• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis

BAB V PEMBAHASAN

5.3 Tahapan Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis

5.3.1 Advokasi

Advokasi kesehatan adalah upaya memasyarakatkan program kesehatan, memengaruhi kebijakan publik, serta mendapatkan komitmen dan dukungan dari para pemangku kepentingan dan para pengambil kebijakan untuk melakukan perubahan tata nilai atau peraturan yang ada, sehingga tujuan program kesehatan yang telah ditetapkan dapat tercapai (Sutisna, 2012).

Advokasi merupakan upaya untuk mengingatkan dan mendesak negara dan pemerintah untuk selalu konsisten dan bertanggungjawab melindungi dan mensejahterakan seluruh warganya. Ini berarti sebuah tanggung jawab para pelaksana advokasi untuk ikut berperan dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan negara (Kamar Dagang dan Industri Indonesia).

Dalam pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis, Dinas Kesehatan bertanggung jawab dalam pelaksanaan advokasi kepada para implementor kebijakan di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa supaya penyelenggaraan program mendapat dukungan politis/kebijakan dan dukungan pendanaan program minimal lima tahun berturut-turut.

Berdasarkan hasil penelitian, advokasi terkait pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis telah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan kepada

Bupati, DPRD, Bappeda, dinas terkait, camat dan pengelola media massa sehingga kegiatan tersebut mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan berkomitmen untuk melaksanakan POMP filariasis selama lima tahun berturut-turut.

5.3.2 Koordinasi

Menurut Djamin, koordinasi adalah suatu usaha kerjasama antara badan, instansi, unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu sedemikian rupa, sehingga terdapat saling mengisi, saling membantu dan saling melengkapi (Hasibuan, 2006).

Dalam pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis dibutuhkan koordinasi yang stategis baik koordinasi vertikal maupun horizontal. Koordinasi vertikal merupakan koordinasi yang dilakukan oleh atasan kepada aparat yang berada di bawah tanggung jawabnya secara langsung, sedangkan koordinasi horizontal adalah koordinasi antara organisasi/instansi yang setingkat.

Berdasarkan hasil penelitian, Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis telah melaksanakan pertemuan koordinasi di tingkat kabupaten dan kecamatan yang dihadiri oleh perwakilan dinas pendidikan, dinas tenaga kerja, BLH, media massa, perwakilan puskesmas di setiap kecamatan serta seluruh camat se Kabupaten Bengkalis. Adapun yang dibahas didalam pertemuan koordinasi yaitu kesepakatan dalam pelaksanaan POMP filariasis, rencana kerja dan pengorganisasian.

Koordinasi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi dari sebuah program. Penelitian Haryani (2013) menyatakan bahwa koordinasi memiliki kontribusi terhadap implementasi program KB sebesar 31,6 % dan 68,4 % sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya.

Keberhasilan pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis juga dipengaruhi oleh kerjasama lintas sektor. Penelitian Suswita (2009) menyatakan bahwa pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di wilayah kerja Puskesmas Jembatan Mas Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi belum optimal, salah satunya disebabkan kurangnya kerjasama lintas sektor. Oleh karena itu, koordinasi dan kerjasama lintas sektor dalam pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bengkalis harus lebih ditingkatkan guna mencapai keberhasilan program.

5.3.3 Sosialisasi

Sosialisasi dalam perlaksanaan Program Eliminasi Filariasis bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang pengobatan massal filariasis, sehingga semua penduduk melaksanakan pengobatan (cakupan pengobatan massal tinggi) dan menyikapi dengan benar apabila terjadi reaksi pengobatan.

Berdasarkan hasil penelitian, sosialisasi terkait pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis masih belum maksimal karena masih ada masyarakat yang tidak mengetahui adanya kegiatan POMP filariasis yang sudah dilaksanakan sebanyak dua tahap. Selain itu, informasi tentang penyakit filariasis, penyebab, serta reaksi ikutan pasca pengobatan kurang disosialisasikan secara lengkap sehingga masih banyak masyarakat memiliki pemahaman yang rendah tentang penyakit filariasis. Minimnya sosialisasi yang diterima oleh masyarakat menyebabkan masyarakat tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap penyakit filariasis dan pengobatannya sehingga masyarakat enggan untuk minum obat.

Kurangnya media sosialisasi juga merupakan penyebab sosialisasi yang dirasakan masyarakat kurang maksimal. Dalam rincian anggaran pelaksanaan POMP filariasis, dana yang dikeluarkan untuk KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) cenderung lebih kecil dibandingkan dengan kegiatan pertemuan dan kegiatan lain. 5.3.4 Persiapan Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE)

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1582 tentang Pengendalian Filariasis dinyatakan bahwa Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE) adalah anggota masyarakat setempat yang terpilih melalui musyawarah masyarakat desa dengan kriteria bersedia, mampu baca tulis, dan disegani oleh masyarakat. TPE dapat berasal dari organisasi yang sudah ada seperti anggota pramuka, guru, LSM, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Setiap TPE bertanggung jawab untuk 20-30 KK (100-150 orang) tergantung kondisi daerah masing-masing.

Berdasarkan hasil penelitian, TPE dalam pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013 adalah kader posyandu. Setiap posyandu mengirimkan tiga orang perwakilan untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh puskesmas di kantor kecamatan. Materi yang disampaikan dalam pelatihan TPE yaitu tentang penyakit filariasis, pengobatan massal filariasis, reaksi pengobatan, serta praktek pengisian form kegiatan.

Persiapan TPE dalam pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis telah dilaksanakan dengan baik, namun dalam rencana kegiatan TPE belum ada dilakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat tentang pengobatan massal. Oleh karena itu, diperlukan keaktifan TPE/kader untuk ikut serta memberikan penyuluhan,

mendorong masyarakat dalam pelaporan kasus kronis dan menetapkan wilayah kerja dengan jelas agar masyarakat mendapatkan informasi yang sama terkait pelaksanaan POMP filariasis.

5.3.5 Distribusi Logistik

Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan pengiriman obat-obatan yang bermutu dari gudang obat secara merata dan teratur untuk memenuhi pesanan atau permintaan unit-unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 1990).

Berdasarkan hasil penelitian, distribusi logistik dalam pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis terdistribusi dengan baik dan tidak terdapat kekurangan bahan logistik. Namun penyaluran obat ke masyarakat masih belum maksimal dan harus lebih diperhatikan terutama pada masyarakat daerah terpencil dan masyarakat perkotaan dengan mobilitas tinggi.

5.3.6 Penyiapan Masyarakat

Sebelum pelaksanaan POMP filariasis, TPE/kader seharusnya melaksanakan kegiatan penyiapan masyarakat dengan mengunjungi warga dari rumah ke rumah di wilayah binaan TPE untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan POMP filariasis, mengisi kartu pengobatan dan form sensus, serta pendataan penduduk yang ditunda pengobatannya. Namun, berdasarkan penelitian hal tersebut belum dilakukan oleh TPE/kader karena kurang jelasnya pembagian wilayah binaan masing-masing TPE/kader dan rencana kerja yang belum terstruktur dengan baik.

5.3.7 Pelaksanaan POMP Filariasis

POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013 dilaksanakan di pos-pos pengobatan yang telah disiapkan di setiap desa. Kepala desa menentukan tempat untuk dijadikan pos pengobatan seperti di mesjid, di lapangan terbuka, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, belum ada keseragaman atau kesepakatan mengenai berapa jumlah pos seharusnya yang ada disetiap desa serta berapa lama pos dibuka. Beberapa desa membuat pos pengobatan di setiap dusun, namun desa lainnya hanya memiliki satu pos pengobatan. Selain itu, beberapa desa membuka pos pengobatan dari pagi sampai sore, sedangkan ada desa yang lain yang membuka pos pengobatan hanya sampai siang hari saja. Hal ini tentu berdampak pada akses atau kemudahan masyarakat untuk memperoleh obat serta distribusi obat ke masyarakat.

Hal penting yang diperhatikan pada hari pelaksanaan POMP filariasis yaitu penduduk yang datang ke pos pengobatan seharusnya minum obat langsung di depan

petugas. Namun kendala yang ditemukan sehingga penduduk tidak minum obat langsung di depan petugas yaitu alasan belum makan dan masih adanya keraguan dari masyarakat sehingga obat diambil untuk dibawa pulang.

Dalam pelaksanaan POMP filariasis, TPE/kader harus lebih selektif dalam memberikan obat dan menginformasikan kepada penduduk yang memiliki sakit berat untuk menunda minum obat pencegahan filariasis. Hal ini dimaksudkan agar kedepannya tidak terjadi lagi kasus penduduk yang harus dirujuk ke rumah sakit karena memiliki penyakit gagal ginjal dan penyakit maag yang kontraindikasi dengan obat pencegahan filariasis.

5.3.8 Monitoring Reaksi POMP Filariasis

Monitoring atau pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang bertujuan agar penggunaan sumberdaya dapat lebih diefisienkan dan tugas-tugas pelaksana untuk mencapai tujuan program dapat lebih diefektifkan. Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan dalam fungsi pengawasan yaitu pengamatan langsung, laporan lisan, dan laporan tertulis.

Berdasarkan hasil penelitian, puskesmas bertanggung jawab dalam memonitor reaksi POMP filariasis. Pengawasan dilaksanakan di hari pelaksanaan pengobatan massal sampai beberapa minggu setelah hari pengobatan massal. Laporan monitoring reaksi pengobatan dicatat oleh TPE/kader dan kemudian diserahkan ke puskesmas. Namun, reaksi pengobatan kurang tercatat per gejala pada POMP filariasis tahap pertama dan banyak puskesmas yang tidak memberikan laporan monitoring reaksi pengobatan ke dinas kesehatan sehingga tidak dapat diketahui bagaimana

perbandingan reaksi pengobatan di tahap pertama dan kedua. Untuk POMP filariasis tahap kedua, kejadian ikutan pasca pengobatan adalah sebesar 26,92%.

Dalam monitoring reaksi POMP filariasis, perlu dimengerti bahwa berbeda dengan efek samping pada penggunaan obat pada umumnya, efek yang tidak diharapkan pada pengobatan filariasis terdiri dari 2 kelompok efek yang sangat berbeda penyebabnya, yaitu :

a. Pertama adalah yang biasa disebut efek samping obat, yaitu disebabkan karena reaksi terhadap obatnya. Efek samping obat ini adalah akibat efek obat terhadap tubuh manusia (efek farmakologi), akibat interaksi obat, intoleransi (tidak cocok obat), idiosinkrasi (keanehan/ketidak laziman respon individu terhadap obat), reaksi alergi obat.

b. Kedua adalah yang disebut sebagai kejadian ikutan pasca pengobatan, yaitu reaksi tubuh terhadap hasil pengobatan (tubuh makrofilaria & mikrofilaria yang mati adalah benda asing bagi tubuh), bukan terhadap obatnya.

TPE/kader harus memahami bahwa efek samping obat berbeda dengan reaksi pasca pengobatan sehingga informasi tersebut dapat disampaikan kepada masyarakat agar tidak terjadi salah persepsi mengenai reaksi pasca pengobatan. Jika masyarakat tidak memahami dengan jelas mengapa timbul reaksi pasca pengobatan, maka dikhawatirkan pada POMP filariasis berikutnya masyarakat menjadi enggan untuk minum obat. Selain itu, informasi mengenai sistem rujukan juga harus disampaikan dengan jelas agar masyarakat mengerti apa yang harus dilakukan dan harus kemana ketika mengalami reaksi ikutan pasca pengobatan massal filariasis.

5.3.9 Pemberian Obat Kepada Penduduk yang Tidak Hadir

Pemberian obat kepada penduduk yang tidak hadir dimaksudkan agar dapat meningkatkan cakupan POMP filariasis sehingga tujuan dan keberhasilan program dapat dicapai. Pemberian obat kepada penduduk yang tidak hadir dilaksanakan oleh TPE/kader, puskesmas maupun dinas kesehatan dengan cara menginformasikan kembali kepada penduduk yang tidak hadir untuk dapat mengambil obat ke tempat pelayanan kesehatan, ke kantor kepala desa, atau ke dinas kesehatan. Selain itu, TPE/kader diharapkan melaksanakansweeping atau mendatangi penduduk ke rumah-rumah untuk memberikan obat kepada penduduk yang tidak hadir saat pemberian obat massal.

Berdasarkan hasil penelitian, pemberian obat kepada penduduk yang tidak hadir belum dilaksanakan secara menyeluruh dan merata. Informasi kembali terkait pengambilan obat bagi penduduk yang tidak hadir tidak dilaksanakan dengan baik sehingga masyarakat yang tidak hadir tidak mengetahui bahwa obat masih bisa diambil di tempat pelayanan kesehatan. Beberapa desa melakukan sweeping atau mendatangi ke rumah-rumah penduduk yang tidak hadir saat pelaksanaan POMP filariasis, namun masih ada desa lainnya masih belum melaksanakan sweeping ke rumah-rumah penduduk.

Dalam hal pemberian obat kepada penduduk yang tidak hadir, dibutuhkan peran aktif dan kerjasama oleh TPE/kader, kepala desa, dan puskesmas dalam menyampaikan kembali informasi terkait pengambilan obat bagi penduduk tidak hadir saat pelaksanaan pemberian obat massal.

5.3.10 Pencatatan dan Pelaporan

Dalam pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Bengkalis, pencatatan dilakukan oleh kader dan kemudian dilaporkan ke puskesmas. Puskesmas kemudian melaporkan hasil POMP filariasis ke dinas kesehatan kabupaten untuk dilaporkan ke dinas kesehatan provinsi dan Kementerian Kesehatan RI. Berdasarkan hasil penelitian, permasalahan yang ada dalam tahap pencatatan dan pelaporan adalah kemungkinan adanya kesalahan input data atau pencatatan data sehingga berdampak pada cakupan pengobatan serta keterlambatan puskesmas untuk melaporkan hasil pelaksanaan POMP filariasis sehingga data monitoring reaksi pengobatan tahap pertama tidak diterima oleh dinas kesehatan.

Untuk mengantisipasi terjadinya keterlambatan dalam pelaporan, diperlukan koordinasi yang baik tentang waktu pengumpulan laporan. Dalam pelatihan TPE/kader sebaiknya diberikan materi yang jelas tentang pencatatan dan pelaporan agar kesalahan dalam pencatatan dapat diminimalisir. Pencatatan dan pelaporan yang baik akan memberikan data dan informasi yang tepat dan akurat sehingga dapat menggambarkan pelaksanaan program dan dapat dijadikan bahan masukan untuk perencanaan kegiatan berikutnya.

5.4 Hambatan dalam Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di