See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/366876908
Analisis Program Penanggulangan TBC di Indonesia dalam Upaya Pencapaian Target Eliminasi TBC Tahun 2030
Article · January 2023
CITATIONS
0
READS
4,956 1 author:
Faradisa Mulya University of Indonesia 4PUBLICATIONS 0CITATIONS
SEE PROFILE
Analisis Program Penanggulangan TBC di Indonesia dalam Upaya Pencapaian Target Eliminasi TBC Tahun 2030
Faradisa Mulya
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia E-mail: [email protected]
Abstrak:
Tuberkulosis atau TBC hingga saat ini masih menjadi ancaman kesehatan yang besar di dunia maupun di Indonesia. Untuk itu, ditetapkan target eliminasi TBC tahun 2030 untuk mengakhirinya. Namun hingga saat ini, masih terdapat banyak indikator program penanggulangan TBC yang belum tercapai bahkan jauh dari target, misalnya pada 2022 Case Detection Rate (CDR) sebesar 52% dari target 90%, Treatment Success Rate (TSR) 82% dari target 90%, Treatment Coverage (TC) 57% dari target 90%, Investigasi Kasus (IK) 89% dari target 100%, Enrollment Rate (ER) TBC RO 57% dari target 93% dan TSR TBC RO 50% dari target 80%. Untuk mencapai eliminasi TBC tahun 2030, target yang ditetapkan bahkan lebih tinggi daripada target saat ini. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan RI merancang kerangka akselerasi program TBC dalam rangka pencapaian berbagai indikator yang diharapkan membawa Indonesia mencapai target eliminasi TBC tahun 2030. Manuskrip ini bertujuan untuk menganalisis program penanggulangan TBC di Indonesia dalam upaya pencapaian target eliminasi TBC tahun 2030. Analisis dilakukan terhadap aspek input, output, dan kerangka akselerasi program TBC. Hasilnya adalah aspek kebijakan dan sarana prasarana telah mencapai target dan pelaksanaannya sudah cukup baik, namun tetap memerlukan peningkatan. Beberapa aspek lain seperti pendanaan, SDM penemuan kasus secara aktif, pemberian TPT, dan surveilans masih memerlukan peningkatan masif untuk pencapaian target eliminasi TBC di tahun 2030. Sisa tujuh tahun menuju 2030 ini perlu dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah dan segenap komponen bangsa melalui berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah yang ada serta meningkatkan ketersediaan dan kualitas aspek program penanggulangan TBC.
Kata kunci: input, output, kerangka akselerasi, program TBC, eliminasi TBC 2030
Abstract:
Tuberculosis or TB remains an important health problem globally and also in Indonesia. Therefore, a TB elimination target has been set in 2030 to end it. However, until now, there are still many TB control program indicators that have not been achieved and are even far from the target, for example in 2022 the Case Detection Rate (CDR) is 52% of the 90% target, the Treatment Success Rate (TSR) is 82% of the 90% target, Treatment Coverage (TC) 57% of target 90%, Case Investigation (IK) 89% of target 100%, Enrollment Rate (ER) TB RO 57% of target 93% and TSR TB RO 50% of target 80%. To achieve TB elimination by 2030, the target set is even higher than the current target. Therefore, the Ministry of Health of the Republic of Indonesia designed a framework for accelerating the TB program in order to achieve various indicators that are expected to bring Indonesia to achieve the TB elimination target by 2030. This manuscript aims to analyze TB control programs in Indonesia in an effort to achieve the TB elimination target by 2030. The analysis was carried out on aspects of input, output, and the TBC program acceleration framework. The result is that aspects of policy and infrastructure have reached the target and the implementation is quite good, but still requires improvement. Several other aspects, such as funding, human resources for active case finding, provision of TPT, and surveillance, still require massive increases to achieve the TB elimination target in 2030. The remaining seven years to 2030 need to be utilized optimally by the government and all components of the nation through various strategies to solving existing problems and increasing the availability and quality of aspects of tuberculosis control programs.
Keywords: input, output, acceleration framework, TB program, TB elimination by 2030
PENDAHULUAN Latar Belakang
Tuberkulosis atau TBC hingga saat ini masih menjadi ancaman kesehatan besar di dunia maupun di Indonesia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa TBC berada di urutan kedua untuk penyakit infeksius yang paling banyak menyebabkan kematian setelah COVID-19 (WHO, 2022). Berdasarkan data Global TB Report tahun 2022, secara global terdapat kenaikan jumlah orang yang terinfeksi TBC sebesar 4,5% yaitu dari 10,1 juta orang pada 2020 menjadi 10,6 juta orang pada 2021 diikuti dengan 1,6 juta kematian (WHO, Global TB Report 2022). Besarnya masalah TBC di dunia juga ditunjukkan dengan adanya target eliminasi TBC dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Target ini juga merupakan bagian dari strategi yang lebih besar yaitu End TB Strategy yang bertujuan untuk mengakhiri epidemi TB global pada tahun 2035. Indikator dalam strategi ini pada 2035 adalah reduksi 95%
angka kematian TBC dibanding 2015, reduksi 90% insiden TBC dibanding 2015, dan dan 0%
keluarga terdampak biaya katastropik akibat TBC.
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang umumnya menyerang paru-paru. Bakteri TBC bertransmisi melalui droplet yang dihasilkan manusia. TBC utamanya menyerang orang yang imunitasnya rendah seperti penderita HIV-AIDS atau diabetes mellitus, kontak dengan penderita TBC, tinggal di area yang padat penduduk serta kumuh, dan merokok (WHO, 2022). Sekitar seperempat dari seluruh populasi di dunia memiliki infeksi TBC, artinya sejumlah orang tersebut telah terinfeksi oleh bakteri penyebab TBC tetapi belum atau tidak mengalami gejala TBC dan tidak dapat menularkannya (WHO, 2022). Hal ini disebut dengan infeksi TBC laten. Sementara itu, infeksi TBC aktif berarti seseorang terinfeksi bakteri TBC aktif yang dapat menular dan menyebabkan gejala. Gejala ini umumnya adalah batuk disertai dahak dan darah selama tiga minggu atau lebih, nyeri dada, lesu, penurunan berat badan, demam, dan berkeringat di malam hari.
Di Indonesia, TBC termasuk masalah kesehatan dengan angka kasus dan kematian yang tinggi. Pada 2021, Indonesia menempati posisi ke-2 di dunia setelah India dengan estimasi sebanyak 969.000 kasus (WHO, Global Tuberculosis Report, 2022). Estimasi kasus pada 2022 juga sebanyak 969.000 kasus, terdiri dari TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO). Nyatanya, capaian penemuan kasus TBC per 1 November 2022 hanya 52% atau 503.712 kasus dari target sebesar 90% (Kementerian Kesehatan RI, 2022). Kesenjangan yang besar ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mencapai target penemuan kasus sehingga berpengaruh terhadap jumlah penderita TBC yang belum mendapat pengobatan dan akan menyebabkan tingginya penularan. Untuk mencapai eliminasi TBC di Indonesia pada 2030 ditetapkan target
insiden sebesar 65 per 100.000 penduduk, sementara insiden pada 2021 masih mencapai 358 per 100.000 penduduk. Sisa waktu 7 tahun menuju 2030 ini harus dimanfaatkan untuk akselerasi program TBC demi mencapai eliminasi TBC.
Selain meningkatkan risiko kesehatan, masalah TBC berdampak pada meningkatnya beban ekonomi negara maupun penderitanya. Dokumen Rencana Global untuk Mengakhiri TBC 2023-2030 juga menjelaskan bahwa dalam rentang 2023-2030, untuk menyelamatkan jutaan nyawa dari TBC dibutuhkan investasi dunia sebesar US$250 juta (Stop TB Partnership, 2022). Hal ini tentu berat bagi negara berkembang seperti Indonesia yang masih berjuang dalam banyak hal lain selain TBC.
Banyak faktor yang menyebabkan cakupan penanganan TBC belum optimal, diantaranya adalah underreporting, tenaga kesehatan belum banyak terlatih, implementasi kebijakan belum optimal, sarana prasarana terbatas, dan pandemi COVID-19 juga banyak membawa pengaruh. Dalam mendukung upaya menuju eliminasi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2030 seperti yang telah diamanatkan dalam RPJMN 2020-2024, maka dibuatlah STRANAS Tuberkulosis 2020-2024 sebagai pedoman pelaksanaan strategi dan intervensi untuk percepatan eliminasi TBC pada 2030. Selain itu, dirancang kerangka akselerasi program TBC oleh Kementerian Kesehatan RI yang terdiri dari active case finding, penguatan surveilans, dan ekspansi pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) (Kementerian Kesehatan RI, 2022).
Mengapa dalam situasi penanggulangan TBC terdapat kesenjangan antara target dan realita? Bagaimana ketersediaan dan kualitas aspek input pada program penanggulangan TBC?
Bagaimana implementasi upaya akselerasi program TBC dalam percepatan eliminasi TBC?
Apa tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam pengendalian TBC di Indonesia?. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut melalui analisis program penanggulangan TBC di Indonesia dalam upaya pencapaian target eliminasi TBC tahun 2030.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis program penanggulangan TBC di Indonesia dalam upaya pencapaian target eliminasi TBC tahun 2030. Analisis dilakukan terhadap aspek input, output, dan kerangka akselerasi program TBC. Aspek input meliputi ketersediaan sarana prasarana, pendanaan, kebijakan, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Aspek output meliputi Case Detection Rate (CDR), Treatment Coverage (TC), Treatment Success Rate (TSR) TBC dan TBC Resisten Obat (RO), Enrollment Rate TBC RO, serta Investigasi Kontak (IK). Selain itu, juga dilakukan analisis implementasi kerangka akselerasi program TBC yaitu active case finding, ekspansi pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT), dan penguatan surveilans.
METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif menggunakan data primer dan sekunder. Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu:
1. Observasi Partisipatif Terstruktur
Pengikutsertaan dalam pelaksanaan sekaligus mengobservasi proses kerja Sub Tim Kerja TBC, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan RI.
2. Studi Pustaka
Pengumpulan data dan penelaahan literatur yang didapatkan dari internet maupun Kementerian Kesehatan RI untuk menambah pengetahuan mengenai program penanggulangan TBC dan implementasinya.
3. Metode Wawancara
Konsultasi dengan pembimbing lapangan dan diskusi dengan pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan RI.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Input
Sarana Prasarana
Aspek sarana dan prasarana merupakan salah satu aspek yang memegang kendali dalam keberhasilan program TBC. Sarana dan prasarana dalam program TBC merupakan bahan dan alat untuk menunjang kegiatan program TBC. Pasal 19 Permenkes RI No. 67 tahun 2016 menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan sarana dan prasarana laboratorium kesehatan untuk penegakan diagnosis, pemantauan keberhasilan pengobatan, dan sebagainya. Beberapa sarana dan prasarana yang dibutuhkan diantaranya Obat Anti Tuberkulosis (OAT), mesin Tes Cepat Molekuler (TCM), sistem informasi, dan lainnya.
Perkembangan diagnosis TBC semakin mumpuni dengan mesin TCM yang dapat mendeteksi hanya dalam waktu 2 jam dan memiliki sensitivitas tinggi yaitu 94% dan nilai spesifisitas lebih dari 98% berdasarkan studi yang dilakukan di Afrika, Eropa, dan Asia Tenggara (Penn-Nicholson A, Georghiou SB, Ciobanu N, et al., 2022). Hingga akhir tahun 2022, sebanyak 1.809 mesin TCM telah terdistribusi ke 500 Kabupaten/Kota dari 514 Kabupaten/Kota (97%) (Dashboard TB, Kementerian Kesehatan RI, 2022). Kondisi ini sudah cukup baik, namun bagi kab/kota yang belum memiliki TCM akan lebih sulit menangani TBC.
Akses untuk diagnosis TCM pada beberapa wilayah sulit, bahkan di Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya ada 3 mesin TCM dari 36 Puskesmas sehingga kader dan staf program TBC
harus menempuh total 200 km untuk mengantar spesimen dahak (Stop TB Partnership Indonesia, 2022). Kondisi ini menjadi tanda bagi pemerintah untuk meningkatkan ketersediaan sarana prasarana untuk mendukung percepatan eliminasi TBC, hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pendanaan dari public-private mix, dana APBN/APBD, maupun hibah.
Selain alat dan bahan untuk penanggulangan TBC, Sistem Informasi TB (SITB) juga merupakan sarana yang dibutuhkan demi mencapai eliminasi TBC. Sistem Informasi TB (SITB) adalah aplikasi yang digunakan oleh semua pemangku kepentingan mulai dari fasilitas kesehatan (puskesmas, rumah sakit, dokter praktek mandiri, klinik, laboratorium, instalasi farmasi), dinas kesehatan kabupaten/kota/provinsi dan Kementrian Kesehatan RI, untuk melakukan pencatatan dan pelaporan kasus TB Sensitif Obat (SO), TB Resisten Obat (RO), dan logistik dalam satu wadah yang terintegrasi. Bahkan SITB adalah salah satu keluaran yang diharapkan dari target peningkatan sarana prasarana dalam Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, yang menyatakan targetnya adalah 100% fasilitas kesehatan dilengkapi komputer untuk Sistem Informasi TBC. Berdasarkan laporan nasional Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2019, terdapat 95.668 komputer untuk 9.831 puskesmas di Indonesia, dengan jumlah komputer yang berfungsi 84.019. Semua provinsi memiliki jumlah komputer yang lebih banyak dibanding jumlah puskesmas, dan rata-rata jumlah komputer per puskesmas adalah 10 (Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI, 2019). Dilihat dari segi ketersediaan jumlah komputer puskesmas sebagai sarana untuk mendukung program penanggulangan TBC, situasi nya sudah baik. Meski jumlah komputer memadai, pengoperasian SITB membutuhkan internet karena berbasis web sehingga beberapa daerah mengalami kesulitan.
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
“Meskipun ketersediaan sarpras sudah cukup baik, namun akses internet di beberapa tempat sulit, terutama di wilayah timur sehingga perlu diperhatikan akses internetnya.”
(Informan 1)
Pernyataan ini terbukti oleh suatu penelitian di Kabupaten Oku Timur yang menyebutkan bahwa seringnya terjadi kendala sinyal di beberapa puskesmas menyebabkan keterlambatan pembaruan data di SITB (Hutami SP, Mahendradata Y, Puspandari DA., 2021).
Untuk itu, pemerintah dan segenap komponen bangsa melalui strategi pentahelix perlu berkolaborasi untuk menjamin ketersediaan dan mutu sarana prasarana, contohnya akses internet. Strategi pentahelix adalah kolaborasi antar akademisi, media, masyarakat, pelaku
usaha, dan pemerintah agar saling berbagi pengetahuan, pengalaman, dan dukungan demi memberantas TBC di Indonesia.
Pendanaan
Penanganan TBC berpengaruh besar terhadap ekonomi, bahkan total kerugian ekonomi akibat TB SO dan TB RO adalah sekitar 136,7 milyar per tahun, hal ini dipengaruhi oleh situasi Indonesia yang masih mengalami triple burden TBC, yaitu insiden TB, TB RO, dan TB HIV.
(Redaksi Sehat Negeriku, 2019). Sebuah penelitian oleh Wulan, S (2020) menyebutkan bahwa TBC berpengaruh pada penurunan rata-rata pendapatan bulanan pasien, serta pasien dengan golongan penghasilan rendah menghabiskan 14% dari pendapatan rumah tangga untuk pengobatan TBC. TBC bahkan menyebabkan biaya katastropik pada rumah tangga. Biaya katastropik adalah total biaya yang terkait dengan pengelolaan TB yang melebihi 20% dari pendapatan rumah tangga pra-TB tahunan (Ghazy RM, El Saeh HM, Abdulaziz S., et al., 2022).
Berdasarkan penelitian oleh Fuady A, Houweling TAJ, Mansyur M, dan Richardus JH. (2018), jumlah kepala atau insidens dari biaya total katastropik adalah 36% untuk TB dan 83% untuk TB RO. Untuk itu, salah satu target eliminasi TBC WHO adalah tidak ada rumah tangga yang mengalami biaya katastropik akibat TBC.
Oleh karena TBC memerlukan dana yang tidak sedikit, The Global Fund (GF) hingga saat ini telah menyumbang sebesar Rp 20,89 triliun yang disalurkan kepada Kementerian Kesehatan RI dan komunitas yang aktif dalam pencegahan, pengobatan, dan perawatan penyakit AIDS, tuberkulosis, dan malaria. GF bahkan menyediakan 76% dari seluruh pendanaan internasional untuk TBC. Hal ini terbukti mengurangi angka kematian akibat TBC sebesar 21% (The Global Fund, 2022). Meski begitu, program TBC tidak dapat sepenuhnya bergantung pada dana dari GF karena situasi kesehatan masyarakat dinamis, contohnya terdapat penurunan pembiayaan program TBC sebesar 8,7% antara 2019 dan 2020 akibat pergeseran prioritas ke COVID-19. Beruntungnya, pertemuan G20 Side Event on TB di Yogyakarta pada Maret 2022 membuahkan kesepakatan peningkatan pendanaan untuk pencegahan dan pengendalian TBC hingga empat kali lipat dari sebelumnya dalam rangka pencapaian eliminasi TBC pada 2030. (Kementerian Kesehatan RI, 2022).
Untuk melakukan percepatan eliminasi TBC tentu membutuhkan akselerasi kualitas dan kuantitas implementasi keenam strategi penanggulangan TBC, dalam hal ini dibutuhkan sokongan dana yang kuat. Keenam strategi nasional tersebut membutuhkan pendanaan sebesar 47,3 triliun rupiah. Pada tahun 2021, kebutuhan pendanaan program TBC mencapai 8 triliun rupiah, masalahnya dalam APBN hanya tersedia 2,1 triliun rupiah (Stop TB Partnership Indonesia, 2021). Hal ini berpengaruh pada output program TBC yang belum optimal.
Kesenjangan ini tidak hanya terjadi pada APBN, pendanaan daerah dengan APBD pun memiliki kesenjangan yang tinggi. Penelitian oleh Setiawan E, Sucahya P, Thabrany H, dan Komaryani K., (2016) menyajikan kesenjangan pendanaan TBC di Garut. Total anggaran yang dibutuhkan sekitar 2,5 milyar rupiah, sedangkan yang telah dialokasikan adalah 2 milyar rupiah. Lalu, pembiayaan program TBC di Garut masih didominasi oleh GF sebesar 65%.
Padahal penambahan biaya provider terutama tenaga pelaksana khusus di puskesmas dan RS DOTS berpengaruh pada peningkatan angka treatment success rate (Ulya, F dan Thabrany H., 2019)
Peraturan Presiden No. 67 tahun 2021 pasal 20 menyatakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan anggaran penanggulangan TBC. Adanya peraturan presiden ini seharusnya mendorong setiap daerah untuk lebih optimal dalam mendukung program TBC nasional, meskipun setiap daerah memiliki prioritas penyakit yang berbeda, namun pemerintah daerah dapat mengusahakannya melalui hibah ataupun kerjasama dengan berbagai pihak. Konsep National Health Account dan District Health Account dapat diperkuat karena sangat bermanfaat untuk pemerintah memantau efektifitas dan efisiensi penggunaan dana dalam program TBC (Adibrata INU., 2020).
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
“Pendanaan sudah dibantu Global Fund tapi bantuan tidak selamanya ada.
Diharapkan komitmen pemda untuk keberlanjutan pendanaan, sekarang yang sudah dibantu GF, anggaran APBD malah dikurangi atau dicabut. Padahal Global Fund membantu tapi ada sharing budget. Perlu sosialisasi dan advokasi ke pemda agar jangan bergantung ke dana hibah.” (Informan 2)
Dana pemerintah dalam program penanggulangan TBC digunakan utamanya untuk pelayanan, infrastruktur, sistem surveilans, dan pelaksanaan program penanggulangan TBC.
Sementara itu, dana swasta dan donor diutamakan untuk memberikan dukungan inovasi, dan bantuan teknis lainnya yang melibatkan kemitraan. Nyatanya, dana donor masih mendominasi pembiayaan program TBC. Sehingga diharapkan adanya peningkatan pendanaan APBD provinsi, kabupaten/kota, hingga desa atau kemitraan dengan swasta yang menunjukkan daerah dan masyarakat berdaya dalam penanggulangan TBC.
Kebijakan
Salah satu aspek input adalah ketersediaan kebijakan sebagai komitmen pemerintah dalam percepatan eliminasi TBC. Beberapa kebijakan terkait penanggulangan TBC di Indonesia adalah Permenkes No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC, Permenkes
No. 4 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimal, STRANAS 2020-2024 tentang Penanggulangan TBC, SE Dirjen P2P No. 936 Tahun 2021 tentang Perubahan Alur &
Pengobatan Tuberkulosis, hingga Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC. Terbitnya Peraturan Presiden ini menjadi dasar untuk kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk meningkatkan pengerahan mobilisasi sumber daya dalam penanganan TBC di Indonesia, baik dari segi kebijakan maupun pendanaan.
Berbagai regulasi atau kebijakan di atas merupakan wujud dari strategi dalam STRANAS 2020-2024 yaitu penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk mendukung percepatan eliminasi tuberkulosis 2030.
Kebijakan publik diartikan sebagai tindakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah yang berdampak pada seluruh lapisan masyarakat (Taufiqurokhman, 2014). Kebijakan publik ini merupakan unsur yang sangat penting untuk menjamin ketepatan dan keselarasan pelaksanaan program TBC di level atas hingga ke bawah. Tuberkulosis juga menjadi indikator dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan daerah kabupaten/kota. Hal ini menjadi dasar penguatan dukungan pembiayaan dan kebijakan TBC oleh pemerintah daerah.
Kebijakan yang ada belum seluruhnya dilaksanakan secara optimal, salah satunya mengenai kewajiban pencatatan dan pelaporan kasus TBC oleh fasyankes ke SITB. Hal ini menyebabkan under-reporting menjadi masalah dalam pengendalian TBC di Indonesia.
Persentase RS swasta yang melaporkan kasus TBC belum 100%, puskesmas 93%, RS swasta 60%, RS pemerintah 69%, klinik pemerintah 16%, dan klinik swasta 4% (Kementerian Kesehatan, 2022). Padahal, TBC adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC Pasal 12 menyatakan bahwa setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menemukan pasien TBC wajib melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. Jika kewajiban ini tidak dilakukan, fasyankes dapat terkena sanksi administratif hingga pencabutan izin operasional.
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
“Kebijakan yang ada saat ini dirasa sudah cukup, tinggal perkuat action nya saja.
Harus ada kolaborasi dan dukungan dari kementerian lain yang mendukung program kesehatan. Ini Perpres sudah ada loh, seharusnya pelaksanaannya lebih ditingkatkan lagi.” (Informan 2)
Kementerian Kesehatan RI dalam hal ini terus berupaya mendorong implementasi kebijakan yang lebih tegas dan membuat kebijakan baru demi adanya perbaikan program penanggulangan TBC contohnya adalah adanya pertemuan terkait update Permenkes tentang
penanggulangan TBC pada 23-25 November 2022 (Pembahasan Permenkes ke-empat) dengan bahasan inovasi, surveilans, dan penguatan manajemen program TBC.
Sumber Daya Manusia
Ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) sangat berperan besar dalam keberhasilan eliminasi TBC. Dalam Permenkes No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, dijelaskan mengenai kewajiban dinas kesehatan dan setiap fasyankes untuk menyediakan SDM bagi pelaksanaan program TBC.
Tabel 1. Jenis Sumber Daya Manusia dalam Program TBC
Pihak Penyedia SDM Jenis SDM
Dinas Kesehatan Provinsi
Unit kerja pengelola program Penanggulangan TB:
Wasor (1 untuk setiap 10-20 Kabupaten/Kota), Staff Logistik, Tim Promkes, Tim Pelatih Provinsi (TPP) (7) Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
Unit kerja pengelola program Penanggulangan TB:
Wasor (1 untuk setiap 10-20 Fasilitas Pelayanan Kesehatan), Staff Logistik, Staff Laboran (apabila ada labkesda), Tim Promkes
Puskesmas Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (1), Perawat (1), Laboran (1)
Rumah Sakit Kelas A Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (6), Perawat (3), Laboran (3), Farmasi (2) Rumah Sakit Kelas B Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (6), Perawat (3), Laboran (3), Farmasi (2) Rumah Sakit Kelas C Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (4), Perawat (2), Laboran (1), Farmasi (1) Rumah Sakit Kelas D Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse):
Dokter (2), Perawat (2), Laboran (1), Farmasi (1)
RS Swasta Menyesuaikan
Berdasarkan Tabel 1. di atas, setiap RS maupun puskesmas wajib menyiapkan Tim DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai bagian dari kewajiban fasyankes menerapkan strategi DOTS untuk penanganan pasien TBC.
Grafik 1. Perbandingan Jumlah Wasor Kabupaten/Kota dengan Jumlah Wasor Ideal Kabupaten/Kota
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 1. di atas, secara nasional masih terdapat kesenjangan besar antara jumlah wasor kabupaten/kota (551) dengan jumlah wasor ideal kabupaten/kota (1.712.95).
Begitupun kesenjangan pada setiap provinsi.
Grafik 2. Perbandingan Jumlah Nakes Terlatih dengan Jumlah Faskes
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Tidak hanya ketersediaan, kompetensi tenaga kesehatan juga berpengaruh pada keberhasilan program TBC. Untuk itu, jumlah nakes yang terlatih perlu diperhatikan.
Berdasarkan Grafik 2. di atas, Indonesia masih mengalami kesenjangan besar antara jumlah nakes terlatih (4.981) dengan jumlah faskes (27.829). Begitu juga angka provinsi yang mengalami kesenjangan besar meskipun sudah difasilitasi dengan kurikulum dan modul yang
dapat digunakan oleh provinsi atau kab/kota untuk melaksanakan pelatihan FKTP dan FKRTL untuk nakes.
Ketersediaan dan keterampilan tenaga kesehatan sangat berperan penting dalam Program TBC. Penelitian oleh Netty, Kasman, dan Selly (2018) menemukan ada hubungan antara peran petugas kesehatan dengan tingkat kepatuhan minum obat TB paru BTA positif di Puskesmas Martapura. Tingkat kepatuhan obat yang tinggi akan mendukung tingkat keberhasilan pengobatan dan mencegah transmisi yang lebih luas.
Untuk meningkatkan jumlah nakes terlatih, pelatihan berbasis internet (E-Learning) dapat menjadi solusi yang mempermudah proses pelatihan. Dalam acara ‘Pertemuan Pembahasan Metode Pelatihan yang Inovatif dan Efektif dengan Mengembangkan Pelatihan Berbasis Internet (E-Learning)’ yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan RI pada 14 November 2022, dibahas mengenai inovasi E-Learning oleh Direktorat Peningkatan Mutu dan Direktorat P2P, pengembangan ponsel pintar E-Learning dari BBPK Jakarta, dan paparan best practice dari Ruang Guru dan Codemi yang sudah berpengalaman dalam E-Learning. Dari pertemuan ini, diharapkan terdapat inovasi E-Learning yang memudahkan SDM untuk meningkatkan kompetensinya dalam penanganan TBC. Hal ini menjadi operasionalisasi strategi dalam STRANAS 2020-2024 yaitu meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dan pengelolaan SDM untuk melaksanakan tatalaksana kasus serta pengelolaan program TBC melalui lokakarya, pelatihan, pendampingan teknis, dan revisi modul atau kurikulum.
Meskipun masih terdapat kesenjangan jumlah ketersediaan nakes dan kualitasnya, pencapaian eliminasi TBC 2030 dapat dilakukan melalui peningkatan peran masyarakat.
Dalam Permenkes No. 67 Tahun 2016 dijelaskan bahwa bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, masyarakat dapat menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO). Dalam Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021, juga diatur mengenai peningkatan penjaringan terduga TB dengan melibatkan kader kesehatan dan tokoh masyarakat.
Sebagai wujud kolaborasi pentahelix, terdapat jejaring riset TB dari universitas di seluruh Indonesia untuk menghasilkan inovasi hasil penelitian terkait TB. Selain itu, berbagai perusahaan juga telah membantu program penanggulangan TB. Hal ini sudah baik, namun kolaborasi pentahelix ini perlu lebih berfokus mendukung masalah kekurangan SDM di faskes dan peningkatan kualitasnya. Pemerintah perlu meningkatkan dana BOK ataupun DAK untuk rekrutmen nakes, memperkuat tim Nusantara Sehat, dan memperkuat regulasi tentang kewajiban faskes menyediakan SDM penanggulangan TBC. Selain itu, peran media juga sangat besar untuk menyebarkan informasi terkait situasi penyakit TBC.
Analisis Output
Aspek output program penanggulangan TBC yang akan dianalisis dalam manuskrip ini adalah Case Detection Rate (CDR), Treatment Coverage (TC), Treatment Success Rate (TSR) TBC dan TBC Resisten Obat (RO), Enrollment Rate TBC RO, serta Investigasi Kontak (IK).
Aspek output ini salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan dan kualitas aspek input yang telah dianalisis di atas.
Grafik 3. Capaian Estimasi Kasus TB dan Kasus TB Ditemukan Tahun 2020-2022 (CDR)
Dari Grafik 3. di atas, dapat diketahui dari estimasi kasus 2022 sebesar 969.000, kasus yang ditemukan per 1 November adalah 503.172 (52%), berarti masih terdapat kesenjangan CDR sebesar 48%. Kesenjangan besar ini terjadi untuk tiga tahun berturut turut. Tandanya masih banyak kasus undetected yang belum ditangani.
Grafik 4. Capaian Treatment Coverage TBC di Indonesia Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Pada Grafik 4. di atas juga diketahui bahwa Treatment Coverage (TC) nasional tahun 2022 sebesar 57% masih di bawah target yaitu 90%, begitu juga setiap provinsi yang belum mencapai target nasional, hanya Jawa Barat yang sudah mendekati yaitu 88%. Target TC pada eliminasi TBC 2030 adalah ≥90%.
Grafik 5. Capaian Treatment Success Rate TBC di Indonesia Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 5. di atas, TSR di Indonesia sebesar 82% dari target 90%. Provinsi Lampung, Riau, Sumsel, dan Sumut sudah mencapai target.
Grafik 6. Capaian Treatment Success Rate TBC RO di Indonesia Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 7. di atas, treatment success rate TBC RO di Indonesia sebesar 50% dari target 80%. Provinsi yang sudah melampaui target adalah Gorontalo.
Grafik 7. Capaian Enrollment Rate TBC RO di Indonesia Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 6. di atas, enrollment rate TBC RO di Indonesia sebesar 57% dari target 93%. Belum ada provinsi yang mencapai target.
Peta 1. Sebaran Investigasi Kontak di Indonesia Tahun 2022
Pada Peta 1. di atas diketahui masih terdapat 54 kab/kota yang belum melaporkan IK.
Padahal indikator upaya akselerasi eliminasi TBC 2030 adalah seluruh kab/kota melakukan dan melaporkan IK. Tersedianya 1.809 mesin TCM pada 500 Kabupaten/Kota dari 514 Kabupaten/Kota (97%) seharusnya dapat mendukung pencapaian target penemuan kasus tersebut, bahkan jika dibandingkan dengan COVID-19, dalam waktu 1 tahun 6 bulan sebanyak 6,5 juta kasus terdeteksi by name by address. Selain itu, untuk mendukung peningkatan ACF, pemerintah meluncurkan obat daily dose buatan Indonesia agar akses obat lebih mudah terjangkau (Dit. P2P, Kementerian Kesehatan RI, 2022). Selain sarana prasarana, diperlukan sokongan dana, kebijakan, dan SDM yang memadai.
Analisis Kerangka Akselerasi Program TBC
Gambar 1. Kerangka Akselerasi Program TBC
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Active Case Finding
Untuk percepatan eliminasi TBC tahun 2030, penemuan kasus secara aktif perlu digencarkan untuk menemukan kasus undetected. Active Case Finding (ACF) berarti aktif mencari orang yang berisiko, bergejala, dan melakukan deteksi. ACF sangat penting digencarkan karena berdasarkan kajian analisis perjalanan pasien TBC, hanya 24% orang yang mengenali gejala TBC dan mendatangi fasyankes. Selebihnya yang tidak mendatangi fasyankes berkaitan dengan pengetahuan kurang ataupun akses sulit (Luqman, Sudaryo M, dan Suprayogi A., 2022). ACF perlu dilakukan di pintu masuk terduga TBC baik di faskes, sekolah, rutan, pesantren, dan sebagainya.
Seperti yang telah ditargetkan oleh Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin dalam High Level Meeting Tuberkulosis 2022, mulai Januari 2023, total angka penemuan kasus TBC per bulan di Indonesia adalah 60.000 kasus by name by address. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan target program TBC seperti angka Case Detection Rate (CDR), Treatment Coverage (TC), dan Investigasi Kontak (IK) sehingga berpengaruh juga terhadap indikator lainnya seperti Insiden, Treatment Success Rate (TSR), dan cakupan pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) dan pada akhirnya mencapai kondisi Indonesia bebas TBC.
Ekspansi Pemberian TPT
Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) adalah upaya untuk mencegah orang dengan Infeksi Laten TB (ILTB) berkembang menjadi sakit TBC positif. Sasaran dari pemberian TPT ini adalah kontak serumah dengan berbagai rentang usia, ODHA, dan kelompok risiko lainnya.
Ekspansi pemberian TPT dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus baru dan mendukung Indonesia dalam pencapaian eliminasi TBC 2030 dengan target insiden 65 per 100.000 penduduk dan angka kematian 6 per 100.000 penduduk.
Hal yang perlu diperhatikan dalam ekspansi pemberian TPT adalah peningkatan penyediaan tes tuberkulin, obat TPT, lokakarya tatalaksana pemberian TPT, dan integrasi pemberian TPT dalam kegiatan skrining kontak serumah. Pemberian TPT menjadi salah satu indikator global dan nasional dalam program TBC. Meski begitu, angkanya masih rendah. Pada 2021, capaian pemberian TPT pada ODHIV hanya 5% dari target 40% dan pemberian TPT pada kontak serumah adalah 0,2% dari target 29% (WHO, Global TB Report, 2022). Lebih jauh lagi pada 2030 targetnya adalah sebesar ≥80%. Lalu, pada pertengahan 2022, capaian TPT di Indonesia baru mencapai 3.420 orang dari target komitmen pemberian TPT pada 2022 kepada 1,5 juta orang (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
Dibutuhkan komitmen kuat untuk mencapai target pemberian TPT, salah satunya mengatasi tantangan dalam pemberian TPT yang banyak terjadi di masyarakat seperti keraguan
masyarakat dalam menerima TPT, pemahaman tenaga kesehatan yang belum memahami pentingnya pemberian TPT dan belum menguasai metode pemberiannya, serta tantangan lainnya. Keraguan masyarakat ini wajar terjadi karena TPT diberikan untuk orang dengan infeksi laten TB yang tidak menimbulkan gejala sehingga terkesan memberi obat pada orang yang sehat. Hal ini perlu diatasi dengan sosialisasi ke masyarakat lebih gencar lagi. Untuk mengatasi masalah pemberian TPT oleh nakes, dalam ‘Pertemuan Pembahasan Metode Pelatihan yang Inovatif dan Efektif dengan Mengembangkan Pelatihan Berbasis Internet (E- Learning)’ yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan RI pada 14 November 2022, disampaikan upaya pembuatan kurikulum dan modul pelatihan pemberian TPT untuk digunakan oleh para nakes.
Penguatan Surveilans
Surveilans merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi keberhasilan program penanggulangan TBC. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baik disertai dengan supervisi ke fasyankes akan berdampak pada keberhasilan program karena fasyankes merupakan ujung tombak dari penanganan TBC.
Wujud dari penguatan surveilans adalah peningkatan kapasitas fasyankes dalam pencatatan data TBC di sistem informasi, simplifikasi SITB, Integrasi SITB-SIMRS, validasi data TBC di seluruh puskesmas dan RS, serta penyisiran kasus di RS pemerintah dan swasta (Mopping Up). Upaya integrasi SITB-SIMRS (Pemerintah dan Swasta) telah dilaksanakan oleh empat jaringan RS swasta besar (Big Chain Hospitals) yang telah menandatangani perjanjian kerjasama dalam program penanggulangan TBC pada Juni 2022. Hal ini merupakan kemajuan pesat dalam situasi penanggulangan TBC. Diharapkan kerjasama Public-Private Mix ini akan lebih banyak dilakukan oleh RS swasta lain maupun industri swasta sehingga dapat mempercepat eliminasi TBC di Indonesia. Upaya simplifikasi SITB juga telah dilakukan yaitu dengan pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Hal ini juga mendukung validasi data puskesmas dan RS yang semakin mudah.
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
“Masih banyak faskes yang belum di mopping up, perlu peningkatan peran dinas kesehatan provinsi atau kab/kota untuk melakukan penyisiran kasus di masing-masing wilayahnya.” (Informan 1)
Berdasarkan paparan di atas, upaya penyisiran kasus sudah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI namun perlu peningkatan peran dinas kesehatan untuk membantu penyisiran kasus di masing-masing wilayahnya karena tidak mungkin jika semua faskes dilakukan
penyisiran kasus oleh Kementerian Kesehatan. Penyisiran kasus ini sebagai salah satu upaya untuk mengejar capaian under-reporting yang angkanya masih tinggi di Indonesia. Dalam acara ‘Debriefing Meeting Tuberculosis Epidemiological Review Indonesia 2022’, disampaikan bahwa berdasarkan hasil studi inventori tuberkulosis di Indonesia tahun 2016- 2017, estimasi under-reporting pelaporan TBC di Indonesia adalah 41%.
Grafik 8. Proporsi Fasyankes Melaporkan Terduga dan Kasus TBC Tahun 2022
Sumber: Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI (2022)
Berdasarkan Grafik 5. di atas, hanya 60% RS swasta dan 69% RS pemerintah yang melaporkan kasus TBC, masih jauh dibanding persentase puskesmas yaitu 93%. Padahal, kajian analisis perjalanan pasien TBC melaporkan bahwa sebesar 59% orang dengan gejala TBC mencari pengobatan di RS.
Berdasarkan paparan salah satu pegawai di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI, didapatkan pernyataan yaitu:
“Sebenarnya mungkin dilakukan pencatatan namun tidak ternotifikasi di SITB, dan salah satu faktornya adalah yang SDM RS yang mencatat dan melaporkan melakukan rangkap tugas dengan tugas lainnya sehingga pencatatan dan pelaporan tidak kepegang.” (Informan 1)
Hal ini menunjukkan bahwa perlunya sosialisasi SITB yang lebih masif agar faskes menjalankan kewajibannya untuk menghasilkan data yang terintegrasi secara nasional dan real time. Selain itu, dari sisi SDM diperlukan pengadaan SDM khusus yang mengoperasikan SITB sehingga tidak terjadi double job yang mengganggu pelaksanaan pencatatan dan pelaporan TBC.
Selain itu, paparan dari pegawai lainnya di Sub Tim Kerja TBC, Kementerian Kesehatan RI, yaitu:
“Banyak RS yang melapor hanya saat mendekati masa akreditasi. Kalau RS swasta melapor berdasarkan profit apa yang mereka dapat, misalnya kalau melaporkan dapat obat dan dokumen yang dibutuhkan lebih mudah.” (Informan 2)
Untuk mengatasi masalah pelaporan fasyankes, pemerintah pusat perlu segera menyusun kebijakan mengenai kewajiban pelaporan atau notifikasi TBC ke SITB yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan disertai dengan sanksi dan apresiasi. Sanksi dapat berupa pencabutan izin beroperasi, apresiasi dapat berupa penghargaan atau lainnya. Pelaporan TBC juga dapat dijadikan sebagai syarat pengajuan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau klaim BPJS.
Hal ini akan membuat fasyankes memiliki kesadaran untuk melapor.
KESIMPULAN
Penyakit TBC menjadi masalah kesehatan besar di dunia maupun di Indonesia. Hingga saat ini, masih banyak indikator program penanggulangan TBC yang belum tercapai. Dari hasil analisis, beberapa aspek telah mencapai target dan pelaksanaannya sudah baik, yaitu ketersediaan kebijakan dan sarana prasarana. Namun beberapa aspek lain seperti pendanaan, SDM, ACF, pemberian TPT, dan surveilans masih memerlukan peningkatan masif demi meningkatkan kesiapan pencapaian target eliminasi TBC di tahun 2030.
Dari aspek input pendanaan, program TBC menyebabkan total kerugian ekonomi yang besar sehingga membutuhkan pendanaan yang besar pula. Pendanaan program TBC masih didominasi oleh bantuan hibah dari The Global Fund. Bahkan terjadi kekurangan pendanaan APBN dan APBD dengan realita kebutuhan. Dilihat dari aspek kebijakan, banyak kebijakan yang telah dibuat menunjukkan komitmen kuat dari pemerintah daerah, provinsi, hingga pemerintah pusat dalam program penanggulangan TBC. Namun implementasi kebijakan belum optimal, salah satunya terkait kewajiban faskes melaporkan kasus TBC. Kebijakan yang ada sudah cukup banyak dari berbagai tingkatan, hal terpenting adalah implementasi kebijakan harus ditegakkan dan apabila dibutuhkan penambahan atau pembaharuan kebijakan dapat dilakukan update. Aspek SDM dalam program TBC masih memerlukan peningkatan dalam jumlah wasor, jumlah nakes khusus menangani SITB di faskes, dan keterampilan nakes. Untuk mengatasinya, Kementerian Kesehatan RI berupaya membuat sarana pelatihan e-learning yang memudahkan nakes untuk meningkatkan kompetensinya dalam penanganan TBC. Selain itu, sudah terdapat upaya kolaborasi dengan pelaku usaha dan akademisi. Dilihat dari aspek sarana prasarana penanggulangan TBC, Indonesia sudah cukup baik dalam hal ketersediaan mesin TCM dan komputer di setiap fasyankes. Namun perlu peningkatan akses internet di seluruh daerah untuk dapat mengakses SITB dengan optimal.
Active Case Finding (ACF) menjadi salah satu aspek dalam kerangka akselerasi program TBC percepatan eliminasi TBC. Hal ini didukung oleh Menteri Kesehatan Budi G.
Sadikin yang menargetkan mulai Januari 2023, total angka penemuan kasus TBC per bulan di Indonesia adalah 60.000 kasus by name by address. Hal ini sangat baik dalam meningkatkan ACF untuk mencegah kasus undetected dan mengatasi kesenjangan besar pada CDR, TC, TSR, dan IK. Aspek selanjutnya dalam akselerasi program TBC adalah ekspansi TPT. Angka pemberian TPT masih rendah sangat rendah. Hal ini dikarenakan terdapat hambatan yaitu keraguan masyarakat dalam menerima TPT dan nakes dalam memberi TPT. Salah satu upaya yang sedang dilakukan Kementerian Kesehatan RI saat ini adalah pembuatan kurikulum dan modul pelatihan ILTB dan pemberian TPT untuk para nakes agar lebih memahami pentingnya TPT. Dari aspek penguatan surveilans, pelaporan oleh faskes masih belum optimal, terutama RS swasta, berbanding terbalik dengan angka kunjungan berobat TBC ke RS swasta yang tinggi. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi SITB ke faskes lebih gencar lagi. Faskes perlu meningkatkan SDM yang khusus mengoperasikan SITB. Upaya yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan RI adalah melakukan simplifikasi SITB dengan NIK untuk memudahkan faskes, penyisiran kasus ke faskes yang juga dilakukan dinkes, serta kolaborasi Big Chain Hospitals. Penguatan surveilans perlu digencarkan dengan kebijakan yang tegas.
SARAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, saran yang dapat penulis berikan adalah:
- Pemerintah dapat membuat regulasi terkait pelaporan TBC yang menjadi syarat akreditasi RS, pengajuan Dana Alokasi Khusus (DAK), atau klaim BPJS. Hal ini akan membuat faskes memiliki kesadaran untuk melapor.
- Pemerintah perlu memperkuat dan mengintegrasikan peran masyarakat, akademisi, media massa, dan pelaku usaha (Strategi Pentahelix) dalam meningkatkan ketersediaan sarana prasarana, dana, SDM, dan berbagai inovasi serta dukungan dalam percepatan eliminasi TBC tahun 2030.
- Faskes perlu menyediakan petugas khusus untuk SITB dan meningkatkan keterampilannya melalui implementasi e-learning yang sudah dibuat pemerintah.
- Diperlukan peningkatan pendanaan APBN, APBD provinsi, kabupaten/kota, hingga desa atau kemitraan dengan swasta dari CSR yang menunjukkan keberdayaan Indonesia dalam menangani masalah kesehatan di negaranya.
- Pemerintah pusat dan daerah perlu memasifkan sosialisasi penggunaan SITB ke faskes untuk menghasilkan data yang terintegrasi secara nasional dan real time.
- Puskesmas bersama dengan kader melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya TPT dan PHBS dalam mencegah TBC dengan membuat acara yang menarik.
- Dinas kesehatan dan puskesmas bekerjasama dengan kader dalam melakukan peningkatan active case finding di pintu masuk yang banyak menghasilkan kasus TBC baik di faskes, sekolah, rutan, pesantren, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Adibrata INU., 2020. Analisis Pembiayaan Program TOSS Penyakit TBC di Indonesia.
Universitas Bhakti Kencana. Available at:
http://repository.bku.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4339/Intan%20Nurlita_
31171047_KTI%20tahap%203%20-%20Intan%20Nurlita%20Utami%20Adibrata-1- 22.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI. 2020. Laporan Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2019. Available at: https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset- fasilitas-kesehatan-rifaskes/
Fuady A, Houweling TAJ, Mansyur M, dan Richardus JH. 2018.Catastrophic total costs in tuberculosis-affected households and their determinants since Indonesia’s
implementation of universal health coverage. Infect Dis Poverty. 7(1). Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5765643/
Ghazy RM, El Saeh HM, Abdulaziz S., et al. 2022. A systematic review and meta-analysis of the catastrophic costs incurred by tuberculosis patients. Scientific Reports. 12(1).
Available at: https://europepmc.org/article/med/35017604
Hutami SP, Mahendradata Y, Puspandari DA. 2021. Supervisi Virtual Program Pengendalian Tuberkulosis Paru Era Pandemi COVID-19 di Kabupaten Oku Timur. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan. 24(3). Available at:
https://journal.ugm.ac.id/v3/JMPK/article/view/4132
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Petunjuk Teknis Penanganan ILTB. Available at:
https://tbindonesia.or.id/wp-content/uploads/2021/01/Isi-Juknis-ILTB-FINAL- ok_published.pdf
Kementerian Kesehatan RI. 2020. Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia Tahun 2020-2024. Available at: https://tbindonesia.or.id/wp- content/uploads/2021/06/NSP-TB-2020-2024-Ind_Final_-BAHASA.pdf Kementerian Kesehatan RI. 2022. Dashboard TB. Available at:
https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/dashboard-tb/
Kementerian Kesehatan RI. 2022. G20 Side Event on TB: Pendanaan Eliminasi TB Tahun 2030 Meningkat Jadi 20 Milyar Dolar Pertahun. Available at:
https://www.kemkes.go.id/article/view/22040100002/g20-side-event-on-tb-
pendanaan-eliminasi-tb-tahun-2030-meningkat-jadi-20-milyar-dolar-pertahun.html Kementerian Kesehatan RI. 2022. Pada High Level Meeting Tuberkulosis 2022, Menkes
Minta Penemuan Kasus TBC Ditargetkan 60 Ribu Per Bulan Mulai Januari 2023.
Available at: http://p2p.kemkes.go.id/pada-high-level-meeting-tuberkulosis-2022- menkes-minta-penemuan-kasus-tbc-ditargetkan-60-ribu-per-bulan-mulai-januari- 2023/
Luqman, Sudaryo M, dan Suprayogi A. 2022. Analisis Situasi Masalah Kesehatan Penyakit Menular di Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas.
7(1). Available at: https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/view/13269 Netty, Kasman, dan Selly. 2018. Hubungan Peran Petugas Kesehatan dan Dukungan
Keluarga dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Martapura. An-nada. Available at: https://ojs.uniska-
bjm.ac.id/index.php/ANN/article/download/1728/1473
Penelitian Kebijakan, Perencanaan dan Penganggaran Penanggulangan Tuberkulosis (TBC) di Daerah. Available at: https://www.stoptbindonesia.org/single-post/penelitian- kebijakan-perencanaan-dan-penganggaranpenanggulangan-tuberkulosis-tbc-di- daerah#:~:text=Berdasarkan%20data%20Global%20TB%20Report,5%20triliun%20r upiah%20belum%20terdanai
Penn-Nicholson A, Georghiou SB, Ciobanu N, et al.. 2022. Detection of isoniazid,
fluoroquinolone, ethionamide, amikacin, kanamycin, and capreomycin resistance by the Xpert MTB/XDR assay: a cross-sectional multicentre diagnostic accuracy study.
Lancet Infect Disease. 22(2). Available at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34627496/
Redaksi Sehat Negeriku. 2019. TBC Akibatkan Banyak Kerugian Ekonomi. Available at:
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20190319/4629770/tbc-akibatkan- banyak-kerugian-ekonomi/
Setiawan E, Sucahya P, Thabrany H, dan Komaryani K. 2016. A Comparative Budget Requirements for TB program based on Minimum standard of Services (SPM) and Budget Realization: an Exit Strategy Before Termination of GF ATM. Jurnal
Ekonomi Kesehatan Indonesia. 1(1). Available at: https://journal.fkm.ui.ac.id/jurnal- eki/article/view/1761
Stop TB Partnership Indonesia. 2022. 100 KM untuk Tes Cepat Molekuler. Available at:
https://tbckomunitas.id/2022/03/100-km-untuk-tes-cepat-molekuler-tcm/
22 Stop TB Partnership. 2022. The Global Plan to End TB 2023-2030. Available at:
https://omnibook.com/embedview/dc664b3a-14b4-4cc0-8042-ea8f27e902a6/en?no-ui Taufiqurokhman. 2014. Kebijakan Publik. Available at: https://fitk.iainambon.ac.id/mpi/wp-
content/uploads/sites/7/2019/09/Kebijakan-Publik-Oleh-Dr.-Taufiqurokhman.- M.Si_.pdf
The Global Fund. 2022. Tuberculosis. Available at:
https://www.theglobalfund.org/en/tuberculosis/#:~:text=Our%20Response-
,The%20Global%20Fund%20provides%2076%25%20of%20all%20international%20 financing%20for,programs%20as%20of%20June%202022
Ulya, F dan Thabrany H.. 2019. Efektivitas Biaya Strategi DOTS Program Tuberkulosis antara Puskesmas dan Rumah Sakit Swasta Kota Depok. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia. 3(1). Available at: https://journal.fkm.ui.ac.id/jurnal-eki/article/view/2321
WHO. 2022. Global Tuberculosis Report. Available at: https://www.who.int/teams/global- tuberculosis-programme/tb-reports/global-tuberculosis-report-2022
WHO. 2022. Tuberculosis. Available at: https://www.who.int/news-room/fact- sheets/detail/tuberculosis
Wulan, S. 2020. Analisis Beban Ekonomi dan Dampak Karena Tuberkulosis Terhadap Kesejahteraan di Kota Bengkulu. CHMK Health Journal. 4(1). Available at:
https://media.neliti.com/media/publications/316344-analisis-beban-ekonomi-dan-