• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS Muhamad Kholid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS Muhamad Kholid"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA BISNIS Muhamad Kholid Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Abstrak

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa penyelesaian per- kara dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengadilan (litigation) dan luar pengadilan (non litigation). Untuk kasus seng- keta bisnis maka pengadilan yang berwenang adalah Peng- adilan Negeri yang berada di lingkungan Peradilan Umum sedangkan luar pengadilan diantaranya dapat dilakukan melalui Lembaga Arbitrase. Dengan demikian masing-masing lembaga merasa memiliki kewenangan untuk memeriksa mengadili, dan memutus suatu perkara bisnis sehingga terjadi tarik-menarik kewenangan yang menyebabkan tidak adanya kepastian hu- kum. Tulisan ini akan memberikan gambaran tentang kewe- nangan masing-masing dari Pengadilan Negeri dan Lembaga Arbitrase dalam memeriksa mengadili, dan memutus suatu perkara bisnis yang selaras (konsisten) dengan asas-asas hu- kum yang berlaku di Indonesia.

Kata Kunci:

Pengadilan Negeri, Arbitrase, Sengketa Bisnis A. Pendahuluan

Membentuk tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam suatu wilayah menjadi tujuan semua negara di belahan dunia. Untuk mewujudkannya setiap negara memiliki cara tersendiri, tidak ter- kecuali di Indonesia. Tujuan negara dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea keempat yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

(2)

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Diantara cara yang dilakukan Indonesia untuk mewujudkan tujuan negara tersebut adalah dengan melakukan pembangunan di berbagai bidang yaitu bidang ideologi, politik, ekonomi, hukum, so- sial, kebudayaan, pertahanan dan keamanan. Hal ini dituangkan da- lam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Terdapat dua bidang yang menjadi prioritas dalam pem- bangunannya yaitu bidang ekonomi dan hukum. Hal ini dikarenakan bidang-bidang tersebut bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat. Bidang ekonomi sebagai ukuran standar kemakmuran suatu negara sedangkan bidang hukum sebagai standar keadilan suatu negara. Pembangunan atas dua bidang ini akan berimplikasi signifikan kepada bidang-bidang yang lainnya.

Pertumbuhan ekonomi nasional pasca krisis moneter dalam kurun waktu 15 tahun (1998-2013), pertumbuhan perekonomian nasional berkembang ke arah positif. Hal ini bisa dindikasikan dengan meningkatnya kesejahteraan secara umum, pada periode 2007-2010 pertumbuhan konsumsi riil pertahun untuk semua golongan pendapatan mengalami peningkatan. Golongan bawah (1- 40%), dan golongan atas (60% teratas), yaitu golongan menengah dan golongan kaya.1 Di tambah dengan adanya proyeksi terhadap pertumbuhan PDB dari tahun ke tahun semakin membaik. Tahun 2008, yaitu 6,06%, 2009, yaitu 3,5-4,5%, 2010, yaitu 4,5-5,5%, 2011, yaitu 5,0-6,0%, 2012, yaitu 5,4-6,4%, 2013, yaitu 5,7-6,7% dan 2014, yaitu 6,0-7,0% yang meliputi konsumsi masyarakat, investasi swasta, konsumsi dan investasi pemerintah, ekspor dan impor barang dan jasa.2

Perkembangan pada bidang hukum dilakukan dengan dua cara yaitu: pertama, dengan membentuk institusi-institusi baru di bidang hukum yaitu pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY) dan lain-lain

1 www.bappenas.go.id

2 Proyeksi Bank Indonesia Januari 2009.

(3)

dalam rangka memperkuat institusi-institusi hukum yang sudah lama ada (kepolisian, kejaksaaan, dan kehakiman). Kedua, dengan mem- bentuk aturan-aturan baru (regulasi) dan melakukan revisi atas ber- bagai aturan lama (deregulasi) guna mendukung penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia.

Hasil dari pembangunan kedua bidang tersebut Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki ketahanan perekonomian nasional terbaik di dunia serta mampu berbicara banyak dikancah dunia internasional. Meskipun masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan, hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah selanjut- nya untuk memperkuat kelemahan dan menutup kekurangan ter- sebut.

Mengingat kegiatan bisnis yang terjadi di dunia jumlah transaksinya sangat banyak ditambah dengan adanya kesepakatan- kesepakatan regional maupun internasional untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam perkembangan ekonomi dunia seperti pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 dan pembentukan pasar bebas dunia tahun 2020 maka dapat dipastikan akan banyak sengketa yang terjadi akibat transaksi bisnis tersebut dan sangat sulit untuk menghindarinya. Apabila sengketa bisnis dibiarkan atau lambat dalam penyelesaian maka akan berdampak negatif terhadap perkembangan dunia usaha, pembangunan ekonomi tidak stabil, produktifitas menurun, dan dunia bisnis akan rnengalami kemunduran.

Secara umum, penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu rnelalui pengadilan (litigation) dan luar pengadilan (non litigation). Hal ini sesuai dengan aturan yang ada dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang berbunyi sebagai berikut:

Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. (ayat 1)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. (ayat 2)

(4)

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut Undang-Undang Arbitrase) menjelaskan terdapat 3 bentuk penye- lesaian sengketa di luar pengadilan yaitu Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase. Perbedaan dari segi teknis antara negosiasi dan mediasi adalah ada atau tidak adanya pihak ketiga sebagai penengah bagi para pihak yang bersengketa. Apabila terdapat pihak ketiga yang menjadi penengah maka dinamakan mediasi dan sebaliknya. Pada arbitrase sudah ditetapkan terdapat arbiter sebagai penengah bagi para pihak, memiliki prosedur beracara tersendiri, dan terdapat tempat beracara baik bersifat permanen ataupun sementara (ad hoc).

Pada umumnya kalangan dunia usaha dan dagang lebih menyukai penyelesaian di luar pengadilan seperti melalui negosiasi, mediasi atau lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketanya dibanding pengadilan dengan alasan diantaranya adalah kerahasiaan sengketa para pihak terjaga, putusan selesai dan mengikat (final and binding), para pihak dapat menentukan arbiter, pilihan hukum, proses dan tempat penyelenggaraan serta prosedural sehingga dari segi waktu lebih cepat dan dari segi biaya bisa lebih murah. Tetapi pada kenyataannya, apa yang dikatakan di atas, tidak semua benar.

Kelebihan arbitrase yang paling utama dibanding pengadilan adalah adanya sifat kerahasiaan dan keputusan tidak dipublikasikan sehingga dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau yang akan merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis pada khalayak umum. Selain itu, dapat melindungi para pihak dari pub- lisitas yang merugikan serta akibat-akibatnya seperti kehilangan reputasi, pemicu bagi tuntutan-tuntutan lain. Selain itu, putusan yang dikeluarkan lembaga arbitrase bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) yang memiliki arti bagi setiap putusan yang dikeluarkan tidak bisa dilakukan upaya hukum baik biasa maupun luar biasa seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali sehingga para pihak tinggal masuk pada tahapan eksekusi. Pihak yang dinyatakan kalahpun tidak bisa mengajukan gugatan perkaranya ke pengadilan karena telah ada kesepakatan para pihak tentang lembaga penyelesaian sengketanya yang tertuang dalam klausula atau per- janjian arbitrase. Hal ini selaras dengan Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase yang mengatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak

(5)

berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase mengatakan bahwa: “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”

Oleh karena itu, dalam ayat (2) dijelaskan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Pada kenyataannya (das sein) masih terdapat sengketa-sengketa yang sudah jelas terdapat klausula atau perjanjian arbitrase dan telah ada putusan arbitrasenya masih bisa mengajukan gugatan ke pengadilan. Hal ini dapat di lihat dalam kasus-kasus sebagai berikut:

Pada kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima gugatan Mayora dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Kasus yang lainnya adalah PT Berkah Karya Bersama melawan Siti Hardianti Rukmana tentang kepemilikan 75% saham PT TPI yang memiliki putusan PK dari Mahkamah Agung RI tahun 2014 padahal sebelumnya para pihak bersepakat untuk menyelesai- kan perkaranya ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Dengan demikian terdapat ketidakselarasan dari institusi- institusi hukum yang seharus memberikan rasa keadilan melalui putusan (kepastian hukum) berdasarkan peraturan yang berlaku tetapi justru malah memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan dan tidak ada kesepahaman dalam melaksanakan suatu peraturan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Peneliti merumus- kan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah Pengadilan Negeri Memiliki Kewenangan Atas Perkara Yang Memiliki Klausul atau Perjanjian Arbitrase Dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?

B. Metodologi Penelitian

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif yaitu meneliti dan mengkaji bahan-bahan pustaka yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan spesifikasi deskriftif-analitis yaitu yaitu menggambarkan secara

(6)

sistematis, faktual, dan akurat segala fakta dan permasalahan yang diteliti dikaitkan dengan teori hukum dan praktik pelaksanaan penyelesaian sengketa bisnis yang disesuaikan dengan rumusan masalah. Penelitian dilakukan dengan tahapan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Teknik yang digunakan adalah dengan studi dokumen yaitu meneliti dokumen yang erat kaitannya dengan masalah penelitian guna mendapatkan landasan teoritis ditambah dengan data dan informasi yang didapatkan melalui internet. Analisis data yang digunakan adalah analisis normatif kualitatif yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan sumber atau titik tolak dalam penelitian ini dihubungkan dengan informasi yang didapati melalui website resmi maupun diskusi yang disampaikan oleh pihak narasumber terkait digunakan untuk memperoleh suatu analisis data tanpa mempergunakan angka-angka.

C. Kewenangan Pengadilan Negeri Atas Perkara Yang Memiliki Klausul atau Perjanjian Arbitrase.

Secara konvensional untuk penyelesaian suatu sengketa di Indonesia dilakukan di lembaga-lembaga peradilan yang dilaksanakan di bawah kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam ling- kungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.3

Dengan demikian setidaknya terdapat 2 institusi peradilan negara di Indonesia yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsti- tusi. Perbedaannya adalah dari segi kewenangan yang diberikan kepada masing-masing institusi tersebut. Mahkamah Agung memiliki kewenangan sebagai berikut:4

1. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;

2. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap undang-undang; dan

3. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

3 Pasal 18 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

4 Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

(7)

Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:5

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Memutus pembubaran partai politik;

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;dan 5. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

Kelima kewenangan MK tersebut, terdapat satu kewenangan yang dicabut berdasarkan pada Putusan MK Nomor 97/PUU- XI/2013 tentang pengabulan pengujian Pasal 236 C Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebabkan MK tidak lagi berwenang untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum termasuk pemilukada.

Di bawah Mahkamah Agung terdapat 4 badan peradilan yaitu:

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Perbedaan diantara badan-badan peradilan tersebut adalah sebagai berikut:6

1. Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Peradilan Militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Peradilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

6 Pasal 25 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

(8)

Peradilan Umum yang ada di bawah Mahkamah Agung meliputi:

1. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota.

2. Pengadilan Khusus meliputi:

a. Pengadilan Anak b. Pengadilan Niaga

c. Pengadilan Hak Asasi Manusia

d. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi e. Pengadilan Hubungan Industrial

f. Pengadilan Perikanan

Tugas pokok dan kewenangan Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut:7

1. Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

2. Pengadilan Negeri dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kekpada instansi pemerintah didaerahnya apabila diminta.

3. Pengadilan Negeri dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.

Objek perkara yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri adalah perkara pidana dan perkara perdata. Perbedaan antara keduanya diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, perkara pidana adalah perkara yang pengaturannya diatur dalam KUHP terkait kejahatan atau pelanggaran atau di luar KUHP seperti Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Narkoba, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Perbankan, Tindak Pidana Pencucian Uang dan lainnya yang masing-masing tindak pidana tersebut memiliki payung hukum (law umbrella) masing-masing.

Perkara pidana juga adalah perkara yang bertujuan melindungi

7 Pasal 50 dan Pasal 52 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

(9)

kepentingan umum yang penyelesaianya diwakili oleh Negara (peradilan negara).

Kedua, perkara perdata adalah perkara yang pengaturannya diatur dalam KUHPerdata/BW (Burgerlijk Wetboek) terkait tentang orang, keluarga, benda, perikatan, waris, harta kekayaan, pembuktian dan daluwarsa atau yang diatur dalam KUHDagang (Wetboek van Koophandel) terkait perdagangan dan hak dan kewajiban yang terbit dari pelayaran atau yang ditur di luar kedua aturan tersebut seperti perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974), perseroan terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007), wakaf (UU Nomor 41 Tahun 2004), dan peraturan yang lainnya. Perkara perdata juga adalah perkara yang menyangkut kepentingan perorangan dan penyelesaiannya perkaranya bertujuan untuk melindungi kepentingan perorangan pula.

Dengan demikian dapat disimpulkan Pengadilan Negeri merupakan salah satu badan peradilan yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa perkara bisnis. Hal ini selaras dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi sebagai berikut:

Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan lebih lanjut bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penyelesaian sengketa bisnis tidak hanya dimonopoli oleh lembaga-lembaga peradilan Negara tetapi juga dimungkinkan dimungkinkan diselesaikan di luar pengadilan. Hal ini didasarkan pada Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.”

Kemudian, diperkuat dengan lahirnya Undang-undang Arbitrase yang dilatarbelakangi oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

(10)

Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa;

Bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya.

Pada Undang-undang Arbitrase setidak terdapat 3 bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Perbedaan dari ketiga bentuk tersebut diantaranya adalah perbedaan dari segi teknis antara negosiasi dan mediasi adalah ada atau tidak adanya pihak ketiga sebagai penengah bagi para pihak yang bersengketa. Apabila terdapat pihak ketiga yang menjadi penengah maka dinamakan mediasi dan sebaliknya sedangkan pada arbitrase terdapat arbiter sebagai penengah bagi para pihak, memiliki prosedur beracara tersendiri, dan terdapat tempat beracara baik bersifat permanen ataupun sementara (adhoc).

Masing-masing lembaga penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan (litigation) maupun luar pengadilan (non litigation) memiliki kelebihan dan kekurangan yang diantaranya adalah sebagai berikut:8

No. Pengadilan Luar Pengadilan 1. Sengketa diketahui umum Kerahasiaan sengketa para

pihak terjamin

2. Terikat pada prosuderal dan administratif yang berlaku

Keterlambatan yang

diakibatkan oleh prosedural dan administratif dapat dihindari

3. Hakim ditentukan oleh Ketua Pengadilan

Para pihak dapat memilih arbiter

4. Para pihak tidak dapat menentukan pilihan hukum dan proses untuk

Para pihak dapat

menentukan pilihan hukum dan proses untuk

8 Analisa ini diolah berdasarkan pada penjelasan UU Arbitrase.

(11)

menyelesaikan masalahnya serta tempat

penyelenggaraan.

menyelesaikan masalahnya serta tempat

penyelenggaraan.

5.

Putusan mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) yang diatur dalam hukum acara yang bersifat kaku.

Putusan mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Kelebihan arbitrase yang paling utama dibanding pengadilan adalah adanya sifat kerahasiaan dan keputusan tidak dipublikasikan sehingga dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diingin- kan atau yang akan merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis pada khalayak umum. Selain itu, dapat melindungi para pihak dari publisitas yang merugikan serta akibat-akibatnya seperti kehilangan reputasi, pemicu bagi tuntutan-tuntutan lain. Selain itu, putusan yang dikeluarkan lembaga arbitrase bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) yang memiliki arti bagi setiap putusan yang dikeluarkan tidak bisa dilakukan upaya hukum baik biasa maupun luar biasa seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali sehingga para pihak tinggal masuk pada tahapan eksekusi. Pihak yang dinyatakan kalah- pun tidak bisa mengajukan gugatan perkaranya ke pengadilan karena telah ada kesepakatan para pihak tentang lembaga penyelesaian sengketanya yang tertuang dalam klausula atau perjanjian arbitrase.

Hal ini selaras dengan Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Kemudian, Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase ayat (1) mengatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Dan pada ayat (2) mengatakan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Adapun hal-hal tertentu yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), meliputi:

(12)

1. Pengangkatan arbiter9 2. Hak ingkar terhadap arbiter10 3. Pendaftaran putusan arbitrase11

4. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.12 5. Pembatalan putusan arbitrase13

Terkait dengan campur tangan Pengadilan Negeri dalam pembatalan putusan arbitrase harus diduga terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau

3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Dengan demikian hanya terdapat 5 hal yang diperbolehkan oleh undang-undang atas campur tangan Pengadilan Negeri terhadap lembaga arbitrase sehingga di luar hal-hal tersebut di atas Pengadilan Negeri wajib menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang sudah menentukan lembaga arbitrse sebagai badan penyelesaian sengketanya (choice of forum).

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.14

Terkait dengan masalah perjanjian terdapat asas pacta sunt servanda yang menjadi asas utama dalam hukum perjanjian menegaskan bahwa para pihak terikat atas perjanjian yang disepakati.

Hal ini dikarenakan kekuatan mengikat suatu perjanjian dipersama- kan dengan kekuatan hukum yang bersumber pada undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang

9 Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang Arbitrase.

10 Pasal 23-25 Undang-Undang Arbitrase.

11 Pasal 59, Pasal 61-65 Undang-Undang Arbitrase.

12 Pasal 65, Pasal 67-69 Undang-Undang Arbitrase.

13 Pasal 70-72, dan Pasal 75 Undang-Undang Arbitrase.

14 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Arbitrase.

(13)

mengatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Berdasarkan uraian di atas, kasus-kasus yang terjadi antara Bankers Trust melawan PT Mayora Indah Tbk,15 atau PT Berkah Karya Bersama melawan Siti Hardianti Rukmana kesemuanya mengajukan gugatan ke pengadilan padahal sebelumnya mereka telah bersepakat untuk menyelesaikan kasusnya di lembaga arbitrase.

Pada asas hukum terdapat adagium “lex specyalist derogat legi general” yang berarti “hukum yang khusus lebih diutamakan daripada hukum yang umum”. Asas ini bermakna suatu ketentuan yang bersifat mengatur secara umum dapat dikesampingkan oleh keten- tuan yang lebih khusus mengatur hal yang sama.16 Pelaksanaan atas asas ini adalah dipakai saat terdapat dua atau lebih ketentuan hukum (peraturan) yang memiliki derajat yang sama dalam tingkatan (hirarki) perundang-undangan seperti Undang-undang dengan Undang- undang atau Peraturan Presiden dengan Peraturan Presiden dan mengatur hal atau masalah yang sama pula.

Terkait dengan perebutan wewenang antara Pengadilan Negeri dengan arbitrase untuk memeriksa suatu perkara diatur pada peraturan perundang-undangan setingkat Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Keha- kiman, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Ke- kuasaan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman berbunyi sebagai berikut:

Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Berdasarkan pasal di atas lembaga peradilan apapun yang berada di bawah Mahkamah Agung yang meliputi Peradilan Umum,

15 Pada kasus Bankers Trust melawan PT Mayora Indah Tbk, PN Jakarta Selatan menerima gugatan Mayora menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora.

16 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia), 2004, hlm. 112.

(14)

Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara serta Mahkamah Konstitusi dilarang untuk menolak mengadili suatu perkara yang diajukan kepada lembaga peradilan tersebut yang dikarenakan dasar hukumnya tidak ada atau kurang jelas kecuali yang secara tegas bukan merupakan kewenangan mutlaknya (kompetensi absolut) sebagaimana yang sudah diatur baik dalam Undang-undang Dasar 1945 maupun peraturan perundang- undangan. Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman diperkuat dengan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Pasal 5 ayat (1) menegaskan dan memperkuat atas Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan kepada juru damai peradilan (hakim) untuk dapat menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan mempelajari dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Bahkan hakim diberikan keleluasaan untuk melakukan pengkajian dan penelitian hukum melalui penafsiran dan konstruksi hukum.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, memberikan pengertian penaf- siran adalah suatu kegiatan dalam usaha memberikan penjelasan atau pengertian atas kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya sehingga orang lain dapat memahaminya. Tujuannya tidak lain adalah mencari serta menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya.17 Adapun konstruksi hukum adalah pekerjaan dengan akal atau merupakan suatu proses berfikir dari hakim dengan melalui analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.18 Kansil menerangkan bahwa penafsiran hukum (interpretasi hukum) dapat dilakukan melalui penafsiran-penafsiran sebagai berikut yang me- liputi penafsiran gramatikal (tata bahasa), autentik (penafsiran resmi/

sahih), historis (sejarah), sistematis, nasional, teleogis, ekstentif (memperluas arti), restriktif (mempersempit arti), analogis, dan agumentum a contrario (pengingkaran).19

Terkait dengan sengketa bisnis yang merupakan bagian dari perkara perdata maka diantara lembaga peradilan yang berada di

17 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, PT Alumni, Bandung, 2000, hlm. 20.

18 Ibid, hlm. 53.

19 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PT Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 66-69.

(15)

bawah Mahkamah Agung yang berwenang untuk mengadili perkara bisnis tersebut adalah Pengadilan Negeri yang berada di bawah Peradilan Umum. Hal ini didasarkan pada Pasal 50 UU Peradilan Umum yang berbunyi sebagai berikut:

Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan pertimbangan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa; dan bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya.

Diantara hal yang diatur dalam Undang-Undang Arbitrase ini adalah mengenai kewenangan lembaga arbitrase. Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase mengatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka persyaratan suatu perkara dapat diperiksa oleh lembaga arbitrase adalah: Pertama, Terdapat perjanjian arbitrase. Dalam Pasal 1 ayat (3) memberikan pengertian perjanjian arbitrase sebagai berikut:

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Dengan demikian waktu kesepakatan pembuatan perjanjian arbitrase dapat dilakukan sebelum sengketa terjadi yang disebut de factum compromitendo dalam bentuk klausul arbitrase atau sesudah sengketa terjadi yang disebut akta compromice.

Kedua, Objek perkaranya adalah sengketa perdata. Dalam Pasal 5 ayat (1) menjelaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan

(16)

melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang- undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Penjelasan Pasal 66 huruf b menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.

Dengan demikian, apabila terdapat suatu perjanjian dalam bidang perdagangan yang memuat perjanjian arbitrase maka perkara tersebut menjadi objek perkara kewenangan lembaga arbitrase untuk memeriksanya dan menutup kepada lembaga peradilan lain. Hal ini selaras dengan Pasal 3 yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Kemudian Pasal 11 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Sehingga, Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman terdapat pasal yang mengatur tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yakni diatur dalam Pasal 59-61. Hanya pengaturannya masih bersifat umum tidak secara rinci sebagaimana dalam Undang-Undang Arbitrase.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti berpendapat bahwa UU Kekuasaan Kehakiman merupakan lex generalist (aturan umum) sedangkan UU Arbitrase adalah lex specialist (aturan khusus). Pen- dapat ini selaras dengan Pasal 61 yang berbunyi sebagai berikut:

Ketentuan mengenai arbitrase dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 diatur dalam undang-undang.

Oleh karena itu sikap lembaga peradilan (litigation) memeriksa perkara yang terdapat perjanjian arbitrase seperti dalam kasus Bankers Trust melawan PT Mayora Indah Tbk dan PT Berkah Karya Bersama melawan Siti Hardianti Rukmana merupakan bentuk pelanggaran terhadap sistem hukum Indonesia.

D. Penutup

Perjanjian arbitrase yang disepakati oleh para pihak dalam bidang bisnis (perdagangan) baik sebelum sengketa terjadi (pactum de compromitendo) maupun sesudah sengketa terjadi (acta compromise) bersifat mengikat dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan masalahnya serta menjadi dasar hukum bagi Pengadilan Negeri

(17)

untuk menolak memeriksa perkara tersebut dengan berlandaskan dan memberlakukan UU arbitrase yang merupakan aturan khusus (lex specialist) untuk aturan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigation) melalui lembaga Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dibandingkan dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang membahas penyelesaian sengketa secara umum (lex generalist).

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta:

Sinar Gafika.

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum.

Bandung: PT Alumni.

Fuady, Munir. 2003. Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Gautama, Sudargo. 1979. Arbitarse Dagang Internasional. Bandung:

Alumni.

Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Hartono, Sunaryati. 1988. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia.

cet kedua Badan Pembinaan Hukum Nasional Dapartemen Kehakiman. Jakarta: Binacipta.

Hasan, Djuhaendah. t.th. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Konsep Penerapan Horizontal. Bandung: Binacipta.

Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.

Jakarta: PT Balai Pustaka.

Kantaatmadja, Komar. 2001. Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Kusumaatmadja, Mochtar. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: PT Alumni. _____.2006. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan.

Bandung: PT Alumni.

Margono, Suyud. 2004. ADR & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mas, Marwan. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

(18)

Muhammad, Abdulkadir. 1993. Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Redaksi Sinar Grafika. 2002. UUD 1945 Hasil Amandeman dan Proses Amandemen UUD 1945 secara lengkap (pertama 1999-keempat 2002). Jakarta: Sinar Grafika.

Salman, Otje. 1987. Ikhtisar Filsafat Hukum, cet pertama. Bandung Annico.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:

Penelitian UI-Press.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1994. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Subekti. 1995. .Aneka Perjanjian. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Usman, Rachmadi. 2002. Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam.

Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

www.bappenas.go.id www.bi.go.id

www.gresnews.go.id www.hukumonline.com www.infovesta.go.id www.kompasiana.com www.tribunnews.com

Referensi

Dokumen terkait

Nilai % RSA kunir putih yang telah mengalami blanch- ing 100 °C media asam sitrat 0,05 % dan akuades selama 5 dan 10 menit mempunyai aktivitas antioksidan lebih tinggi

At dahil sa kanila, magpahanggang ngayon, nakikilala natin para sa atin ang sinabi ni San Agustin, “Si Hesus ay naglaho sa ating mga mata, upang matagpuan natin siya sa

berbasis pendidikan multikultural dapat dikembangkan baik dengan basis teori behavioristik, kognitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan siswa

Pada gambar 3.1 bagian a, bisa dilihat secara visual bahwa ritme sinyal pada gelombang tidak berada pada garis isoline(garis 0), sehingga padda bagian durasi tertentu

Saat ini warga binaan juga telah mampu memutar keuangan hasil berjualan produk jamur segar, mereka mampu membeli sendiri bibit jamur dari hasil penjualan mereka,

Ayat aktif ialah ayat yang mengandungi kata kerja yang mengutamakan subjek asal sebagai unsur yang diterangkan. Ayat aktif terdiri daripada ayat aktif transitif

1. Prosedur pelayanan yang diberikan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit, serta adanya petunjuk mengenai prosedur pelayanan publik dengan aparat Kecamatan

Pulau Sempu adalah kawasan cagar alam yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Malang. Selain fungsinya sebagai kawasan konservasi ekosistem alami, Pulau Sempu juga menjadi