegahan dan pengurangan sampah di sumbernya.
Keinginan responden untuk berpartisipasi sebagai relawan dalam program pengembangan ekowisata menunjukkan potensi keterlibatan generasi muda dalam konservasi.
Pengalaman responden dalam program peduli lingkungan di sekolah menunjukkan bahwa pendidikan lingkungan formal dapat berkorelasi positif dengan keinginan untuk mengambil bagian dalam kegiatan konservasi di luar sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil Chawla dan Derr (2018), yang menunjukkan bahwa pengalaman pendidikan lingkungan yang diberikan pada usia remaja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pro- lingkungan yang dibangun setelah usia dewasa.
4.2.4 Aspek Edukasi dan Ekonomi
Responden menunjukkan bahwa komponen edukasi diperlukan dalam pengalaman ekowisata. Ini sejalan dengan prinsip ekowisata yang menekankan pada pendidikan dan pemahaman pengunjung tentang lingkungan.
Meskipun responden bukan penduduk lokal, pengamatan terhadap warung dan toko makanan di sekitar pantai menunjukkan bahwa masyarakat setempat mendapat manfaat finansial dari aktivitas wisata. Ini mencerminkan salah satu aspek penting dari ekowisata, yaitu memberikan manfaat finansial bagi masyarakat lokal.
4.2.5 Implikasi untuk Pengelolaan Ekowisata Bahari di Pandanan
Berdasarkan analisis di atas, beberapa implikasi untuk pengelolaan ekowisata bahari di Taman Laut Pandanan antara lain:
1. Perlu adanya peningkatan kapasitas fasilitas umum, terutama toilet, untuk mengakomodasi jumlah pengunjung pada waktu puncak kunjungan.
2. Diperlukan manajemen pengunjung yang lebih efektif, terutama melalui distribusi pengunjung ke area-area yang kurang padat untuk mengurangi konsentrasi di titik-titik tertentu.
3. Program edukasi pengunjung perlu ditingkatkan melalui penyediaan papan informasi, pemandu wisata, dan kampanye kesadaran lingkungan.
4. Sistem pengelolaan sampah perlu dioptimalkan dengan penambahan tempat sampah terpilah dan sosialisasi program pengurangan sampah plastik.
5. Partisipasi generasi muda dalam kegiatan konservasi dan ekowisata perlu difasilitasi melalui program relawan dan kerjasama dengan institusi pendidikan.
Temuan dari studi kasus ini, meskipun terbatas pada beberapa responden, namun memberikan gambaran awal mengenai persepsi pengunjung muda terhadap kondisi
ekowisata bahari di kawasan Taman Laut Pandanan. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif, diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah responden yang lebih besar dan beragam, termasuk masyarakat lokal, pengelola wisata, dan pelaku usaha.
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Seorang siswa kelas 9 yang mengunjungi Taman Laut Pandanan mengatakan bahwa area ini mulai menghadapi masalah ekowisata, terutama masalah sampah dan overcrowding. Meskipun kepadatan wisatawan dianggap "kadang-kadang", situasi ini telah menyebabkan keterbatasan fasilitas umum dan peningkatan kebisingan di beberapa wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur belum sepenuhnya mampu menampung jumlah pengunjung yang datang. Akibatnya, diperlukan upaya pengelolaan wisata yang lebih berkelanjutan.
Sampah, terutama plastik dan puntung rokok, dianggap sebagai hasil dari perilaku wisatawan yang tidak bertanggung jawab. Perbaikan komunikasi dan edukasi lingkungan di kawasan ini ditunjukkan oleh fakta bahwa wisatawan baru tidak tahu banyak tentang program pengelolaan sampah atau informasi apa pun tentang hal itu. Responden menyarankan solusi seperti menyediakan tempat sampah terpilah dan mengurangi plastik sekali pakai. Mereka juga menunjukkan keinginan untuk berpartisipasi sebagai relawan, yang menunjukkan adanya potensi besar dari generasi muda untuk membantu konservasi lingkungan.
Ekowisata Taman Laut Pandanan juga menawarkan banyak peluang pendidikan dan bisnis. Pengunjung menganggap edukasi lingkungan sangat penting, dan kegiatan rekreasi menguntungkan masyarakat lokal melalui restoran dan bisnis makanan. Hal ini menunjukkan bahwa ekowisata dapat membantu pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar jika dilakukan dengan benar.
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Hastuti, A. W., Pancawati, Y., & Surana, I. N. (2018). The abundance and spatial distribution of plankton communities in Perancak Estuary, Bali. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 176(1). https://doi.org/10.1088/1755- 1315/176/1/012042
Jayantri, A. S., & Ridlo, M. A. (2021). Strategi pengelolaan sampah di kawasan pantai.
Jurnal Kajian Ruang, 1(2).
Kusyanda, M. R. P., & Masdiantini, P. R. (2021). Kajian Strategi Pengelolaan Daya Tarik Wisata Kuliner: Tinjauan pada UMKM Berbasis Ekonomi Kreatif Pantai Penimbangan. Jurnal Manajemen Perhotelan Dan Pariwisata, 4(2), 90-99.
Mullick, M. R. A., Tanim, A. H., & Islam, S. M. S. (2019). Coastal vulnerability analysis of Bangladesh coast using fuzzy logic based geospatial techniques. Ocean &
Coastal Management, 174, 154–169.
https://doi.org/10.1016/J.OCECOAMAN.2019.03.010
Mulyana, Y., & Yulianto, Y. (2018). Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Kuliner di Kalibawang dan Samingaluh Kulonprogo Yogyakarta. Jurnal Manajemen Resort dan Leisure, 15(1), 1-10.
Nawawi, A. (2017). Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata pantai depok di desa kretek parangtritis. Jurnal Nasional Pariwisata, 5(2), 103-109.
Papageorgiou, M. (2016). Coastal and marine tourism: A challenging factor in Marine Spatial Planning. Ocean & Coastal Management, 129, 44–48.
https://doi.org/10.1016/J.OCECOAMAN.2016.05.006
Ren, W., & Ji, J. (2021). How do environmental regulation and technological innovation affect the sustainable development of marine economy: New evidence from China’s coastal provinces and cities. Marine Policy, 128, 104468.
https://doi.org/10.1016/J.MARPOL.2021.104468
Suteja, I. W., & Wahyuningsih, S. (2019). Strategi Pengembangan Potensi Kuliner Lokal Dalam Menunjang Kegiatan Pariwisata Di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika Kabupaten Lombok Tengah. Media bina ilmiah, 14(2), 2035-2042.
LAMPIRAN