Sebenarnya sistem pendidikan di Indonesia sekarang memang berkiblat ke Amerika apalagi kurikukum 2013, “how well do you learn it, understand it, and express it. If you understand, you need to approve that you understand to people around you”.
Begitu lah kira-kira pesan yang sering ditekankan oleh salah satu dosen di sini. Nah, untuk itu lah diadakan sistem
pendidikan yang berisi serangkaian kegiatan student-oriented, tugas yang menuntut kemampuan mengikuti standar yang diinginkan, kemudian tes, quiz, dan ujian tulis untuk menguji isi nih otak. Aku sering bertanya-tanya, kenapa tidak ujian lisan atau ujian praktek? Well, diakhir nanti memang ada ujian kompre, dan ada praktikum lapangan juga, tapi ada satu hal lagi yang masih kurang. Tentang nilai..
Instansi pendidikan menilai kita dari isi otak. IPK kurang lebih mencerminkan seberapa cerdas nih anak minimal dalam mengerjakan soal atau menjawab soal ujian. Tapi, kontradiksi, semua orang berkoar-koar, karakter adalah nomor satu. Banyak sekali kasus pemilihan ketua atau pemilihan kolega kerja diakhirnya yang menjadi parameter utama bukanlah potensi yang dimiliki, namun seberapa bagus karakternya. Ah, iya, sebut saja, ‘akhlaq yang utama’. Salah seorang dosen Survei GNSS di ITB mengatakan, “Intisari dari science and technology for 21st century ada tiga: multi-disiplin ilmu dan kemampuan
komunikasi, tapi yang nomor satu (dari kedua tuntutan ini) adalah karakter". Tapi kenapa sistem pendidikan tidak mengutamakan karakter juga?
Apa Sistem Pendidikan Terbaik?
2 1 N O V 2 0 1 3 N A D I K U
Adalah sebuah sekolah terpencil di pinggiran kota Padang,
Sumatera Barat bernama Perguruan Islam Ar-Risalah yang sejak 10 tahun yang lalu telah menerapkan pendidikan berbasis karakter.
Hal ini bisa dilihat dari sistem penilaian yang tidak hanya megandung aspek kemampuan akademik namun juga penilaian karakter. Mereka menyebutnya ‘nilai akhlaq’. Jika siswa
mendapatkan nilai sempurna di semua kewajiban akademiknya (tugas dan ujian), maka ia akan mendapatkan nilai 8 dari 10. Nilai bobot 2 sisanya adalah nilai untuk karakter yang dinilai dari karakter di kelas dan di asrama. Jika siswa berkelakuan baik di kelas seperti datang tepat waktu, lengkap seragam, hormat terhadap guru dan santun terhadap teman sekelas, rajin dan pekerja keras dalam belajar, maka ia akan mendapat nilai penuh 1.
Dan jika di asrama ia juga berkelakuan baik, rapi, tanggung jawab menjalankan tugas asrama, bertingkah santun terhadap siapa pun, tidak mudah bertikai, patuh aturan, non an-sos, dll, maka ia akan mendapat nilai penuh 1.
Lalu, apa efeknya? Sangat signifikan, terutama dalam
pengidentifikasian siapa kah sang juara? Siapa kah siswa terbaik?
Saya yakin di kelas terdapat siswa yang memiliki IQ tinggi, tapi tidak mendapat nilai tertinggi di kelas karena pengaruh karakternya. Sebaliknya, orang-orang dengan pencapaian
akademik lebih rendah, mendapat semacam apresiasi lebih karena sifat mereka yang santun dan pekerja keras. Jadi, sang juara didefenisikan sebagai seseorang berpotensi akademik bagus dan karakter baik. That’s perfect!
Efek lain dari sistem ini adalah setiap siswa akan selalu termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan bimbingan dari guru asrama dan wali kelas, siswa mendapat bimbingan agar tahun ini bisa lebih baik dari tahun kemaren.
Sistem di atas belum berarti sistem yang paling sempurna dalam dunia pendidikan. Namun, sistem di atas adalah sistem yang mungkin lebih baik dari sistem yang ada saat ini. Saat ini, yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan antara pendidikan akademik dan pendidikan karakter hanyalah sebatas motivasi belaka. Keduanya tidak tergabung dalam sistem yang satu.
Anehnya, ketika semua kepala menyetujui bahwa karakter adalah nomor satu, maka kenapa tidak memasukkan parameter karakter ke dalam sistem pendidikan?
Semoga di masa depan, Indonesia memiliki sistem pendidikan yang sesuai dengan budaya dan katakter bangsa, tidak hanya sekedar mengikuti sistem yang sudah sukses di negara seberang.