• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARBITRASE SENGKETA EKONOMI ISLAM Salman Saesar

N/A
N/A
sifaul amin

Academic year: 2023

Membagikan "ARBITRASE SENGKETA EKONOMI ISLAM Salman Saesar"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ARBITRASE SENGKETA EKONOMI ISLAM Salman Saesar Abstrak

Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi adanya conflic tof interest yang berasal dari berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan yang menguasai emosi para pihak. Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan/litigasi dan arbitrase / perwasitan. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase yang disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internasional, dilakukan oleh seorang arbiter. Dasar hukum lembaga arbitrase menurut syariat Islam dapat disandarkan pada teks hukum yang antara lain terdapat dalam surat An Nisa’ 35 yang berbunyi:” jika kamu khawatir ada persengketaan di antara keduanya , maka kirimlah seorang Hakam dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan. Dalam hal penyelesaian sengketa lewat lembaga arbitrase tidaklah terlepas dari perjanjian arbitrase. Perjanjian memilih arbitrase ini dengan keharusan para pihak menerima keputusan arbiter dan bukan menerima nasihatnya.

Kata kunci :Sengketa, Ekonomi Islam.

Akibat dari lahirnya suatu perjanjian/akad tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya suatu perselisihan atau sengketa bagi pihak yang membuatnya. Bentuk sengketa atau perselisihan beraneka ragam sesuai dengan inti permasalahan.

Setiap permasalahan memiliki sekian banyak liku-liku, yang pada akhirnya terbaca di permukaan. Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi adanya conflic tof interest yang berasal dari berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan yang menguasai emosi para pihak.

Masyarakat mempunyai cara sendiri untuk menyelesaikan sengketa , dimana proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal dan informal dengan harapan dapat memberikan putusan atau setidak-tidaknya sengketa diklarifikasi dengan mempersempit persoalan. Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan/litigasi dan arbitrase / perwasitan , serta proses penyelesaian –

(2)

penyelesaian konflik secara informal berbasis pada kesepakatan pihak-pihak bersengketa melalui negosiasi dan mediasi (Elsi.KS, 2005: 154).

Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. Menurut Priyana “arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa – aps yag merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang – undang dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya – ketidaksepahamannya – ketidaksepakatannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter- majelis) ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai Hakim/ peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut terdahulu untuk sampai kepada putusan yang final dan mengikat ” (Priyatna, 2002:

56).

Arbitrase dan Pelaksanaannya di Indonesia

Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internasional.

Pelaksanaan arbitrase di Indonesia diatur dalam undang – undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang – undang ini mengatur cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang di dasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa, dengan kata lain hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasi sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Hal ini tidaklah bertentang dengan pasal 1338 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dengan sistem terbuka. Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan–alasan yang ditentukan oleh undang– undang, perjanjian itu dilaksanakan dengan baik”.

Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase yang disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internasional,

(3)

oleh seorang arbiter sebagai seorang Hakim swasta bagi para pihak yang dipilihnya berdasarkan kesepakatan bersama untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka.

Terhadap keputusan Hakim arbiter pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadilan sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Pengadilan tidak berwenang mencampuri suatu sengketa bilamana dicantumkan sebuah klausula arbitrase di dalam suatu kontrak. Ketua pengadilan negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan keputusan arbitrase harus memeriksa syarat- syarat untuk dijadikan suatu putusan arbitrase seperti :

a. Para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase.

b. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokume yang ditandatangani oleh para pihak.

c. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang perdagangan , mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang – undangan, dan

d. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Putusan ini dibubuhi perintah ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan undang – undang nomor 30 tahun 1999 yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah pengadilan negeri Jakarta Pusat. Dalam pasal 6 UU No.30 tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum negara Republik Indonesia apabila tlah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional.

b. Putusan Arbitrase Internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup perdagangan.

3

(4)

c. Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan denga ketertiban umum .

d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam hal penyelesaian sengketa lewat lembaga arbitrase tidaklah terlepas dari perjanjian arbitrase. Perjanjian memilih arbitrase ini dengan keharusan para pihak menerima keputusan arbiter dan bukan menerima nasihatnya. Putusannya harus diterima sebagai sesuatu yang resmi, final dan mengingat. Dalam Undang – Undang nomor 30 tahun 1999 terdapat penekanan bahwa kalusula arbitrase dalam kontrak sekarang dianggap sebagai kesepakatan arbitrase , dan karena statusnya sebagai kontrak , maka kesepakatan ini tidak dapat dibatalkan kecuali disepakati secara tegas, resmi dan tertulis oleh para pihak. ( Priyatna, 2002 : 82). Terhadap hal ini ditegaskan pula oleh Else Kartika , suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal meskipun oleh keadaan :

a. Meninggalnya salah satu pihak.

b. Bangktrutnya salah satu pihak.

c. Novasi d. Insolvensi.

e. Pewarisan.

f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok.

g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tresebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut dan, h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. (Elsi.KS, 2005: 158).

Namun atas putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur yang mana atas surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan , diakui palsu atau dinyatakan palsu, setelah putusan diambil telah ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan ,serta putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dialkukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase ini diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera dimana permohonan

(5)

diajukan kepada ketua pengadilan negeri. Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan bandinh ke Mahkamah Agung yang memutuskan dalam tingkat pertama danm terakhir. Mahkamah Agung akan mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

Dalam keberadaannya arbitrase terdiri dari dua macam yakni :

a. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter , merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus utuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu sufat dari arbitrase ad hoc bersifat insidentil, dimana kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu , apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara maka keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.

b. Arbitrase institusional, merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanent sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.

Di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase yaitu: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Sehubungan dengan pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase hal yang perlu dipertanyakan juga adalah mengenai pembiayaan.

Berdasarkan undang – undang nonor 30 tahun 1999, arbiter memiliki hak dan kebijaksanaan penetapan jumlah biaya untuk penyelesaian sengketa kecuali bilamana perjanjian arbitrase menegaskan ketentuan yang jelas untuk jumlah sebaliknya.

Dalam pembiayaan perlu dibedakan biaya proses dan biaya putusan. Biaya proses mencakup semua pengeluaran yang terlibat dalam proses seluruh kasus , yaitu suatu jumlah yang harus dibayar oleh para pihak sejak awal biaya termasuk meliputi biaya arbiter.Sedang biaya putusan tertuju pada semua pengeluaran yang harus dikeluarkan para pihak setelah mendengar hasil putusan.

Yurisdiksi kebijakan arbiter tentang biaya dapat bervariasi karena perjanjian arbitrase yang berbeda memberikan persyaratan yang berbeda terhadap biaya.

Namun demikian kebijaksanaan apaun yang ditetapkan oleh arbiter wajib

5

(6)

berpedoman kepada hukum dan kewajaran. Menilai kebebasan arbiter menetapkan biayanya tergantung dari perjanjian arbitrase (kecuali bila biaya ditetapkan oleh suatu lembaga arbitrase seoerti BANI) :

a. Diam mengenai biaya.

b. Menyerahkan kebijaksanaan kepada arbiter tentang biaya.

c. Minta arbiter untuk menilai biaya.

d. Membuat persyaratan yang jelas pihak mana yang dibebankan membayar biaya.

Disamping kewenangan di atas arbiter dapat mengenakan pajak atau biaya jasanya terhadap imbalan jasanya. Kesemuanya itu harus dibuktikan dengan semua bukti pembayaran dan dengan demikian setiap fakta yang berlebihan atau tidak layak dapat ditiadakan atau dikesampingkan. Lagi–lagi kalau perjanjian mempunyai klausula yang jelas, untuk hal yang sebaliknya kewajiban ini dapat dilaksanakan oleh arbiter. Sebagai alternatif tugas ini dapat dilaksanakan oleh pejabat pajak.

Apabila keputusan tidak memberikan pengarahan atas pembayaran pajak atas biaya, kantor pajak mempunyai yurisdiksi untuk melakukan penagihan.

Arbitrase dan Ekonomi Islam

Penyelesaian sengketa sebagaimana dalam praktek arbitrase dalam Hukum Islam dapat disepadankan dengan tahkim. Satria Effendi M.Zein, mengatakan, kata tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai penengah dari suatu sengketa.

Dengan kata lain dapat didefinisikan “bersandarlah dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhoi keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka” (Effendi, 1994:16).

Dasar hukum lembaga arbitrase menurut syariat Islam dapat disandarkan pada teks hukum yang antara lain terdapat dalam surat An Nisa’ 35 yang berbunyi:”

jika kamu khawatir ada persengketaan di antara keduanya , maka kirimlah seorang Hakam dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang Hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi maha mengenal”. Surat lain yang dapat dijadikan landasan pelaksanaan arbitrase adalah surat Al-Hujurat ayat 9 ,dan surat An-Nisa’ ayat 114 dan 128 . Dari ayat – ayat di atas dapatlah dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hakam dalam ayat ini

(7)

adalah juru damai diantara kedua suami isteri ynag bersengketa tersebut. Namun demikian kalaupun dasar ini dipakai untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang lain misalnya ekonomi Islam berarti cara yang digunakan adalah penafsiran Analogi atau Qiyas.

Penutup

Alternatif penyelesaian sengketa, dimana arbitrase merupakan salah satu mekanismenya yang didasarkan kepada kesepakatan bersama , dapat dijadikan alat pendamai menyelesaikan suatu sengketa yang timbul pada masa kini dan masa mendatang. Pelaksanaan arbitrase di Indonesia berlandaskan undang – undang nomor 30 tahun 1999. Dalam penggunaan lembaga arbitase ini dirasakan pada satu sisi ada keuntungan dan pada sisi lain ada kelemahannya. Walaupun ada keuntungan dan kelemahan dalam pelaksanaannya, namun keberadaannya bila disimak dari kaca mata hukum Islam tidaklah bertentangan dengan syariat. Klausula ini diambil dari hasil analogi dan Qiyas ayat – ayat al-Quran, hingga dapat diberlakukan di bidang perekonomian Islam.

Daftar Pustaka Al – Quran

Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani, 2001 Black Law Dictionary , Sixth Edition , By The Publisher’s Editorial Staff, St. Paul,

Minn, USA, West, Publshing.Co. 1990.

Effendi, Satria, MZ. "Arbitrase dalam Islam" Mimbar Hukum No.16 Tahun V, Yayasan Al - Hikmah Jakarta, 1994.

Elsi, Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: Gramedia, 2005.

Priyatna, Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta:

Fikahati Aneska, 2002

Soebekti, Kitab Undang–Undang Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 1989 ---, Aneka Perjanjian.. Bandung: Alumni, 1984

Soekardono, Hukum Dagang Indonesia. Jilid. I Jakarta: Dian Rakyat, 1983.

Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

7

Referensi

Dokumen terkait

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai dasar utama pengaturan upaya arbitrase, dengan pelaksanaan praktek arbitrase BANI dan arbitrase

“Penyelesaian Sengketa Perdagangan Melalui Arbitrase Secara Elektronik ( Arbitrase On Line ) Berdasarkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui badan arbitrase Syariah dengan pedoman pada undang- undang nomor 30 tahun 1999 menunjukkan bahwa arbitrase

Mediasi adalah salah satu bagian dari alternatif penyelesaian sengketa (APS), di samping negosiasi, arbitrase, dan pengadilan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk

Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan pertimbangan

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menjelaskan arbitrase sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum

Di dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa Lembaga Arbitrase adalah badan

Dan pada Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani