• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Implementasi Program Eliminasi Filariasis Di Kabupaten Bengkalis Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Implementasi Program Eliminasi Filariasis Di Kabupaten Bengkalis Tahun 2013"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH :

ASHELA RISA NIM. 101000056

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

ASHELA RISA NIM. 101000056

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

penduduknya. Dalam pelaksanaannya tentu masih banyak hambatan yang ditemukan. Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan metode kualitatif dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang implementasi program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada para informan sedangkan untuk data sekunder diperoleh dengan telaah dokumen. Informan dalam penelitian ini terdiri dari satu orang informan anggota DPRD Kabupaten Bengkalis, satu orang informan Sekretaris Camat Kecamatan Bengkalis, satu orang informan Kepala Desa Wonosari, empat orang informan Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis, dua orang informan Puskesmas Kecamatan Bengkalis, dua orang informan Puskesmas Kecamatan Bantan, dua orang informan Tenaga Pelaksana Eliminasi/Kader, satu orang informan tokoh masyarakat Desa Kelapapati, dan empat orang informan penduduk sasaran POMP filariasis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa advokasi dan koordinasi sudah dilaksanakan dengan baik, namun sosialisasi, persiapan, pelaksanaan dan monitoring masih belum terlaksana dengan baik. Kurangnya media sosialisasi dan penyiapan masyarakat terkait pelaksanaan POMP filariasis menyebabkan masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui dengan jelas tentang penyakit filariasis dan pengobatan massal filariasis.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa masih banyak hambatan dalam pelaksanaan POMP filariasis terutama rendahnya pemahaman masyarakat tentang penyakit filariasis. Untuk itu, disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis dan seluruh pelaksana Program Eliminasi Filariasis agar dapat meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat terkait pelaksanaan POMP filariasis.

(5)

for its resident. In its implementation of course still have many obstacles found.

This research was a survey with the qualitative method in order to obtain more indepth information about the implementation of the PELF in Bengkalis, 2013. The primary data were obtained through indepth interview to the informants, while the secondary data were obtained by documents review. The informants were consist of an informant from The Legislative of Bengkalis, an informant from secretary of Kecamatan Bengkalis, a head of the Wonosari village, four imformants from the Bengkalis Health Department, two imformants from the public health center of Bengkalis, two imformants from the public health center of Bantan, two imformants from the elimination workers/cadres, an imformant from the society figure of the Kelapapati village, and four imformants from the target population of MDA filariasis.

Result of this research has been shown that advocacy and coordination has been made good, nevertheless socialization, preparation, and monitoring still haven’t done well. The lack of socialization media and preparation of the population related to implementation of the MDA filariasis causes are still many people who don’t know clearly about filariasis disease and the filariasis massal treatment.

From the research, can be concluded that there are still many obstacles in implementation of the MDA filariasis, especially lack of the public understanding about filariasis disease. Therefore, it is recommended to the Bengkalis Health Department and all of the PELF workers in order to increase the socialization for public related to implementation of the MDA filariasis.

(6)

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Anak ke : 1 dari 3 bersaudara

Alamat Rumah : Jl. Mesjid Kelapapati RT.01 RW.06 Bengkalis, Riau

Riwayat Pendidikan : 1. 1998 – 2004 : SD Negeri No.009 Bengkalis

2. 2004 – 2007 : SMP Negeri I Bengkalis

3. 2007 – 2010 : SMA Negeri I Bengkalis

4. 2010 – 2014 : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Riwayat Organisasi : 1. 2010 – 2011 : HMI FKM USU

2. 2011 – 2012 : UKMI Al-Ishlah FKM USU

(7)

IMPLEMENTASI PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DI KABUPATEN

BENGKALIS TAHUN 2013 sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Banyak pengalaman yang diperoleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,

dan semua itu berkat bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih dan

penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara (FKM USU).

2. dr. Heldy BZ, MPH selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan

Kesehatan, sekaligus sebagai Penguji II dan Dosen Pembimbing Akademik yang

telah memberikan bimbingan, saran dan dukungan dalam penulisan skripsi dan

selama penulis menjalani perkuliahan di FKM USU.

3. Dr. Juanita SE, M.Kes selaku Dosen Pembimbing I sekaligus sebagai Ketua

Penguji yang telah banyak memberikan pengarahan, dukungan, serta saran kepada

penulis dalam menyelesaikan dan menyempurnakan skripsi ini.

4. dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Penguji I yang telah

banyak memberikan bimbingan, semangat dan motivasi kepada penulis dalam

menyelesaikan dan menyempurnakan skripsi ini.

5. dr. Rusmalawaty, M.Kes selaku Dosen Penguji III yang telah banyak memberikan

bimbingan, semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan dan

menyempurnakan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU khususnya Departemen Administrasi dan

Kebijakan Kesehatan yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis menjalani

perkuliahan.

7. Bupati Bengkalis yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

(8)

moral maupun material kepada penulis selama ini, serta kepada adik-adik

tersayang Arnila Melina dan Dede Setiawan yang selalu memberikan dukungan

dan semangat kepada penulis.

10. Sahabat-sahabat terbaik, saudara, serta kawan-kawan seperjuangan di peminatan

AKK (Ebi, Eela, Wichan, Ney, Ayuk, Acha, Mela, Kak Dina, Puput, Uci, Rika,

Ade, Kak Rahmi, Arnis, Ayu, Riri, Anggi, Anif, Siti, Martines, Nancy, Magda,

Mbak Ren dan lain-lain) yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dan

semangat serta bantuan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

11. Keluarga besar UKM MB USU yang juga memberikan semangat dan dukungan

dalam penyelesaian skripsi dan selama penulis menjalani perkuliahan di FKM

USU.

12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak

memberikan bantuan dan dukungan serta doa kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan

rahmatNya kepada kita semua.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak

dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, 20 Mei 2013

Penulis

(9)

Abstract...iii

Daftar Riwayat Hidup ...iv

Kata Pengantar ...v

Daftar Isi ...vii

Daftar Tabel...x

Daftar Gambar...xii

Daftar Singkatan ...xiii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Perumusan Masalah ...7

1.3 Tujuan Penelitian ...8

1.4 Manfaat Penelitian ...8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...9

2.1 Filariasis...9

2.1.1 Definisi...9

2.1.2 Penyebab ...9

2.1.3 Daur Hidup...10

2.1.4 Patologi dan Simptomatologi ...11

2.1.5 Gejala dan Diagnosis Klinis...13

2.1.6 Pencegahan dan Pengobatan ...13

2.2 Program Eliminasi Filariasis...14

2.2.1 Kebijakan ...15

2.2.2 Strategi ...15

2.2.3 Kegiatan Pokok ...16

2.2.4 Pengorganisasian...18

2.2.5 Langkah-langkah Eliminasi ...21

2.2.6 Sumber Dana dan Sarana ...26

2.2.7 Indikator Kerja ...25

2.3 Pengobatan Massal Filariasis...27

2.3.1 Jenis Obat dan Cara Pemberian...27

2.3.2 Perencanaan Pengobatan Massal di Kabupaten/Kota ...29

2.3.3 Pelaksanaan Pengobatan Massal...32

2.4 Fokus Penelitian...42

BAB III METODE PENELITIAN...45

3.1 Jenis Penelitian...45

(10)

BAB IV HASIL PENELITIAN...48

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian...48

4.1.1 Letak Geografi...48

4.1.2 Data Demografi...49

4.1.3 Sarana Kesehatan...51

4.1.4 Tenaga Kesehatan ...51

4.2 Karakteristik Informan...52

4.3 Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis...54

4.3.1 Pernyataan Informan tentang Latar Belakang Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis ...54

4.3.2 Pernyataan Informan tentang Kebijakan Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis ...56

4.3.3 Pernyataan Informan tentang Tujuan Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis ...58

4.3.4 Pernyataan Informan tentang Sumberdaya dalam Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis ...60

4.3.5 Pernyataan Informan tentang Advokasi dalam Pelaksanaan POMP Filariasis ...63

4.3.6 Pernyataan Informan tentang Koordinasi dalam Pelaksanaan POMP Filariasis ...64

4.3.7 Pernyataan Informan tentang Sosialisasi dalam Pelaksanaan POMP Filariasis ...67

4.3.8 Pernyataan Informan tentang Persiapan Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE) dalam Pelaksanaan POMP Filariasis ...70

4.3.9 Pernyataan Informan tentang Distribusi Logistik dalam Pelaksanaan POMP Filariasis ...71

4.3.10 Pernyataan Informan tentang Penyiapan Masyarakat dalam Pelaksanaan POMP Filariasis ...73

4.3.11 Pernyataan Informan tentang Pelaksanaan POMP Filariasis ...75

4.3.12 Pernyataan Informan tentang Kepatuhan Minum Obat dalam Pelaksanaan POMP Filariasis...79

4.3.13 Pernyataan Informan tentang Monitoring Reaksi Pengobatan dalam Pelaksanaan POMP Filariasis...80

(11)

BAB V PEMBAHASAN...94

5.1 Kebijakan Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis Tahun 2013...94

5.2 Sumberdaya dalam Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis Tahun 2013...95

5.2.1 Anggaran...95

5.2.2 Bahan, Peralatan dan Obat-obatan...96

5.3 Tahapan Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis Tahun 2013...97

5.3.1 Advokasi ...97

5.3.2 Koordinasi ...98

5.3.3 Sosialisasi...99

5.3.4 Persiapan Tenaga Pelaksana Eliminasi………..100

5.3.5 Distribusi Logistik………. 101

5.3.6 Penyiapan Masyarakat……….. 102

5.3.7 Pelaksanaan POMP Filariasis……… 102

5.3.8 Monitoring reaksi POMP Filariasis………... 103

5.3.9 Pemberian Obat Kepada Penduduk yang Tidak Hadir…. 105 5.3.10 Pencatatan dan Pelaporan……….. 106

5.4 Hambatan dalam Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis Tahun 2013...106

5.5 Evaluasi Cakupan POMP Filariasis di Kabupaten Bengkalis Tahun 2013 ...108

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...111

6.1 Kesimpulan...111

6.2 Saran...112 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN :

Pedoman Wawancara Mendalam Surat Permohonan Izin Penelitian Surat Izin Penelitian

Surat Instruksi Pelaksanaan POMP Filariasis

Cakupan POMP Filariasis Kab. Bengkalis Tahun 2013

(12)

Tabel 2.1 Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia………25 Tabel 2.2 Penilaian Hasil Cakupan Pengobatan Massal & Survei

Cakupan diImplementation Unit(IU)……… 39 Tabel 2.3 Jadwal Kegiatan POMP Filariasis……….. 41

Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan

Kepadatan Penduduk di Kecamatan di Kabupaten Bengkalis

Tahun 2012………. 50 Tabel 4.1 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Rasio

Jenis Kelamin di Kabupaten Bengkalis Tahun 2012……….. 50 Tabel 4.3 Distribusi Penduduk Kabupaten Bengkalis Berdasarkan Umur

Tahun 2012………. 51 Tabel 4.4 Distribusi Sarana Kesehatan di Kabupaten Bengkalis Tahun

2012……… 51 Tabel 4.5 Distribusi Tenaga Kesehatan di Kabupaten Bengkalis Tahun

2012……….... 52

Tabel 4.6 Distribusi Informan Berdasarkan Karakteristik……….. 52

Tabel 4.7 Matriks Pernyataan Informan tentang Latar Belakang

Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten

Bengkalis……….54 Tabel 4.8 Matriks Pernyataan Informan tentang Kebijakan Pelaksanaan

Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis………... 57 Tabel 4.9 Matriks Pernyataan Informan tentang Tujuan Pelaksanaan

Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis………... 59 Tabel 4.10 Matriks Pernyataan Informan tentang Sumberdaya dalam

Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten

Bengkalis……….60

Tabel 4.11 Matriks Pernyataan Informan tentang Advokasi dalam

Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Bengkalis………63 Tabel 4.12 Matriks Pernyataan Informan tentang Koordinasi dalam

Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Bengkalis………64 Tabel 4.13 Matriks Pernyataan Informan tentang Sosialisasi dalam

Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Bengkalis……….67 Tabel 4.14 Matriks Pernyataan Informan tentang Persiapan Tenaga

(13)

Tabel 4.17 Matriks Pernyataan Informan tentang Pelaksanaan POMP

Filariasis di Kabupaten Bengkalis……….. 76 Tabel 4.18 Matriks Pernyataan Informan tentang Kepatuhan Minum Obat

dalam Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Bengkalis………... 79 Tabel 4.19 Matriks Pernyataan Informan tentang Monitoring Reaksi

Pengobatan dalam Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten

Bengkalis……….81 Tabel 4.20 Matriks Pernyataan Informan tentang Pemberian Obat

Kepada Penduduk yang Tidak Hadir dalam Pelaksanaan

POMP Filariasis di Kabupaten Bengkalis………...84 Table 4.21 Matriks Pernyataan Informan tentang Pencatatan dan

Pelaporan dalam Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten

Bengkalis……….86 Tabel 4.22 Matriks Pernyataan Informan tentang Hambatan dalam

Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Bengkalis……….. 87 Tabel 4.23 Matriks Pernyataan Informan tentang Evaluasi Cakupan

(14)

Gambar 2.3 Alur Pencatatan dan Pelaporan Pelaksanaan Pengobatan

Massal Filariasis...40

Gambar 2.4 Fokus Penelitian ...42

Gambar 4.1 Wilayah Kabupaten Bengkalis ...48

Gambar 5.1 Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia Tahun 2011……….94

(15)

BTKL-PPM : Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular

CTM : Chlorpheniramin Maleat

DEC : Diethylcarbamazine Citrate

Ditjen PP & PL : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

DPA : Dokumen Pelaksanaan Anggaran

IMS-GT : Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle IMT-GT : Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle

IPM : Indeks Pembangunan Manusia

IU : Implementation Unit

KAPFI : Komite Ahli Pengobatan Filariasis

KIE : Komunikasi Informasi Edukasi

KOMDA : Komite Daerah

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MDA : Mass Drug Administration

Mf Rate : Microfilaria Rate

NTF : National Task Force

PELF : Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis

PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Polindes : Pos Bersalin Desa

POMP : Pemberian Obat Massal Pencegahan Poskesdes : Pos Kesehatan Desa

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

RTI : Research Triangle Institute

SAE : Serious Adverse Experience

SDJ : Survei Darah Jari

Toga : Tokoh Agama

Toma : Tokoh Masyarakat

TPE : Tenaga Pelaksana Eliminasi

USAID : United States Agency for International Development

(16)

penduduknya. Dalam pelaksanaannya tentu masih banyak hambatan yang ditemukan. Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan metode kualitatif dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang implementasi program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada para informan sedangkan untuk data sekunder diperoleh dengan telaah dokumen. Informan dalam penelitian ini terdiri dari satu orang informan anggota DPRD Kabupaten Bengkalis, satu orang informan Sekretaris Camat Kecamatan Bengkalis, satu orang informan Kepala Desa Wonosari, empat orang informan Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis, dua orang informan Puskesmas Kecamatan Bengkalis, dua orang informan Puskesmas Kecamatan Bantan, dua orang informan Tenaga Pelaksana Eliminasi/Kader, satu orang informan tokoh masyarakat Desa Kelapapati, dan empat orang informan penduduk sasaran POMP filariasis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa advokasi dan koordinasi sudah dilaksanakan dengan baik, namun sosialisasi, persiapan, pelaksanaan dan monitoring masih belum terlaksana dengan baik. Kurangnya media sosialisasi dan penyiapan masyarakat terkait pelaksanaan POMP filariasis menyebabkan masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui dengan jelas tentang penyakit filariasis dan pengobatan massal filariasis.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa masih banyak hambatan dalam pelaksanaan POMP filariasis terutama rendahnya pemahaman masyarakat tentang penyakit filariasis. Untuk itu, disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis dan seluruh pelaksana Program Eliminasi Filariasis agar dapat meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat terkait pelaksanaan POMP filariasis.

(17)

for its resident. In its implementation of course still have many obstacles found.

This research was a survey with the qualitative method in order to obtain more indepth information about the implementation of the PELF in Bengkalis, 2013. The primary data were obtained through indepth interview to the informants, while the secondary data were obtained by documents review. The informants were consist of an informant from The Legislative of Bengkalis, an informant from secretary of Kecamatan Bengkalis, a head of the Wonosari village, four imformants from the Bengkalis Health Department, two imformants from the public health center of Bengkalis, two imformants from the public health center of Bantan, two imformants from the elimination workers/cadres, an imformant from the society figure of the Kelapapati village, and four imformants from the target population of MDA filariasis.

Result of this research has been shown that advocacy and coordination has been made good, nevertheless socialization, preparation, and monitoring still haven’t done well. The lack of socialization media and preparation of the population related to implementation of the MDA filariasis causes are still many people who don’t know clearly about filariasis disease and the filariasis massal treatment.

From the research, can be concluded that there are still many obstacles in implementation of the MDA filariasis, especially lack of the public understanding about filariasis disease. Therefore, it is recommended to the Bengkalis Health Department and all of the PELF workers in order to increase the socialization for public related to implementation of the MDA filariasis.

(18)

Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di

suatu negara. Konsep kesehatan tidak hanya diartikan sebagai ketiadaan suatu

penyakit atau kecacatan, namun memperhatikan segala aspek mencakup

keseimbangan fisik, mental, sosial dan spiritual, sehingga seseorang menjadi

produktif dan mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Kesehatan Masyarakat

sebagai ilmu dan seni hadir dan semakin berkembang dalam rangka memenuhi

kebutuhan kesehatan masyarakat yang dapat menjelaskan bagaimana suatu penyakit

dapat terjadi, sehingga dapat dilakukan intervensi yang tepat dalam menangani

berbagai masalah kesehatan.

Indonesia saat ini masih menghadapi permasalahan pengendalian penyakit

menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

lama (re-emerging disease) dan penyakit menular baru (new emerging infection diseases), serta adanya kecenderungan meningkatnya penyakit tidak menular

(degeneratif) yang disebabkan karena gaya hidup. Hal tersebut menunjukkan

terjadinya transisi epidemiologi penyakit, sehingga Indonesia menghadapi beberapa

beban (multiple burden) pada waktu yang bersamaan. Salah satu penyakit menular

yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah penyakit

(19)

Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan infeksi cacing filaria yang

ditularkan melalui gigitan berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini tersebar luas di

pedesaan dan perkotaan serta dapat menyerang semua golongan tanpa mengenal usia

dan jenis kelamin. Kasus filariasis menyerang sekitar sepertiga penduduk dunia atau

1,3 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah

tropis dan beberapa daerah subtropis seperti Asia, Afrika, dan Pasifik Barat. Dari 1,3

milyar penduduk tersebut, 851 juta di antaranya terdapat di Asia Tenggara dan

Indonesia menjadi negara dengan kasus filariasis yang paling tinggi (Juriastuti dkk,

2010).

Pada tahun 2009 dilaporkan sebanyak 31 provinsi dan 337 kabupaten/kota di

Indonesia endemis filariasis dengan adanya 11.914 kasus kronis dan rata-rata

prevalensi mikrofilaria sebesar 19%. Jika hal ini tidak ditangani maka diperkirakan

yang terinfeksi filariasis sebanyak 44.650.000 orang akan menjadi kasus kronis.

Dengan mempertimbangkan jumlah penduduk yang berisiko di daerah endemis

filariasis saja (± 130.000.000 orang) maka jumlah kasus asimptomatis adalah

23.750.000 orang (Kemenkes RI, 2010).

Filariasis dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup serta stigma sosial

berupa pengucilan, kegiatan sosial terganggu, tidak bisa menikmati waktu rekreasi

dan rasa tidak nyaman bagi penderita dan keluarganya bila telah menimbulkan

pembengkakan pada tangan, kaki, payudara, dan skrotum. Keadaan ini juga

(20)

hilang karena sakit dan hari produktif anggota rumah tangga lain yang hilang karena

harus merawat orang yang sakit (Kemenkes RI, 2010).

Dalam penelitian Ascobat Gani dkk tahun 2000 ditemukan bahwa kerugian

ekonomi akibat filariasis baik karena kehilangan jam kerja maupun biaya-biaya yang

ditanggung selama pengobatan, besarnya adalah Rp. 735.380,- per kasus per tahun

atau setara dengan 17,8 % dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3 % dari biaya

makan. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan kerugian sebesar Rp. 4,6 triliun per

tahun (Tuti dkk,2009).

Saat ini penyakit filariasis telah menjadi salah satu penyakit yang

diprioritaskan untuk dieliminasi, diperkuat dengan keputusan WHO tahun 2000

mendeklarasikan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a

Public Health Problem by the Year 2020”. Indonesia sepakat untuk melakukan

Program Eliminasi Filariasis yang dilaksanakan secara bertahap dimulai tahun 2002.

Adapun pedoman dalam pengendalian filariasis terdapat dalam Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1582/MENKES/SK/XI/2005 (Kemenkes RI,

2010).

Satuan pelaksanaan (Unit Implementation) dari program eliminasi filariasis

adalah kabupaten/kota endemis filariasis dengan Microfilaria rate (Mf rate) > 1%.

Strategi yang digunakan yaitu dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP)

filariasis dan penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Regimen yang dianjurkan WHO

untuk POMP filariasis adalah kombinasi DEC / Diethylcarbamazine Citrate dan

(21)

Manifestasi klinis filariasis membutuhkan waktu yang lama sehingga

pengobatan massal filariasis dilakukan sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut

agar penyebab filariasis dapat diberantas dan tidak terjadi reinfeksi filariasis. Adapun

tujuan program eliminasi filariasis adalah menurunkan Mf rate menjadi < 1% di

setiap kabupaten/kota dan mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis

(Kemenkes RI, 2010).

Tantangan dari program ini adalah dukungan dari kepala daerah karena

sebagian besar daerah belum menjadikan filariasis sebagai prioritas. Sampai tahun

2013 tercatat hanya 145 kabupaten/kota yang sudah melaksanakan program eliminasi

filariasis dari 337 kabupaten/kota yang endemis filariasis. Bila hal ini terus terjadi

maka eliminasi filariasis global tahun 2020 akan sulit tercapai (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan laporan Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2009, tiga provinsi di

Indonesia dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Provinsi Aceh sebanyak

2.359 orang, Nusa Tenggara Timur sebanyak 1.730 orang dan Papua sebanyak 1.158

orang, sedangkan tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali yaitu 18 orang,

Maluku Utara sebanyak 27 orang, dan Sulawesi Utara sebanyak 30 orang. Provinsi

Riau menempati urutan kelima dengan jumlah kasus filariasis terbanyak yaitu 512

orang (Kemenkes RI, 2010).

Penyakit filariasis sudah menyebar merata hampir ke seluruh kabupaten/kota

di Provinsi Riau dengan jumlah kasus filariasis yang semakin bertambah dari tahun

ke tahun. Menurut data Profil Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2011, angka kesakitan

(22)

(9 per 100.000 penduduk) disusul Kabupaten Kuansing, Kabupaten Siak dan

Kabupaten Indragiri Hilir (8 per 100.000 penduduk), kemudian Kabupaten Indragiri

Hulu, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rokan Hilir (3 per 100.000 penduduk)

serta Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Bengkalis (2 per 100.000 penduduk).

Untuk Kota Dumai tidak ada kasus, sedangkan Kota Pekanbaru 2 kasus (0,2 per

100.000 penduduk). Adapun kabupaten/kota dengan jumlah kasus terendah tersebut

belum tentu menggambarkan situasi yang sebenarnya karena adanya kesulitan dalam

pendiagnosaan filariasis tahap awal serta adanya kasus yang belum dilaporkan

sehingga perlu ditingkatkan penemuan kasus klinis filariasis di masyarakat.

Dari 10 kabupaten dan 2 kota yang terdapat di Provinsi Riau, baru Kota

Dumai dan Kabupaten Pelalawan yang sudah berhasil melaksanakan POMP filariasis

selama 5 tahun berturut-turut dan berhasil menurunkan Mf rate menjadi < 1%

sehingga akan segera disertifikasi. Untuk kabupaten lainnya, ketidaktersediaan dana

yang dialokasikan untuk pengobatan kaki gajah menyebabkan kegiatan tersebut tidak

dapat dilaksanakan secara berkesinambungan, padahal pengobatan filariasis harus

dilaksanakan selama 5 tahun berturut-turut. Beberapa kabupaten masih menggunakan

dana APBD I dalam pelaksanaan POMP filariasis seperti Kabupaten Indragiri Hulu

dan Indragiri Hilir. Kabupaten lain yang sudah melaksanakan pengobatan massal

filariasis melalui dana APBD II yaitu Bengkalis dan Siak (Profil Kesehatan Provinsi

Riau 2009).

Pada pemetaan endemisitas filariasis di Indonesia yang telah dilakukan sejak

(23)

kota/kabupaten lain di Provinsi Riau yaitu sebesar 3,6% (Dinkes Provinsi Riau,

2008). Dengan tingkat endemisitas yang tinggi maka Kabupaten Bengkalis sangat

berisiko terhadap bahaya penularan filariasis sehingga POMP filariasis sangat penting

untuk dilaksanakan.

Tabel 1.1 Mf rateKabupaten/Kota di Provinsi Riau

No. KAB/KOTA TAHUN SURVEI MF RATE(%)

1 Pekanbaru -

-2 Kampar 2005 2.3

3 Rokan Hulu -

-4 Pelalawan 2005 2,3

5 Kuansing 2003 3.3

6 Indragiri Hulu 2004 1.3

7 Indragiri Hilir 2005 1.5

8 Siak 2004 1.2

9 Dumai 2002 1.3

10 Bengkalis 2005 3.6

11 Rokan Hilir 2003 2.1

Sumber : Dinkes Provinsi Riau, 2008

Kabupaten Bengkalis telah melaksanakan pengobatan massal filariasis pada

tahun 2007, namun dilaksanakan secara selektif hanya di beberapa kecamatan (Profil

Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2007). Hal tersebut tidak efektif karena POMP

filariasis seharusnya dilaksanakan di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten

Bengkalis. Akibatnya pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, Dinas Kesehatan

Kabupaten Bengkalis bersama BTKL-PPM Batam menemukan lagi 4 kasus filariasis

kronis yang tersebar di Kabupaten Bengkalis yaitu di Desa Wonosari Kecamatan

Bengkalis, Desa Bantan Tua Kecamatan Bantan, Kelurahan Tanjung Kapal

Kecamatan Rupat dan Kecamatan Mandau (Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis,

(24)

Adanya penemuan kasus filariasis di tahun 2012 dan 2013 serta ditetapkannya

Kabupaten Bengkalis sebagai daerah endemis filariasis pada tahun 2012 oleh

Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa filariasis masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat di Kabupaten Bengkalis. Oleh karena itu, Pemerintah

Kabupaten Bengkalis mencanangkan program eliminasi filariasis tahun 2013 di Desa

Sebauk Kecamatan Bengkalis (riauaksi.com, 2013).

Pemerintah Kabupaten Bengkalis telah melaksanakan POMP filariasis

dimulai pada tahun 2013 dan akan dilanjutkan selama lima tahun berturut-turut,

bekerja sama dengan pemerintah pusat dengan harapan tercapai Kabupaten Bengkalis

zero filariasis pada tahun 2017. Namun, dalam pelaksanaannya tentu masih banyak

hambatan yang ditemukan.

Pelaksanaan program eliminasi filariasis membutuhkan koordinasi yang

strategis serta kerjasama yang baik dari berbagai pihak agar tujuan eliminasi filariasis

dapat tercapai. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui

bagaimana pelaksanaan program eliminasi filariasis tahun 2013 di Kabupaten

Bengkalis.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan program eliminasi filariasis di

(25)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pelaksanaan program

eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bengkalis, Dinas

Kesehatan Kabupaten Bengkalis dan pihak lainnya yang terkait dengan

pelaksanaan program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013

2. Sebagai informasi tambahan yang akan memperkaya kajian dalam ilmu

Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

(26)

2.1.1 Definisi

Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan

penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria, yang hidup di

saluran dan kelenjar getah bening (sistem limfatik) dan dapat menyebabkan gejala

klinis akut dan atau kronis. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk

(Depkes RI, 2005).

2.1.2 Penyebab

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu :

a. Wuchereria bancrofti

Penyakit filariasis akibat Wuchereria bancrofti disebut Wuchereriasis atau

Filariasis bancrofti. Hospesnya adalah manusia dan vektornya adalah nyamukCulex

pipianfatigans, di perkotaan nyamuk Aedes, dan Anophelesdi daerah pedesaan. Cara

infeksi yaitu melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva stadium 3. Morfologi

cacing dewasa bentuknya seperti benang, warna putih susu. Cacing jantan panjangnya

40 mm, ekor melingkar mempunyai 2 spikula, warna putih, sedangkan cacing betina

panjangnya 65 – 100 mm, ekor lurus, ujung tumpul.

b. Brugia malayi

Penyakit filariasis akibat Brugia malayi disebut Brugiasis atau Filariasis

(27)

nyamuk Anopheles. Cara infeksi yaitu melalui gigitan nyamuk yang mengandung

larva stadium 3. Morfologi cacing dewasa bentuknya halus seperti benang, warnanya

putih susu, cacing betina panjangnya 55 mm, ekor lurus, sedangkan cacing jantan

ukurannya lebih kecil dari cacing betina (23 mm) dan ekornya melengkung ke arah

ventral.

c. Brugia timori

Penyakit filariasis akibat Brugia timori disebut Brugiasis atau Filariasis

timori. Hospesnya adalah manusia dan vektornya adalah nyamuk Anopheles

barbirostis. Cara infeksi yaitu melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva

stadium 3. Morfologi cacing dewasa bentuknya halus seperti benang berwarna putih

susu. Cacing betina panjangnya 40 mm dan ekornya lurus sedangkan cacing jantan

ukurannya lebih kecil dari cacing betina (23 mm) dan ekornya melengkung ke arah

ventral.

2.1.3 Daur Hidup

(28)

Daur hidup cacing filaria yaitu ketika insekta (nyamuk) menghisap darah

yang mengandung mikrofilaria, dalam beberapa jam kemudian mikrofilaria

menembus dinding usus tengah nyamuk mencari jalan ke otot toraks dan mengalami

metamorfosis dari bentuk larva ke bentuk filarial. Beberapa minggu kemudian

mikrofilaria memasuki tahap infeksius. Ketika nyamuk kembali menggigit manusia,

terjadi pemindahan larva yang infeksius melalui kulit ke hospes yang baru. Di sini

larva tumbuh jadi dewasa.

Periodisitas mikrofilaria dalam darah bervariasi tergantung pada spesiesnya.

Periodisitas nokturna adalah karakteristik pada mikrofilaria Wuchereria bancrofti di

belahan bumi sebelah barat. Mikrofilaria umumnya ditemukan di malam hari,

jumlahnya bertambah mencapai maksimum di malam hari dan kemudian bersarang

sampai minimum pada tengah hari. Mikrofilaria berada pada siang hari dalam

pembuluh darah paru-paru, jantung dan otot, dalam aorta dan karotid. Pada malam

hari mikrofilaria bermigrasi ke saluran darah perifer.

2.1.4 Patologi dan Simptomatologi

Simptom filarial disebabkan oleh cacing dewasa, baik yang hidup, mati dan

mengalami degenerasi. Mikrofilaria yang berada sekitar satu tahun setelah infeksi

tidak memperlihatkan patologi atau sedikit sekali. Cacing dewasa berada dalam

(29)

Kemungkinan hasil infeksi filariasis dapat diklasifikasikan menjadi 3 bentuk :

a. Filariasis Asimptomatik

Di daerah endemik, anak-anak mudah terserang. Mereka mempunyai

mikrofilaria dalam darahnya tanpa simptom. Pada waktu cacing dewasa mati dan

mikrofilaria menghilang maka pasien bebas dari infeksi.

b. FilariasisInflammatory

Infeksi filaria inflammatory adalah suatu fenomena alergi yang disebabkan

karena sensitivitas terhadap produk cacing-cacing hidup atau mati. Kelenjar limfe

genetalis yang terutama menderita efeknya. Pada pria umumnya terjadi limfangitis

akut dari korda spermatika (funikulitis) dengan penebalan atau pembesaran korda dan

lembut, epididimis, orokhitis dan oedem skrotum. Kadang-kadang terjadi serangan

akut yang serupa dan berlangsung dalam interval beberapa bulan atau lebih lama pada

pasien, dengan atau tanpa terjadinya elephantiasis. Biasanya efeknya menunjukkan

anggota badan jadi merah, panas dan sakit.

c. Filariasis Obstruktif (penyumbatan)

Elephantiasis adalah hasil akhir yang dramatis pada filariasis. Filariasis

obstruktif tumbuh perlahan-lahan biasanya berlangsung bertahun-tahun dengan

infeksi yang terus menerus. Pada stadium kronis reaksi seluler dan oedem ditempati

kembali oleh hyperplasia fibroblastic, absorpsi dan pergantian tempat parasit oleh

jaringan granulasi proliferatif dan menyebabkan berbagai pelebaran limfe. Protein

(30)

ikat kolagen dan secara berangsur-angsur dalam periode beberapa tahun. Efek

pembengkakan bertambah keras dan terjadielephantiasiskronis.

Penyumbatan duktus torasikus atau saluran limfe median abdominal dapat

membawa efek terhadap skrotum dan penis dari pasien pria dan genita luar dari

wanita. Elephantiasis umumnya memengaruhi atau memberi efek pada kaki dan

genitalia. Beratelephantiasispada skrotum dapat mencapai 25 kg.

2.1.5 Gejala dan Diagnosis Klinis

Apabila seseorang terserang filariasis akut, maka gejala yang tampak adalah :

a. Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari, demam dapat hilang bila si

penderita istirahat dan muncul lagi setelah si penderita bekerja berat.

b. Pembengkakan kelenjar getah bening sehingga terlihat bengkak di daerah

lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit.

c. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak

kemerahan dan merasa panas.

Gejala klinis filariasis kronis yaitu berupa pembesaran yang menetap

(Elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, dan buah zakar (elephantiasis

skroti). Diagnosis klinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis darah

yang diambil malam hari. Menurut metode ini akan ditemukan mikrofilaria.

2.1.6 Pencegahan dan Pengobatan

Prinsip pencegahan filariasis adalah melakukan pengobatan massal pada

penduduk yang hidup di daerah endemis filariasis, pengobatan terhadap pendatang

(31)

menjadi vektor penularnya sesuai dengan daerah targetnya. Selain itu, memperbaiki

lingkungan agar bebas vektor serta mencegah gigitan nyamuk, menggunakan

repellent atau kelambu waktu tidur juga dapat meningkatkan upaya pencegahan

penyebaran penyakit ini.

Untuk pengobatan, obat yang pada saat ini banyak digunakan untuk filariasis

bancrofti adalah DEC dengan dosis 3x2mg/kg berat badan/hari, selama 4 minggu.

Pemberian DEC hanya ditujukan untuk mengobati tahap mikrofilaria, tahap filariasis

akut, untuk mengobati kiluria, limfedema, dan tahap awal elephantiasis. Pengobatan

dengan antihistamin serta pemberian obat-obat simptomatik, analgetik dan antipretik

dapat diberikan sesuai dengan keluhan penderita dan gejala penyakit yang terjadi.

Apabila telah terjadi hidrokel atau elephantiasis yang lanjut, penanganan filariasis

hanya dapat dilakukan melalui pembedahan.

2.2 Program Eliminasi Filariasis (Depkes RI, 2005)

Eliminasi filariasis adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis

sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi masalah kesehatan

masyarakat. Program eliminasi filariasis di Indonesia dilaksanakan dengan

pengobatan massal filariasis dan penatalaksanaan kasus filariasis.

Pengobatan massal filariasis adalah pemberian obat kepada semua penduduk

di daerah endemis filariasis dengan DEC, Albendazole dan Paracetamol sesuai

takaran, setiap tahun sekali minimal selama 5 tahun berturut-turut, yang bertujuan

untuk menghilangkan sumber penularan dan memutuskan mata rantai penularan

(32)

penderita klinis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan

membatasi kecacatan. Perawatan penderita lebih ditekankan pada perawatan mandiri

dan seumur hidup.

Adapun tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak

menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020, sedangkan

tujuan khusus dari program eliminasi filariasis adalah menurunnya angka mikrofilaria

(Mf rate) menjadi kurang dari 1% dan mencegah serta membatasi kecacatan karena

filariasis.

2.2.1 Kebijakan

Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional program

pemberantasan penyakit menular. Pelaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia

dilaksanakan dengan menerapkan Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari

WHO, yaitu memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi

kecacatan serta mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi dan negara.

Adapun satuan lokasi pelaksanaan (Implementation Unit) eliminasi filariasis adalah

kabupaten/kota.

2.2.2 Strategi

Stategi yang digunakan yaitu (1) Memutuskan rantai penularan filariasis

melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis; (2) Mencegah dan membatasi

kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis; (3) Pengendalian vektor

secara terpadu; (4) Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara; (5)

(33)

2.2.3 Kegiatan Pokok

Meningkatkan Promosi, yaitu (1) Meningkatkan pengetahuan, sikap dan

prilaku masyarakat, perorangan atau lembaga kemasyarakatan, agar berperan aktif

dalam upaya eliminasi filariasis dan (2) Pengembangan pesan promosi yang

mendukung peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya

eliminasi filariasis

Pengembangan Sumber Daya Manusia Filariasis, yaitu (1) Memperkuat

kemampuan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan program eliminasi

filariasis, baik melalui pendidikan, pelatihan, sosialisasi, distribusi informasi dan

penyelenggaraan seminar eliminasi filariasis dan (2) Prioritas pendidikan dan

pelatihan tenaga profesional adalah tenaga pelaksana eliminasi filariasis, tenaga

epidemiologi, tenaga entomologi, serta tenaga mikroskopis di pusat dan daerah.

Menyempurnakan Tata Organisasi, yaitu (1) Pembentukan Task Force

Eliminasi Filariasis dan Kelompok Kerja Eliminasi Filariasis di pusat dan daerah; (2)

Pengembangan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor; (3) Penyempurnaan

pedoman pelaksanaan program eliminasi filariasis; (4) Mendorong terbentuknya

lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) peduli filariasis.

Meningkatkan Kemitraan, yaitu dengan (1) Inventarisasi dan merumuskan

kerjasama lembaga mitra; (2) Prioritas kerjasama antara program eliminasi filariasis

dengan program pemberantasan kecacingan, kusta, pengendalian vektor dan program

lain yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas program eliminasi filariasis;

(34)

terutama dalam rangka penemuan kasus dan pengobatan massal, serta lembaga mitra

pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, media massa, dan lain sebagainya; (4)

Kerjasama dengan lembaga donor nasional dan internasional serta dunia usaha.

Meningkatkan Advokasi, yaitu (1) Meningkatkan advokasi para penentu

kebijakan untuk mendapatkan dukungan komitmen, tersusunnya peraturan

perundangan, serta terlaksananya program eliminasi filariasis dengan dukungan

anggaran, sumber daya manusia, dan sarana penunjang lainnya yang memadai serta

penggerakan semua potensi yang ada di pusat dan daerah; (2) Prioritas advokasi

adalah para menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan terkait, Gubernur, Bupati,

Walikota, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, badan dan dinas terkait

di provinsi dan kabupaten/kota, Komisi Kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota,

pimpinan lembaga sosial kemasyarakatan, dunia usaha, media massa dan lembaga

donor.

Pemberdayaan Masyarakat, yaitu (1) Menumbuhkembangkan norma

kemasyarakatan yang berdaya guna dan mandiri dalam upaya eliminasi filariasis; (2)

Pemberdayaan masyarakat diutamakan dalam penemuan dan perawatan penderita

klinis filariasis serta pelaksanaan pengobatan massal filariasis dengan sasaran

prioritas pemberdayaan adalah penderita dan keluarganya, tokoh masyarakat, guru,

tenaga kesehatan (medis dan paramedis praktek swasta), penyandang dana lokal dan

masyarakat luas.

Memperluas Jangkauan Program, yaitu (1) Melaksanakan tahapan kegiatan

(35)

jangkauan program eliminasi filariasis dengan pendekatan kepulauan, pendekatan

lintas batas administrasi pemerintahan, dan pendekatan kawasan epidemiologi

filariasis; (3) Melaksanakan upaya pengendalian vektor secara terpadu, terutama

dengan program pemberantasan malaria dan demam berdarah dengue.

Memperkuat Sistem Informasi Strategis, yaitu (1) Mengembangkan sistem

surveilans eliminasi filariasis yang mampu mendukung perencanaan, pengendalian

dan evaluasi program eliminasi filariasis; (2) Mengembangkan sistem surveilans

eliminasi filariasis kabupaten/kota yang terintegrasi dalam sistem surveilans eliminasi

filariasis provinsi dan nasional serta dalam sistem surveilans epidemiologi kesehatan;

(3) Peningkatan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia.

2.2.4 Pengorganisasian

Pengorganisasian dilaksanakan agar semakin memperkuat kemampuan

unit-unit pelaksana program eliminasi filariasis di pusat dan daerah dengan tugas pokok

dan fungsi yang jelas.

Pada pengorganisasian di pusat, Kementerian Kesehatan merupakan

pengendali utama program eliminasi filariasis di pusat yang mempunyai tugas

sebagai berikut (1) Menetapkan kebijakan nasional eliminasi filariasis; (2)

Menetapkan tujuan dan strategi nasional eliminasis; (3) Melaksanakan pengendalian

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program eliminasi filariasis dengan

memperkuat komitmen dan mobilisasi sumber daya yang ada; (4) Memperkuat

kerjasama antar program di lingkungan Kementerian Kesehatan, kerjasama antar

(36)

juga bilateral antar negara dan lembaga internasional; (5) Menyediakan obat yang

dibutuhkan dalam rangka pengobatan massal filariasis, terutama DEC, Albendazole

dan Paracetamol; (6) Menyusun dan menetapkan pedoman umum dan teknis program

eliminasi filariasis nasional; (7) Melaksanakan pelatihan nasional eliminasi filariasis,

terutama pelatihan fasilitator pelatihan teknis operasional eliminasi filariasis; (8)

Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi filariasis di

provinsi; (9) Melaksanakan penelitian dalam pengembangan metode eliminasi

filariasis yang lebih efektif dan efesien; (10) MembentukNational Task Force (NTF)

eliminasi filariasis yang bertugas memberi masukan kepada pemerintah terhadap

aspek kebijakan dan aspek teknis eliminasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan

eliminasi filariasis serta advokasi dan sosialisasi para penentu kebijakan di pusat

maupun daerah; (11) Membentuk Kelompok Kerja Eliminasi Filariasis; (11) Unit

Pelaksana Teknis Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit

Menular (BTKL-PPM) melaksanakan tugas surveilans epidemiologi dan

laboratorium eliminasi filariasis regional.

Pada pengorganisasian di provinsi, Dinas Kesehatan Provinsi merupakan

pengendali utama program eliminasi filariasis di tingkat provinsi yang mempunyai

kewenangan tugas sebagai berikut (1) Menetapkan kebijakan eliminasi filariasis

provinsi; (2) Menetapkan tujuan dan strategi eliminasi filariasis di tingkat provinsi;

(3) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program

eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen, mobilisasi sumber daya provinsi;

(37)

mitra kerja lainnya di provinsi; (5) Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis

program eliminasi filariasis di kabupaten/kota; (6) Melaksanakan pelatihan eliminasi

filariasis di provinsi, terutama pelatihan fasilitator pelatihan teknis operasional

eliminasi filariasis; (7) Melaksanakan pemetaan dan penetapan daerah endemis

filariasis serta survei evaluasi pengobatan masal filariasis; (8) MembentukProvincial

Task Forceeliminasi Filariasis.

Pada pengorganisasian di kabupaten/kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

merupakan pengendali utama program eliminasi filariasis di tingkat kabupaten/kota

yang mempunyai tugas dan kewenangan sebagai berikut (1) Menetapkan kebijakan

eliminasi filariasis di kabupaten/kota; (2) Menetapkan tujuan dan strategi eliminasi

filariasis di tingkat kabupaten/kota (3) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan,

monitoring dan evaluasi program eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen,

mobilisasi sumber daya kabupaten/kota; (4) Memperkuat kerjasama lintas program

dan lintas sektor serta kerjasama lembaga mitra kerja lainnya di kabupaten/kota; (5)

Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi filariasis di

puskesmas, rumah sakit dan laboratorium daerah; (6) Melaksanakan pelatihan

eliminasi filariasis di kabupaten/kota; (7) Melaksanakan evaluasi cakupan POMP

filariasis dan penatalaksanaan kasus klinis kronis filariasis di daerahnya; (8)

Membentuk District Task Force eliminasi filariasis; (9) Mengalokasikan anggaran

biaya operasional dan melaksanakan POMP filariasis; (10) Mengalokasikan anggaran

dan melaksanakan pengobatan selektif, penatalaksanaan kasus reaksi pengobatan, dan

(38)

pelaksanaan tugas puskesmas sebagai pelaksana operasional program eliminasi

filariasis kabupaten/kota.

2.2.5 Langkah-langkah Eliminasi a. Pentahapan Kabupaten/Kota 1. Penemuan Kasus Klinis Filariasis

Setiap kabupaten/kota mengumpulkan data kasus klinis filariasis yang

dilakukan pemutakhiran secara teratur setiap akhir tahun. Data ini merupakan data

dasar penetapan endemisitas daerah, lokasi survei data dasar (baseline survey),

penetapan prioritas daerah, pelaksana kegiatan penatalaksanaan kasus klinis filariasis

dan evaluasi program eliminasi filariasis.

Secara operasional, penemuan kasus klinis filariasis dilaksanakan oleh

puskesmas dengan melaksanakan kegiatan (1) Kampanye penemuan dan

penatalaksanaan kasus klinis filariasis; (2) Mendorong penemuan dan pelaporan

kasus oleh masyarakat, kepala desa, PKK, guru dan pusat-pusat pelayanan kesehatan;

(3) Pemeriksaan dan penetapan kasus klinis filariasis; (4) Perekaman dan pelaporan

data kasus klinis filariasis.

2. Penentuan Endemisitas Filariasis di Kabupaten/Kota

Daerah endemis filariasis menjadi prioritas penyelenggaraan eliminasi

filariasis di kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Penentuan endemisitas filariasis di

kabupaten/kota dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (1) Kabupaten/kota

yang memiliki kasus klinis filariasis melaksanakan survei mikrofilaria (Survei Darah

(39)

merupakan indikator kabupaten/kota endemis filariasis; (2) Kabupaten/kota yang

terdapat kasus klinis filariasis, berdekatan atau berada di antara dua daerah endemis

filariasis dan memiliki geografi serta budaya masyarakat yang kurang lebih sama

dengan daerah endemis filariasis ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis

filariasis; (3) Penentuan kabupaten/kota endemis ditetapkan dengan Keputusan

Gubernur.

3. Survei Data Dasar Sebelum Pengobatan Massal Filariasis

Kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis

filariasis dan akan melaksanakan pengobatan massal perlu melakukan survei data

dasar di minimal 2 desa berdasarkan jumlah kasus klinis terbanyak.

4. Pengobatan Massal Filariasis

Pengobatan massal dilakukan pada semua penduduk kabupaten/kota, sekali

setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut. Pengobatan massal dapat dilakukan

serentak pada seluruh wilayah kabupaten/kota atau secara bertahap per kecamatan

sesuai dengan kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran daerah untuk

kegiatan pengobatan massal. Pengobatan massal secara bertahap harus dapat

diselesaikan di seluruh wilayah kabupaten/kota dalam waktu 5-7 tahun agar infeksi

tidak terjadi.

5. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring cakupan pengobatan massal dilaksanakan setiap tahun setelah

pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria dilaksanakan sebelum

(40)

6. Sertifikasi Eliminasi Filariasis

Setifikasi dilakukan setelah pengobatan massal tahun kelima. Sertifikasi

adalah penilaian untuk menentukan apakah kabupaten/kota telah berhasil

mengeliminasi filariasis.

7. Penatalaksanaan Kasus Klinis

Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan terhadap semua kasus klinis

ditemukan untuk mencegah dan membatasi kecacatan. Penatalaksanaan kasus

dilakukan dengan pemberian obat dan perawatan.

8. Penatalaksanaan Kasus Asimptomatis

Setiap orang sehat yang ditemukan mikrofilaria dalam darahnya mendapat

pengobatan yang memadai agar tidak menderita klinis filariasis dan tidak menjadi

sumber penularan terhadap masyarakat sekitarnya.

9. Pengendalian Vektor

Pengendalian nyamuk sebagai vektor penular filariasis dilaksanakan untuk

memutus rantai penularan. Dilaksanakan secara terpadu dengan pengendalian vektor

(41)

Gambar 2.2 S Kabupaten/kot

penderita filariasis, tet

b. Pentahapan P 1. Provinsi bert

kabupaten/kota

2. Provinsi mend

semua kabupat

Pada tahun 2

melaksanakan

3. Melaksanakan

Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabup kota endemis rendah filariasis adalah kabupaten

tetapi dengan Mf rate<1%.

Provinsi

ertugas untuk menentukan endemisitas

ota yang ada diwilayahnya yang diharapkan seles

endorong perluasan pelaksanaan eliminasi f

paten/kota endemis filariasis melaksanakan p

2014, semua kabupaten/kota endemis filar

an pengobatan massal .

an kerjasama lintas batas kabupaten/kota .

bupaten/Kota

aten/kota yang terdapat

as filarias is semua

selesai tahun 2006 .

i filariasis sehingga

an program eliminasi.

(42)

c. Pentahapan Nasional

1. Mendorong perluasan jangkauan program ke seluruh provinsi.

2. Mendorong kerjasama lintas batas antar provinsi.

3. Mendorong kerjasama lintas batas dengan negara lain.

4. Pada tahun 2014, semua kabupaten/kota endemis filariasis telah

melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima.

5. Prasertifikasi eliminasi filariasis dilakukan tahun 2015 – 2020.

Secara skematis, agenda eliminasi filariasis Indonesia dapat dilihat pada tabel

[image:42.595.115.509.400.612.2]

berikut :

Tabel 2.1 Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia

d. Pendekatan Perluasan Program

Pendekatan ini perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya reinfeksi daerah

(43)

1. Pendekatan kepulauan. Perluasan jangkauan program eliminasi filariasis

dilakukan dengan mengutamakan pelaksanaan pengobatan massal secara

serentak pulau per pulau.

2. Pendekatan lintas batas. Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan

daerah yang berbatasan langsung dengan daerah yang sedang melaksanakan

pengobatan massal.

3. Pendekatan blok. Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan blok

per blok daerah yang mempunyai kesamaan geografis, budaya, mobilitas

penduduk atau secara epidemiologi mudah terjadi penularan.

2.2.6 Sumber Dana dan Sarana

Pemerintah pusat dan daerah menggalang setiap sumber pendanaan

pemerintah, lembaga kemasyarakatan, kerjasama antarnegara dan lembaga

internasional. Adapun sumber dana dan sarana dalam program eliminasi filariasis

yaitu :

a. Biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal filariasis di kabupaten/kota,

puskesmas dan penggerakan masyarakat bersumber dari alokasi anggaran di

kabupaten/kota dan kerjasama di kabupaten/kota.

b. Pengadaan obat-obatan dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis

bersumber dari pemerintah (Departemen Kesehatan) untuk obat DEC dan

(44)

c. Alokasi anggaran dan pelaksanaan pengobatan selektif, penatalaksanaan

reaksi pengobatan massal filariasis bersumber dari anggaran pemerintah

kabupaten/kota.

d. Pemetaan, survei cakupan pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi

mikrofilaria bersumber dari alokasi anggaran pemerintah provinsi.

e. Untuk penatalaksanaan kasus klinis filariasis, biaya operasional dan logistik

obat serta sarana penunjang lainnya bersumber dari alokasi anggaran

pemerintah kabupaten/kota.

2.2.7 Indikator Kinerja

Indikator kinerja program eliminasi filariasis adalah sebagai berikut :

a. Persentase kabupaten endemis menjadi tidak endemis.

b. Persentase kasus yang ditangani per tahun (> 90%).

2.3 Pengobatan Massal Filariasis (Depkes RI, 2005)

Dalam rangka eliminasi filariasis, tujuan pengobatan massal adalah untuk

memutus transmisi filariasis dengan menurunkan Mf rate menjadi <1% dan

menurunkan kepadatan rata-rata mikrofilaria.

Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap semua penduduk

yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi pengobatan untuk sementara ditunda

bagi (1) anak-anak berusia kurang 2 tahun; (2) Ibu hamil; (3) Orang yang sedang

sakit berat; (4) Penderita kasus kronis filariasis sedang dalam serangan akut; (5)

(45)

2.3.1 Jenis Obat dan Cara Pemberian

Jenis obat yang diberikan dalam pengobatan massal filariasis yaitu :

a. Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)

DEC mempunyai pengaruh yang cepat terhadap mikrofilaria. Dalam beberapa

jam mikrofilaria di sirkulasi darah mati. Cara kerja DEC adalah melumpuhkan otot

mikrofilaria sehingga tidak dapat bertahan di tempat hidupnya dan mengubah

komposisi dinding mikrofilaria menjadi lebih mudah dihancurkan oleh sistem

pertahanan tubuh hospes. DEC juga dapat menyebabkan matinya sebagian cacing

dewasa. Cacing dewasa yang masih hidup dapat dihambat perkembangbiakannya

selama 9 – 12 bulan.

Setelah diminum, DEC dengan cepat diserap oleh saluran cerna dan mencapai

kadar maksimal dalam plasma darah setelah 4 jam dan akan dieksresikan seluruhnya

melalui urin dalam waktu 48 jam.

b. Albendazole

Albendazole dikenal sebagai obat yang digunakan dalam pengobatan cacing

usus (cacing gelang, cacing kremi, cacing cambuk dan cacing tambang). Albendazole

juga dapat meningkatkan efek DEC dalam mematikan cacing filaria dewasa dan

microfilaria tanpa menambah reaksi yang tidak dikehendaki. Di daerah endemis

filariasis, seringkali prevalensi cacing usus cukup tinggi, sehingga penggunaan

Albendazole dalam pengobatan massal filariasis juga akan efektif mengendalikan

(46)

c. Obat Reaksi Pengobatan

Untuk mengatasi adanya reaksi pengobatan digunakan Parasetamol, CTM,

Antasida doen, salep antibiotika, infus set, cairan infus ringer laktat, antibiotika oral,

vitamin B6, kortikosteroid injeksi, adrenalin injeksi.

Cara pemberian obat massal menggunakan obat DEC, Albendazole dan

Paracetamol diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun. DEC diberikan 6

mg/KgBB, Albendazole 400 mg untuk semua golongan umur dan Paracetamol 10

mg/KgBB sekali pemberian. Sebaiknya obat diminum sesudah makan dan di depan

petugas.

2.3.2 Perencanaan Pengobatan Massal di Kabupaten/Kota

a. Menyiapkan Data Dasar dan Menghitung Kebutuhan Obat Serta Logistik Lainnya

Persiapan yang perlu dilakukan yaitu (1) Melaksanakan survei data dasar

sebelum pengobatan massal di dua desa dengan jumlah kasus terbanyak. Survei ini

dilaksanakan sesuai dengan metode survei darah jari; (2) Menyiapkan data jumlah

penduduk di tiap desa menurut golongan umur; (3) Menghitung kebutuhan obat dan

logistik lainnya.

b. Pertemuan Koordinasi Kabupaten/Kota

Tujuan pertemuan koordinasi kabupaten/kota yaitu mendapatkan kesepakatan

dengan puskesmas untuk melaksanakan pengobatan massal. Peserta terdiri dari

kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan program terkait serta kepala puskesmas

(47)

program eliminasi filariasis dan rencana pengobatan massal filariasis, meliputi jumlah

sasaran, jumlah TPE, kebutuhan obat dan bahan serta sarana, pendanaan pengobatan

massal. Waktu pelaksanaan adalah dua bulan sebelum pengobatan massal.

c. Advokasi Kabupaten

Tujuannya adalah memperoleh dukungan pelaksanaan pengobatan massal

serta menjelaskan reaksi pengobatan dan memperoleh dukungan politis dan dana

pengobatan massal tahun berikutnya. Sasaran adalah Bupati/walikota, Bappeda,

DPRD, Dinas terkait, Camat, PKK, Ormas dan pengelola media massa. Waktu

pelaksanaan dua bulan sebelum pengobatan massal di kabupaten/kota.

Metode yang digunakan yaitu (1) Pertemuan dengan bupati/walikota dan

camat untuk melaporkan rencana kegiatan pengobatan massal filariasis; (2) Rapat

koordinasi kabupaten/kota dan kecamatan dan pertemuan-pertemuan lainnya yang

dapat dimanfaatkan untuk kegiatan advokasi dan sosialisasi tersebut; (3) Membuat

surat instruksi bupati/walikota tentang pelaksanaan pengobatan massal kepada camat

dan dinas terkait (dinas pendidikan, dinas informasi, badan pemberdayaan

masyarakat, dan lain-lain).

d. Pertemuan Koordinasi Kecamatan

Peserta terdiri dari camat, lintas sektor terkait, kepala puskesmas, kepala

desa/lurah, Toma, Toga, LSM dan Ormas. Bahan yang diperlukan yaitu kit media

penyuluhan filariasis. Waktu pertemuan koordinasi dilaksanakan selama satu hari, 1-2

(48)

e. Sosialisasi

Tujuan yaitu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat

tentang pengobatan massal filariasis sehingga semua penduduk melaksanakan

pengobatan (cakupan pengobatan massal tinggi) dan menyikapi dengan benar apabila

apabila terjadi reaksi pengobatan. Waktu yaitu selama satu bulan terus menerus

menjelang pengobatan massal.

Sasaran adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, LSM, dan masyarakat

umum, dengan metode (1) Menyelenggarakan pertemuan sosialisasi pengobatan

massal; (2) Penyuluhan langsung; (3) Sosialisasi di tempat-tempat umum, institusi

pendidikan, tempat kerja, posyandu; (4) Penyuluhan tidak langsung; (5) Media

elektronik (radio, tv, film, vcd, dll); (6) Media cetak (poster, leaflet, stiker, koran,

dll).

f. Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE) Filariasis

Setiap TPE bertanggung jawab untuk 20-30 KK (100-150 orang) tergantung

kondisi daerah masing-masing. Setiap TPE mendapat 1 paket bahan pelatihan yang

terdiri dari buku pedoman TPE, kit media penyuluhan filariasis, kartu pengobatan,

formulir pelaporan pengobatan massal TPE dan alat tulis.

Penyelenggaraan pelatihan diadakan 1 minggu sebelum pelaksanaan

pengobatan selama 1 hari. Pelatihan dilaksanakan berkelompok, dengan peserta 30

TPE per kelompok. Pelatih adalah petugas puskesmas terlatih. Adapun materi

pelatihan yaitu (1) Pengertian filariasis yang meliputi gejala dan tanda filariasis,

(49)

reaksi pengobatan, pencegahan filariasis; (2) Kegiatan TPE dalam pelatihan eliminasi

filariasis antara lain pengisian kartu pengobatan, praktek pengisian formulir,

pelaporan pengobatan massal, menyusun rencana kegiatan.

Adapun rencana kegiatan TPE yaitu (1) Menetapkan wilayah kerja TPE; (2)

Menetapkan lokasi dan waktu pemberian obat; (3) Sensus penduduk, pendataan kasus

kronis filariasis; (3) Penyuluhan pengobatan massal; (4) Menyiapkan obat-obatan; (5)

Menyiapkan pelaksanaan pengobatan massal, misalnya menyiapkan ruangan, bahan

administrasi, dan lain-lain.

2.3.3 Pelaksanaan Pengobatan Massal a. Persiapan

Persiapan pelaksanaan pengobatan massal dilaksanakan oleh Tenaga

Pelaksana Eliminasi (TPE). Adapun kegiatan penyiapan masyarakat dilaksanakan

dengan penyediaan bahan, alat dan obat dan mengunjungi warga dari rumah ke rumah

di wilayah binaan TPE untuk (1) Memberikan informasi kepada masyarakat tentang

tempat, waktu dan berbagai hal (antara lain makan dulu sebelum minum obat)

mengenai filariasis dan pengobatan massal; (2) Mengisi kartu pengobatan dan

formulir sensus penduduk binaan; (3) Menyeleksi dan mencatat penduduk yang

ditunda pengobatannya; (4) Pendataan kasus kronis filariasis.

b. Pelaksanaan

Pelaksanaan pengobatan massal dilakukan oleh TPE dibawah pengawasan

petugas kesehatan di pos-pos pengobatan massal. Adapun kegiatan yang dilakukan

(50)

(masing-masing penduduk dapat membawa air minum); (2) Mengundang penduduk

untuk datang ke pos pengobatan yang telah ditentukan; (3) Memberikan obat yang

harus diminum di depan TPE dengan dosis yang telah ditentukan dan mencatatnya di

kartu pengobatan; (4) Mengunjungi penduduk yang tidak datang dari rumah ke

rumah; (5) Mencatat jenis efek samping pengobatan massal di kartu pengobatan dan

melaporkannya kepada petugas kesehatan; (6) Membuat laporan.

Obat DEC dan Albendazole adalah obat yang aman dan memiliki toleransi

yang baik tetapi kadang-kadang dapat terjadi reaksi pengobatan terutama pada infeksi

Brugia malayi danBrugia timori.Reaksi yang terjadi dapat berupa reaksi umum dan

reaksi lokal.

Reaksi umum terjadi akibat respon imunitas individu terhadap matinya

mikrofilaria, makin banyak mikrofilaria mati makin besar reaksi yang dapat terjadi.

Reaksi umum terdiri dari sakit kepala, pusing, demam, mual, menurunnya nafsu

makan, muntah, sakit otot, sakit sendi, lesu, gatal-gatal, keluar cacing usus, dan asma

bronkial. Reaksi umum hanya terjadi pada 3 hari pertama setelah pengobatan massal.

Reaksi yang ringan biasanya dapat sembuh sendiri tanpa harus diobati.

Reaksi lokal disebabkan oleh matinya cacing dewasa yang dapat timbul

sampai 3 minggu setelah pengobatan massal. Reaksi yang terjadi berupa nodul di

kulit skrotum, limfadenitis, limfangitis, epididimitis, abses, ulkus.

Hal yang paling penting dalam pengobatan massal adalah penjelasan dan

pemahaman mengenai reaksi kepada penduduk agar penduduk tidak merasa takut dan

(51)

tidak tepat akan memberikan dampak yang lebih buruk terhadap masyarakat di daerah

endemis sehingga dapat mengganggu jalannya Program Eliminasi Filariasis.

Dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis perlu dilakukan antisipasi

menghadapi kemungkinan terjadinya reaksi pengobatan dengan mengadakan (1)

Pemberitahuan kepada masyarakat bahwa reaksi pengobatan dapat terjadi namun

persentasenya kecil; (2) Tempat memperoleh pertolongan yang diperlukan bila terjadi

reaksi pengobatan; (3) Puskesmas tempat dilaksanakannya pengobatan massal

memiliki stok obat reaksi pengobatan yang cukup; (4) Persiapan para dokter praktek

dan petugas paramedis lainnya di daerah dimana pengobatan massal dilaksanakan

agar mampu mengobati reaksi pengobatan dan memberikan penjelasan yang tepat

seperti penjelasan bahwa obat diminum sesudah makan dan peringatan untuk tidak

memberikan obat pada sasaran yang ditunda pengobatannya.

Adapun jenis obat reaksi pengobatan massal filariasis yaitu (1) Paracetamol

500 mg untuk mengatasi demam, sakit kepala, pusing, sakit otot; (2) CTM 4 mg

untuk mengatasi alergi dan gatal-gatal; (3) Antasida Doen untuk mengatasi gejala

mual dan muntah-muntah; (4) Salep antibiotika untuk mengobati abses dan ulkus; (5)

Amoksilin 500 mg untuk mengobati abses dan ulkus.

Untuk mengantisipasi terjadinya reaksi pengobatan massal filariasis, maka

perlu dibentuk Komite Reaksi Pengobatan. Anggota Komite Reaksi Pengobatan

disesuaikan dengan kebutuhan, antara lain dapat terdiri dari dokter, ahli penyakit

dalam, ahli farmako klinik, ahli farmasi, epidemiologi, ahli parasit, ahli program

(52)

Tugas Komite Reaksi Pengobatan yaitu (1) Memberikan rekomendasi

penggunaan obat dalam rangka pengobatan massal filariasis; (2) Menetapkan adanya

reaksi pengobatan pada suatu pengobatan massal filariasis; (3) Rekomendasi tindakan

yang perlu dilakukan dan antisipasinya.

Setiap pelaksanaan pengobatan massal, kadang-kadang terjadi kejadian yang

tidak diinginkan yang berakibat fatal, mengancam jiwa, menyebabkan kecacatan, atau

pasien menderita kelainan kongenital, kanker atau dosis yang diberikan berlebihan

sehingga pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit, keadaan ini disebut Serious

Adverse Experience (SAE). Bila terjadi SAE, pasien harus segera dirujuk, dilakukan

tindakan yang diperlukan serta dicari penyebab terjadinya SAE. Kejadian ini harus

pula segera dilaporkan langsung ke pusat, sehingga dapat segera dilakukan

penyelidikan SAE lebih lanjut.

c. Pengorganisasian

Adapun tugas dan tanggung jawab pusat (Ditjen PPM&PL, Kemenkes RI)

yaitu : (1) Pengadaan dan pendistribusian obat pengobatan massal filariasis; (2)

Menyusun pedoman dan penggandaan master buku pedoman; (3) Pelatihan teknis

tenaga pelatih provinsi; (4) Bimbingan teknis; (5) Menggalang kemitraan nasional

dan internasional: (6) Memonitor dan mengevaluasi pengobatan massal.

Tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi yaitu (1) Penggandaan

buku pedoman dan bahan KIE; (2) Pelatihan teknis tenaga pelatih kabupaten/kota; (3)

Bimbingan teknis; (4) Menggalang kemitraan provinsi: (5) Memonitor dan

(53)

Tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yaitu (1)

Menganggarkan biaya operasional; (2) Penggandaan buku pedoman dan bahan KIE;

(3) Pelatihan teknis tenaga pengelola filariasis puskesmas; (4) Bimbingan teknis; (5)

Mendistribusikan logistik; (6) Menggalang kemitraan kabupaten/kota; (7) Memonitor

dan mengevaluasi pengobatan massal; (8) Penggerakan unit terkait dalam

pelaksanaan operasional pengobatan massal di kabupaten/kota (puskesmas, rumah

sakit, dan sebagainya).

Tugas dan tanggung jawab puskesmas yaitu (1) Pelatihan TPE; (2) Bimbingan

teknis; (3) Menggalang kemitraan kecamatan; (4) Melaksanakan pengobatan massal

dan tata laksana kasus; (5) Memonitor dan evaluasi hasil-hasil pengobatan massal dan

reaksi pengobatan; (6) Koordinasi dan penggerakan petugas puskesmas, terutama

tugas supervisi, pengawasan dan monitoring pengobatan massal dan reaksi

pengobatan.

d. Koordinasi Pelaksanaan Pengobatan

Dalam melaksanakan kegiatan pengobatan harus melibatkan program dan

sektor terkait di masing-masing jenjang administrasi.

e. Monitoring

Monitoring yang dilaksanakan oleh puskesmas yaitu (1) Memonitor

pelaksanaan pengobatan massal dan kejadian reaksi pengobatan; (2) Menghitung

(54)

Monitoring yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota yaitu (1) Memonitor hasil

pengobatan massal berdasarkan laporan puskesmas; (2) Menghitung persediaan,

pemakaian, dan sisa obat; (3) Menindaklanjuti rujukan puskesmas.

Monitoring yang dilaksanakan oleh provinsi yaitu (1) Memonitor pelaksanaan

pengobatan massal; (2) Memonitor hasil pengobatan massal bedasarkan laporan

kabupaten/kota; (3) Melaksanakan survei cakupan pengobatan massal; (4)

Menindaklanjuti reaksi pengobatan.

Monitoring yang dilaksanakan oleh pusat yaitu (1) Memonitor pelaksanaan

pengobatan massal; (2) Memonitor hasil pengobatan massal berdasarkan laporan

kabupaten/kota dan provinsi; (3) Melaksanakan survei cakupan pengobatan sesuai

kebutuhan pusat; (4) Merekapitulasi laporan hasil pelaksanaan eliminasi filariasis.

f. Evaluasi

Evaluasi pengobatan massal adalah bagian yang paling penting dalam

program eliminasi filaria

Gambar

Tabel 1.1Mf rate Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Filaria
Tabel 2.1 Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia
Tabel 2.2 Penilaian Hasil Cakupan Pengobatan Massal & Survei Cakupan di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh itu, budaya menjadi satu wadah dalam mengawal perubahan manusia yang dapat dilihat dalam konteks warisan amalan rewang ini yang memberi nilai-nilai serta

Capaian Program Meningkatnya Kualitas dan Kuantitas Sarana dan Prasarana Aparatur. 5

Because of the linear dependence of each rule on the input variables, the Sugeno method is ideal for acting as an interpolating supervisor of multiple linear controllers that are

Peserta didik dituntun untuk melakukan studi kasus dari artikel pencemaran tanah, pencemaran air, dan pencemaran limbah padat yang ada pada lembar kerja

Data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah semua bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang terdapat dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM, yaitu

Musik yang disajikan adalah musik keyboard, dari hasil wawancara dengan pemilik usaha yaitu Bapak Andri Roza, beliau menyediakan fasilitas musik pada usaha yang beliau kelola dengan

Fenomena inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk melihat pengaruh hedonic shopping motivation konsumen terhadap impulse buying process pada toko online

Permen lunak (soft candy) merupakan permen yang mudah di bentuk dengan tekanan karena memang relatif lunak, oleh karena itu jenis permen ini sering dibuat dengan berbagai ragam